Arena Wati adalah nama pena dari Muhammad bin Abdul Biang alias Andi Muhammad Dahlan bin Andi Buyung (lahir di Jeneponto, 20 Juli 1925 – wafat di Cheras, Malaysia, 26 Januari 2009 pada umur 83 tahun), sastrawan negara Malaysia asal Indonesia. Ia juga memakai nama pena lain seperti Duta Muda dan Patria. Selama tiga tahun (1986-1989) pernah menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Masa muda Arena ditempunya di Makassar. Ia menjadi pelaut sejak 1943 dan pada usia 17 tahun sudah jadi nahkoda kapal. Sekitar tahun 1954 ia telah menetap di Malaya dan bekerja di lingkungan penerbitan majalah "Royal Press" dan penerbitan "Harmy". Tidak lama kemudian, dia pindah ke Johor Baru bekerja pada penerbitan Melayu Ltd,, selama lima tahun. Tahun 1962-1974 bekerja di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.
Novel pertamanya, Kisah Tiga Pelayaran, terbit tahun 1959 di Singapura. Setelah itu menyusul Lingkaran (1962), Sandera (1971), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993), Sukma Angin (1999), Trilogi Busa (2002), Trilogi Armageddon (2004), dan Trilogi Bara Baraya. Ia juga menulis buku-buku kajian sastra dan kebudayaan.
Penghargaan tingkat internasional yang diraihnya adalah Penghargaan Sastra Asia Tenggara, SEA Write Award, dari Raja Thailand pada tahun 1985 dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988.
Arena Wati menikah dengan Halimah Sulong dan dikaruniai enam anak. Ia wafat akibat gangguan pada paru-parunya.
Buku yang sesuai dibaca remaja lebih 12 tahun tapi tak sesuai dimasukkan sebagai pembelajaran KOMSAS sekolah menengah. Survival kanak-kanak dan remaja pelarian Sulu yang terlalu kecil umurnya namun pilihan tiada di tangan mereka sejak tiba di Sabah. Umar, Tijah, dan kanak-kanak lain semuanya pelarian, tidak miliki orang tua mahupun keperluan hidup asas. Penceritaan dalam buku ini macam khayalan yang menggunakan watak yang diadaptasi oleh pemerhatian seharian. Ia satu buku pendek yang sebenarnya tragis, jauh sekali jika mahu dikelaskan kepada cerita kanak-kanak.
Mesej yang mahu disampaikan oleh Arena Wati jelas di penghujung cerita. Semua orang di sekeliling watak terlalu sibuk dengan urusan harian, dan orang kulit putih yang datang mengkaji kanak-kanak pelarian pun sekadar untuk siapkan thesis sendiri tanpa mahu ambil kisah nasib kanak-kanak ini samada makan atau tidak, tidur di mana, mandi di mana, minum air atau minum kotoran, hidup atau mati.