Dalam Kamp Nirbaya ini, ada juga Hariman Siregar yang dipenjarakan karena kasus Malari. Mochtar Lubis pun dimasukkan ke kamp tahanan Nirbaya atas tuduhan terlibat kasus Malari 1974. Dengan demikian Kamp Nirbaya pun menjadi pertemuan lintas generasi dan lintas aliran politik dan ideologi. Karena itu catatan harian Mochtar Lubis di dalam penjara Orde Baru menjadi semakin penting untuk dibaca. Ia memberikan data-data baru bagaimana sebenarnya situasi politik di bawah Orde Baru.
Nirbaya kini sudah tak ada. Lokasi Nirbaya ini dulunya terletak di samping Taman Mini Indonesia Indah. Karena itu buku ini di samping menjadi salah satu saksi kekejaman Orde Baru adalah juga salah satu “Monumen” kekejaman Orde Baru. Mochtar Lubis pun mengakui betapa Orde Baru berlaku semena-mena terhadap tahanan melebihi rejim Soekarno terutama terhadap tahanan Gestapu/PKI seperti penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dalam berbagai bentuk dan pemberian jatah makanan yang sedikit dan tak bergizi.
Buku ini pun semakin meyakinkan: betapa jalan demokrasi yang menurunkan Orde Baru adalah benar dan betapa tak bermoralnya, bila ada kehendak-kehendak atau keinginan untuk mengembalikan kembali “kejayaan” rejim Orde Baru.
Mochtar Lubis lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Mendapat pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Aktif sebagai penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Jakarta. Memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Hadiah Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia, Hadiah dari Departemen P dan K tahun 1975 bagi novelnya "Harimau! Harimau!", dan Hadiah sastra dari Yayasan Jaya Raya untuk buku terbaik tahun 1977-1978, tanggal 15 Desember 1979, untuk romannya "Maut dan Cinta".
Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: "Senja di Jakarta", "Jalan Tak Ada Ujung" (terbit dalam berbagai bahasa), dan "Etika Pegawai Negeri" (ed.bersama James Scott). Selain itu ada juga buku-buku tentang liputan dan pers, bacaan anak-anak, dan dua ceramah yang diterbitkan sebagai buku, yaitu "Manusia Indonesia" dan "Bangsa Indonesia". Semasa hidupnya beliau menjadi Anggota banyak lembaga penting, seperti Pimpinan Umum majalah Horison, Editor majalah Media (yang diterbitkan di Hongkong oleh Press Foundation of Asia); anggota Board of the International Association for Cultural Freedom, dan anggota Board of the International Press Institute (Zurich).
Beliau juga banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah lingkungan hidup dan masalah-masalah ekologi. Mengalami tahanan penjara selama 9 tahun (1956-1965) dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno; dan pada tahun 1974 mengalami dua bulan tahanan setelah terjadinya peristiwa "Malari" bersamaan waktunya dengan pembreidelan Indonesia Raya. Beliau juga pernah menjadi Direktur Yayasaan Obor Indonesia.
Bibliography: * Tidak Ada Esok (novel, 1951) * Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (1950) * Teknik Mengarang (1951) * Teknik Menulis Skenario Film (1952) * Harta Karun (cerita anak, 1964) * Tanah Gersang (novel, 1966) * Senja di Jakarta (novel, 1970) * Judar Bersaudara (children story, 1971) * Penyamun dalam Rimba (children story, 1972) * Manusia Indonesia (1977) * Berkelana dalam Rimba (children story, 1980) * Kuli Kontrak (1982) * Bromocorah (1983)
Pada 7 Maret 1975, Mochtar Lubis menulis di catatan hariannya, “I am 53 today, and yes I feel very young. My health is good... Hally, Iwan, Ade, Ike, Maya, and Tanya come. After all we had quite a nice celebration, with cake and candles, and one baby champagne bottle which I kept cool in the ice thermos since last Wednesday.”
Sayangnya, momen ulang tahun itu tak dirayakan di kediaman keluarganya di Jl. Bonang, Jakarta Pusat. Perayaan kecil itu justru berlangsung di sebuah kamp tawanan politik yang dikenal dengan nama Nirbaya. Nama resminya Instalasi Rehabilitasi Nirbaya, disingkat Inrehab Nirbaya, yang berlokasi persis di sebelah Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.
Mochtar ditahan di wisma Nirbaya sejak 4 Februari 1975, bersama dengan puluhan tahanan lain dari peristiwa G30S tahun 1965 atau mereka yang dituduh terlibat di dalamnya. Artinya, ada yang ditahan hampir sepuluh tahun di sana tanpa pernah menjalani proses peradilan. Mochtar sendiri ditahan dengan dalih terlibat dalam peristiwa Malari—demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15–16 Januari 1974, sebagai reaksi atas kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Walaupun, menurut pengakuannya, ia tak pernah merasa turut andil dalam gerakan tersebut.
Tak hanya atas tudingan itu saja, bahkan satu bulan sebelum Mochtar ditahan, tepatnya pada 20 Januari 1974, kantor harian “Indonesia Raya” yang ia pimpin sempat diberedel. Ia bersama Wakil Pemred dan sejumlah anggota lain dituding menggelar rapat rahasia untuk menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Lebih dari itu, Mochtar meyakini dirinya ditangkap karena kerja-kerja jurnalistiknya.
“Apa yang bikin orang-orang berkuasa tak senang, atau takut ada tulisan-tulisan saya? Saya sungguh heran. Saya tak berjuang dalam organisasi massa, saya tidak membina sesuatu massa. Saya hanya mencurahkan isi hati nurani dan pikiran-pikiran saya untuk kemajuan bangsa, perbaikan keadaan, mengoreksi apa saya rasa perlu dikoreksi, tapi orang-orang berkuasa selalu merasa gelisah menghadapi buah pikiran saya,” begitu ia mencatat pada hari keenam di Nirbaya.
Sebagai penghuni baru, Mochtar ditempatkan di kompleks dengan nama yang cukup ironis—Amal. Di sana ia berjumpa dengan beberapa tokoh besar pada masanya, seperti Laksamana Udara Omar Dhani, Jenderal Pranoto, Astrawinata (mantan Menteri Kehakiman era Kabinet Soekarno), Soemardjo (mantan Menteri P dan K), dan perwira tinggi lainnya. Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI yang menjadi aktivis gerakan protes atas kedatangan PM Tanaka, pun berada di sana.
Tak butuh waktu lama bagi Mochtar Lubis untuk beradaptasi dengan lingkungan Nirbaya. Meski hanya diberi makan dengan menu ransum seadanya (nasi, sepotong tempe goreng, sepotong telur dadar, kadang ditambah sayur), tapi baginya itu tak lebih buruk dibanding dengan pengalamannya saat ditahan hampir sembilan tahun di penjara Orde Lama, yang pernah ia tuangkan dalam bukunya yang lain, Catatan Subversif (1980).
Beberapa penghuni sering bertandang ke paviliunnya, entah untuk bercerita—ia bahkan disebut dukun-tahanan karena sering kali dimintai pendapat atas masalah pribadi—atau sekadar untuk meminjam buku-bukunya yang ia peroleh dari istrinya, Halimah (ia panggil Hally), yang rajin mengirim dua-tiga buku setiap minggu. Dalam suratnya kepada Hally, ia menulis, “Some others came to borrow books. They are so starved for books and lecture here, as they are only allowed books on religion. How utterly stupid.” Pada masa itu, jaksa memang takut terhadap buku-buku kecuali buku tentang agama.
Melalui buku yang berisi catatan harian serta surat-surat yang ditujukan kepada istri tercintanya, pembaca seolah-olah turut diajak merajut sejarah bersama. Bahkan dari catatan Mochtar, saya jadi tahu kalau Pulau Kemaro di Palembang pernah dijadikan kamp tahanan orang-orang yang terlibat dengan PKI. “Tahanan-tahanan lain mulai banyak datang cerita pengalaman mereka. Ada yang ceritakan kekejaman-kekejaman yang mereka derita dalam pemeriksaan listrik, dipukuli pundak, hingga rusak ingatan, mata dicongkel-congkel, ada tahanan-tahanan ditempatkan di pulau di tengah Sungai Musi dan praktis tidak diberi makanan. Diceritakan dari 5.000 orang tinggal 50.”
Kemudian, fakta mengenai Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diresmikan pada 20 April 1975, berawal dari ide Tien Soeharto, juga sempat disinggung dalam catatan Mochtar. “A quite day. Only the hammerings at the Mini Indonesia Project are getting more noisy. They want to open on April 20th or something like that,” tulisnya dari dalam paviliun selagi mendengar bisingnya proyek pembangunan TMII. Bahkan saat percobaan kembang api untuk menyambut pembukaannya, para tahanan terbawa euforia seraya berteriak, “—ayo Mpok Tien, bakar lagi dong!”
Meskipun badannya terkurung, pikiran Mochtar Lubis tak pernah terkungkung. Sesekali ia tetap menulis pelbagai kritik. Misalnya, terhadap pers yang ketika itu serba penuh keraguan dan ketakutan, dan wartawan yang kembali melakukan praktik asal bapak senang (ABS)—sebagainana pernah ia singgung dalam buku Manusia Indonesia (1977)—malahan ikut nemperkokoh kembali nilai-nilai budaya feodalis.
Dari Nirbaya, ia juga bereaksi terhadap terbongkarnya praktik korupsi yang saat itu melingkupi Pertamina. Padahal, kebobrokan dalam tubuh Pertamina sudah pernah diinvestigasi harian Indonesia Raya empat tahun sebelumnya. Ia menulis, “Pada Komisi Empat dan Kejaksaan Agung sudah kami sampaikan bukti-bukti korupsi/manipulasi dalam Pertamina. Tapi yang berkuasa tutup mata.” Dalam catatan lain, ia lanjut menulis, “Pertamina oleh banyak orang dan tentu terutama sekali oleh Ibnu Sutowo dkk. dianggap sebagai sebuah kue besar yang amat lezat dan mereka sangka betapa juga mereka makan dengan lahap, akan tidak ada habis-habisnya. Makanya selama ini mereka berpesta-pora dengan Pertamina dan kekayaan negara lainnya.”
Dua bulan lebih sejak ditahan, Mochtar Lubis akhirnya dibebaskan dari Nirbaya. Berakhir sudah hari-harinya menanti proses peradilan yang tak kunjung tiba—ironisnya, semua tahanan di sana memang tak pernah dihadapkan ke meja hijau. Jaksa Agung Ali Said mengundang Mochtar ke kantornya dan meminta maaf atas penahanan terhadapnya. Perkara pun dianggap selesai begitu saja.
Apa yang dialami oleh Mochtar Lubis tentu hanya contoh kecil kasus kelam yang pernah terjadi pada masa Orla hingga Orba. Masih banyak tahanan lain, terutama kalangan Gestapo/PKI, yang tak tentu nasibnya. Pada akhirnya, doa Mochtar dalam salah satu catatannya mungkin bisa mewakili harapan kita semua: “May God protect all of us and this beautiful country.”
Nirbaya waktu itu adalah penjara yang terletak di samping proyek Taman Mini Indonesia Indah. Di sanalah Mochtar Lubis dipenjara selama kurang lebih satu bulan atas tuduhan terlibat dalam demo Malari 1974. Catatan ini berisi detil kejadian hariannya selama di penjara, misalnya seperti menu makanan harian dan olahraga yang dilakukannya.
Selain itu, banyak pula surat cinta yang ia tujukan untuk Hally, nama panggilan kesayangan untuk Halimah sang istri. Untuk mengisi waktu luang, Mochtar membuat lukisan bunga untuk istrinya. Lukisan itu diberi judul Love Song for Hally. Cinta Mochtar Lubis pada Hally sangat tulus, menenangkan, dan meledak-ledak di saat yang bersamaan.
Di Nirbaya, Mochtar ditahan bersama dengan tahanan Gestapu dan tahanan politik lainnya. Walau pun berbeda pandangan politik, nasib mereka sama: ditahan melalui proses peradilan yang diulur-ulur.
Dari buku, tersingkap kenapa Mochtar sangat membenci rezim Sukarno dibanding rezim Soeharto. Mungkin itulah juga alasan ada konflik antara ia dan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang sangat mengidolakan Sukarno tanpa celah.
Sebuah buku pendek yang berisi catatan harian serta surat-surat Mochtar Lubis (mayoritas buat sayangnya kecintaannya, Ceu Hally seorang) selama ditahan untuk diinterogasi masalah Malari. Di Nirbaya, tahanan yang tetanggaan sama TMII yang sedang giat-giatnya dibangun itu, Mochtar bertemu dengan tapol-tapol Gestapu. Para mantan menteri dan tentara, mayoritas dari AURI. Awalnya Mochtar rajin menulis menu harian. Akhirnya karena menunya seputar tempe saja (kadang ditambah sedikit telur dadar), tak ada variasi lain, akhirnya dia berhenti wkwk. Di paviliunnya Mochtar sangat produktif. Membaca, menulis, melukis, dan bercocok tanam (di buku Bu Dini sudah ada hint bahwa Mochtar ini seperti Bu Dini, penggemar tanaman). Sebenernya yang lebih menarik adalah soal tapol-tapol Gestapu itu. Mereka saat itu sudah sampai tahap pasrah, hanya menanti suatu saat bebas. Saking lamanya mereka tinggal di situ, mereka sampai miara ayam yang telurnya kadang dicolong juga sama penjaga T_T. Jatah makan tapol Gestapu lebih mengenaskan. Tanpa sarapan dan minus telur. Bacaan juga sangat dibatasi, yaitu buku-buku agama. Sampai-sampai Mochtar menyarankan, lebih baik mereka ambil S3 Theologi sekalian, saking banyaknya buku agama yang sudah dibaca. Mengenai prinsip Mochtar Lubis sendiri jelas, dia menolak PMA yang tidak memberdayakan rakyat Indonesia. Bukannya dia anti penguasa saat itu (yah siapa lagi), kritik-kritiknya adalah untuk membantu pemerintah. Yang dia kesal adalah soal Pertamina. Hariannya sudah bilang sejak lama tentang keanehan Pertamina tapi pemerintah tutup mata. Karena buku ini adalah gabungan antara catatan harian dan juga surat, kadang jadi ada pengulangan. Yang sudah ditulis di catatan harian, disampaikan lagi secara panjang lebar di surat. Biasanya kalau sudah ngomong panjang lebar soal masalah-masalah itu, lalu di akhir surat Mochtar minta maaf pada Ceu Hally, lalu cinta-cintaan lagi, baru pamitan wkwk.
Nirbaya adalah kumpulan surat-surat dan cataatan harian Mochtar Lubis selama ia ditahan di penjara Nirbaya. Dari buku inilah dapat diketahui seperti apa kondisi disana. Dalam surat-suratnya kepada istrinya Haly yang berisi surat pribadi dan puisi ia juga menuangkan kritiknya terhadap pemerintah Indonesia. Menurut saya Mochtar Lubis adalah salah satu penulis yang dapat melihat jelas karakter orang Indonesia dan ini terlihat dari tulisan - tulisannya.
Dalam situasi yang sepi dan seakan tak ada yang dapat dikerjakan lagi, sering menulis catatan harian yang sering dianggap sepele justru suatu saat akan menjadi catatan yang penting dan berguna.
Sudah banyak contoh, terlebih catatan-catatan dari penjara. Misalnya catatan harian Anne Frank di saat sembunyi dari kejaran Nazi dan catatan harian Antonio Gramsci di dalam penjara fascis Mussolini. Di Indonesia pun kita kenal "catatan harian" Ahmad Wahib dan "catatan harian" Soe Hok Gie.
Kini setelah hampir 30 tahun beredar di luar negeri dan dalam Bahasa Belanda: Kampdagboek, rakyat Indonesia pun dapat membaca catatan harian Mochtar Lubis di dalam Penjara Orde Baru yang kini juga memasuki dunia perbukuan di Indonesia. Kali ini Mochtar Lubis menulis catatan hariannya dalam dua bahasa yang berselang-seling yaitu Indonesia dan Inggris.
Dengan hadirnya buku ini: NIRBAYA, Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, rezim Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto semakin tak bisa mengelak dari berbagai tuduhan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Mochtar Lubis dengan teliti dan cermat mencatat berbagai perlakuan keji aparatur Orde Baru selama menjadi tahanan Orde Baru di Nirbaya yang tak lebih dari dua bulan.
Mochtar Lubis sendiri bukan orang yang asing dengan penjara. Di bawah pemerintahan Soekarno, ia pun masuk penjara.
Tak tanggung-tanggung, sembilan tahun. Dan baru bebas pada tahun 1966, setelah Soekarno tak lagi berkuasa. Catatan harian Moctar Lubis selama dalam penjara pemerintahan Soekarno pun sudah dibukukan dengan judul Catatan Subversif, yang pertama kali diterbitkan tahun 1980 oleh Pustaka Sinar Harapan.
Dengan menjadi tahanan Orde Baru, mau tidak mau Mochtar Lubis pun bertemu dengan para tahanan Orde Baru lainnya yang berseberangan dengan Mochtar Lubis, terutama dalam hal pandangan ideologi dan politik. Seperti diketahui umum, Mochtar Lubis dikenal anti-Soekarno dan antikomunisme. Karenanya, catatan harian Mochtar Lubis ini layak dibaca oleh generasi kini untuk mengetahui pergulatan batin Mochtar Lubis sebagai seorang demokrat. Selama menjadi tahanan Orde Baru satu kamp dengan tahanan-tahanan Gestapu/PKI, seperti Omar Dani, Subandrio, Pranoto Reksosamudra dan lain-lain.
Dalam Kamp Nirbaya ini, ada juga Hariman Siregar yang dipenjarakan karena kasus Malari. Mochtar Lubis pun dimasukkan ke kamp tahanan Nirbaya atas tuduhan terlibat kasus Malari 1974. Dengan demikian, Kamp Nirbaya pun menjadi pertemuan lintas generasi dan lintas aliran politik dan ideologi. Karena itu, catatan harian Mochtar Lubis di dalam penjara Orde Baru menjadi semakin penting untuk dibaca. Ia memberikan data-data baru bagaimana sebenarnya situasi politik di bawah Orde Baru.
Nirbaya kini sudah tak ada. Lokasi Nirbaya ini dulunya terletak di samping Taman Mini Indonesia Indah. Karena itu, buku ini di samping menjadi salah satu saksi kekejaman Orde Baru, juga salah satu "onumen" kekejaman Orde Baru. Mochtar Lubis pun mengakui betapa Orde Baru berlaku semena-mena terhadap tahanan melebihi rejim Soekarno, terutama terhadap tahanan Gestapu/PKI seperti penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dalam berbagai bentuk dan pemberian jatah makanan yang sedikit dan tak bergizi.
Buku ini pun semakin meyakinkan: betapa jalan demokrasi yang menurunkan Orde Baru adalah benar. Dan betapa tak bermoralnya bila ada kehendak-kehendak atau keinginan untuk mengembalikan kembali "kejayaan" rezim Orde Baru.
A.J. Susmana, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Buku ini mengisahkan pengalaman dari wartawan senior Mochtar Lubis yang ditahan di Penjara Nirbaya yang dikatakan dekat dengan Taman Mini Indonesia Indah kurang lebih selama sebulan. Buku ini berisi pemikiran dan kegiatan sehari-hari yang dilakukan beliau selama dalam tahanan.
Saya sangat tergugah dengan tulisan-tulisan beliau yang berpendapat kebebasan Pers dikekang sangat kuat oleh pemerintah Orde Baru, negara kita masih menganut sistem feodal yang masih berpikir seorang raja/penguasa adalah mutlak harus diikuti dan tidak bisa dibantah/diberikan kritik, penanaman modal asing di Indonesia yang bisa membahayakan bangsa kita di masa depan, pengungkapan kasus korupsi pada pertamina di jaman Ibnu Soetowo dimana kita semua tahu beliau diback up oleh Presiden Soeharto. *bisa dibayangkan saya pernah membaca bahkan untuk sekadar bermain golf dan ke dokter gigi sampe memakai pesawat jet pribadi dan terbang langsung ke Amerika?? Berapa banyak uang negara yang telah dihabiskan? bahkan ketika harian Indonesia Raya membeberkan bukti2nya Komisi IV dan Kejaksaan Agung seakan tutup mata.. *fuhh gregetan jadinya
Disatu sisi saya merasa penasaran dengan tahanan Gestapu/PKI yang telah ditahan selama 9 tahun tanpa kabar dan nasib yang jelas kapan pembebasan mereka hingga Mochtar Lubis terinspirasi membuat puisi disela-sela penahanannya (Halaman 54)
Tahanan Hampir sembilan tahun pak, aku ditahan telah diperiksa dan diperkosa dengan listrik dan pukulan mereka sudah lupa apa perkaranya dia tertawa hampa
overall, buku ini bagus! cuma siap2 sedikit pusing karena buku diary beliau ini berisi campuran tulisan berbahasa indonesia dan inggris... saya berikan 3,9 dari 5 bintang! :)
Dalam Nirbaya saya membaca catatan harian Mochtar Lubis. Mulai dari hal kecil seperti menu makan sarapan hingga malam, bagaimana ia berolahraga, melukis dan menulis dalam tahanan. Saya jadi membayangkan Nirbaya bersebelahan dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) waktu itu sedang dalam pembangunan, Mohtar menyebutnya Mini Indonesia. Paling menarik dari Mohtar adalah surat-surat pada istrinya yang selalu manis. Surat yang selalu diawali dengan panggilan Hally kekasihku atau Hally sayang. Saat itu usia Mochtar Lubis 53 tahun.