Setiap kali menyelesaikan satu cerpen, aku seringkali berdebar, merinding, ingin menangis, dan sesak. Kacau sekali. Kalaupun aku mengakhiri suatu cerpen dengan tersenyum, itu adalah senyum getir. Betapa Bali dan dinamika kehidupan orang-orangnya begitu getir. Getir sekali, Tuhan. Getir sekali.
Menjalin hidup di tengah kekangan adat istiadat dan pariwisata yang mengerdilkan, kita menggeser hidup entah ke arah mana. Bagaimana cara memilah nilai-nilai yang perlu dilanjutkan? Bagaimana cara memilih masa depan individu maupun kolektif?
Susah menentukan cerpen apa yang merupakan favoritku, tapi jika diminta memilih tiga, aku akan memilih "Tembok Puri", "Mandi Api", dan "Lukisan Rinjin". Ada rasa takluk terhadap nasib di sana, ketika para tokoh sesungguhnya sadar betul ada hal yang salah. Namun, pada akhirnya mereka tidak bisa berbuat banyak. Konteks terlalu kuat untuk diruntuhkan. Ironis betul. Setidaknya mereka telah berusaha memberontak dalam cara masing-masing; dalam pernikahan beda kasta, dalam upaya mempertahankan tanah dari sergapan pariwisata, dalam upaya menyambung hidup.
Salah satu kumpulan cerpen terbaik yang kubaca selama hidup. Menyadarkanku bahwa tubuh-tubuh orang Bali, mungkin, selalu membawa luka dan dilema sepanjang hayat.
Tema-tema yang dikisahkan adalah tema sehari-hari masyarakat Bali. Pak Gde mengajak kita mempertanyakan apa itu kasta, budaya dan kepercayaan yang ‘katanya’ masih ada di masyarakat. Gaya bahasa yang sederhana membuat kisah mengalir dengan mudah. Pilihan frase-frasenya tajam dalam membalut konflik nyata kehidupan sosial ala Bali. Beberapa kisahnya membuat saya berdecak karena tidak menyangka akhir ceritanya sangat 'membekas'.
Bagi sebagian orang, Bali mungkin hanya daerah wisata yang patut didatangi dalam tujuan liburan, tak lebih dari pulau yang menawarkan berbagai budaya untuk dikecap, dinikmati semata. Namun dalam buku ini kita bisa melihat ‘sisi lain’ kehidupan orang Bali sebagai akibat dari gerusan pariwisata, hingga persoalan-persoalan adat yang rumit dalam masyarakatnya.
Membaca buku ini sembari leyeh-leyeh di Minggu pagi setelah dua minggu keluar kota. Tak sampai setengah hari, tuntas membaca 21 cerita pendek karya Pak De, panggilan akrab untuk Gde Aryantha Soethama ini.
Karena memang seru, sih. Seperti cerpen dan esai Pak De lainnya, selalu menyenangkan membaca sisi lain Bali dari kaca matanya. Bukan Bali yang moi, indah, gemah ripah, penuh harmoni. Bali di mata Pak De adalah Bali yang gamang, penuh tabrakan, juga konflik, diam-diam ataupun terbuka. Begitu pula cerpen-cerpen di buku ini.
Ada cerita tentang pertentangan kasta dalam cerpen Tembok Puri dan Bohong. Bagaimana bahwa meskipun begitu terbuka pada modernisme dan pariwisata, tetapi sebagian orang Bali juga masih berkutat dengan hal-hak primordial semacam kasta. Ada juga pertentangan antara pariwisata dengan budaya, termasuk dalam cerpen Mandi Api yang menjadi judul buku ini.
Dengan gaya bercerita yang rasanya selalu penuh kejutan, Pak De berhasil menceritakan sisi lain Bali yang bagi sebagian orang Bali sendiri sering kali ditutup-tutupi atas nama pariwisata dan citra. Buku wajib jika ingin tahu Bali dalam wajah berbeda.
Kumpulan cerpen ini ditulis dan diterbitkan dalam rentang waktu antara 1992 - 2003 Tentang keresahan penulis terhadap dinamika menjadi orang Bali.
Banyak paradox. Ada kalanya tentang Bali yang terlalu Bali Ada ketika Bali yang berubah terlalu Modern Pun ketika Bali menjadi flexible, tetap saja terlalu banyak dilema.
Tentang kasta, waris, seni, pariwisata, hari-hari baik (dan buruk), tentang kematian, tentang mematikan.
Pertanyaan yang tersisa untuk saya, saya maunya Bali yang bagaimana?
Saya menemukan buku ini ketika berkunjung ke Penerbit Partikular. Oleh Kak Juli, buku ini direkomendasikan ketika saya meminta saran buku mana yang harus saya beli dan baca.
Saya sempat ragu saat memulai membaca buku ini, namun satu per satu cerpen dalam buku ini membuat saya, sebagai pendatang, “melek” akan hal-hal yang seringkali terjadi di kehidupan sehari-hari orang Bali. Cerpen-cerpen di dalamnya mampu menyampaikan pesan mulai dari yang paling baik hingga yang paling sinis.
Sebenarnya, membaca buku ini sama melelahkannya dengan membaca buku Sedimen Senja, tapi karena saya tidak sampai dehidrasi selama proses membaca, jadi bolehlah saya kasih 2 bintang (sesungguhnya sih 1.5 bintang, tapi karena bintang disini ngga rela dibelah dua, jadi...ya gitu dehhh..)
Tapi setidaknya, saya bisa belajar sedikit budaya Bali yang dimasukkan dalam buku kumpulan cerpen ini.
It's awesome. Ini salah satu kumcer terbaik dan pememang kusala terkeren yang pernah saya baca. Bahasa yang digunakan memang tidak menggebu-gebu tetapi tidak mengurangi sedikit pun emosi dan ketegangan cerita.
Bli Gde Aryantha memiliki keahlian dalam menceritakan kearifan lokal pada Budaya Bali. Saat orang mengenal Bali dengan pariwisatanya, melalui tulisan Bli Gde kita dapat mengetahui seluk beluk yang jarang diketahui banyak orang.
Penuturan yang sederhana dengan cerita lokalitas Bali yang sangat kental. Tersirat kritik tapi tak mengkritisi. Dinamika kehidupan adat Bali disimpang ironi.