John Wood discovered his passion, his greatest success, and his life's work not at business school or helping lead Microsoft's charge into Asia in the 1990s but on a soul-searching trip to the Himalayas. He made the difficult decision to walk away from his lucrative career to create Room to Read, a nonprofit organization that promotes education across the developing world. By the end of 2007, the organization will have established over 5,000 libraries and 400 schools, and awarded long-term scholarships to more than 3,000 girls, giving more than one million children the lifelong gift of education.
If you have ever pondered abandoning your desk job for an adventure and an opportunity to give back, Wood's story will inspire you. He offers a vivid, emotional, and absorbing tale of how to take the lessons learned at a hard-charging company like Microsoft and apply them to the world's most pressing social problems.
John J. Wood is the founder and executive chairman of Room to Read, a nonprofit organization dedicated to eradicating world poverty through the power of education. He is the author of 'Leaving Microsoft to Change the World' and 'Creating Room to Read.'
Setiap orang menginginkan kebahagiaan. Kesehatan yang baik, karir yang cemerlang, pacar atau calon istri yang menarik dan pintar. Sudah bahagiakah saya sekarang?
Setiap orang mempunyai tujuan kenapa berada di dunia ini. Saya percaya hal itu. Setiap orang juga punya panggilan pelayanan sesuai dengan talenta masing-masing. Sudahkah saya memenuhi panggilan pelayanan saya?
Saya tidak akan bercerita tentang apa yang sudah saya lakukan untuk menemukan kebahagian hidup saya. Terlalu menarik (baca: hancur) untuk diceritakan :D
Saya justru ingin bercerita sedikit tentang John Wood yang akhirnya menemukan kebahagiaan hidupnya. Pintar, tampan (sesuai dengan pengakuannya), karir cemerlang di perusahaan raksasa Microsoft, gaji yang besar, menikmati fasilitas mewah, pacar yang cantik dan pintar. Dia punya itu semua. Bahagiakah dia? Dari pengakuannya sih, tidak bahagia.
Waktunya habis untuk melakukan 3 hal berikut: bekerja, bekerja, dan bekerja. Dia terlalu sibuk untuk “membahagiakan” Microsoft, dan hampir tidak punya waktu untuk kehidupan pribadinya, bahkan lupa dengan kebahagiannya sendiri. Bekerja selama delapan tahun di Microsoft membawa dia menjadi salah satu direktur pemasaran yang sangat diandalkan. Hidupnya penuh dengan perjalanan bisnis. Pernah ditugaskan ke Microsoft Australia dan Microsoft Cina.
Namun, semua berubah setelah John mengadakan perjalanan sebagai backpacker ke Nepal. Berinteraksi dengan orang-orang setempat membuat jiwanya serasa dipanggil untuk melakukan sesuatu untuk negara yang miskin itu. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan sangat terbatas di sana. Buku menjadi barang yang sangat langka dan mewah. Singkat cerita, akhirnya John memutuskan untuk keluar dari Microsoft dan tertatih-tatih mendirikan organisasi nirlaba Room to Read (awalnya bernama Books for Nepal).
Banyak tantangan dan hambatan yang harus dilewati di awal-awal kegiatan sosialnya itu. Tapi selalu ada jalan untuk niat baik, iya kan? John kehilangan penghasilannya yang besar itu, kehilangan pacarnya (pasangan yang saling mencintai tapi berbeda cara pandang tentang hidup. John lebih suka berlibur sebagai backpacker sementara pacarnya lebih suka liburan dan tinggal di hotel), dan juga kehilangan banyak jam tidurnya.
Bahagiakah dia sekarang? Ya, dia merasa sangat bahagia dan bersemangat. Bangun pagi menjadi salah satu hal yang ditungu-tunggu agar bisa segera pergi ke kantor dan bekerja. Melakukan panggilan jiwa dan panggilan pelayanannya membuat dia menemukan kebahagiaan.
Melalui organisasi yang dipimpinnya, John bisa mendirikan banyak sekolah dan perpustakaan di beberapa negara miskin, seperti Nepal, India, dan Vietnam. Dia juga menyediakan beasiswa untuk anak-anak yang tidak mampu. John dan rekan-rekannya bekerja keras untuk mengumpulkan dana dan buku-buku dari para donator.
Berbagai cara bisa dilakukan untuk membantu orang lain, menjadikan dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik. Seorang anak kecil (dulu) bernama Ryan, mendengarkan cerita gurunya tentang keadaan orang-orang di Afrika yang terjangkit berbagai macam penyakit karena kekurangan air bersih. Lalu, dia mengerjakan sejumlah pekerjaan rumah untuk mengumpulkan sen demi sen. Tekadnya bulat, dia ingin menyediakan dana untuk menyediakan air bersih bagi orang-orang di Afrika. Dan sekarang, dia mempunyai sebuah yayasan bernama Ryan’s Well Foundation yang membangun sumur-sumur air bersih di Afrika.
Muhammad Yunus menggunakan kecerdasannya (Graemen Bank) untuk membantu orang-orang miskin dalam meningkatkan taraf hidupnya. Sementara, Jimmy Carter mempergunakan pengaruhnya untuk memberantas cacing guinea, parasit yang telah menyengsarakan jutaan orang di seluruh wilayah Afrika dan Asia.
Siapapun bisa melakukan hal yang baik untuk membuat sedikit perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam bentuk sekecil apapun. Tidak harus kaya, tidak harus pintar, apalagi harus terkenal. Yang dibutuhkan adalah komitmen dan dedikasi. Dan kadang-kadang, orang harus keluar dan comfort zone-nya untuk melakukan komitmennya serta menemukan kebahagiannya.
Bagaimana dengan saya? Hmm, saya akan mulai dengan memberikan semua bintang yang tersedia untuk John Wood :D
Whoaaaa, you made it, Dude!!!
(lagu yang menemani saya saat membaca buku ini “Man in the Mirror”, sejumlah baris liriknya saya ambil untuk menemani pembaca tulisan ini. Kalau ada yang salah mohon dibenarkan :D)
I’m gonna make a change for once in my life It’s gonna feel real good, gonna make a difference, gonna make it right. As I turn up the collar on my favorite winter coat. This thing is blowing my mind I see the kids in the street with not enough to eat. Who am I to be blind, pretending not to see their needs.
I’ve been a victim of a selfish kind of love It’s time that I realize That there are some with no home, not a nickel to loan Could it be really me, pretending that they’re not alone?
I’m starting with the man in the mirror I’m asking him to change his ways And no message could have been any clearer If you wanna make the world a better place Take a look at yourself, and then make a change
I read Leaving Microsoft to Change The World over three or four days, culminating in a marathon airline session between Milwaukee and Orlando. While I like Wood's basic premises, and I absolutely can’t fault him for his dedication, the question as to whether or not this book works both as inspirational narrative and trailblazer for the future of philanthropy is open to question.
Wood's personal drive would be purely admirable if it weren’t borderline insane. I got the feeling, while reading, that the author is one of those people who desperately wants to please others and focuses on measurable achievement as the sole indicator of whether or not an activity is worthwhile. To his credit Wood focuses his efforts on procuring resources for education in third world countries. Hey, if you’re going to be that driven and admit to having no life whatsoever you get my appreciation for pointing your efforts in the direction of making the world a better place. No problems there. As much as Wood complains about his travel schedule, not having a girlfriend, etc., I’m not sure I’m buying his regrets. Some readers would probably pay a steep price for the travel and meaning he experiences as part of his “Room to Read” gig. Maybe Wood is a modern, corporate version of a saint, cruising the skies on donated first class miles and using powerpoint to separate the affluent from their cash in the pursuit of a better world. Hey, his methods seem to be working, more often than not, and even if his life isn’t for many of us, I’m glad someone like him exists.
I draw the line, however, with the deification of big business and the implied assertions that corporate practices are the best paths to successful nonprofit endeavors in every case. Sure, nonprofits need to evolve, but the implied idea that corporations have it right and if only nonprofits acted just like them…well…let’s just say that this book was written before the economy tanked and business leader idiocy was ever-present on CNN. Wood goes too easy on big businesses who toss him some cash for third world libraries. Does he ever ask, I wonder, if these companies’ practices in the third world are ethical? Yes, it’s glamorous to go to a big ticket event and procure money at a benefit, but how much are these companies paying their grunt workers and how much are their CEOs making that could go to the greater good?
Still…like I said…Wood’s book is inspirational, no doubt, and leads to some interesting questions about how one person can change the world with the right understanding of how to work the hegemony. I enjoyed the book and I appreciate his efforts. More power to him.
1. Buku ini adalah buku tentang dunia buku. Lebih dari itu, buku ini bercerita bagaimana idea berbagi buku boleh mengubah hidup kanak-kanak yang tidak mampu membeli buku.
2. Buku ini memutar semula memori saya semasa kecil, yang sering berkunjung ke perpustakaan. Buku-buku di situlah yang telah menjadikan saya pembaca yang tegar.
3. Membaca buku ini buat mata saya sering tergenang. Saya terfikir tentang koleksi buku milik saya yang menimbun tetapi hanya mendatangkan kebaikan dan keuntungan buat diri saya seorang. Di masa yang sama, ada kanak-kanak yang tidak berpeluang untuk untuk membaca buku, malah tidak bersekolah langsung. Sampai hati kita, menambun buku di saat ada insan yang tidak mampu membeli hatta sebuah buku.
4. Buku ini diterjemahkan oleh sahabat saya yang juga seorang pencinta buku tegar, Iskandar Syah Ismail atau drbubbles. Sahabat yang saya kenal lama di blog. Iskandar telah memulakan inisiatif mengumpul dana untuk mendirikan perpustakaan di rumah anak-anak yatim. Inisiatif yang bermula kecil ternyata telah memberikan kesan yang bermakan kepada anak-anak yatim di berpuluh tempat di seluruh negara. Rupanya, buku inilah yang telah menjadi pendorong beliau untuk melakukan demikian.
5. John Wood, penulis buku ini adalah tokoh yang bikin saya jadi kagum. Seorang eksekutif yang sudah di puncak kerjaya, bekerja di organisasi impian ramai iaitu Microsoftt. Beliau mengambil tindakan nekad berhenti kerja lalu menumpukan sepenuh tenaga dan masa untuk kerja amal.
Saya bagi 5 bintang untuk pesanan, dorongan, motivasi, kesedaran dan kerja amal yang memberi cahaya buat anak-anak pewaris masa depan.
Alhamdulillah. Finally finished the book I started in 2021😬
"If you are thinking about making some adjustments in your life to allow you to help change the world, my heartfelt recommendation is not to spend too much time thinking about it. Just dive in."
Dec 2023: Leaving Microsoft to Change the World
The author, John Wood trekked in Nepal and was surprised by the condition of the library in one of the schools he visited. The books were locked up simply because the books were precious and the teachers did not want to risk the children damaging the books.
After the visit, he started collecting books to send to Nepal. The response he got was overwhelming. Eventually, considering his heart was not in his career anymore, he decided to resign from his managerial position. At some point in life, we may question our role and responsibility to others.
He started Room To Read, an NGO that provides books and builds schools and scholarships for girls in developing countries. He fulfilled his promise to Nepal and later on to other countries as well.
The author mentioned that the rise in social entrepreneurship and increased focus on CSR fueled his effort but I think he is also blessed with:
📕Passion for education 📕Self-confidence 📕Financially sound 📕Network
Not so many hurtful occasions were shared except at one point, his life was a mess. Then, because he believed so much in low overhead, his life was not sorted properly. He was upset by Cambridge residents and the bureaucracy he and his team had to face in India.
This book will motivate those in NGOs, to do charity with burning passion just like the author. I like how he adapted his Microsoft corporate experience and management style in initiating Room to Read.
Perhaps the method of fundraising has evolved today but Room to Read is still there. I visited the Room to Read website and there is a free ebook 'A Plane That Brings Love' you can download, specially written for refugees in Jordan.
I was uncertain when the author met Ben Shapiro and he commented on the US delay in providing schools to war-torn Afghanistan which ended with Saudi and Iran helping to build an anti-western syllabus school. And when Bookseller of Kabul is mentioned, I have more doubts but I know further reads are needed.
Reading this book made me appreciate John Woods's efforts. His dedication to providing education to change the world is applauded. I hope the passion for education runs alive in everyone under the name of humanity. I condemn today's bombing of the books, schools and children which totally contrasts with his action.
Menginspirasikan. Seronok baca bagaimana tersusunnya organisasi Room to Read ini. Mereka tidak "menjual" kemiskinan untuk mendapat dana kerana ia menjatuhkan maruah orang miskin, sebaliknya memaparkan hasil-hasil yang berjaya dicapai daripada dana yang didermakan. Lalu menjadi motivasi kepada lebih ramai lagi untuk menderma. Sesuai dibaca oleh semua orang terutama pemilik NGO.
Dan sebenarnya, ramai saja para hartawan yang sangat dermawan dan berhati mulia.
From a librarian's perspective, this is a little disappointing because of the lack of specific details about the Room to Read libraries, their patrons and their local staff. To a cynical person, the book will eventually become tedious because of the relentlessly optimistic and heartwarming tone. (To give the author credit, he is honest about his personal doubts and struggles with his decision to leave his lucrative job and work for four years without a salary to improve literacy in rural Asia. But the stories from the field could have been cut and pasted from his annual reports. Weren't any of the schools or libraries burned to the ground by heathen guerillas or taken over by religious zealots? Out of thousands, one or two must have met a miserable fate) Most normal people, however, will love it, recommend it to all of their friends, and donate money to Room to Read the same day they finish it.
1/ Buku setebal 468 muka surat ini adalah edisi terjemahan terbitan Jejak Tarbiah. Terjemahan yang baik. Ada juga dua tiga ayat yang sedikit ganjil dan kesalahan ejaan, tapi tak mencacatkan pembacaan secara keseluruhan. Gaya penceritaan pun menarik, tak membosankan. Seperti novel yang baik, kita seolah-olah berada bersama penulis yang ligat ke sana ke sini.
2/ Buku ini catatan John Wood, lelaki yang bersemangat waja mahu mengubah dunia (pendidikan) di negara-negara miskin dan membangun, dengan meninggalkan kemewahan, keselesaan dan pangkat yang dinikmati di Microsoft.
3/ Hanya bermula dengan pelawaan spontan seorang lelaki bernama Puspathi pergi menziarahi sebuah sekolah di Nepal, John nekad untuk membantu dan di situlah titik mula penubuhan Room To Read, sebuah NGO antarabangsa yang mahu membantu pembinaan sekolah dan perpustakaan di Nepal, selanjutnya Vietnam, India, Sri Lanka, Cambodia dan beberapa negara lagi.
4/ John benar-benar memberi komitmen dalam usaha murni ini, sehinggakan banyak pengorbanan masa, tenaga, harta diguna tanpa sebarang balasan material. Peruntukan 10% daripada jumlah dana yang diperoleh oleh NGO, boleh digunakan untuk urusan pentadbiran (gaji, sewa, dll), tapi John memilih untuk meminimumkan penggunaannya sebanyak mungkin. Haih, memang ciri-ciri 'pengurusan Islamik' yang teori, benar-benar dilaksanakan oleh John.
5/ Tak hairanlah Room To Read berjaya berkembang dengan pesat dalam tempoh beberapa tahun saja.
6/ Oh ya, selain sekolah dan perpustakaan, RTR juga mengusahakan biasiswa untuk pelajar perempuan agar mendapat pendidikan yang sewajarnya. Pemahaman bahawa ilmu lebih cepat tersebar (disebabkan hukum biologi wanita melahirkan dan juga peranan wanita dalam membesarkan keluarga) sangat membuka mata. Usaha ini memang serius dan patut disokong.
7/ Selain cerita penubuhan RTR dan usaha mengutip sumbangan, buku ini juga secara tidak langsung memberi inspirasi berdasarkan kisah hidup peribadi John sendiri.
8/ Saya suka dengan perangai John yang suka mencatat (jurnal), dimana saya masih gagal untuk menjadikannya sebagai rutin harian. Mencatat akan membuatkan kita lebih jelas dengan perancangan.
9/ Dialog antara John dan ayahnya semasa mencari sokongan sebelum meletak jawatan di Microsoft, sangat mengesankan. Ayah John memberi penyataan ringkas, "keutamaan hidup kamu sudah berubah, itu sahaja".
10/ Buku ini mengingatkan saya buku Travelog Haji tulisan Prof Muhd Kamil Ibrahim dan buku Titil Nol oleh Agustinus Wibowo. Buku yang menceritakan perjalanan hidup dan kejadian-kejadian yang memberi makna dalam mencari perubahan atau hala tuju seterusnya.
Sebuah buku yang sangat berbaloi dibaca, dirasai dan difahami untuk mereka yang mahu mencari pengukuhan dalam kehidupan yang lebih bermakna.
If you're looking for a book about how to run an effective non-profit, or how to fundraise effectively for a non-profit organization, this book is for you. However, I picked it up looking for a great book about the lack of education in developing nations, why we should be concerened about that, and what we can do about it. In comparison, I really enjoyed reading "Three Cups of Tea", which made the educational issues in Pakistan (and its culture) come alive for me. I thought this might be a similar story, but it's not.
The author of this book focuses on his own life, his success at Microsoft, and how he has built a successful non-profit organization. While he is certainly having an amazing, powerful impact on global education, I was looking for a story about the issues his organization is trying to address. He spends hardly any time in the book explaining the issues, telling stories about the great need, helping us understand these issues and other cultures, etc. He doesn't even seem to deeply connect with the people he is trying to help. He is clearly very concerned, but doesn't seem deeply connected with their daily lives, heartbreaks, etc. He spends most of his time living in the U.S. building the organization and fundraising, and very little time getting to know the people who can help him understand the issues. He hires local people in each country to do that for him.
Again, I admire all he has done, but I was looking for a different kind of book to read. I wanted to walk away from the book feeling like I really understood the plight of poor people in Nepal, what it's like for parents who can't afford an education for their children, what it's like for kids to grow up with no schooling, no books, etc.
So I much preferred reading "Three Cups of Tea", and how the author really invested himself in caring for the people of Pakistan and spending lots of time with them, understanding their world, and then communicating that to us.
Kudos for John Wood for his success, but don't read this book if you want another "Three Cups of Tea" experience.
If there is only one book you are going to read this year please make this the one. In describing his Odyssey to educate the World's CHildren John Wood tells of his gut wrenching experiences in SOuth East Asia, his decision to give up his blossoming career with Microsoft, and his founding of the "Room to Read," an organization whose mandate is simple - build schools and set up libraries so that the poorest of the poor may get an education. There were numerous occasions during my reading of this book when I was teary eyed. Please, I urge you to read this book
Siapa dapat sangka bahawa suatu hari jalan hidup yang kita biasa lalui akan berubah 100%. Begitulah yang terjadi pada John Wood penulis buku Leaving Microsoft to Change The World yang pernah memangku jawatan tertinggi di syarikat terkenal dunia iaitu Microsoft. Dengan hanya satu pengembaraan secara backpacker di Nepal, penulis berjumpa dengan seorang guru sebuah kampung di banjaran Himalaya untuk melihat kehidupan kanak-kanak sekolah yang terpaksa menunggu giliran untuk belajar di bilik darjah, buku-buku yang terpaksa disimpan dan dikunci dalam almari, kuantiti buku pula sangat sedikit tidak padan dengan kuantiti murid (itupun melalui sumbangan pengembara) dan peratusan penduduk yang boleh membaca sangatlah rendah berbanding negara membangun lain.
Daripada pengalaman itulah penulis membuat keputusan besar dalam hidupnya dengan meletak jawatan sebagai Pengarah Pembangunan Microsoft lalu menubuhkam satu badan organisasi NGO dinamakan Room to Read bagi menyumbang buku-buku di perpustakaan sekolah (objektif awal), membina sekolah, dan memberi biasiswa untuk murid-murid yang susah. Siapa sanggup untuk meninggalkan 'kerusi empuk' yang bertahun-tahun lamanya kita duduk? Dengan pendapatan yang besar, rumah pula ditanggung syarikat, ada pula pemandu sendiri, dan pekerjaan pula sentiasa memerlukan outstation (kerja luar) antara negara, satu keputusan yang cukup berat untuk seseorang itu lakukan.
Buku ini menyedarkan bahawa masih ramai lagi yang tidak dapat menikmati kemudahan seperti apa yang orang lain kecapi seperti kemudahan perpustakaan, adanya pengeluaran buku yang sentiasa ditunggu-tunggu oleh pembaca, kemudahan sekolah yang lengkap tanpa perlu berkongsi bilik darjah dan sebagainya. Mereka ini bukannya tidak mahu bersekolah, membaca, mengubah hidup, malah mereka sentiasa mengharapkan kejaiban pendidikan mampu mengubah status hidup, cumanya tidak ada ruang dan peluang untuk memeluk mimpi tersebut.
This book is about a Microsoft executive who is trekking in Nepal on vacation when he is invited to visit a local school. He is shocked by the conditions of the school and specifically the library - which has about 7 books locked up in a cabinet. He pledges to return with books for this school in the future. Thus begins his journey of quitting his job at Microsoft to start a non-profit that builds schools and libraries in third world countries.
Again, this is a fascinating study of an amazingly driven person. One of the most interesting parts was watching him basically recreate his job at Microsoft (all of the travel, stress and pressure) in his own non-profit. For him, I think he feels that he is doing something of much more importance, but the similarities in how he approaches both jobs is very interesting. Some of us see injustice and feel sad about it, and some of us see injustice and decide to create multimillion dollar organizations to address it. There are few people in the world like this guy - he is a true visionary.
John Wood, the author of this book, founded a non-governmental organization called Room to Read to bring books and literacy to children beginning in Nepal and quickly spreading to other countries. Readers of the book Three Cups of Tea (about Greg Mortenson) may try to compare Mortenson and Wood's similar efforts, but I suggest resisting that impulse as much as possible while reading. Wood and Mortenson both reveal something of their personal histories, turning points, and passion to make a difference. Wood comes from a background in the cooperate world whereas Mortenson begins as a son of a missionary in Africa who gets swept into the climbing world and then building schools. Wood's entry is specific: books, libraries, and literacy before his expansion into building schools and providing scholarships, especially for girls, a la Mortenson's Central Asia Institute. What sets this book apart is the way skilled business thinking used in Microsoft and other corporate settings influenced Wood's successful approach and was applied to Room to Read.
John Wood had a top marketing job with Microsoft which entailed long hours and lots of travel. For vacation one year, he went backpacking in the Himalayas in Nepal. A chance meeting with a gentleman at a café led to an invitation to join him as he visited one of the regional schools. John had always had a love for reading and education and jumped at the chance. What he saw was a rural school with too many children for the space, limited resources, and what few books there were (backpacker castoffs) were kept locked in a file cabinet. John found himself vowing to return with children's books the kids could read. He set a modest goal of 100 books and ended with thousands. It also ignited a passion in him for education in the developing world and led to his leaving his job with Microsoft and founding Room to Read, a non-profit that creates libraries and science labs along with funding long term scholarships for girls in the developing world. This was a goodreads suggestion because of other things I've read and was purchased through Amazon as no library system around me owned it. A feel-good account of an entrepreneur who sees a need and sets out to find a way to meet it. In this case, he took his business training background and lessons learned from Microsoft to establish something which has had tremendous success with even loftier goals. What started in Nepal has branched out to nine other countries. https://www.roomtoread.org/ I enjoyed this because it shares the struggles of wanting to do something and making it happen and isn't just success stories of here's-what-I-did. The one struggle for me was that after the talk of taking the books to the first school and going back to Microsoft and wrestling with working there, suddenly I read that there were several new schools funded and books in additional libraries. It took a jump that caught me by surprise as I hadn't realized he was beginning work on that while still at Microsoft. I admire his recognition of where his passion lay and having the guts to walk through the times of uncertainty to make it all happen.
I read this book twice. The first time I devoured it. The second time I kept coming back to it and chewed one chapter after another. People are not wrong when they say a book reread doesnt feel like one that's read once.
Anyway, I really look up to him, an unsung hero with a heart of gold. The future of this world owes people like him a big *Thank you*
Besides his courage to walk out of a great position on a mega-cap company, the fact that he didn't - for a snapping moment - enjoy his life in China, gave up the love of his life, fought against his whack-a-mole doubts, or disuade his burning desire to own a private home, etc. build up an image of Saint. John Wood in me.
I was wondering about Vu - the Vietnamese guy who somehow helped John decide that Vietnam is his next Destination - who he is and where he is now.
I learned that Charity is not always a rewarding and satisfying thing to do. In fact, it's as stressful as any job in this world. Running a profit organization might have less work in some cases. Running an NGO, you need more than just hard work, dedication, a big heart and a sharp brain.
When he was coming to the end of this book and telling us all about all the trade-offs he had to compromise looking back at the age of 40 in 2004, I was wishing I could do something for him - something deep that I couldn't name but knew extremely necessary. I immediately went online and found myself filled with gratitude getting to know he had found an understanding life partner.
He is my God Value (in the words or Mark Mason). This world needs more John Wood.
John Wood quite an amazing job at Microsoft to make the world a better place by providing books to children around the world. His efforts have built hundreds of libraries and provided scholarships to school...not college, but primary and secondary school...to thousands. His love of reading as a child motivated him to help make sure that children in Nepal, Vietnam, South Africa, and India could get an education and make better lives.
I was very moved by his story of what parents and communities were willing to do when they had a chance to see a library built in their school. In one Nepali village, the cement for building was donated by the local rock crushing company, but there was no transport. The women of the village volunteered to carry the bags of cement ON THEIR BACK up the steep mountain to the village each morning before they went to do their daily work.
This book underlines the saying, "There is no difference between the man who can't read and the man who won't read" and also highlights how ignorant we are of the privileges we enjoy. I bought this book for under a dollar at a thrift store...someone in Nepal had to carry building materials up a mountain so their child could learn to read it.
It's back to school time, which consumes our brains with thoughts of school supplies and uniforms or back to school clothes. We wonder who got which teacher and who will be in whose class. But, it's not like that for everyone. It's not like that around the world. John Wood was a senior exec at Microsoft. A trekking trip to Nepal changed his perception of life - changed his life, and the lives of so many others. "Perhaps sir, you'll someday come back with books." Was a plea from a headmaster at a school with an empty library John met on his travels. He promised he would return with books. John Wood kept his promise. This is the story of how he left his fast-paced life to bring books and libraries to children who had never had the priveledge of either. Ten years later, John's organization, Room to Read www.roomtoread.org , has helped over 985,000 children around the world gain access to 9.4 million books, 11,246 libraries and 1442 schools. Now that's a happy ending, only it's not an ending, just a beginning. His story is eye-opening and inspiring. As you plan for back to school, whisper a prayer of thanks for the schools, buildings and books you and/or your children have access to. Shout a prayer for John Wood and his work and for all of those who have not.
I guess it's sort of an interesting story--guy leaves high-paying job at Microsoft in order to start a charity that builds schools and libraries in 3rd-world countries (first Nepal, then Vietnam, then Sri Lanka and other places affected by the Tsunami). There are two big flaws. One is that he really can't write very well. It all feels like it's high-school essay level. Stunted, cliche-filled, etc. The other is that it feels like he always has to be relentlessly positive; after all, he's still trying to raise money. A couple of interesting insights about his interactions with Gates (which go poorly in his last job of trying to convince Chinese to 'buy into' Microsoft) and Ballmer (which sound awful in Ballmer's demanding-ness, but whom Wood seems to admire a great deal). He goes on and on about his belief that charities need more of a business-like approach: a workable business plan, for example. (Though it comes off as less like a belief and more like an 'obvious fact' the way he presents it.) That made me feel just a bit oogy.
John Wood was working for Microsoft when he took a trip to Nepal only to discover the lack of books/libraries in the schools there. Being an avid reader since he was a kid, he promised to return in a year with books for the school. It didn’t take long before he became so passionate about it, that he quit his job and started up what later became Room to Read in order to help developing countries build schools and libraries. This was later extended to grant scholarships to be sure girls would complete their schooling, as well. Room to Read has also expanded beyond Nepal into a number of other (mostly Asian) countries.
This was good. He obviously loves what he does and it’s amazing how quickly Room to Read grew and how many countries it now helps. The first half of the book includes parallels and how working at Microsoft helped him start up this small non-profit. In the second half, he tells more stories of some of the kids who were/are personally impacted by the schools, and particularly some of the girls who have been granted scholarships.
I can’t say enough good things about this book, the author, and what his organization is doing. I was fortunate enough to hear the author, John Wood, deliver the keynote address at the Public Library Association conference last month. He is a dynamic speaker and his passion for this topic had me wanting to make a donation on the spot.
The book covers how he started Room to Read and also his entrepreneurial lessons learned from Microsoft and how he applied them to his nonprofit organization. It’s both a memoir and a good look at running a non-profit organization. It’s also quite inspiring. I highly recommend it to everyone. Please check out his organization to learn more of the important work he is doing in developing nations to educate children.
I still remember the time I finished reading this book. It was late night and i was so inspired by John wood's work. I felt like there are so many things out there in the world which we could pursue rather than getting stuck in a conservative 9-5 job. Immediately i started making a plan A, B, C, D as John did while leaving Microsoft, and wrote a resignation letter to my IT company where i was working from two years.
After a few days I headed to a long trip to Himalayas and never looked back.
That was one of the best and adventurous experience of my life.
Có lẽ mục tiêu muốn thay đổi cuộc đời, mong đem lại những điều tốt đẹp hơn cho thế giới này không phải là mơ ước của một mình John Wood, nhưng dám từ bỏ công việc và cuộc sống an toàn, thoải mái hiện có để đánh đổi lấy một tương lai bấp bênh thì lại là câu chuyện khác. Câu chuyện của John hấp dẫn không chỉ vì những kết quả to lớn đã đạt được, đó còn là câu chuyện về những mảnh đời, những vùng đất, những ước mơ được vun đắp thông qua John và tổ chức của anh. Ngoài ra, các bài học kinh doanh sau những năm tháng làm việc tại Microsoft cũng là một phần quý giá trong câu chuyện để đưa tổ chức Room to Read trở nên lớn mạnh và là một doanh nghiệp xã hội hình mẫu như hiện nay.
This was incredible - his passion and determination, and how he was able to connect with wealthy donors and fundraisers, the how quickly his organization grew all over the world. And it's all supporting such a great mission. This book was published about 15 years ago and it looks like Rooms to Read continues to thrive and flourish, which makes my heart so happy.
Sebagai penggila buku, tentunya akan sangat berbahagia menerima buku ini sebagai hadiah. Kebetulna ada kerabat yang beres-beres rumah dan menghibahkan banyak buku ke saya. Salah satunya buku ini.
Dilain sisi, agak sedih juga, karena buku ini dibeli karena merupakan buku bacaan wajib ketika beliau tergabung dalam salah satu ML.
Bagi saya, semangat tokoh dalam buku ini untuk menggiatkan literasi dengan membangun Room to Read layak diacungi jempol. Dengan membaca, seseorang akan mendapat tambahan wawasan, memiliki cara pandang yang berbeda.
Bagaimana banyak pihak yang bersedia ikut berpartisipasi menandakan bahwa masih banyak orang yang peduli akan kegiatan membaca buku. Saat ini, mungkin sudah mulai bergeser dengan membaca digital. Apapun itu, intinya akses untuk membaca kian terbuka.
Sementara bagi pemberi buku, dari obrolan singkat, beliau merasa kagum akan sosok dalam buku ini karena bersedia melepaskan pekerjaan yang menjanjikan demi sesuatu yang lebih besar. Ia tak takut kekurangan uang hidup karena sudah mencapai kebebasan finansial. Hadeh beda banget dengan saya.
Apapun itu, buku ini layak dibaca dan yang dilalukan sang tokoh layak diapresiasi.
Siang dan malam saya memberi fokus terhadap bacaan versi terjemahan Leaving Microsoft ini.
Akhirnya saya berjaya menamatkan pembacaan yang membawa saya mengembara ke Himalaya, Vietnam, Kemboja, San Francisco dan pelbagai lagi tempat menerusi selakan setiap halaman.
Saya tertarik untuk meneruskan bacaan kerana usai membaca bab pendahuluan, hati saya tersentuh dengan situasi kemiskinan yang melibatkan kekangan ilmu dalam kalangan penduduk Nepal.
Terjentik hati saya untuk sentiasa menghargai peluang dan ruang yang ada untuk membaca buku dan memiliki buku.
Kisah John Wood bukan memberi perspektif makna dalam kehidupan—iaitu memberi. Melalui Room to Read, beliau membuktikan bahawa perubahan bukan hanya tentang impian besar, tetapi tentang tindakan kecil yang konsisten. Buku ini mengingatkan saya bahawa literasi hak yang sepatutnya dinikmati oleh semua.
Membaca buku ini membuatkan saya merenung semula hubungan saya dengan buku—betapa nikmatnya dapat membaca tanpa sekatan, memiliki buku dan memilih bahan bacaan tanpa kekangan. Disamping itu, ia juga menyalakan semula semangat untuk berkongsi ilmu dan menyebarkan manfaat kepada mereka yang memerlukan.
Sebuah bacaan yang hebat dengan mengajak para pembaca melihat dunia dengan mata yang lebih terbuka.
Gambaran dan ulasan perasaan nikmat membaca dan mempunyai pendidikan dihurai dengan cukup sempurna. Dengan membaca, kita boleh tembus ke pelbagai jenis ilmu pengetahuan yang tersimpan di dunia ini.
Bagaimana boleh hidup tanpa membaca? Bagaimana boleh hidup tanpa pendidikan? Apatah lagi, bagaimana kanak-kanak boleh hidup tanpa buku?
Pengalaman John Wood bukan sahaja menceritakan tentang kedaifan pendidikan di negara2 membangun, beliau turut menceritakan behind the scenes membangunkan Room To Read. Pengalaman mencari dana, menguruskan pasukannya dan mengembangkan lagi Room to Read ke pelbagai negara. Menguruskan badan kebajikan bukanlah mudah. Tetap perlu ada mindset entrepreneur untuk memastikan pertubuhan itu sustain dan terus berkembang. Segala nilai dan attitude sepanjang bekerja di Microsoft, diterapkan semula dalam Room to Read untuk mengukuhkan pembinaan Room to Read.
Bagi saya pengalaman John Wood membawa kita mendalami kepentingan membaca, pendidikan, keusahawanan dan amal kebajikan.
Buku LEAVING MICROSOFT TO CHANGE THE WORLD. Bilangan halaman : 468 halaman. Mula dibaca : Ahad, 28 April 2024. Tamat dibaca : Ahad, 2 Jun 2024.
Sebut saja negara Nepal, pasti akan terbayang panorama gunung-ganangnya yang sungguh memukau mata termasuklah gunung tertinggi di dunia iaitu Gunung Everest. Di sebalik segala kecantikan itu, Nepal juga antara negara termiskin di dunia yang turut memberi kesan terhadap kadar buta huruf iaitu sebanyak 70% dan 2/3 daripadanya adalah kaum wanita.
Fasiliti pendidikan di sana sangat daif hinggakan sebuah kelas begitu sesak dengan murid. Sebuah buku teks pula dikongsi2 3 orang murid. Perpustakaannya pula kosong dan berkunci, cuma ada beberapa buku yang tidak sesuai untuk bacaan kanak-kanak yang mungkin disumbangkan pengembara lain.
Penulis buku ini, John Wood merupakan seorang pengarah pemasaran yang bertugas di Microsoft. Walaupun pendapatannya lumayan dan banyak lagi kelebihan lain, kesibukan John membuatkannya berasa tidak bahagia. Semakin lama semakin dia mencari makna hidup yang sebenar.
Sebuah pengembaraan ke Nepal telah membuatkan John 'jatuh cinta' dengan suasananya yang nyaman, udara yang segar dan warganya yang ramah, kemudian mengubah 100% hala tuju hidupnya. Menyedari betapa pentingnya amalan membaca dan peluang pendidikan buat kanak-kanak, John memulakan projek mengumpul dan menghantar buku-buku berbahasa Inggeris yang sesuai untuk bacaan kanak-kanak di Nepal. Bermula dari projek yang mendapat sambutan memberangsangkan ini, John memilih untuk mengejar apa yang dicari selama ini di dalam hidupnya.
Selepas melalui beberapa pertimbangan yang sukar, John memilih untuk meninggalkan segala kemewahan hidup dan mula menubuhkan sebuah NGO yang diberi nama Room To Read. Lumrah orang hebat yang tidak puas sekadar mengecapi kejayaan kecil dan atas usaha gigih tanpa mengenal erti mengalah, John dan pasukannya terus melebarkan sayap Room To Read ke beberapa negara seperti Vietnam, Kemboja, India dan Sri Lanka. Bermula dari sebuah perpustakaan di Nepal, Room To Read berjaya membina 2300 buah perpustakaan, 200 buah sekolah, 50 makmal komputer dan 1700 biasiswa jangka panjang buat pelajar perempuan di seluruh negara-negara tadi.
Secara jujur, buku ini sedikit berat bagi aku dan aku megambil masa yang agak lama untuk menghabiskannya. Mungkin kerana aku tak biasa dengan pembacaan berkenaan dunia korporat. Tetapi banyak juga kebaikan yang dapat aku cungkil dan terapkan dalam hidup dari buku ini contohnya pemahaman penulis terhadap kepentingan membaca buku dan tidak meninggalkan amalan membaca walau sedang bercuti di kawasan terpencil di dunia.
Penulis juga seorang yang tidak gemar bersembang berkenaan masalah dan lebih suka mencari peluang dan penyelesaian di sebalik masalah yang dihadapi. Setiap hari penulis akan peruntukkan masa selama sejam untuk menulis jurnal yang berisi huraian terhadap isi kandungan buku yang dibacanya atau idea-idea yang diperolehi dari pengembaraannya ke tempat orang. Seperti kata pepatah, orang bijak berbicara mengenai idea dan gagasan.
Bab paling buat aku terkesan sepanjang pembacaan buku ini adalah kisah seorang remaja Vietnam yang masih bersekolah dan mencari pendapatan sampingan untuk membiayai yuran kelas komputer dengan bekerja di hotel. Beliau begitu gigih bekerja dan menggali ilmu tanpa kenal putus asa. Di sebalik itu, beliau berimpian untuk mempelajari bahasa Inggeris, Jepun dan Perancis kerana beliau sedar dengan ilmu, beliau bukan saja mampu meneroka peluang kehidupan yang lebih baik tetapi dapat membantu membangunkan negaranya yang sekian lama mundur akibat peperangan.
Kagum dengan semangat remaja ini, John menghulurkan sedikit sumbangan kewangan dan beberapa tahun kemudian, remaja tadi berjaya dalam pelajaran dan bertugas sebagai kolumnis I.T di akhbar, tenaga pengajar bahasa asing buat para pekerja stesen keretapi dan kemudiannya dalam usaha menyambung pelajaran dalam jurusan kejuruteraan perisian.
Berbekalkan pengalamannya bertugas di Microsoft, serba sedikit penulis turut berkongsi panduan menubuhkan NGO, menguruskan organisasi dan tips menghadiri temu ramah dalam mencari pekerjaan. Ternyata membangunkan NGO tidak semudah menjual air liur. Pertama sekali, NGO perlu mempunyai sumber kewangan yang besar dan kukuh untuk melaksanakan sebarang projek yang dirancang. Tiada duit, tiadalah projek.
John tidak kenal penat berusaha mencari dana, sanggup terbang ke sana ke mari meyakinkan bakal penyumbang bahawa sebahagian besar dana disalurkan terus kepada projek yang dilaksanakan dan memberikan bukti konkrit mengenai perkembangan projek melalui pembentangan slaid serta memasukkan segala info berkenaan usaha kebajikan dalam laman web Room To Read.
Room To Read juga sentiasa memastikan organisasi mereka beroperasi dengan kos yang rendah, di mana dana tidak dibazirkan sewenang-wenangnya hinggakan John sendiri sering menaiki penerbangan kelas biasa setiap kali menghadiri sebarang aktiviti dan tidak memiliki sebarang kenderaan yang sesuai digunakan untuk lawatan di kawasan terpencil seperti di Nepal. Dana turut dimanfaatkan sebaiknya dengan menggaji staf yang pintar dan mampu menyumbang pelbagai idea bernas.
Sebuah organisasi yang cekap beroperasi bermula dari persekitaran kerja yang harmoni. Majikan perlu mencipta suasana kerja yang menyeronokkan, ramah dengan semua staf tanpa mengira jawatan, menjaga kebajikan pekerja, mengamalkan konsep pencapaian berpasukan dan menerapkan konsep perdebatan secara terbuka di mana sebarang keputusan bukan hanya diputuskan oleh seorang ketua tetapi keputusan yang telah disepakati semua pihak.
Organisasi akan goyah apabila ada di kalangan staf atau ketua sendiri yang mengalami penyakit hati dan sentiasa menganggap semua orang bermasalah padahal dirinya sendiri yang toksik. Lebih parah apabila ketua tidak mampu mengendalikan konflik dengan baik dan memilih untuk menikus demi menjaga periuk nasi sendiri.
Mana-mana sektor pekerjaan sekalipun, kita akan jumpa majikan atau ketua yang tak menyenangkan hati kita. Yang mereka mahu hanyalah pencapaian. Begitu juga John yang turut menulis berkenaan rasa tidak senangnya dengan Bill Gates yang keras kepala dan tidak mahu menerima pandangan staf tetapi ada juga diselitkan berkenaan pegawai atasannya yang lain iaitu Steve Ballmer yang nampak menjengkelkan tetapi tidak kekok beramah mesra malah mengambil berat terhadap stafnya.
John berpendapat dalam usaha meyakinkan bakal penyumbang, sesebuah NGO tidak wajar menggunakan teknik rayuan sumbangan dengan memaparkan imej komuniti miskin dalam keadaan menyayat hati seterusnya menjatuhkan maruah mereka. Kalau kita perasan, teknik seperti ini sering digunakan NGO tempatan dalam usaha meraih dana dan ia sesuatu yang perlu diperbetulkan, ditambah pula orang kita ni mudah bersimpati.
Agak menarik model sumbangan dana yang ditawarkan Room To Read kepada komuniti yang memerlukan bantuan fasiliti pendidikan di mana mereka membiayai separuh dari projek dan separuh lagi dari sumbangan komuniti tempatan sama ada dalam bentuk wang tunai atau sumbangan tenaga kerja. Lebih menarik, orang kampung menyumbang tenaga secara sukarela. Pengajaranya, manusia takkan menghargai sesuatu yang begitu mudah diperolehi secara percuma tanpa perlu bersusah-payah.
Apabila manusia merasai kepayahan demi untuk memiliki sesuatu, manusia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Mungkin model seperti ini perlu diterapkan di dalam negara kita. Nak kawasan perumahan sentiasa bersih, para penduduk diwajibkan bergotong-royong seminggu sekali, bukan semata-mata mengharap pihak syarikat pembersihan dengan alasan kita dah bayar cukai. Rumah sendiri, kemaslah sendiri.
Penulis turut mengongsikan panduan mencari kerja berdasarkan pengalamannya semasa memohon kerja di Microsoft yang kemudian diterapkan dalam Room To Read iaitu pemohon perlu mengulangkaji dan menggali segala maklumat berkaitan latar belakang syarikat dan skop kerja dari jawatan yang dipohon. Pemohon juga perlu menunjukkan minat dan semangat untuk sama-sama membantu syarikat mencapai matlamatnya.
Walaupun sistem pendidikan negara kita banyak masalah dan jauh dari kualiti pendidikan negara maju, sekurang-kurangnya kita hargai kemudahan pendidikan yang kita kecapi hari ini. Ambillah iktibar dari keruntuhan sistem pendidikan di negara miskin dan dilanda perang. Betapa sukarnya untuk mereka bangkit kembali dan sudahnya rakyat yang sengsara. Masalah buta huruf dan tidak dapat bersekolah akibat bermacam faktor jangan sesekali dipandang enteng.
Lihat juga bagaimana negara India yang masih mengamalkan sistem jahiliyyah seperti taksub kasta dan meremehkan kaum wanita dengan beranggapan wanita tak layak bersekolah berbanding lelaki. Lihat juga Sri Lanka yang masih berhadapan dengan pengganas LTTE. Kawasan yang dikuasai pengganas sangat sukar menerima bantuan kerajaan yang turut memberi kesan kepada pendidikan. Itu pun ada pihak yang cuba menghidupkan ideologi pengganas di negara kita yang tercinta ini. Waspadalah, jangan mudah termakan umpan.
Cuma ada 1 bab dalam buku ini yang agak kontroversi berkenaan pandangan penulis terhadap peristiwa 9 / 11. Aku takkan setuju dengan pandangan penulis.
Dari buku ini aku belajar apa itu quid pro quo. Kira macam memberi sesuatu kerana ada kepentingan. Macam perangai orang kita juga, melayan orang dengan baik kerana mahukan sesuatu sebagai imbalan. Jika tiada kepentingan maka akan terserlah wajah sebenar seseorang itu.
Rumusan keseluruhan yang aku dapat dari buku ini, isilah masa kita yang terhad ini dengan kebaikan sebanyak-banyaknya. Perbaiki dan tambah kualiti amal ibadat, tambah ilmu dan tajamkan akal dengan banyak membaca, ringankan tulang membantu masyarakat dan bekerja gigih dengan penuh bersemangat. Keluarlah dari stigma 'work-life balance' kerana sepanjang hidup ini adalah untuk bekerja menanam benih yang kita akan tuai manfaatnya selepas kita mati nanti.
Orang Islam patut berasa malu apabila membaca buku ini. Kerana kita tak faham apa makna Islam yang sebenar. Sepatutnya kita yang perlu berganding bahu, bekerja tanpa mengenal erti penat untuk menyebarkan dakwah Islam, salah satunya melalui pembangunan sistem pendidikan. Umat Islam adalah umat yang perlu terus-menerus menguasai pelbagai bidang termasuk teknologi komputer ditambah pula sekarang ini kita bersaing dengan A.I.
Jika kita duduk diam dan tak sudah-sudah dengan teori konspirasi yang tiada asas, kelompongan ini akan diisi oleh orang kafir. Sampai bila kita nak jadi pengguna sedangkan kita berupaya menjadi pembangun?
-Ramai orang kaya yang sanggup membazir untuk membeli barang mewah tapi keberatan untuk menyumbang demi kebaikan orang lain.-
awalnya, seorang lelaki jutawan yang bekerja di Microsoft bernama John Wood, hanya bermaksud berlibur melepas penat kerja di kantornya. jiwa petualangnya membuat ia memilih mendaki gunung Himalaya.
Namun, saat ia sedang beristirahat di sebuah kedai dibalur cuaca yang dingin, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Pasupathi, yang bekerja bagi pemerintah Propinsi Lamjung, Nepal untuk mencari sumber dana bagi 17 sekolah di propinsi pedalaman ini (hal: 5). dalam pertemuan itu, Pasupathi banyak bercerita mengenai pendidikan anak-anak propinsi yang menjadi tanggung jawabnya itu. mulai dari potensi anak-anak di kampun itu, hingga kemiskinan yang membuat pendidikan di sana menjadi serba kekurangan.
kecintaan John Wood terhadap pendidikan, yang merupakan warisan dari orang tuanya, membuatnya mengganti jalur liburannya. ia memutuskan kembali bertemu Pasupathi esok pagi untuk berjalan kaki selama tiga jam menuju propinsi Lamjung. John Wood ingin melihat kondisi sekolah di propinsi itu. Tanpa disadari olehnya, kunjungan inilah yang kelak akan merubah jalur hidupnya.
esok harinya, dalam kunjungan ke sekolah, John Wood terhenyak melihat betapa memprihatinkan kondisi pendidikan di sana. khususnya ketika ia melihat kondisi perpustakaan yang hanya diisi beberapa buku saja. terlebih lagi, buku-buku itu terkurung dalam lemari kaca yang dikunci rapat. kepala sekolah beralasan pihak sekolah tidak ingin buku-buku yang hanya sedikit itu rusak oleh murid yang berjumlah 450 jika lemari kaca itu dibiarkan terbuka. yang akan menyebabkan sekolah benar-benar tidak lagi memiliki buku
seolah memahami kekalutan John Wood, kepala sekolah berujar, "Barangkali, pak, suatu hari anda akan kembali dengan buku-buku" (hal: 13). Jon Wood pun berjanji dihadapan kepala sekolah dan guru-guru di sekolah itu, "saya berjanji, kita akan bertemu lagi" (hal: 15).
petualangan pun dimulai. ia berkirim e-mail kepada rekan-rekannya untuk membantu menyumbangkan buku bagi anak-anak di Nepal. John Wood sebenarnya juga meminta bantuan kepada MIcrosoft, tapi sayangnya ia merasa perusahaan multinasional itu tidak sepenuh hati akan membantu (alasan inilah yang kelak membuat John Wood meninggalkan Microsoft, beserta paket kemewahan di dalamnya).
gayung bersambut. tanpa diduga bantuan mengalir deras. jumlah buku yang berhasil dikumpulkan bahkan mencapai 3000. John lantas kembali ke Nepal, menepati janjinya datang kembali ke sekolah yang pernah dikunjunginya bersama keledai-keledai yang mengangkut karung-karung berisi ribuan buku. ia disambut suka cita oleh penduduk di sana.
keberhasilan mengumpulkan buku itu membuat tekad John Wood semakin bulat untuk terus berjuang membantu pendidikan di daerah tertinggal. suatu hari John Wood dibantu beberapa rekannya memutuskan untuk mendirikan organisasi bernama Room To Read (untuk mengetahui organisasi ini lebih jauh silakan mengakses www.roomtoread.org).
Perjuangan penuh peluh yang dilakoni John Wood bersama rekan-rekannya di Room To Read membuat organisasi ini semakin besar dan membesar. hingga saat ini (2008), ruang kegiatannya sudah melebar hingga ke Vietnam, Kamboja, India, Laos, Srilangka, Zambia, dan Afrika Selatan. (www.roomtoread.org)
organsiasi ini telah banyak memiliki pegawai dan berkegiatan tidak hanya menyumbangkan buku, tapi pula menerjemahkan buku anak-anak berbahasa asing ke dalam bahasa lokal, dan membangun sekolah yang melibatkan warga setempat, sehingga, warga merasa memiliki sekolah di daerah mereka dan akan terus menjaganya.
kisah dalam buku ini sangat inspiratif. John Wood tidak hanya bercerita mengenai pengalaman pribadinya yang mampu mendirikan hampir 8000 perpustakaan di negara berkembang pada tahun 2008 ini (www.roomtoread.org) dan membantu pendidikan di daerah tertinggal, tapi pula tips bagaimana membangun dan menjalankan organisasi nirlaba agar dapat bertahan, bahkan terus berkembang.