"Membawa pembaca pada kehidupan kampus 1980-an dengan segala dinamikanya, terutama persahabatan dan cinta yang menegaskan bahwa hidup bukanlah kesia-siaan.” —Arya Gunawan, Kritikus Film dan Script Writer
Enam anak muda dari berbagai daerah di Indonesia—Slamet dari Trenggalek, Poltak dari Pematang Siantar, Ria dari Padang, Benny dari Jakarta, Gun Gun dari Ciamis, dan Fuad dari Surabaya—dipersatukan dalam sebuah persahabatan di kampus Jalan Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Bersama-sama mereka mulai mengayunkan langkah dengan penuh idealisme dan cita-cita.
Bertahun-tahun, anak-anak muda dengan latar budaya dan sosial-ekonomi berbeda-beda itu mengalami berbagai suka-duka di kampus. Banyak kejadian lucu, seru, dan mengharukan yang mereka lalui bersama. Mulai dari kekonyolan-kekonyolan khas mahasiswa baru, persaingan cinta di antara mereka, hingga keterlibatan dalam gerakan mahasiswa menentang rezim politik yang represif. Semua itu semakin mempererat ikatan persahabatan di antara mereka.
Waktu berlalu dan satu per satu mereka pun lulus. Selepas dari ITB, mereka menjalani kehidupan menjadi dosen di almamater, pengusaha, pemusik, dan lain-lain. Berbagai kenyataan hidup menghadang mereka, mulai dari cinta, godaan materi, dan cobaan mempertahankan idealisme. Setelah bertahun-tahun, mereka bertemu kembali. Apakah persahabatan lama mereka masih berarti? Apakah segala cita-cita luhur mereka masih berbekas? Terwujudkah impian mereka?
Inilah sebuah kisah perjuangan anak bangsa meraih impian yang dipenuhi cerita-cerita mengharukan, kocak, sekaligus inspiratif.
***
“Membaca 3G ini seperti merefleksikan perjalanan hidup kita di ITB dengan segala dinamikanya yang membentuk kepribadian alumnus ITB dalam berkiprah di masyarakat.” —Rinaldi Firmansyah, Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Buku ini berkisah tentang perjalanan hidup 6 sahabat yang dimulai ketika mereka bertemu di kampus Ganesha. Slamet, mahasiswa Teknik Industri, dari sebuah desa di Kab. Trenggalek, yang harus berjalan kaki berkilo2 menuju terminal bus (diantar serombongan orang tentunya), lalu stlh naik bus harus berganti naik kereta api menuju Bandung. Poltak, mahasiswa Teknik Sipil, anak penggarap sawah dari Pematang Siantar, menuju Bandung dengan bus trans Sumatera. Gun Gun, mahasiswa Teknik Mesin, yang naik elf dari Ciamis. Fuad, campuran Arab-Madura, mahasiswa Teknik Geologi, berangkat dari Surabaya dengan bus non AC. Ria, mahasiswi Teknik Elektro, asal Padang, menuju Bandung menggunakan pesawat Garuda. Terakhir, Benny, mahasiswa Sipil, yang diantar ortunya dari Jakarta menggunakan mobil Mercedes Benz.
Jaman saya kuliah (waktu SPP per semester 120rb :D), ada banyak mahasiswa dengan latar belakang seperti Slamet, Poltak, Gun Gun dan Fuad di kampus Ganesha, sebagian besar malah. Entah sekarang.
Cerita di buku ini sebenarnya biasa saja, tapi separuh isinya begitu familiar buat saya :D Salah satu kejadian di buku ini yang persis saya alami adalah kejadian ketika penerimaan mahasiswa baru di GSG. Di buku diceritakan ketika pembicara tamu dari Jakarta (pejabat) sedang berpidato, dari luar terdengar teriakan2: "Bohong! Bohong!". Ini benar2 saya alami ketika saya menjadi mahasiswa baru. Waktu itu pembicara tamunya adalah seorang menteri pada masa itu. Ketika para mahasiswa baru sedang (pura2) mendengarkan, tiba2 terdengar teriakan "Bohong! Bohong!" dari luar GSG. Kalo buku ini menceritakan ITB di tahun 80-an, berarti tradisi ini memang turun-temurun hehe.
Perkuliahan, praktikum yang berat (tugas2nya banyak + dikerjain asisten), ospek dan wisuda yang digambarkan di buku ini juga saya alami. Cuma ada 2 praktikum yang berkesan buat saya selama kuliah. Satu, praktikum membuat IC yang dimulai jam 8 pagi sampai jam 12 malam selama 3 hari, sampai saya nginep di kos2an teman (krn rumah saya jauh), dan di hari terakhir orang2 sibuk mencari saya dan teman saya krn kami ketiduran di musholla stlh sholat magrib. Dua, praktikum di lab. konversi tenaga listrik, lab-nya sangar, asisten2nya juga. Praktikum itu diadakan menjelang ujian, jd bbrp mhs men-dropnya. 1 kelompok praktikum 5 org, di kelompok saya ada 2 cewek, saya & teman saya. Dasar nasib, 3 teman laki2 yg sekelompok dg kami mengundurkan diri. Jadilah kelompok kami hanya berdua, cewek pula dua2nya. Bisa ditebak, saya dan teman saya jadi bulan2an para asisten. Tugas pendahuluan kami dicoret2, suruh bikin lagi. Blm juga praktikum, kami disuruh pulang, besok disuruh dtg lagi. Lalu praktikum berhenti krn ujian. Di hari terakhir ujian, datang pengumuman (via kertas), jadwal lanjutan praktikum. Saya dan teman saya heran, kok kelompok kami tidak ada jadwalnya. Rupanya di paling bawah tertulis, khusus kelompok kami, harap datang ke kantor asisten ! dasarrr...
Sepanjang membaca buku ini, rasanya datar. No conflict means more. Nggak ada masalah yang dikupas mendalam. Semuanya cuman dibahas sedikit asal-asal lewat aja, jadi ga ada maknanya gitu. Tanpa ada cerita konflik yang mendalam, tau-tau udah semester akhir, tau-tau udah wisuda, tau-tau udah ngantor, tau-tau udah nikah. Pembaca jadi gagal larut dalam konflik yang dihadirkan, karena yah itu, konfliknya semuanya sepotong-potong doang, ga pernah detail.
Penokohannya juga kurang proporsional. Covernya sih boleh gambar keenam sahabat: Slamet Poltak GunGun Ria Benny Fuad. Tapi di dalam ceritanya cuma fokus sama Slamet, Poltak, dan GunGun. Benny dan Ria cuman jadi pajangan doang. Serta Fuad yang porsinya sedikit lebih banyak dari si Ria Benny.
Diksinya terkesan menggurui. Oke, mungkin bagus ya maksudnya mau ngasih pengetahuan-pengetahuan atau sejarah-sejarah gitu, but the way of it is just a kinda weird. Membosankan dan menggurui pembacanya. Antar kalimat juga ada yang terkesan nggak konek. Penjelasan-penjelasan yang nggak perlu.
Contohnya hlm 306, "...masih untung ada Rifandi, tetangga sebelah rumahnya yang bersedia mengabarinya. Rifandi, pemilik rm ayam goreng itu memang sangat baik kepadanya. Alumni UGM dan ITB itu justru maju perekonomiannya dari usaha ayam gorengnya. Lelaki itu sering memberinya sepotong ayam goreng dengan kremesannya yang sungguh lezat tiada tara. Dan kini, Rifandi mohon padanya untuk dapat pulang. Artinya, kondisi anak istrinya amat gawat...."
Kalimat "lelaki itu sering memberinya sepotong ayam goreng dg keremesannya blabla..." itu apa banget. Ngga perlu lah ditulis kayagitu. Nggak konek dg kalimat utama paragrafnya. Terus kenapa kalo Rifandi suka ngasih lo ayam goreng? Toh, yang jadi masalah utama kan anak istri lo sakit, bukan ayam gorengnya.
Yah sisi positifnya palingan penokohan yang dibuat agak masuk akal dan relevan dg kehidupan sekarang. Kayak Gun Gun yang walaupun anak baik-baik tapi tetep aja bisa selingkuh, atau Poltak yang walaupun kesannya galak tp hatinya baik. Gitu doang.
Buku ini berkisah tentang enam orang sahabat yang memulai kehidupan baru mereka sebagai mahasiswa kampus ITB. Kehidupan kuliah, organisasi, cinta, hingga kehidupan pasca kuliah menjadi isi buku setebal 390 halaman. Sayangnya, semua permasalahan tersebut hanya diceritakan dengan singkat dan sepintas lalu. Kita tidak dapat merasakan 'persahabatan' yang terjalin di antara ke enamnya selain mereka 'ditulis' sebagai teman kos. Bahkan tokoh Benny, yang di dalam buku ini merupakan tokoh yang mengalami pendewasaan, tidak banyak diulas. Dia hanya disebut sambil lalu dalam percakapan antara Poltak, Gugun, atau Fuad ketika mereka mengalami kesulitan uang. Bahkan, rasa cinta yang ia pendam ke Ria pun juga mengalami nasib yang sama - disebutkan. Penulis cuma sempat membuat adegan dimana Benny mencuri pandang terhadap Ria. Namun, tiba-tiba saja ada adegan Benny putus dengan pacarnya karena ternyata dia memendam rasa terhadap Ria. Mereka berpisah, dan tiba-tiba Benny melamar Ria. Anehnya, Ria menerima lamaran itu.
Semua terasa cepat di buku ini. Tiba-tiba mereka sudah satu tahun berkuliah. Tiba-tiba mengikuti ekskul. Tiba-tiba saja lulus. Tiba-tiba mereka sudah bekerja. Tiba-tiba saja timbul permasalahan yang menyangkut ideologi mereka. Tiba-tiba mereka mengalami kehilangan yang berarti. Lalu, tiba-tiba saja mengadakan reuni dan.... selesai. Sangat disayangkan mengingat judul buku ini yang seakan telah menawarkan kepada pembaca untuk melihat lika-liku sebagai mahasiswa di kampus tersohor itu. Tak ada uraian berarti tentang beratnya menjadi mahasiswa di sana. Intrik yang ditawarkan juga bukanlah ide yang baru.
Buku ini mungkin berkesan bagi angkatan lama yang ingin mengenang masa perkuliahan mereka. Ya, saya rasa buku ini memang tepat untuk menjadi sarana bernostalgia akan masa-masa dulu. Juga mungkin untuk selingan bagi mahasiswa tingkat akhir yang tengah dikejar deadline untuk lulus hehe :)
Ada beberapa point plus dan minus dari novel ini. Sayangnya, aku sendiri gak bisa memilah mana yang minus dan mana yg plus. Jadi saya grab jadi satu aja ya. (--")
1. Dari awal memang buku ini dilahirkan untuk memperingati hari spesial ITB. Jadi aku tidak masalah dengan ke-ITB-an nya yg begitu kental di buku ini. Dari pertama baca, aku juga udah ngira ending dari novel ini yaitu si tokoh-tokoh utama bakal ngelakuin sesuatu untuk ITB dan ngelakuin nya pasti "dipas-pas kan" sama moment (ini klasik banget). Dan kenyataannya memang benar seperti itu.
2. Nah, masalahnya aku selalu suka sama cerita yang mengisahkan perjalanan sekumpulan para sahabat dalam hal mencapai tujuan tertentu. Aku suka sama potongan beberapa kisah orang-orang yang ujung2nya bertemu di satu titik yang sama. Dan buku ini mengisahkan hal seperti itu! *wow*
3. Yang kurang menarik dari buku ini karena buku ini tidak fokus. Ceritanya banyak sekali, berganti-ganti. Seolah-olah seperti ini: "Kumpulkan saja semua adegan yang menarik., jadi'in satu novel., pokoknya endingnya harus kayak ini! Titik!".
4. Awalnya aku agak ngeri sama tagline buku ini: "Bahwa Cinta itu Ada". Oh my.. aku berpikir kalau novel ini sarat akan kisah cinta para mahasiswa galau di zamannya. Ternyata tidak! Kisah cinta para tokoh utama tidak diceritakan secara berlebihan. Adegan-adegan sedih pun tidak diceritakan secara mendramatisir. Semua diceritakan dalam porsi yg pas (kecuali adegan membanggakan ITB'nya.. wajar lah...). Bahkan, menurutku kisah cinta Ria (tokoh utama wanita satu-satunya) bisa dijadikan satu novel sendiri kalau keseluruhan kisahnya diceritakan.
5. Aku suka sama quote2nya.. :D
Sekian dulu, buku ini menarik, tapi tidak membuatku penasaran.
Baru mau mulai baca. Kenapa saya beli buku ini? Alasannya simpel. Karena pengarangnya adalah dosen di kampus saya. Hehehe...
update..update!! Saya sudah menyelesaikan separuh dari novel ini. Ceritanya bagus dan benar-benar menggambarkan mahasiswa ITB yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan bangga dengan sukunya. Ternyata dari dulu memang sudah seperti itu ya. Selain itu, di novel ini dibahas tentang OS (Orientasi Studi ya? hehe..lupa singkatannya euy) yang bagi sebagian mahasiswa dianggap gak penting. Kalau buat saya sih OS asik2 aja! Terus juga yang masalah arak-arakan wisudawan. Kayanya tradisi itu cuma ada di ITB deh. Tradisi gokil yang keren! Tapi, 1 yang pasti saya melihat bahwa mahasiswa ITB jaman dulu lebih tahan banting daripada mahasiswa ITB sekarang (baca : angkatan saya). Itu menurut pendapat saya lho. Yah, so far baru bisa kasih review segitu aja. Mau lanjutin baca lagi. Bagaimana kelanjutan kisah cinta Ria? Apakah dia bakal 'kecantol' sama salah satu dari 4 teman cowoknya yang 'gila' itu?
ps : belum bisa kasih rating, soalnya belum selesai baca. :p
update (lagi) ah finally selesai juga. saya tidak terlalu suka dengan endingnya. jadi terasa agak membosankan. Padahal saya suka lho bagian awal hingga pertengahan dari novel ini. Sayang sekali endingnya kurang memuaskan. Ratingnya 2 bintang aja lah yaaa. :(
persahabatan 6 mahasiswa rantau yang kuliah di ITB... Slamet, Fuad, Poltak, Gun Gun, Benny, Ria yang mengalami berbagai lika liku perjuangan menjadi mahasiswa ITB, mulai dari urusan memenuhi kebutuhan primer, percintaan, dan aktivis organisasi. Dan akhirnya lulus dan sukses berkarya di dunia mereka masing2 namun akhirnya setelah sekian lama mereka berkarya di balik perusahaan mereka,, dengan semangat perubahan untuk negeri si slamet mengumpulkan 5 sahabtnya tersebut untuk membuat master plan demi membangun Indonesia tercinta yang lebih makmur dan sejahtera, dengan melibatkan 400 alumni ITB sukses yang diundang pada dies natalis tahun emas ITB yang ke-50th sebagai bentuk follow up-nya merupakan sebuah harapan setiap mahasiswa yang ingin berkontribusi demi bangsa dan negara dengan edukasi yang dimiliki.. hanya teruntuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia hanya teruntuk Indonesia yang lebih baik hanya teruntuk Indonesia Jaya!!!!
Buku ini sangat mengecewakan. Tidak jelas apa maunya, sebagai novel atau kumpulan cuplikan-cuplikan kisah masa lalu? Sebagai alumni kampus yang sama, saya terkenang-kenang akan masa kuliah dulu. Itu saja. Tetapi cerita didalamnya benar-benar tidak mengalir dengan menarik. Bagian pendahuluan (kata-kata pengantar dari para alumni yang telah jadi pejabat) dan bagian penutup (acara reuni(?) yang aneh) sama sekali tidak perlu. Banyak bagian yang terlalu berlebihan dan tidak didukung oleh cerita yang baik sehingga jadinya tanggung.
Jadi saya tidak merekomendasikan buku ini kecuali mungkin bagi alumni ganesha 10 yang ingin mengenang kembali masa muda. Namun begitu saya yakin alumni yang lebih muda (angkatan 90-an ke atas) agak sulit untuk mensejajarkan pengalamannya dengan mereka dalam cerita karena kondisi yang jauh berbeda.
sebuah buku tentang ITB yang lain yang kubaca. Sebenarnya tertarik membaca karena temanya tentang ITB. Awalnya terasa cukup membosankan karena banyak juga penjelasan ilmiah, seperti tokoh-tokoh itb, nama latin, sejarah dll.. membuat buku ini terasa seperti buku formal bukan novel casual. Jalan ceritanya juga tidak terlalu banyak ups and down nya, dan konflik tokohnya juga tidak terlalu dalam. mungkin karena tokohnya lebih dari satu. Kalau menurut saya, pendalaman karakter tokohnya masih kurang dibandingkan tokoh di buku Negeri Van Oranje, dan jalan ceritanya masih kurang dibandingkan novel lain yang bercerita tentang ITB (misalnya Jomblo atau Catatan Mahasiswa Gila nya Adhitya Mulya). Positifnya,nambah wawasan tentang ITB. My rating is 3,5 out of 5
Barangkali memang tepat kalau buku ini buat kalangan internal. Sulit sekali untuk bisa dengan lengkap menceritakan kisah perjalanan kuliah dari awal bahkan sampai bekerja dari sekian banyak orang. Untuk satu orang saja bisa satu buku tebal, sedangkan buku ini tipis sekali. Perwatakan dari tiap orang betul-betul sambil lalu banget. Seperti sedang baca email-email internal yang bercerita tentang kisah di kampus.
Padahal kuliah di ITB (mmm, kuliah dimanapun deh) itu banyak banget ceritanya dan banyak sudut pandang dan banyak "layer"nya.
Buku ini cocok untuk acara reuni sebagai pembangkit kenangan asik-asik aja selama kuliah. Buat aku, cukup sekali baca. Untung buku pinjaman :D
bintang pertama karena ITB, bintang kedua karena cukup bisa membawa ke masa-masa nostalgia, bintang ketiga karena Ria anak Elektro (ngayal banget Pak Dermawan, mana ada anak Elektro jadi Ratu Kampus???)...
dari segi ceritanya biasa2 aja, termasuk bacaan ringan yang nggak perlu mikir ribet2... konflik yang dialami tokoh2nya sangat2 sederhana, karakter2nya juga terkesan dangkal, ikatan enam sahabatan itu juga agak canggung (atau gaya ceritanya yang canggung)... tapi lumayan juga dari segi humornya, sempat bikin saya senyam-senyum sendiri...
Satu kalimat untuk novel ini : novel yang narsis... :)
Buku tentang perjalanan hidup 6 mahasiswa ITB ini amat menarik. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda menimbulkan tragedi tersendiri dalam interaksi antar mereka. Yang saya pikirkan, membaca novelnya saja menarik apalagi menjalani kehidupannya? Sungguh beruntung bagi mereka yang mendapat kesempatan berada di kampus prestisius ini. Tapi saya merasa buku ini mirip dengan novel Negeri 5 Menara, mungkin karena sama-sama menyuguhkan tokoh-tokoh dengan latar belakang yang berbeda.
Bukunya Pak Dermawan, pembimbingku yang baik hati.. hehehe... sedang mengantri untuk dibaca.. :)
Ceritanya mengingatkan tentang perjuangan dan kehidupan selama jadi mahasiswa di ITB. But, overall it's not so special, but good enough. Ada bagian-bagian yang menghibur, dengan becandaan-becandaan mereka. Ada juga pesan-pesan terselip.
menceritakan tentang kehidupan 6 orang sahabat (1 wanita dan 5 pria) yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Mereka dipertemukan ketika sama sama kuliah di ITB. Dalam buku ini, diceritakan tentang suka duka mereka selama kuliah hingga menjadi orang yang sukses. Bagaimana mereka menjalin persahabatan tanpa memandang status sosial dan semangat yang tinggi untuk mereka mencapai kesuksesan.
The story line was not one of a kind, even ubiquitous if I have to say. Both the introduction and the ending of the story were not anything particularly captivating, and the language used was typical. if not childish. The only thing that encouraged readers to buy the book was, if the readers are currently/were the students of ITB. Not one of my favorite books for sure.
Gading-Gading Ganesha menunjukkan bahwa menulis novel memang tidak mudah. Materi, penyajian, dan ending, semuanya kurang kuat.
Namun tetap ada yang didapat. Tentang sejarah kampus dan Indonesia khususnya. Saya sebagai almamater ITB, yang menjadi latar kisah, merasa senang telah membaca buku ini.
Baru 70an halaman sudah depresi baca buku ini...jadi...punten ya, neng Oph...yang sudah meminjamkan buku ini...saya menyerah...skip dulu untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Nonton filmnya? keburu ilfil...
novel ini menyajikan suasana kampus ganesha (ITB) membaca novel ini setidaknya mengobati rasa penasaran bagaimana kampus tehnologi tersebut. meskipun *belum* gak bisa kuliah disana setidknya dengan membaca novel ini bisalah diobati :D
dan bahwa cinta itu ada, sebuah cinta tumbuh diantara mereka :D
ITB banget, hehehehe, Ya, mungkin bagi civitas akademika non ITB, bisa tahu lebih banyak tentang ITB. Kalau eritanya sih, bagus tapi ko kesannya standar-standar saja. Apalagi kok, ending-nya hanya bersifat idealisme saja.
well, sempat bingung dengan alur cerita yang maju-mundur dan lalu tiba-tiba berpindah ke tokoh lain. but in general, ini keren banget. bahwa persahabatan itu ada. bahwa cinta itu nyata. bahwa idealisme mahasiswa itu tumbuh.
Novel yang baik, inspiratif tapi sangat subjektif. Terlalu meng-elu-elu-kan ITB. Walaupun saya sendiri juga lulusan sana. Terlalu banyak bumbu-bumbu cerita dan tidak fokus akan tujuan dari cerita pemeran utama.
ini mah bukan novel, campursari dari sejarah, roman, budaya, puisi, dokumen negara, dan apalah itu semua ke blend dedngan ciamiknya jadi gading gading ganesha. ohya, di dalem ceritanya sendiri aku nemu kata "gading-gading ganesha" ini cuma ada satu, if i'm not mistaken :)) worth to read banget ^^
Kisah antara 5 mahasiswa + 1 mahasiswi yang bertemu di kampus yang beralamat di Jalan Ganesha no. 10 Bandung. Persahabatan, cinta, idealisme, cita-cita, ambisi, mengiringi perjalanan mereka sedari masuk kuliah, lulus, kerja, sampai dipertemukan kembali dalam suatu situasi.
Ini buku layak dibaca bagi yang fanatik dengan kampus ganesa. banyak pesan moral dan gambaran nyata dari apa yang dialami mahasiwa namun banyak juga titipan nama besar alumni ternama yang menegaskan bahwa buku ini buku titipan promosi alumni.