Dari 51 cerpen yang dimuat di Harian Kompas selama 2008, peraih Khatulistiwa Literary Award 2004, Linda Christanty, dan pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rocky Gerung, memilih 15 cerpen untuk antologi ini.
"Smokol" karya Nukila Akmal, terpilih sebagai cerpen terbaik. Rocky menarik benang merah dari "Smokol", kisah jamuan di meja makan, ke kehidupan kita sehari-hari, dari politik pencitraan hingga politik "rasa lapar" yang wujudnya adalah korupsi, sekaligus upaya mencari keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.
Nukila Amal mendapat perhatian besar di dunia sastra Indonesia setelah menerbitkan novelnya, Cala Ibi (2003), yang masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerpennya, Laluba (2005), mendapat penghargaan Karya Sastra Terbaik majalah Tempo. Nukila juga meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2008 melalui cerpennya, "Smokol." Karya terbarunya adalah buku anak Mirah Mini: Hidupmu, Keajaibanmu (2013).
Pada tahun 2006 Nukila diundang sebagai peserta Iowa International Writing Program di Amerika Serikat. Ia pernah menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan menerjemahkan sejumlah kumpulan puisi. Lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung ini juga mengelola bisnis roti dietetik.
Saya bukan penggemar cerpen penuh rujukan dan berlatar asing khas Pak Triyanto Triwikromo, namun dalam cerpen "Iblis Paris" dan "Dalam Hujan Hijau Friedenau" terkoyak hati dan adrenalin saya, memang harus benar-benar fokus untuk bisa menikmatinya. Sebaliknya, cerpen dengan bahasa sederhana nan brilian macam "Rumah Duka" dan "Kartu Pos dari Surga" sangat menggelitik hati saya, memang selain cinta, cerpen dengan tema keluarga adalah yang paling relatable bagi banyak kaum awam. Tapi secara total, di buku ini belum ada cerpen yang menghentak, ces pleng, ataupun akan membuat saya terngiang. Kurang twist....
Smokol menyajikan lima belas cerita pendek yang menarik dan khas yang ditulis oleh lima belas cerpenis berbeda. Saya akan membahas secara singkat kelima belas cerpen tersebut satu per satu dengan perspektif saya. Saya tidak akan membahas banyak-banyak karena saya tidak ingin ‘membocorkan’ isi kelima belas cerpen ini bagi yang belum membacanya. Saya juga tidak akan mengkritik kelima belas cerpen tersebut karena rasa-rasanya belum pantas, ehe.
Langsung saja, cerpen pertama adalah cerpen yang ditulis seorang pengarang perempuan yang namanya tercatat dalam buku sejarah sastra saya sebagai salah satu pengarang perempuan yang hebat sehingga saya ingin membaca karya-karyanya yang lain. Perempuan ini memiliki nama Nukila Amal. Sejujurnya saya tidak terlalu mengerti mengenai cerpen yang berjudul “Smokol” ini, lebih tepatnya dikarenakan beberapa istilah yang menurut saya sendiri asing. Tapi dari keterangan-keterangan yang tertuliskan di epilog maupun di bagian awal buku cerpen kompas pilihan ini, saya jadi lumayan paham bahwa cerpen “Smokol” ini layak dijadikan cerpen terbaik kompas 2008.
Cerpen kedua, ditulis oleh Triyanto Triwikormo, berjudul “Iblis Paris”. Saya juga tidak begitu paham mengenai cerpen ini. tetapi sepertinya ada hubungannya dengan peperangan yang terjadi di daerah-daerah perbatasan di negara-negara di dunia. Atau mungkin tidak cuma di daerah-daerah pebatasan. Menganalisis cerpen ini akan menarik, terutama bagian akhirnya, tetapi sepertinya juga akan sangat panjang, dan barangkali ketika saya membacanya untuk yang kedua kali, saya akan mendapatkan pemahaman yang berbeda mengenai cerpen ini.
Cerpen ketiga berjudul “Kiriman Laut yang Terlambat”, yang ditulis oleh Beni Satria, juga merupakan salah satu cerpen yang sangat menarik. Berkisah mengenai rumah panggung di daerah pesisir yang dari dalamnya seringkali terdengar suara jeritan perempuan yang terdengar menyakitkan. Akhir dari kisah ini sanggup membuat saya menahan napas dan berbela sungkawa atas manusia-manusia yang tidak lebih baik kelakuannya daripada anjing-anjing liar.
Cerpen keempat ditulis oleh Ni Komang Ariani berjudul “Senja di Pelupuk Mata”. Cerpen yang membuat saya rindu kedua orang tua saya yang terus bertambah tua ketika saya sibuk tumbuh dewasa. Cerpen yang membuat saya berdoa supaya kelak tidak meninggalkan mereka begitu saja. Cerpen yang membuat saya kembali meneriaki diri saya sendiri, “Waktu! Waktu! Waktu!!!” sekaligus juga bertasbih lirih, seperti orang yang sedang bertanya kala mencari, yang tenggelam dalam pencarian paling menggelisahkan sekaligus juga dapat menghadirkan perenungan menenangkan, “waktu… waktu… waktu…”
Cerpen Kelima, dengan judul “Cerita dari Rantau”, ditulis oleh Anton Septian, berkisah mengenai, kegelisahan seseorang yang berada di perantauan. Namun kisah ini menjadi menarik karena tokoh utamanya, menurut saya, tidak biasa.
Cerpen keenam berjudul “Terbang” ditulis oleh pengarang perempuan yang namanya sangat tenar dalam dunia sastra Indonesia yaitu Ayu Utami. Cerpen ini menurut saya “perempuan banget”. Ayu Utami memiliki isi kepala yang kemudian dituangkan menjadi ide cerita, yang sangat gila. Luar biasa. Sekaligus mampu membuat saya, sebagai salah satu perempuan, tertawa-tawa kecil sambil di dalam hati meng-aamiini.
Cerpen ketujuh berjudul “Sakri Terangkat ke Langit”. Cerpen ini ditulis oleh S Prasetyo Utoto. Sejujurnya cerpen yang satu ini juga kurang saya mengerti. Tetapi rasa-rasanya saya dapat memiliki banyak kemungkinan peristiwa imajiner yang berkaitan dengan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang dituliskan dalam cerpen ini.
Dengan judul “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh”, cerpen kedelapan ditulis oleh seorang cerpenis bernama Martin Aleida. Bagian awal cerpen ini sungguh membuat saya terenyuh; “Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa tentulah mungkin”. Menurut saya bagian akhir cerpen ini juga menarik karena dapat membuat saya berimajinasi mengenai kelanjutan kisah Sakri, si tokoh utama.
Cerpen kesembilan ditulis oleh Francisca Dewi Ria Utari dengan judul “Merah Pekat”. Cerpen ini salah satu cerpen yang bikin geregetan, karena mampu membuat saya bertanya-tanya “ini habis ini gimana nih?” sepanjang membacanya.
Cerpen kesepuluh, ditulis oleh seorang perempuan yang menuliskan sebuah novel berjudul “Gadis Kretek” yaitu Ratih Kumala, adalah cerpen yang memiliki judul “Rumah Duka”. Cerpen ini menjadi salah satu cerpen favorit saya dan kawan saya di sastra Indonesia karena menurut kami, cerpen ini mbatin. Haha. Dengan tokoh utama dua orang perempuan (pada usia dewasa, kalau perkiraan saya), cerpen ini sukses menampilkan bagaimana manusia terkadang tidak dapat dimiliki seutuhnya oleh manusia lain. Juga banyak paradoks-paradoks yang muncul dalam cerpen ini, yang sangat mungkin menuntun kita untuk memahami bagaimana keseimbangan kehidupan bekerja. Dan, anyway, endingnya bikin terharu.
Cerpen kesebelas adalah cerpen kedua yang ditulis oleh Triyanto Triwikromo (wah, luar biasa ya produktifitas dan, tentu saja, prestasi manusia satu ini ckck) berjudul “Dalam Hujan Hijau Friedenau”. Sama seperti cerpen sebelumnya, nasib cerpen ini juga, sayangnya, agak kurang saya mengerti. Tetapi ini mungkin diakibatkan karena saya belum membacanya dua kali. Hoho.
Cerpen kedua belas berjudul “Berburu Beruang” yang ditulis oleh Puthut EA, menurut saya satire-nya cerpen ini sangat kerasa. Sebenarnya kebanyakan cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen pilihan kompas ini kebanyakan merupakan cerpen satire, tapi menurut saya, salah satu cerpen yang sangat kerasa satire-nya ya “Berburu Beruang” ini:) saya juga merasa ‘diledek’ oleh cerpen ini karena pada saat membaca bagian awal cerpen ini, saya sempat bertanya, “masih adakah beruang di negeri ini? Memangnya pernah ada-kah beruang di negeri ini?”. Pertengahan sampai akhir cerpen ini menjawab pertanyaan saya dengan cara yang, menurut saya, cukup mengejutkan, sehingga saya sempat memaki, “sialan!”
Adalah “Ratap Gadis Suayan” yang ditulis oleh Damhuri Muhammad yang menjadi cerpen ketiga belas. Permasalahan yang paling mudah saya tangkap dari cerpen ini adalah permasalahan perempuan, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menghadirkan konflik dan peristiwa unik yang menghidupkan cerpen satu ini.
“Kartu Pos dari Surga” adalah judul cerpen yang ditulis oleh Agus Noor, yang menjadi cerpen keempat belas. Nama tokoh utamanya sempat membuat saya dan kawan saya takjub, haha. Pun endingnya yang sebenarnya biasa saja, tapi bisa jadi luar biasa apabila saya mau membacanya dua kali, karena saya tidak yakin maknanya se-“biasa saja” itu.
“Perempuan Sinting di Dapur” adalah cerpen kelima belas, cerpen penutup, yang ditulis oleh orang yang menyanyikan lagu Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa yaitu Ugoran Prasad. Menurut saya meludah dan mengencingi makanan yang dilakukan Mak Saodah mungkin simbol dari perasaan bencinya.
Itu saja sedikit pembahasan dari saya. Seperti yang sudah diterangkan di awal, saya belum berani mengkritik, karena hampir kelima belas cerpen itu saya baca hanya sekali sebab saya terburu-buru dan masih banyaaaak buku lain yang harus dibaca. Maka doakan saya supaya rajin membaca ya, dan seperti perjanjian saya dengan kedua teman saya, doakan kami supaya ‘karya-bisa-tembus-kompas’ aamiin :’) haha. Terimakasih,
Jika ada yang memuaskan dari cerita mendapat buku Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008 ini adalah menyaksikan penampilan Berlian Hutauruk. Tentu nama ini bagi jadulers tidak asing lagi.
Ya. Memang, Berlian tampil pada malam peluncuran Antologi Cerpen Kompas Pilihan, yang kali ini berjudul Smokol. Namun, boleh dibilang, sebenarnya Berlian lah yang ditunggu para undangan acara yang dilaksanakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Senin (29/6) malam itu. Tak mengherankan, karena mereka rindu akan sebuah suara berkualitas, lagu yang indah, dan sebuah memori akan Badai Pasti Berlalu.
Memakai baju model sabrina motif bunga-bunga bernuansa pink tua dan hitam, dipadu rok panjang warna pink tua dengan slayer di bagian depan, Berlian tampak segar dan masa kini. Tak terlihat bahwa dia sebenarnya penyanyi akhir tahun 1970-an. Apalagi geraknya dinamis di atas panggung, penuh ekspresi seturut syair lagu yang diiringi denting piano Yockie Suprayogo, rengekan gitar listrik Edi Kemput, dan keyboard Irfan Chasmala.
Ada lima judul lagu yang dibawakannya malam itu. Tiga dari album Badai, yakni Badai Pasti Berlalu, Pelangi, dan Matahari. Satu karya Leo Christy berjudul Tembang Lestari, yang dinyanyikan duet bersama Yockie, dan sebuah lagi Kata Cinta karya Erros Djarot. Namun Berlian harus bernyanyi enam lagu karena penonton minta tambah. Alhasil Badai Pasti Berlalu diulang lagi.
Sampai lupa isi ceritanya akibat ditinggal-tinggal membacanya diselingi buku-buku yang lain. Kumpulan cerita pendek, dengan penilaian berbeda-beda sebenarnya. Ada yang aku tidak mengerti dengan istilah-istilah yang dipakai nyaris hampir diseluruh cerpen, ada yang biasa-biasa saja dan tentu saja ada yang bagus.
Membaca cerpen salah satu keuntungannya memang bisa diselingi yang lain, namun ya itu kelamaan jadinya, tapi itu juga kebanyakan gara2 membaca yang kurang suka beralih lah kelain buku.
All ills are good when attended with food, kata Batara, tapi pada realitasnya agak susah juga ya. Semisal kita menjenguk teman sakit, pasti yang memakan buah tangan penjenguk adalah si sehat, hehe. Seperti kerasukan peri smokol, Batara begitu lihai dalam urusan masak-memasak untuk merayakan sosialita bersama kelompensmokol-nya sekaligus memperpanjang tradisi makan-makan yang diperkenalkan melalui Oma Sjanne-nya. Ironi dan apatis muncul bersamaan dalam cerpen ini, Batara seperti berteriak kenapa dapur omanya tidak menyelipkan satu saja bau kelaparan. Batara sebagai orang paling riang sekota Jakarta akhirnya jatuh sedih sampai kekurusan bersemayam padanya di saat realis tampak betul-betul nyata di negerinya, di televisinya. Tak tau lagi apa kabar Smokol setelah itu. Benar kata Batara bahwa segala sesuatu meski berkadar secukupnya.
Dalam epilog, Linda Christanty menyatakan bahwa pembaca awam tak akan mudah memahami konteks cerpen Iblis Paris. Sebagai pembaca awam, saya membutuhkan sedikitnya tiga kali membaca dan belasan kali membolak-balik halaman cerpen ini. Sederhananya saya simpulkan: cerpen yang berlatarkan konflik di perbatasan Thailand Laos Burma. Konflik ini pulalah yang melahirkan romantisme sekaligus hororisme segitiga antara Zita, Khun Sa, dan Duarte, serta perpindahan kisah ke Lyon, Prancis. Lalu, siapa lagi Thian itu?
Di Kampung Paru, diceritakan ada sebuah Kiriman Laut yang Terlambat. Nama-nama yang hidup di sini unik-unik: Perdadu, Dojala, Masteri, Raspulen, Nisoto, Wargepuk, Lokrapu, Tokpentung, Kunpenyu, Nucumi, dan Palkepiting. Sebuah misteri tentang kepala busuk seorang perempuan yang melolong sepanjang malam hingga pagi dengan nyanyian kesedihan "Lelaki rembulan yang berpedati, lelaki rembulan yang berpedati." Awalnya dicurigai bahwa Masteri mengurung seorang perempuan dan menyiksanya karena setelah dua belas tahun menduda baru kali ini ia menggembok rumahnya ketika pergi melaut.
Senja di Pelupuk Mata benar-benar terjadi pada Bli Gede dan istri. Kebahagiaan itu hanya sesingkat dua puluh tahun ketika anak-anak mereka masih bersama mereka. Ketika renta dan papa ke mana mereka? Seperti terlalu sibuk akan kehidupan rumah tangga masing-masing sampai lupa keadaan orangtua yang membesarkan mereka dengan kasih sayang. Di saat yang sama, ibu mereka seperti menerima karma karena melakukan hal yang sama ketika meninggalkan orangtuanya dan ikut bersama suaminya tanpa kemudian menoleh. "Karma terjadi begitu cepat," katanya ketika mengingat Meme dan Bapa. Yang menggantung dalam cerpen ini, kenapa tidak ada kisah lanjutan tentang es kelapa muda di Tanah Lot?
Ada banyak potongan kisah dalam Cerita Dari Rantau, sedikitnya delapan episode. Ada yang terkait dan menurut saya juga ada yang tidak terkait dan tidak dirasa perlu untuk dimasukkan dalam potongan kisah utama. Berlatarkan penambang emas utusan VOC yang ditugaskan menuju Sumatera Barat. Namun sebelum kapal yang mengangkut mereka tiba, di Batavia cerita ini dipenuhi konflik perselingkuhan hingga kematian. Agak ribet sih cerpennya.
Terbang kali ini berbeda. Sejak dua anak mereka bisa ditinggal, Jati mengharuskan suaminya, Ari, untuk tidak lagi terbang satu pesawat. Paling tidak dan paling logis agar anak mereka tidak jadi yatim piatu, Jati berteori. Perjalanannya yang entah dari mana, lalu transit di Surabaya, dan akhirnya berakhir di Jakarta itulah Jati bertemu seorang pria baik-baik. Mereka membahas banyak: pekerjaan hingga kesamaan antara kamera digital dengan lelaki. Idenya lucu sekali, menarik, dan orisinil. Narasinya mengalir manis seperti lelehan coklat, coklat juga ada yang pahit kan? Ya, kepahitan itu saya rasakan dalam dua paragraf terdapat dua kefatalan. Pada paragraf "Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati." Lalu persis di paragraf setelahnya tertulis "Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman..., aku menarik napas lega yang pertama, dan mulai membaca lagi." Ada ketidakkonsistenan di sini, yaitu tentang lampu tanda kenakan pesawat dan membaca buku.
Awalnya saya mengira betulan kalau Sakri Terangkat ke Langit. Ternyata tidak, hanya tersangkut di pohon beringin tua. Cerpen ini berkisah tentang seorang istri yang tertelan api cemburu tanpa sebab. Padahal dia sendiri yang berselingkuh. Orang yang aneh. Lebih aneh lagi, Sakri yang hanya bergeming mendengar racauan istrinya. Ada kasih sayang yang hangat antara Arum dan Sakri, yang walaupun sebagai anak angkat dia telah menyayangi Sukri seperti ayah kandungnya. Lebih baik tidak diceritakan saja siapa orangtua Arum sesungguhnya, karena takutnya penerimaan Sakri atas tawaran pemilik pabrik gula hanya sebatas kepentingan tutup mulut.
Tuan tanah yang merampas hidup ayahnya-lah yang membuat Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh. Adalah Lampung tanah yang didiami orang Bali untuk menyambung hidup tanpa melupakan adat yang dipilih oleh Mangku untuk menetap. Pemberontakan 1965 begitu akrab dalam cerpen ini, selain karena ayahnya yang dituduh komunis lalu dibunuh, perjalanan Mangku juga mempertemukannya dengan kru film yang sedang mengambil gambar dan keterangan terkait pemberontakan itu. Penulis mampu menyelipkan adegan lucu ketika mewawancarai salah satu saksi hidup. Pintar sekali. Perjalanan Mangku dari Bali diawali dengan mendarat di Banyuwangi. Di tanah Jawa, Mangku bertemu dengan politik uang dan kebengisan ibukota yang merenggut nyawa salah satu sahabatnya, Jonggi. Tanah Lampung sempurna dicapai Mangku untuk pekuburan sahabatnya yang lain, Si Kera, dengan pekuburan yang baik dan doa, bukan yang seperti ayahnya dapatkan.
Si Aku akhirnya menerima mawar khusus berwarna Merah Pekat dari Dante, sosok yang ditemuinya di rumah benteng. Kejadian di umurnya lima tahun kembali terjadi dan kali ini membeku pada dua puluh lima tahun umurnya, bertemu alm ayah dan alm kakeknya, tapi si Aku harus kembali dulu ke lima tahun umurnya yang tentu saja setelah Dante mencecap lehernya. Ceritanya ada bumbu magis, berlatar drama keluarga yang tidak bahagia.
Dua perempuan dan satu laki-laki yang telah meninggal berada di Rumah Duka. Mereka mencintai laki-laki yang telah mati itu. Di satu sisi, si istri mengira suaminya hanya mencicipi "makanan" bukannya memelihara "anjing" lalu lama-kelamaan ia menerima keadaan itu karena alasan sakitnya yang menahun. Di sisi lain, si perempuan lain itu juga mengira pacar tujuh belas tahunnya memang tetap mencintai istrinya ketika jazz tidak lagi menarik bagi mereka dan obrolan pun beralih ke tema istrinya. Jika teori "anjing" dipakai untuk perempuan ini, bukankah anjing lebih setia? Jadi....
Dalam Hujan Hijau Friedenau ada cinta yang gak gw ngerti antara Aku, Arok, dan Ellen. Ada banyak bener istilah bunuh diri di sini. Eh kak Triyanto Triwikromo berani banget bilang Vanessa Mae ngawur. *ngikik*
Awalnya kaget akan pilihan Berburu Beruang atau berburu hiu, pilihan yang sama sulitnya, sama jahatnya. Cerita berjalan ternyata beruang hanyalah sebuah perumpamaan untuk batang pisang. Mas Burhan yang tidak bisa melihat kesenjangan sosial tiba-tiba terluka batinnya lalu kumat dengan tak mau makan, aktifis ini seolah perlu melampiaskannya dengan menusuk leher beruang. Menusuk leher kekuasaan.
Bukan masalah primordialisme kalau saya memilih Ratapan Gadis Suayan sebagai cerpen terbaik so far. Bagaimana tidak, seseorang telah memilih mata pencaharian sebagai tukang ratap dalam hidupnya. Meskipun ada atau tak ada kematian, Raisya tetap akan meratap. Berlatar di dusun yang melahirkan perempuan cantik berbibir pipih bertubuh montok, Raisya, si cantik itu juga menikah atas persekongkolan mamaknya dengan Nurman. Hutang omnya lunas, Raisya melahirkan, suaminya pergi mencari daun muda yang lain. Tukang ratap itu akhirnya membawa ratapannya kepada mantan suaminya sendiri.
Beningnya mewarisi kesukaan dari ibunya, Ren, yaitu suka mendapat kiriman kartu pos. Mendapat kartu pos bagi mereka bagaikan mendapati sepotong lagi jiwa yang hilang dan kembali utuh, bahagia sekali rasanya. Lalu ketika Ren meninggal dan sang ayah belum mampu menjelaskan kepada Beningnya, di sini konflik muncul. Perlahan Beningnya menyadari bahwa ibunya telah meninggal dengan mendapat Kartu Pos dari Surga, kiriman ibunya.
Suka sekali dengan penggalan ini: "mungkin karena pikiran kotor mudah terbaca." Sumpah, keren kali cerpen ini bahkan vonis ini sebelum saya benar-benar selesai membacanya. Kaka Ugoran Prasad, this is the most ultimate, officially! Kalau saya sepertinya pernah satu gang dengan Izrail, duh. Mak Saodah, what's the hell are you doing tapi kok enak ya? Wak Misnah bilang kalau laki-laki sinting di jalan dan Perempuan Sinting di Dapur. What, gw kan suka ke dapur. Jadi jadi?
"Tetapi, pembaca awam tidak mudah memahami konteks cerita ini. Sebab si penulis terlalu banyak menimbun rujukan, tampak berusaha keras agar ceritanya terkesan cerdas dan penulisnya dianggap mengetahui banyak hal yang terjadi di berbagai belahan dunia." Hal.150-151.
Buahahaha!
Aduh, belum apa-apa udah bikin ketawa. Tapi sungguh, saya agak kaget juga dengan kejujuran Linda Christanty yang menuli epilog juga semacam behind the scene pembuatan buku ini. Sebab, apa yang beliau utarakan sudah sejak lama sering saya dengungkan di ulasan-ulasan yang saya buat.
Benar demikian, kenapa sih, orang harus bikin cerpen yang njelimet ampun-ampunan. Saya sering kali berlindung di kalimat: ya, kayaknya saya aja yang nggak "nyampe" baca cerpen itu.
Tapi, ketika Linda Christanty, penulis peraih Khatulistiwa Literary Award juga merasa yang sama, bolehlah saya melenyapkan perasaan: saya bodoh. Saya nggak paham sastra. Saya nggak bisa mencerna sebuah cerpen. Sebab ya seorang Linda saja merasa jika pembaca akan kesulitan mencerna cerpen tersebut.
Ironisnya, buku Rahasia Selma karya Linda juga saya kasih komentar yang sama "Nggak salah bukunya, cuma aku aja yang susah nangkep dengan cerpen-cerpen yang ditulis njelimet dan muter-muter kayak gini. Secara ya, kumcer ini memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori fiksi di tahun 2010. Jadi sudah tentu bagus. Cuma ya itu, nggak cocok di aku. Otakku yang nggak nyampe :P padahal, cerpen-cerpen awal aku suka. Tapi semakin ke belakang terasa makin rumit." hehehe.
Mengenai kumcer Smokol ini, sama kayak kumcer Kompas lain yang pernah saya baca: Mata yang Indah, saya malah lebih suka baca cerpen lain ketimbang cerpen utama yang dipilih sebagai cerpen terbaik.
Favorit saya cerpen Terbang karya Ayu Utami, yang berkisah tentang kekhawatiran saat menaiki pesawat udara sehingga membatalkan tiket agar tidak berangkat bersama pasangannya. Dalam pemikirannya, ya jika pesawat itu jatuh, paling tidak mereka tak mati bersamaan.
Cerpen Rumah Duka karya Ratih Kumala lebih bagus lagi. "Sayangnya" saya sudah pernah baca cerpen ini di kumcer Ratih yang lain yakni Bastian dan Jamur Ajaib. Cerita berjudul Merah Pekat juga menarik kendati sedikit tertebak sejak awal.
Lalu, cerpen bagus lainnya yang juga jadi cerpen penutup adalah Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran Prasad. Ah, keren! Selebihnya, ya, saya kurang dapat menikmati, termasuk Smokol yang terpilih sebagai cerpen terbaik tahun 2008 itu.
"Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat perempuan-perempuan itu tetap sebagai "makanan" dan bukan sebagai "anjing". Ya, sebab jika sudah menjadi "anjing", berarti dia dipelihara." - Ratih Kumala (Cerpen Rumah Duka hlm. 94)
Tidak semua cerpen dalam buku ini menarik. Hanya lima cerpen yang saya suka, yaitu Senja di Pelupuk Mata karya Ni Komang Ariani, Merah Pekat karya Francisca Dewi Ria Utari, Rumah Duka karya Ratih Kumala, Kartu Pos dari Surga karya Agus Noor, dan Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran Prasad.
"Aku masih akan tak paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam." - Ugoran Prasad (cerpen Perempuan Sinting di Dapur hlm. 143)
Saya suka cerpen Kartu Pos dari Surga yang ditulis oleh Agus Noor. Awalnya saya mengira cerpen ini seperti kisah klasik anak yang mencari ibunya. Tapi endingnya cukup menegangkan dan horor.
Isu politik, psikologis, horor fantasi, isu-isu sosial jadi bagian kumpulan cerpen in. Menikmatinya tentu meski ga semuanya. Tapi sensasi membaca cerpen memang menyenangkan.
Woah, akhirnya selesai juga. Smokol merupakan kumpulan cerita pendek Kompas pilihan tahun 2008 yang kubeli di Indonesia International Book Fair pada Oktober lalu. Buku ini kubeli karena kebetulan stand Penerbit Kompas memberikan diskon 30% hehe (tapi kala itu aku juga memang sedang mencari referensi untuk menulis cerita pendek). Buku ini berisi 15 cerita pendek terbaik dari 51 cerita pendek yang terbit di Harian Kompas sepanjang tahun 2008.
Sebagaimana yang disebut oleh Linda Christianty pada bagian Epilog: "Bagaimana pun canggih gagasan si penulis, kecakapan berbahasa tetap merupakan kunci utama untuk terhubung dengan pembaca." Semua cerita yang terpilih di sini harus saya akui sangat bagus kualitasnya. Sayangnya, hanya ada beberapa yang membuat saya benar-benar terhubung. Bahkan sampai sekarang, setelah dua kali membaca cerita Smokol karya Nukila Amal, masih ada suatu hal yang mengganjal dan membuat hubungan saya dengan si cerpen kurang terasa.
Beberapa cerita yang saya benar-benar nikmati di antaranya adalah Terbang karya Ayu Utami, Berburu Beruang karya Puthut EA, Ratap Gadis Suayan karya Damhuri Muhammad, Kartu Pos dari Surga karya Agus Noor dan Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran Prasad. Menurut saya, kelima cerita ini yang paling menarik saya ke dalam dunianya serta meninggalkan kesan 'beda' dari cerita lain.
Iblis Paris karya Triyanto Triwikromo yang dituturkan dengan gaya melodramatik belum bisa benar-benar saya pahami konteksnya karena ada banyak rujukan lain yang harus saya cari dahulu dengan alur yang kental dengan politik serta sejarah konflik di Thailand. Namun inilah yang saya sukai dari cerita pendek. Semuanya punya dunia sendiri yang memiliki keunikannya masing-masing untuk diselami.
Untuk keseluruhan, kumpulan cerita pendek ini bisa menjadi pilihan bagi kalian yang sedang mencari referensi cerita pendek dalam berbagai bentu atau pun sekadar mencari bacaan untuk mengisi waktu senggang.
Lagi-lagi, saya menemukan cerita bahwa perempuan memilih merelakan laki-laki selingan di luar, selama laki-laki itu masih pulang kepada mereka.
Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat perempuan-perempuan itu tetap sebagai “makanan” dan bukan sebagai “anjing”. Ya, sebab jika sudah menjadi “anjing”, berarti dia dipelihara.—p. 94
Reaksi saya semakin melunak perihal “suami suka jajan” ini. Dulu, karya laki-laki, Ahmad Tohari, yang ini karya perempuan, Ratih Kumala. Mungkin, ini menunjukkan betapa cinta melemahkan wanita. Di satu sisi, ini bisa jadi menunjukkan betapa cinta menguatkan. Aih, batas antara kuat dan bodoh kadang membingungkan jika sudah terpercik perkara cinta. *ahem, mendadak syahdu*
Unik – ketika para penulis di Cerpen Kompas Pilihan 2008 ini menyampaikan pesan melalui cerita-cerita yang variatif. Di dalamnya terkandung makna yang mendalam – seperti Smokol, yang bercerita tentang kontras kehidupan yang dijalani Batara yang suka melaksanakan Smokol namun di sisi lain ternyata banyak anak-anak di dunia yang masih busung lapar. Seperti juga Merah Pekat atau Kartu Pos dari Surga yang lumayan mencekam di bagian akhir cerita. Atau Rumah Duka yang bercerita tentang perselingkuhan secara rapih, dan cerita-cerita lain yang menarik untuk dibaca. Tentunya Kompas selalu menghadirkan karya sastra dengan standar yang tidak bisa dibilang main-main, di tengah minimnya ruang sastra di media massa bahkan sampai saat ini.
Gue paling suka cerpen Ugoran Prasad. Gue suka tokoh-tokoh yang aneh dan melakukan hal-hal yang tidak terjelaskan, jadi gue menikmati baca Perempuan Sinting di Dapur. Dan Ugoran bisa membuat kita melihat dapur, yang di tempat itu wilayah perempuan banget, menjadi sesuatu yang radikal. Gue juga suka idenya Smokol (Nukila Amal). Menurut gue keren tuh makanan dipakai untuk bicara tentang sesuatu yang lebih besar, tapi kenapa ya akhir cerita agak terburu-buru? Apakah karena batas yang ditentukan oleh cerpen Kompas? Selain 2 cerpen itu, cerpen lainnya ok lah. Gak ada yang mengejutkan banget.
"Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa..." (Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh - Martin Aleida)
Beberapa cerpen favorit: 1) Senja di Pelupuk Mata - Ni Komang Ariani 2) Rumah Duka - Ratih Kumala 3) Berburu Beruang - Puthut EA 4) Kartu Pos dari Surga - Agus Noor
ngga terlalu suka kumcer kompas yang ini, rasanya agak kurang menarik buat saya, haha. saya paling suka cerpennya agus noor sama ugoran prasad, walaupun punya agus noor itu pernah saya baca duluan sebelum baca buku ini, buat saya itu masih yang terbaik.