Jump to ratings and reviews
Rate this book

Rafilus

Rate this book
Salah satu novel yang unik dan absurd ini adalah Rafilus, Rafilus merupakan perjalanan imajinasi Budi Darma dengan cermat, tema, penokohan, dan cara penyajian yang khas, sehingga membuat tokohnya seperti Rafilus, Tiwar, Pawestri, Jumarup, dan Munandir menjadi sangat radikal dan dan seringkali melakukan tindakan-tindakan mengejutkan, surealis, dan mengajak kita untuk menjelajahi absurditas manusia. Keunggulan Budi Darma adalah mengajak kita berkeliling ke kota Surabaya yang gelap dan temaram. Dengan teknik bercerita yang menggunakan teknik kolase dan gaya bahasa repetisi, novel ini terasa kuat menggambarkan kehidupan kelas bawah di Surabaya dan kekuatan takdir atas manusia. Rafilus adalah Rafilus.

239 pages, Paperback

First published January 1, 1988

28 people are currently reading
239 people want to read

About the author

Budi Darma

44 books179 followers
Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Semasa kecil dan remaja ia berpindah-pindah ke berbagai kota di Jawa, mengikuti ayahnya yang bekerja di jawatan pos. Lulus dari SMA di Semarang pada 1957, ia memasuki Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.

Lulus dari UGM, ia bekerja sebagai dosen pada Jurusan Bahasa Inggris—kini Universitas Negeri Surabaya—sampai kini. Di universitas ini ia pernah memangku jabatan Ketua Jurusan Inggris, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, dan Rektor. Sekarang ia adalah guru besar dalam sastra Inggris di sana. Ia juga mengajar di sejumlah universitas luar negeri.

Budi Darma mulai dikenal luas di kalangan sastra sejak ia menerbitkan sejumlah cerita pendek absurd di majalah sastra Horison pada 1970-an. Jauh kemudian hari sekian banyak cerita pendek ini terbit sebagai Kritikus Adinan (2002).

Budi Darma memperoleh gelar Master of Arts dari English Department, Indiana University, Amerika Serikat pada 1975. Dari universitas yang sama ia meraih Doctor of Philosophy dengan disertasi berjudul “Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novel” pada 1980. Di kota inilah ia menggarap dan merampungkan delapan cerita pendek dalam Orang-orang Bloomington (terbit 1980) dan novel Olenka (terbit 1983, sebelumnya memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1980).

Ia juga tampil sebagai pengulas sastra. Kumpulan esainya adalah Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Harmonium (1995). Setelah Olenka, ia menerbitkan novel-novel Rafilus (1988) dan Ny. Talis (1996). Belakangan, Budi Darma juga menyiarkan cerita di surat kabar, misalnya Kompas; pada 1999 dan 2001 karyanya menjadi cerita pendek terbaik di harian itu. Cerpennya, "Laki-laki Pemanggul Goni," merupakan cerpen terbaik Kompas 2012.

Dalam sebuah wawancara di jurnal Prosa (2003), lelaki yang selalu tampak santun, rapi, dan lembut-tutur-kata ini sekali lagi mengakui, “...saya menulis tanpa saya rencanakan, dan juga tanpa draft. Andaikata menulis dapat disamakan dengan bertempur, saya hanya mengikuti mood, tanpa menggariskan strategi, tanpa pula merinci taktik. Di belakang mood, sementara itu, ada obsesi.”

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
67 (23%)
4 stars
120 (41%)
3 stars
81 (28%)
2 stars
13 (4%)
1 star
8 (2%)
Displaying 1 - 30 of 53 reviews
Profile Image for K. R..
Author 2 books11 followers
July 12, 2017
beberapa fakta yang bukan review buku
1. ternyata buku super lawas yang cetak ulang sampai edisi ketiga ini
2. udah lama pengen baca buku Budi Darma tapi belom pernah tergerak beli
3. pas puasa kemarin ngobrol sama penulis veteran dan pemerhati sastra yang sebut-sebut Budi Darma yang ketika ditemui in person sangat tidak mencerminkan tulisan-tulisannya yang cenderung kocak
4. saya agak teringat Jonas Jonasson ketika membaca buku ini
5. model novel yang nyaris tanpa percakapan membuat saya semakin percaya bahwa penulis senior memang tidak bisa dibandingkan dengan penulis junior
6. seorang guru besar (saya tidak tahu apakah saat tulisan ini selesai Budi Darma sudah menjadi guru besar) dengan kesibukan luar biasa bisa menyelesaikan novel tebal dan mendalam hanya dalam waktu 3 bulan membuat saya sangat ingin menulis (serius) lagi
7. (yang paling penting) tidak cocok dibaca untuk anak di bawah umur
Profile Image for Rina.
116 reviews38 followers
March 16, 2009
Rasanya belum pernah saya membaca kehidupan yang begitu lambat seperti dalam Rafilus ini. Semua tokohnya suka bercerita tentang dirinya sendiri dan semua tokohnya juga beranggapan bahwa mereka adalah pendengar setia orang lain.

Semua orang ingin berbicara, dengan detil, ingin memuntahkan pendapat mereka tentang orang lain, ingin membludakkan informasi tentang diri mereka sendiri agar semua orang tahu. Begitulah, tokoh demi tokoh bergantian bercerita (melalui suara tokoh pertama: Tiwar).

Pengarangnya, Budi Darma, memang menyebut novel ini sebagai 'novel pengakuan'.

... dalam novel ini, para pelaku utama saling mengaku. Sekarang bayangkanlah andaikata kita menjadi pendeta. Begitu sering kita mendengar pengakuan sekian banyak orang yang merasa telah berbuat salah, dosa, atau tindak-tindak kelemahan lain.


Di sepanjang proses membaca, saya memutuskan untuk tidak berpikir terlalu dalam mengenai makna yang hendak disampaikan pengarang. Karena, bak seorang pendeta yang mendengarkan pengakuan, saya cukup mendengarkan saja tanpa perlu menanggapi ataupun menganalisa. Total mendengarkan dengan ketakjuban mengenai betapa kompleksnya manusia. Meski di satu segi, saya juga menyadari betapa sederhananya cara berpikir mereka.

Kata pengarang lagi:

Kehidupan mereka jauh lebih membosankan daripada dugaan kita semula.


Oh ya. Mulai dari Tiwar bertemu Rafilus di sebuah acara undangan khitanan, yaitu di rumah Jumarup. Dinilai dari nama-nama tokohnya, saya pikir pastilah novel ini tidak membosankan. Lalu bagaimana Tiwar melihat bahwa tubuh Rafilus sepertinya tidak terbuat dari tanah, tetapi dari besi yang dilempar gelas saja kepalanya tidak apa-apa, malah gelasnya yang pecah berantakan. Dan bahwa ternyata Jumarup, sang tuan rumah justru tak menampakkan batang hidungnya dan tamu-tamu dengan tidak sopannya dibiarkan sendiri.

Dari situ cerita bergulir tentang manusia besi ini; Rafilus, tentang tokoh kaya; Jumarup, muncul pula tokoh tukang pos; Munandir, tokoh perempuan cerdas; Pawestri, dan lain-lain. Kesemuanya saling bercerita tentang satu sama lain.

Saat membaca satu per satu itulah saya mulai setuju dengan pengarang bahwa kehidupan mereka jauh lebih membosankan dari dugaan saya semula.

Dan ada kalimat pengantar berikut ini oleh pengarang, yang baru saya amini setelah sampai pada akhir cerita.

... bahwa dalam mengaku pun, seseorang mungkin masih munafik.


Jadi pada awalnya saya mempercayai setiap kalimat pengakuan tokoh-tokoh tersebut seperti mempercayai gosip tetangga. Saya lupa bahwa tentu ada kemungkinan unsur munafik di dalamnya, karena mereka cuma manusia. Fakta terungkap di akhir cerita yang membuat saya salut akan kecerdikan pengarang.

Yang menarik juga adalah setidaknya tiga atau empat tokoh dalam novel ini dalam posisi yang sangat ingin mempunyai keturunan, tetapi mereka merasa tak mampu. Sepanjang hidup mereka frustrasi dalam upaya mereka untuk mempunyai anak. Masing-masingnya mempunyai motivasi tersendiri, tetapi saya pikir, barangkali motivasi terbesar mereka adalah mengharapkan kehidupan yang lebih baik melalui anak-anak mereka nantinya, karena kehidupan yang mereka jalani sekarang amat tidak memuaskan.

Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi. Padahal, semenjak bertemu dengan dia untuk pertama kali beberapa bulan lalu, saya mendapat kesan bahwa dia tidak akan mati. Andaikata tumbang, paling-paling dia hanya akan berkarat."


Sebagai paragraf pembuka, tentu pembaca sudah maklum akan apa yang akan dihadapi berikutnya. Bahwa ceritanya sungguh abstrak sehingga begitu sulit menggambarkan bagaimana cerita utuh dari novel ini. Saya benar-benar tidak dapat membayangkan, ataupun menceritakan kembali, bentuk nyatanya.

Oleh sebab itu, seperti saya katakan tadi, saya tak hendak memikirkan terlalu dalam makna novel ini, karena bahkan pengarang sendiri di bagian akhir buku mengatakan bahwa:

Dalam proses kreatif, abstraksi dan peristiwa dapat membaur. Dari pembauran terjadilah peristiwa-peristiwa dalam novel....
... "Rafilus telah mati dua kali" adalah abstraksi yang sudah merupakan peristiwa, dan siap menggelinding untuk berangkat dengan peristiwa-peristiwa lain. Apa kelanjutan "Rafilus telah mati dua kali" saya tidak tahu, sebelum kata-kata kelanjutannya selesai dalam sebuah novel...."


Jadi Budi Darma menulis novel ini, dengan melanjutkan kalimat "Rafilus telah mati dua kali" itu tanpa tahu kelanjutannya. Ia menggiring pembaca untuk mengikuti proses pencarian bentuk ceritanya. Dia berhasil. Karena saya mengikutinya terus dengan setia. Sehingga 'tahu-tahu sebuah novel selesai sudah,' saya baca.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for gieb.
222 reviews77 followers
May 25, 2009
alurnya memang lambat. karena memang budi darma ini peduli sekali dengan detail. kota surabaya menjadi sangat nyata dalam penuturan budi darma. meski hanya bertaut dalam beberapa kalimat dan paragraf. tak banyak pengarang yang peduli dengan detail. melelahkan memang membaca kalimat yang diulang-ulang. tapi itu menjadi karakteristik sendiri ketika memang sebuah novel disengajakan dalam alur yang lambat. meski lambat, novel ini seperti meneror. pikiran dibiarkan berkelana setiap kita membaca satu kalimat. silakan dibuktikan.
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
June 14, 2008
Benar-benar!

Budi Darma adalah penulis yang tidak mempedulikan gaya tulisan orang lain. Dia mantap, keukeuh, istiqomah punya gaya sendiri. Dan parahnya, saya kok jadi selalu membayangkan setiap karakter dalam buku-buku Budi Darma ketularan sikap cuek sang pengarang. Saking terpengaruhnya, bahkan mereka sendirilah yang menuliskan kisah mereka di tiap buku!

Benar-benar novel yang absurd, sekaligus nyata.
Profile Image for Widia Kharis.
47 reviews
October 29, 2019
awalnya saya agak ragu ketika menemukan Rafilus di antara tumpukan buku di BBW Surabaya. sebelumnya, pengalaman membaca buku Budi Darma yang lain, Orang-orang Bloomington, bikin saya sedikit skeptis. pastilah Rafilus bukan bacaan ringan yang cocok untuk saya baca di malam hari sebelum tidur. tapi mumpung diskonan, ya sudah saya ambil saja.

di luar dugaan, ternyata saya menikmati jalannya cerita. meskipun Budi Darma dan ciri khasnya hampir tak menyuguhkan dialog, tetapi narasi para tokoh yang dikisahkan ulang oleh Tiwar tetap menarik untuk diikuti. seperti yang disebutkan pada sampul belakang, sebetulnya Budi Darma meminjam suara Tiwar untuk mengisahkan kehidupan orang-orang di sini. sayangnya, Rafilus si manusia besi tak mendapat porsi banyak. terkadang Tiwar lebih sering bercerita tentang opas pos Munandir, Pawestri, Van der Klooning, Jan van Kraal, Jumarup, Sinyo Minor, dll.

barangkali, Tiwar memang semata bercerita mengenai problematika orang-orang yang dikenalnya, atau orang-orang yang diketahuinya lewat cerita-cerita Munandir; oleh karena itu, sulit agaknya menemukan benang merah. bukan sekali-dua kali saya mengira-ngira akan dibawa ke mana cerita ini selanjutnya.

namun demikian, saya dapat merenungkan beberapa hal dari buku ini. misalnya, betapa Rafilus merasa hampa meskipun orang-orang terkagum dan berusaha mendekatinya karena tubuhnya berbeda; atau betapa opas pos Munandir membual tentang anaknya untuk menutupi kesedihan dan kemarahannya.

selain itu, saya juga merasa diajak keliling Surabaya lewat deskripsi jalanan dan bangunan yang detail. overall, 4 dari 5 bintang!
Profile Image for Ahmad Rofai.
62 reviews5 followers
December 22, 2017
hal-hal berkaitan sudut pandang aku mengenai buku ini adalah sebagai berikut ya. wkkwkw lagi bener2 belum ada mood buat nulis narasi.

a. Laki laki bernama rafilus yang dianggap sebagai keturunan iblis/setan; karena memiliki tulang bak besi dan urat bak kawat
b. Tokoh utama memiliki istri yang memiliki keinginan berhubungan seksual bersama rafilus, katanya napsu birahinya selalu dibuat penasaran tentang gimana rasa berhubungan denganya
c. Sebagai pembaca, secara jujur merasa sangat gagal memahami keseluruhan kisah. Barangkali karena sulitnya menemukan benang merah, terutama dalam mendeskripsikan siapa sebenarnya Rafilus.
d. Konon, rafilus memiliki pandangan mata layaknya iblis namun ketika bertatap denganya, mata seolah memberikan keteduhan yang dapat membuat pikiran tidak dapat menerawang kemanapun.
e. Kisah ditutup dengan ditambraknya rafilus oleh kereta; dua kali. Pertama ditabrak dengan mobilnya (kepala dan badan terpisah); kedua ketika ambulan mengantarnya ke tempat pemakaman; tepat ketika ambulan menyebrang, kereta meluncur untuk menabrak.
Profile Image for Nau.
195 reviews
August 22, 2017
kalimat "Rafilus mati dua kali" ternyata menarik perhatianku untuk membaca buku ini. pembawaan ceritanya yang absurd dan kocak, namun sebenarnya membawa kritik sosial yang cukup mendalam.

rating 3.8 dibulatkan ke atas! :))
Profile Image for Bimana Novantara.
278 reviews28 followers
August 24, 2021
Waktu pertama kali membaca novel ini (sekitar tahun 2008 atau 2009, kalau tidak salah), rasanya saya hanya membacanya sepintas lalu saja. Mungkin waktu itu saya membaca hanya untuk menuntaskan rasa penasaran saya terhadap karya-karya Budi Darma setelah membaca Orang-orang Bloomington, tanpa benar-benar memperhatikan detil-detil yang ada di dalamnya.

Hal pertama yang saya tangkap ketika membaca ulang adalah karakter utama yang sama dengan judul novel ini, Rafilus. Ia digambarkan bertubuh besar, berkulit gelap, dengan tubuh yang seperti terbuat bukan dari daging, melainkan besi, dan setiap gerakannya mengeluarkan energi yang berlebihan sehingga menimbulkan daya rusak. Tatapan matanya tajam dan sanggup memberangus orang yang bertatapan dengannya. Dengan ciri-ciri seperti itu, ia terasa seperti manusia yang memilki kualitas bukan-manusia atau bahkan di luar manusia. Budi Darma sendiri sering menyebut Rafilus seperti setan, dan karakternya memang terinspirasi dari ayat Quran yang menyebutkan bahwa Tuhan membuat orang musyrik yang mati dibangkitkan kembali dalam wujud besi. Terlepas dari itu semua, Rafilus digambarkan tetap sebagai manusia biasa yang hidup di tengah manusia lainnya.

Cerita Rafilus berlatar di Surabaya pada periode 1980-an. Surabaya di novel ini digambarkan sedang dalam suasana musim kemarau sehingga menimbulkan kondisi gersang, pengap, dan berdebu. Mobil dan motor lalu lalang tanpa memikirkan pengguna jalan lainnya, sedangkan kereta melaju dengan kecepatan tinggi di atas rel seperti tanpa kendali dan aba-aba sehingga dapat membahayakan ketika melewati perlintasan dengan jalan raya. Dengan latar kota yang tidak bersahabat itu, tokoh-tokoh dalam novel ini yang merupakan penduduknya adalah orang-orang yang dingin, kejam, dan tidak menunjukkan kualitas manusia yang baik. Mereka semua licik, suka bersiasat dan berbohong, dan juga memiliki obsesi-obsesi yang menuntut untuk dipuaskan dengan cara apa pun.

Tokoh-tokohnya memiliki nama yang terdengar asing namun rasa-rasanya masih wajar. Selain nama Rafilus yang belum pernah saya dengar dipakai itu, ada Tiwar yang merupakan narator cerita, Munandir, Jumarup, Albatrip dan Ahmad Bartak. Untuk tokoh perempuan, ada Pawestri dan Gandari yang masing-masing diambil dari bahasa sansekerta dan dunia wayang sehingga terdengar lebih wajar meskipun jarang dipakai. Saya tidak tahu apakah nama-nama tokoh laki-laki tersebut nama yang jamak ada di Surabaya tahun 1980-an atau dunia saya yang terlalu jauh dari orang-orang yang memiliki nama seperti itu.

Budi Darma sangat bebas dalam menggunakan kosa kata. Misalnya ia menggunakan kata ‘bobrok’ untuk menggambarkan impotensi yang dialami Tiwar, atau kata ‘menggarap’ yang dipakai ketika menggambarkan kegiatan persetubuhan. Itu hanya sedikit contoh dari begitu banyaknya kata-kata ajaib yang digunakan Budi Darma. Kata-kata predikat dan kata sifat yang ia gunakan sering kali bukan kata-kata yang umum diasosiasikan dengan subjeknya, sehingga memberi efek mengejutkan ketika membacanya.

Ketika membayangkan seandainya novel ini difilmkan, tidak ada yang menurut saya cocok untuk jadi sutradara kecuali Edwin, yang saat ini sedang moncer dengan film terbarunya yang diangkat dari novel Eka Kurniawan. Latar cerita novel ini yang bertempat di Surabaya menjadi pertimbangan utama ketika saya kepikiran namanya, karena setahu saya ia sendiri berasal dari Surabaya. Ini ditunjukkan lewat film panjang pertamanya, Babi Buta yang Ingin Terbang, yang ceritanya berlatarkan kota Surabaya. Selain itu, faktor kuat yang membuat saya terpikir Edwin adalah karakter-karakter yang ada di dua film pertamanya sebelum ia mendapat perhatian lebih luas lewat Posesif. Karakter-karakter tersebut memiliki benang merah dengan karakter-karakter dalam novel ini, yaitu memiliki tindak tanduk yang ganjil dan hidup di luar kenormalan yang berlaku di masyarakat. Saya rasa akan menarik melihat bagaimana Edwin akan memperlakukan karakter-karakter serba ganjil yang tinggal di sebuah kota yang muram dalam novel ini dalam medium film.
Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
August 21, 2014
Judul: Rafilus
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Jalasutra
Halaman: 239 halaman
Terbitan: Mei 2008

Salah satu novel yang unik dan absurd ini adalah Rafilus, Rafilus merupakan perjalanan imajinasi Budi Darma dengan cermat, tema, penokohan, dan cara penyajian yang khas, sehingga membuat tokohnya seperti Rafilus, Tiwar, Pawestri, Jumarup, dan Munandir menjadi sangat radikal dan dan seringkali melakukan tindakan-tindakan mengejutkan, surealis, dan mengajak kita untuk menjelajahi absurditas manusia. Keunggulan Budi Darma adalah mengajak kita berkeliling ke kota Surabaya yang gelap dan temaram. Dengan teknik bercerita yang menggunakan teknik kolase dan gaya bahasa repetisi, novel ini terasa kuat menggambarkan kehidupan kelas bawah di Surabaya dan kekuatan takdir atas manusia. Rafilus adalah Rafilus.

Review

Saya bingung. Ini sebenarnya novel atau kumpulan biografi sih? Seperti yang sudah disebutkan di atas, novel ini memiliki beberapa tokoh, antara lain: Rafilus, Tiwar, Pawestri, Jumarup, dan Munandir. Tiwur adalah tokoh utama dalam buku ini. Lewat dialah kita diajak untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh lainnya.

Budi Darma memberikan banyak ruang dan waktu bagi setiap tokohnya untuk bercerita. Setiap tokoh memaparkan tentang latar belakang kehidupannya, kehidupannya saat ini, serta hubungannya dengan tokoh lain. Kebanyakan dari ceritanya berputar pada soal seks dan hamil. Kebanyakan dari kehamilan itu terjadi di luar nikah.

Jujur saya merasa bosan banget baca novel ini. Ceritanya tidak jelas arahnya. Hanya sekumpulan karakter yang sibuk bercerita tentang dirinya sendiri, kemudian dirangkai supaya berhubungan di akhir cerita.

Buku ini untuk tantangan baca:
- 2014 New Authors Reading Challenge
Profile Image for Andria Septy.
249 reviews14 followers
July 6, 2019
Singkat saja. Saya membaca buku ini persis membaca buku-buku kelas dunia. Apalagi buku ini menyentuh langsung kepada Psikologis manusia yang beragam rupanya. Novel ini menceritakan tentang Rafilus tokoh yang dianggap nggak penting, tapi penting. Melalui setiap sudut pikiran siapa saja yang bersinggungan dengan Rafilus. Dikulik dengan maksimal. Novel yang bisa dikatakan puitis. Bahkan kritikus sastra Maman S. Mahayana saja mengatakan bahwa inilah novel pertama Indonesia yang nyaris sekali tidak menggunakan dialog. Anehnya, tetap asyik dan novel dengan level beginilah yang hendak saya baca. Membaca novel ini mengingatkan saya dengan novel-novel berkualitas lainnya, di antaranya : Remi Sylado, Eka. K, Khaled Hosseini, Gabo. Budi Darma memiliki 'suara' khas yang selevel dengan mereka. Maka tidak berlebihan saya kasih bintang lima.
Profile Image for Noep.
49 reviews28 followers
February 8, 2018
Saya membutuhkan waktu kurang lebih enam jam untuk membaca buku ini; dan saya selalu terpana. Terkadang saya tidak habis pikir dengan imajinasi Pak Budi Darma ketika memuntahkan seluruhnya ke dalam sebuah karya yang indah, magis sekaligus absurd. Setelah saya membaca dua karya sebelumnya; Kritikus Adinan dan Orang- Orang Bloomington, terlemparlah keinginan saya membaca novel ini. Sekali lagi, sebenarnya saya terlanjur bingung untuk menulis resensi seperti apa setelah membaca paragraf terakhir dari buku ini.

Permulaan buku ini pun cukup hebat.
"Rafilus mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi."

Kalimat- kalimat awal tersebut kemudian mengajak saya ke dalam sebuah rentetan pengakuan dari tokoh- tokoh yang bercerita tentang diri mereka masing- masing dan bagaimana mereka bercerita tentang orang lain- lain. Saya disuruh untuk mendengar cerita yang aneh itu sekaligus berupaya meyakini bahwa cerita itu memang benar adanya. Tokoh- tokoh yang memang masing- masing punya karakter yang kuat.

Beberapa kesan yang masuk ke dalam ingatan saya tentang tokoh- tokoh tersebut antara lain:
1. Rafilus; seorang manusia atau besi hidup (?). Ia dikenal sebagai sebatang kara yang bahkan tidak tahu garis cerita hidupnya di masa lampau; siapa orang tuanya, kapan dan di mana dilahirkan. Ketika orang- orang melihatnya, mereka akan terpana dengan kekokohan tubuh Rafilus ibarat lonjoran besi yang mampu menghancurkan apapun jika ia menyentuhnya. Sorot matanya seperti setan (begitu kesan yang ditimbulkan) tetapi mampu menyedot orang- orang untuk berlindung kepadanya.

Dengan kelebihan sekaligus kelemahan miliknya (tubuhnya yang besi), Rafilus tidak memiliki pilihan apapun tentang dirinya. Orang- orang terlalu banyak menyakitinya dan berambisi untuk menggarapnya. Ia hanya ingin menjadi manusia bermakna dengan menjadi penulis di sebuah kolom surat kabar. Ia hidup bersama bahan bacaan yang membuat kepalanya terus berpikir dan terus memproduksi karya. Namun, lagi- lagi, karena ia Rafilus, maka karya- karyanya tidak membikin kesan (bahkan, kata Pawestri, dia memiliki otak yang tak cemerlang).

Salah satu ambisinya yang masih terngiang adalah bahwa ia ingin memiliki anak. Tapi ia takut sekaligus sadar bahwa buah keturunannya akan menjadi generasi penghancur di masa depan. Sedih sekaligus ngilu, Rafilus harus mati di akhir; ia mati dua kali.

2. Opas Munandir. Tidak banyak kesan pada saya terkait tokoh ini tetapi apa yang paling saya sukai adalah ia sangat pandai bercerita. Ia digambarkan sebagai seorang pegawai pos yang telah pensiun tetapi ingin dipekerjakan kembali. Pada suatu kesempatan, ia mengirimkan surat kilas kepada tokoh aku (Tiwar) dan mulailah cerita- cerita entah gabungan bualan atau kenyataan tentang banyak hal: Van der Klooning, Jan van Kraal dan istrinya, Raminten, dan tentu Rafilus. Di akhir kisah, ia diceritakan hancur lebur dilalap kereta api sementara kisah hidup sebenarnya pun semakin terbuka (dia pernah berdusta tentang anak: dia mengatakan ia memiliki lima anak tetapi sebenarnya ia merasa malang sepanjang hidupnya karena tak memiliki anak).

3. Prawesti. Tokoh perempuan cerdas dalam kesan saya. Ia merupakan calon istri dari Tiwar yang pertama kali bertemu kala sedang mengambil hadiah di sebuah harian surat kabar. Akhirnya, Tiwar memutuskan untuk menjadikannya istri; kemudian selepasnya mereka bersepakat untuk saling berkomunikasi lewat surat.

Prawesti menggambarkan dirinya sebagai bagian dari keturunan keluarga yang tidak ideal. Ia miskin; istilahnya orang- orang got. Ayahnya malas- malasan yang kemudian akhirnya meninggal, ibunya selalu memperbudak dirinya, kakak perempuannya menggelembung di sekolah menengah, dan kakak laki- lakinya menjadi kondektur bus di Jakarta karena ikut- ikutan. Untungnya, nasib dia tidak terlalu buruk; ia cantik dan mendapat pekerjaan yang cukup baik selepas SMA. Nasib membawanya ke dalam runutan cerita buku ini dengan gagasan- gagasan yang menurut saya keren sebagai seorang perempuan. Ambisinya yang terus berulang bahwa ia ingin sekali memiliki keturunan agar ia bisa mendidiknya menjadi manusia yang bermanfaat.

4. Tiwar, tokoh aku, yang menjadi pengamat (atau pendengar) dari segala macam cerita yang dihimpun dalam buku ini. Kesan dari laki- laki ini adalah bahwa seperti yang digambarkan Pawestri - ia laki- laki basah - yang menahami berbagai fenomena. Tidak banyak cerita dari Tiwar ini selain ia mampu membahasakan kembali apa yang dibaca dan dilihatnya dalam sebuah runtutan.

5. Tokoh- tokoh lain, seperti Jumarup, sang kaya yang mulanya dianggap sombong dan mempermaikan orang- orang tetapi ternyata ia telah menyumbang banyak ke yayasan sosial. Sinyo Minor, yang dianggap lamban tetapi suka membikin keonaran. Van der Klooning, Van Jan Kraal, Dokter Ahmad Bakri, dan Bamboo adalah sekian tokoh unik yang diceritakan dalam buku ini (recommended bgt). Setiap tokoh adalah representasi dari realitas kehidupan manusia yang digarap begitu absurd tetapi perlu kita renungi. Manusia yang penuh ambisi, keji dan kompleksitas lainnya.

Intinya adalah silakan menyelami kedalaman cerita ini dengan baik. Saya menyadari bahwa ternyata pada satu sisi, waktu berjalan sangat lambat, tetapi di sisi lain, waktu berjalan cepat pada setiap kejadian yang dipaparkan. Bahasa yang sederhana namun penuh dengan sarkasme membuat kita bertanya- tanya: sebenarnya benang merahnya apa atau pesannya apa. Namun, lagi- lagi, setiap pembaca berhak merenunginya. Bagi saya, saya disentil untuk belajar memahami bagaimana menjadi manusia dengan sehakikat- hakikatnya manusia; memahami orang lain tanpa menjustifikasi, jujur dengan dirinya sendiri dan lain- lain.

Good job, Pak Budi Darma.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
May 26, 2017
meski absurd dan ajaib. di edisi baru ada atas saran Pak Budi, beberapa bahasa diperhalus
Profile Image for Maya Murti.
205 reviews8 followers
February 1, 2018
Cerita Rafilus ini masih satu tema dengan Ny. Talis, yaitu penghayatan tentang takdir dan arti anak bagi manusia. Perbedaannya ialah karena penulis mengikuti premis "Rafilus telah mati dua kali", maka nasib Rafilus sebagai tokoh utama tidak semujur Madras dalam novel Ny. Talis.

Novel ini diceritakan dalam sudut pandang seorang laki-laki bernama Tiwar. Dari Tiwar-lah kita mengenal tokoh Rafilus, Munandir, Pawestri, Sinyo Minor, dll. Karena penceritaan sudut pandang pertama inilah, anggapan pembaca terhadap para tokoh akan diwarnai oleh bias Tiwar. Cerita berjalan seiring dengan perjalanan Tiwar yang gemar mengendarai mobil, baik karena bosan maupun penasaran.

Rafilus digambarkan sebagai seseorang bertubuh kuat dan tahan banting layaknya lonjoran besi. Rafilus juga tidak bisa selalu mengendalikan kekuatan fisiknya, benda-benda yang ia sentuh sering kali rusak. Menyadari daya kekuatannya ini, ia berpikir tak mungkin bisa membantu orang secara fisik. Maka ia mencoba menjadi seorang penulis. Menurut Tiwar, tulisan Rafilus tidak cukup cemerlang dan penuturannya berputar-putar. Baginya, Rafilus adalah seorang pandir yang memaksakan diri untuk menulis secara cerdas.

Kemudian ada tokoh perempuan bernama Pawestri. Tiwar dan Pawestri pertama kali bertemu saat mengambil hadiah di sebuah kantor surat kabar. Tiwar yang merasa jatuh cinta lantas nekat pergi mencari rumah Pawestri untuk menemuinya. Setelah bertemu, Tiwar langsung melamar Pawestri untuk menjadi istrinya. Keduanya sepakat, dan komunikasi selanjutnya dilakukan dalam korespondensi surat-menyurat. Dalam salah satu surat, Pawestri mengungkapkan bahwa walaupun ia bukan seorang siapa-siapa dan tidak lahir dari keluarga yang ideal, ia ingin sekali menjadi seseorang yang berbahagia dan bermakna. Di sisi lain, ia menyadari bahwa pilihan dan kemampuannya terbatas. Maka, sebagai perempuan, ia memutuskan untuk bangkit melalui anak-anaknya. Ia pun memohon kepada Tiwar untuk mengizikannya memiliki anak-anak. Bahkan Pawestri telah berpikir lebih jauh, jika ia dan Tiwar tak bisa memiliki anak, ia pun rela berhubungan dengan laki-laki lain seizin Tiwar dan membesarkannya sebagaimana anak mereka sendiri.

Anak dalam cerita Rafilus dimaknai sebagai harapan dan cita-cita orang tuanya. Pandangan Pawestri terhadap anak, walaupun berangkat dari aspirasi untuk bangkit dari keterpurukannya, ternyata juga cukup realistis. Mengutip sajak Kahlil Gibran mengenai anak yang terkenal itu, Pawestri berpesan kepada Tiwar agar berusaha untuk membesarkan anak demi kebaikan anak itu sendiri, bukan untuk kepentingan orang tua semata. Pandangan Munandir, upas pos yang sering mengantar surat kepada Tiwar, juga tampak mengagungkan keberadaan anak. Ia berkata bahwa ia bangga menjadi ayah dari lima orang anak laki-laki seperti layaknya Pandhawa. Walaupun di akhir novel cerita itu ternyata hanya bualan, tampak sekali bahwa anak adalah aspirasi penting untuk tokoh-tokohnya. Tiwar dan Rafilus juga diceritakan ingin memiliki anak, meskipun terkesan hanya sebuah angan untuk menimang-nimang saja.

Di akhir cerita, Rafilus ditimpa nasib menyedihkan. Ia mati tanpa menjadi seorang siapa-siapa. Tubuhnya yang bagai lonjoran besi, kuat, dan sanggup membengkokkan tiang listrik ternyata terlindas juga di rel kereta api. Orang-orang sempat meributkan di mana ia akan dimakamkan karena semasa hidup ia tinggal terpencil dan terkucil, serta tidak memiliki surat-surat kependudukan. Hingga akhirnya ia akan dimakamkan di pemakaman tokoh-tokoh besar, ambulans yang mengantar Rafilus tak sanggup beranjak dari gundukan jalur kereta api. Ia pun terlindas kereta api lagi, mati dua kali.
Profile Image for Andika Pratama.
43 reviews5 followers
April 22, 2020
Tak berlebihan ketika kita mendengar komentar Kang Maman mengenai buku ini: hampir tidak ada dialog di dalamnya. Ya, semua dialog bersifat pasif dan tidak langsung. Tapi bukan itu utamanya. Itu hanya satu dari sekian banyak keunikan gaya penulisan Budi Darma.

Tidak berlebihan ketika disandingkan dengan Olenka (satu karya Budi Darma lainnya) kita menemukan satu benang merah yang kontras dari gaya penulisannya: absurdisme. Betapa Tiwar, Rafilus, Pawestri, Munandir di dalam novel ini harus bercerita kepada kita lewat orang yang lain sambil mendengarkan cerita yang lain lagi—dan memperkeruh kerasionalitasan pembaca mengenai "mana yang benar mana yang dusta?".

Kita bisa melihat dengan cermat bagaimana Budi Darma sepertinya memiliki sikap tak acuh kepada semua hal; yang secara sengaja atau tidak sengaja tercurah lewat tokoh-tokoh di dalam karyanya (mari lihat Fanton Dummond di Olenka). Kesamaan-kesamaan ini memberikan kesan "bodo amat" kepada wajah utama karya Budi Darma, terutama jika kemudian kita akan membaca karyanya lebih banyak lagi.

Detil Surabaya yang digambarkan Budi Darma bahkan mengingatkan saya kepada perjalanan pertama saya ke Surabaya. Stasiun Gubeng, Wonokromo, daerah miskin tempat tinggal Rafilus, atau... bahkan tempat-tempat lain yang sepertinya akan tetap sama sampai beberapa waktu ke depan. Saya seperti ditarik kembali ke dalam mesin waktu untuk menelisik perjalanan saya.

Gambaran Surabaya sebagai kota besar seakan diruntuhkan Budi Darma lewat Rafilus dan gemerlap dunia Surabaya yang coba dimaklumi siapa saja yang tinggal di sana. Kalau Ratih Kumala berkata "hanya ada 2 orang yang bisa hidup di Jakarta: orang sakti atau orang sakit", maka dapat saya katakan Budi Darma mencoba berkata "hanya orang apatis yang bisa hidup di Surabaya."

Menyentuh sisi psikologi manusia, spiritualisme (yang seadanya), dan alienasi sendiri membuat novel ini jadi terasa renyah. Walaupun di bab tiga, tempo penceritaan novel terasa berjalan begitu lambat. Pergerakan cerita yang terkesan statis membuat novel ini jadi membosankan di tengah-tengahnya. Pun demikian, tidak mengurangi sedikitpun penilaian saya mengenai Rafilus. Justru menurut saya, Rafilus jauh lebih matang pada segi filosofis ketimbang Olenka.

Adalah benar jika dikatakan Rafilus memberikan corak warna pada khazanah Sastra di Indonesia.
Profile Image for vin.
18 reviews4 followers
February 9, 2025
Rafilus, seorang pria misterius dengan sejuta teka-teki yang ia miliki, digambarkan memiliki tubuh besi yang membuat Tiwar, sang tokoh utama, selalu bergidik ngeri terhadapnya. Awalnya, saya kira novel ini akan berfokus pada kisah Rafilus saja yang diceritakan melalui perantara karakter Tiwar. Namun, rupanya fokus cerita bercabang ke banyak tokoh lainnya yang sedikit membuat saya kebingungan. Walaupun begitu, tokoh-tokoh tersebut rupanya masih memiliki hubungan dengan Rafilus, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka diperkenalkan oleh sang penulis melalui cerita yang diceritakan oleh tokoh lain yang kemudian diinterpretasikan kembali oleh Tiwar, membuat pola dari novel cukup mudah ditebak.

Karakterisasi dari novel ini memang menarik, dengan tiap karakter memiliki watak dan tingkah laku yang unik. Namun, yang membuat saya selalu mengernyitkan dahi selama membaca novel ini adalah topik pembahasan yang selalu berputar-putar antara persetubuhan, kehamilan, dan anak. Entah berapa kali saya membaca paragraf yang berisi sang karakter perempuan ingin disetubuhi oleh Rafilus. Saya menebak mungkin hal ini memiliki makna atau pesan tersirat, namun sayangnya pesan tersebut tidak sampai kepada saya. Karakter Tiwar sebagai karakter utama juga seperti tidak memiliki kepribadian yang pasti karena saya melihatnya sebagai sebatas 'storyteller' dari cerita karakter lain. Apalagi hubungannya dengan Pawestri yang saya juga kurang menangkap sebenarnya hubungan seperti apa yang mereka punya. Menuju akhir novel, saya mulai merasa bosan dan mengantuk sehingga saya melakukan metode 'skimming' agar novel selesai dengan lebih cepat.

Kebetulan saya membaca novel "Rafilus" edisi cetakan penerbit Noura. Saya temukan banyak sekali penggunaan tanda baca yang tidak sesuai EYD serta salah ketik atau 'typo' yang membuat saya sedikit agak kesal. Namun, terlepas dari kesalahan-kesalahan tersebut, novel masih nyaman untuk dibaca.

Terakhir, yang membuat saya 'relate' dengan novel ini adalah latar tempat yang digunakan adalah kota kelahiran dan tempat tinggal saya saat ini sehingga saya merasa familiar dengan tempat maupun jalan yang disebutkan. Terlebih lagi novel ini berlatar waktu sekitar tahun 80-an membuat saya membayangkan seperti kota Surabaya pada zaman tersebut.
Profile Image for risal.
29 reviews8 followers
August 22, 2021
Masterpiece dari Maestro Surealisme Indonesia!

Rafilus telah mati dua kali. (hal. 2)

Kalimat pembuka cerita apa dan di belahan dunia mana yang lebih sureal dibandingkan kalimat di atas? Mungkin Anda bisa mendebatkan dengan kalimat pembuka Cinta itu Luka karya Eka Kurniawan, tapi saya harus menegaskan bahwa tidak ada yang lebih sureal dari kalimat pembuka Rafilus, masterpiece dari Maestro Surealisme Indonesia, Budi Darma!

Satu ciri khas Budi Darma adalah menciptakan dunia di dalam dunia di dalam dunia. Di novel ini, beliau meminjam dunia Tiwar untuk bercerita. Dari puluhan kisah—menyangkut Jumarup, Gandari, Munandir, Van der Klooning, Jaan van Kraal, dan tokoh-tokoh lain—semua dijalin oleh satu tokoh sentral bernama Rafilus. Ya, novel ini memang menceritakan tentang Rafilus, kawan-kawannya, dan kawan-kawan dari kawan-kawannya.

Semua tokoh di atas memiliki kenaehannya sendiri. Baik secara fisik maupun pemikiran. Bagi Anda yang menganut feminisme, mungkin akan tersulut di beberapa bagian. Pun bagi Anda yang menganut optimisme atau konservatisme, hampir sepanjang cerita akan mendidih dibuatnya. Namun, bagi saya, Budi Darma tidak menggugat pandangan apa pun melalui novel ini. Beliau justru memantik kita untuk mempertanyakan kembali apa yang sudah kita yakini selama ini. Dan salah sasaran jika pembaca mengharapkan pelajaran mengenai kompas moral dari sebuah karya fiksi.

Tidak ada tokoh yang benar-benar baik atau benar-benar buruk dalam novel ini (meski semuanya benar-benar ajaib). Tokoh yang paling menarik perhatian saya adalah Pawestri, pacar Tiwar. Latar belakang keluarga yang membentuk kepribadiannya sangat kompleks dan mungkin akan relate dengan kebanyakan pembaca lain.

Dan ibunya menuntut haknya sebagai orang yang pernah mengadakannya, meskipun sama sekali dia tidak pernah minta diadakan. Dia justru sering menyesal mengapa dia sudah terlanjur ada. Dan karena sudah terlanjur ada itulah, dia harus tegak. (hal. 158)

Dan jika anak saya lahir, dia lahir tentunya bukan atas permintaannya sendiri. Sementara itu aib yang akan dia lakukan tidak akan menjadi tanggungan siapa pun, tidak juga yang membuatnya lahir, selain dia sendiri. (hal. 244)

Novel ini menjadi semakin menarik karena kita akan disuguhi referensi bacaan seorang Budi Darma. Mulai dari fiksi sampai non-fiksi. Yang paling menarik bagi saya ada dua. Pertama, ketika beliau mengutip bait sajak Johann Wolfgang Goethe "Heidelroslein".

Sembari merunduk, bunga mawar kecil berkata, "Ich steche dich, dass du ewig denkst an mich", yaitu, "Kutusuk kau, agar kau selalu ingat padaku. (hal. 103)

Selanjutnya, adalah ketika beliau mengutip puisi "Anak" dari buku The Prophet karya Kahlil Gibran. Yang itu tidak akan saya tulis di sini sebab terlampau panjang.

Ending:

Terima kasih atas maha karya yang luar biasa ini, Pak Budi Darma, Maestro Surealisme Indonesia!
Profile Image for Ursula.
302 reviews19 followers
June 18, 2017
Nikmat karya Budi Darma mana lagi yang kau dustakan? Rafilus adalah seaneh-anehnya kehidupan manusia biasa. Lambat, dan hampir seluruhya membosankan tanpa debar. Saat narasi membawa pembaca pada suatu pengakuan yang dapat menjadi jawaban segala kebingungan yang berkecamuk, mereka dipertemukan dengan antiklimaks.

Apakah membosankan? Ternyata tidak. Budi membuat pengakuan tokoh-tokohnya sedekat mungkin dengan manusia nyata pada umumnya. Termasuk pada poin ini:

"Apalagi apabila kita menyadari, bahwa dalam mengaku pun seorang mungkin masih munafik."

Belum lagi, budaya masyarakat yang meski menyebalkan tapi kurang lebih mirip dengan yang terlhat di jalanan, perkampungan, atau mungkin rumahmu.

Dalam catatan akhirnya, Budi mengatakan novel ini berawal dari sepatah kalimat: "Rafilus telah mati dua kali." dan dua tahun kemudian naiklah naskah ke percetakan. Kadang, saat membaca buku (atau menulis resensi dan opini seperti ini) banyak yang mencoba membuat akhir yang brilian atau setidaknya membuat pembaca berpikir: "sialan bagus banget."

Tetapi Budi mengakhiri Rafilus dengan cara yang lebih mirip reaksi saya terhadap orang-orang yang terlalu mencoba:

"Entah dengan cara bagaimana, kepalanya meloncat ke tiang, menancap, dan mengejek orang-orang yang mendekatinya."

Rafilus, sebuah karya yang mengacau.
Profile Image for Yuli Hasmaliah.
71 reviews1 follower
September 13, 2019
Menurut saya Rafilus itu absurd, tidak jelas, sejak awal saya tidak mengerti akan cerita tentang Rafilus yang penuh keunikan ini -manusia besi, mungkin saya nya saja yang belum sampai level itu?. Saya pikir novel Rafilus ini akan sama seperti Orang-orang Bloomington, menarik menggairahkan saya untuk refleksi tentunya, walau memang dari beberapa bab di novel ini pun cukup membuat saya bersemangat untuk menyimaknya (Bamboo) dan tambahan Catatan yang memperjelas hal-hal yang dicantumkan oleh Budi Darma.

Keabsurdan cerita Rafilus ini dapat terurai dan diterima oleh saya saat membaca Abstraksi yang menjelaskan segala obsesi yang mendasari berkembangnya "Rafilus mati dua kali." menjadi sebuah cerita panjang yang berbentuk novel. Saya takjub dengan imajinasi dan segala peristiwa yang ada di kehidupan Budi Darma hingga bisa dengan baik menyusun cerita Rafilus ini. Tabik.

"Ketidaktahuan adalah siksaan, dan siksaan adalah obsesi. Setiap obsesi mengalami masa inkubasi, yaitu saat meledak."

p.s. sesuatu yang menuntuk sebuah bentuk adalah obsesi(?). "Baginya ketakutan dan keputusasaan adalah saudara kembar siam. Seseorang yang putus asa menjadi takut, demikian pula sebaliknya." -hlm 332
Profile Image for Puti.
101 reviews2 followers
October 7, 2018
Ini adalah novel kedua dari eyang Budi Darma yang telah kubaca.
Gaya bahasa yang digunakan sangat nyaman walaupun isi atau maknanya cukup berat menurutku. 😂 Maklum, efek telah lama tidak membaca novel2 sastra. 😂

Novel ini memiliki temanya yaitu tentang seseorang yang menginginkan anak.
Tak ada satupun dialog di dalam novel ini. Pengarang hanya meminjamkan suara Tiwar yang menceritakan kembali kisah-kisah dari para tokoh. Di mulai dari kisah Rafilus pada saat ia bertemu pertama kali dengannya di pesta Jumarup. Lalu ada kisah Munandir, Jumarup serta Pawestri.

Aku sendiri menyukai kisah-kisah dari opas pos tua yang memiliki keramahan serta pengalamannya dalam mengantar surat.
Tapi, aku agak kesal dengan kisah Pawestri walaupun ia sungguh sangat terbuka. 😂

Untuk kisah Rafilus sendiri, aku masih sulit untuk membayangkan karakternya. 😂

"Beliau (Ki Hajar Dewantara) tidak pernah memberi jawaban tegas namun beliau menekankan, bahwa ajar merupakan tanggung jawab kebudayaan. Dan kebudayaan bukanlah membentuk manusia menjadi bajingan, pencoleng, penipu, maling, lonte dan semacamnya itu." -hal 172.

"Peradaban telah mencincang manusia untuk mementingkan kesadaran, sementara kesadaran tidak lain kekuatan semu yang diciptakan manusia untuk menutupi kebohongannya sendiri." -hal 316.
48 reviews
May 5, 2025
menudaftar

DEWATASLOT merupakan situs penyedia layanan taruhan online terbaik di Asia yang menyediakan permainan terpopuler dan lengkap di kelasnya. Nikmati berbagai pilihan game seperti sportsbook, e-sport, slots, idn-live, tangkas, live casino, togel hingga tembak ikan di satu tempat.


DEWATASLOT hadir sebagai standar kualitas terbaik pilihan jutaan player yang memiliki sistem enkripsi tercepat. Didukung dengan teknologi terkini yang menghadirkan permainan bebas hambatan ataupun bug. Rasakan sensasi betting online unik, seru dan menantang lewat tampilan dan desain atrakrif. Jangan lewatkan promosi, event dan bonus menarik yang Dewataslot bagikan setiap harinya. Daftar Dewataslot sekarang.
Profile Image for HF Jaladri.
56 reviews
January 31, 2018
"Anak" jadi tema besar dalam buku ini. Tentang hasrat manusia untuk meraih keturunan, juga hasrat untuk tidak meraih keturunan.

Di sini diceritakan upas Munandir yang 30 tahun lalu nyaris lebur tertabrak kereta api. Kebetulan sekali, saya baca novel ini 30 tahun setelah terbitnya buku ini. Pun novel yang saya baca merupakan terbitan pertama tahun 1988, 30 juga usianya.

Karena terbitan pertama, rasa-rasanya penuturan di sini jadul sekali. Padahal 1988 cuma beberapa tahun sebelum kelahiran saya, seusia teman-teman saya.

30 tahun bukan waktu yang sebentar. Satu dekade saja banyak hal berubah, apalagi tiga. Tapi ada beberapa hal yang tidak berubah, seperti manusia.

"Tanpa menjadi budak dia akan bebas, dan di dalam kebebasan demikian dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menindas dirinya sendiri."

Cuma saya gak ngerti ya ini novel isinya orang-orang suudzon mulu.
Profile Image for Sunarko KasmiRa.
293 reviews6 followers
August 11, 2023
Rafilus merupakan novel karya penulis kenamaan Budi Darma. Melalui penuturan tokoh narator bernama Tiwar, pembaca akan disuguhi narasi cerita (yang nyaris tanpa dialog) tentang Rafilus dan beberapa tokoh lainnya yang pasti akan menggugah atau bahkan mengganggu pikiran kita untuk mencari makna dibalik apa yang disampaikan atau justru menyerah dan memutuskan berhenti membaca sisa cerita yang ada.

Dengan kekhasannya, sang penulis begitu lihai menyampaikan banyak hal-hal satir, kritik dan juga gugatan tanpa perlu memberikan tekanan emosi yang berlebihan. Mungkin, bagi pembaca yang menyukai alur cerita yang meledak-ledak dan penuh plot twist yang menggairahkan, agaknya akan dibuat menyerah dengan cerita ini. Namun lagi-lagi, Budi Darma punya daya tarik sendiri yang akan selalu membuat karyanya disukai banyak pembaca.
Profile Image for Ann.
87 reviews17 followers
April 22, 2020
Siapa sangka bahwa pertemuan random dengan seseorang mampu menjadi benang merah dalam memahami manusia lain di sekitarnya. Mampu mengurai kisah hidup orang-orang tersebut dan memahami satu dua makna hidup darinya.

Buku ini ditulis dari sudut pandang orang pertama serba tahu. Ya, sudut pandang pengamat serba tahu yang dikemas dalam sudut pandang orang pertama. Pelaku utama, Tiwar, bercerita tentang kisah hidup Rafilus, Munandar, Van der Klooning, Jaan van Kraal, Pawestri dan lainnya. Saya malah suka kisah Pawestri dibanding kisah Rafilus itu sendiri, karena banyak yang bisa dipelajari darinya.
Profile Image for Salma.
70 reviews1 follower
February 12, 2022
Rafilus merupakan kisah yang tidak biasa, yang diceritakan oleh berbagai orang yang biasa-biasa. Saya memahami Rafilus sama seperti saya mencoba memahami omongan orang-orang tentang orang lain. Kadang omongan orang menjadi berlebihan, kadang bahkan tidak cocok sama sekali. Rafilus membuka berbagai macam kemungkinan omongan itu.

Buku ini memikat saya dari kata-kata pertamanya, "Rafilus mati dua kali". Saya menikmati alur penulis yang menyajikan cerita dengan begitu lambatnya. Agaknya, saya menikmati pula bagaimana penulis membanjiri saya dengan kata-kata dan "omongan tetangga". Buku yang cocok dinikmati dikala senggang.
Profile Image for Kotak_Pandora.
39 reviews
May 19, 2025
Kesan pertama saya membaca Rafilus adalah kebingungan untuk menentukan siapa yang menceritakaan dan dari sudut pandang tokoh mana yang cerita. Namun seiring berjalannya waktu, saya tahu cerita tidak hanya berfokus pada Rafilus, sebagai laki-laki besi tapi juga menceritakan tentang manusia² besi dalam wujud fisik atau mental yang berbeda. Isu yang sajaknya ingin ditawarkan Budi Dharma adalah terkait isu kebebasan anak, Budi Dharma seakan mengajak kita untuk menelisik kembali makna Anak, karena society justru hanya memerhatikan Anak hanya sebagai esensi tidak hakiki. Cukup memberikan insight kepada pembaca agar merefleksikan diri baik sebagai anak, orangtua, atau orang lewat.
Profile Image for Ayudante.
29 reviews14 followers
March 28, 2018

Saya langsung jatuh cinta dengan gaya penulisan Budi Darma. Ini buku pertamanya yang saya baca, disarankan oleh seorang teman.

Eksplorasi tokoh melalui rinci dan uniknya pemaparan cara pandang keempat tokoh utama menunjukkan kedalaman pemahaman penulis akan karakter manusia. Ya, tanpa dialog, Budi Darma mengolah bagaimana keempat tokoh memandang proses, angan, dan takdir, tema utama novel ini.

Adanya Abstraksi dan Catatan membuat Rafilus terasa sangat intim. Saya merasa tidak berjarak dengan penulis.

Profile Image for Izzat Isa.
415 reviews50 followers
November 7, 2020
Novel ini merupakan karya pertama Budi Darma yang saya baca. Karya ini memang jelas bentuknya ialah surealisme dan absurd. Hal ini mengingatkan saya kepada karya-karya Iwan Simatupang. Rafilus ialah seorang manusia yang tidak kelihatan seperti manusia normal. Diceritakan oleh penulis dan pandangan orang-orang yang pernah berhubung dengannya. Mereka hidup dalam satu kehidupan yang samar dan sebenarnya adalah mengelirukan. Pengakhirannya dalam karya ini merupakan suatu cubaan merungkai hal-hal yang membelenggu mereka tetapi sebaliknya ia tetap meneruskan kehidupan yang begitu.
Profile Image for Amel.
206 reviews4 followers
September 26, 2021
Sejujurnya, perasaanku saat membacanya aku seperti baca cerpen. Dimana satu sub bab dengan sub bab yang lainnya seperti tidak saling berhubungan.
Ceritanya seperti terpisah pisah, meloncat loncat dari bagian satu ke yang lainnya. Sepertinya memang dibikin seperti itu.
Tapi sayang sekali, karena itu aku jadi tidak bisa memahaminya dengan baik. Meskipun di akhir, aku seperti bisa membayangkannya secara keseluruhan. Namun, untuk menceritakan kesimpulannya pun sepertinya aku nggak akan bisa. Seperti aku cukup paham untuk diriku sendiri, tanpa bisa aku gambarkan.
Profile Image for Dessy Priyatna.
40 reviews
October 15, 2017
Ini adalah novel pertama Budi Darma yang saya baca, (sebelumnya baca kumcer di Orang Orang Bloomington)... dan seperti kumcernya, di novel yang nyaris tidak ada percakapannya ini Budi Darma menuliskan tokohnya dengan begitu kejam, hehehe
Tapi saya suka novel ini, gaya bahasanya khas sekali. Recommended!!
Profile Image for Itsna Arifatuz Zulfiyah.
56 reviews
June 8, 2020
Nilai subjektif. Banyak orang yang suka buku ini dan penulisnya. But not me. Mostly because I can't understand anything ekeke. Novel ini beda dari novel yang aku tau. Dari review orang katanya banyak pesan tersirat, but I don't know, I can't take anything. Ga paham apa yang ingin disampaikan penulis. Mungkin memang harus berpikir lebih dalam wkwk.
Displaying 1 - 30 of 53 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.