Enid Mary Blyton (1897–1968) was an English author of children's books.
Born in South London, Blyton was the eldest of three children, and showed an early interest in music and reading. She was educated at St. Christopher's School, Beckenham, and - having decided not to pursue her music - at Ipswich High School, where she trained as a kindergarten teacher. She taught for five years before her 1924 marriage to editor Hugh Pollock, with whom she had two daughters. This marriage ended in divorce, and Blyton remarried in 1943, to surgeon Kenneth Fraser Darrell Waters. She died in 1968, one year after her second husband.
Blyton was a prolific author of children's books, who penned an estimated 800 books over about 40 years. Her stories were often either children's adventure and mystery stories, or fantasies involving magic. Notable series include: The Famous Five, The Secret Seven, The Five Find-Outers, Noddy, The Wishing Chair, Mallory Towers, and St. Clare's.
According to the Index Translationum, Blyton was the fifth most popular author in the world in 2007, coming after Lenin but ahead of Shakespeare.
A touch didactic, but otherwise redeemed by the discovery that Blyton was a great admirer of A.S.Neill and his groundbreaking Summerhill school. Good fun.
After almost immediately noticing how seriously and overtly collectivism is celebrated and actively being promoted by Enid Blyton in her The Naughtiest Girl in the School and how I do personally consider this pretty well majorly problematic (and no, I am NOT a total individualist either, but that in The Naughtiest Girl in the School, main protagonist Elizabeth Allen is slowly but surely stripped of her personality and independence to become communal and rather Communist even, like the other students at Whyteleafe School all seem to rather be, this really should make most of us as readers feel frustrated and a bit frightened), I of course was also approaching the second of Enid Blyton’s The Naughtiest Girl novels with very much, with a huge and pretty well all encompassing amount of reading worry.
And yes, my sense of approaching trepidation has obviously been more than well justified with regard The Naughtiest Girl Again. For yes indeed, The Naughtiest Girl Again does indeed have a very much similar and annoyingly frustrating emphasis on celebrating the supposed positives of communalism, with the only students in Enid Blyton’s narrative who are depicted as being truly happy, successful and positive appearing as those who submit wholeheartedly and completely to adhering to Whyteleafe School’s collective thinking and acting, of being robot like individuals all thinking and behaving the same (and how this is even totally mandated and demanded).
But while The Naughtiest Girl series main character Elizabeth Allen certainly still has a few vestiges of her own character and individual personality left in The Naughtiest Girl Again, she n my opinion really and sadly is not able to become truly happy in Blyton’s presented narrative until she completely suppresses this (or allows the students of Whyteleafe to suppress her individuality) and is turned into a good little boarding school clone, happy and accepting to be part of the Whyteleafe collective. And yes, this kind of political and philosophical Communism in a British school story series, rather majorly makes me shake my head in consternation and also really and truly creeps me out to such an extent that I can and will only be considering but two stars for The Naughtiest Girl Again.
Furthermore and finally, I therefore also do NOT consider Whyteleafe School in any way progressive, but in fact even with this boarding school being seemingly student oriented and self governing, totally and utterly regressive for promoting the group over the individual, for actually celebrating a totally and inherently collective way of thinking and thus a ways and means that really kind of scares me and does make me seriously wonder why in The Naughtiest Girl series, Enid Blyton is seemingly so against students showing their individual personalities, even if possibly negative, and being punished, denigrated and collectively moulded to conform.
Not quite as good as the first one, for a number of probably nit-picky reasons, but still a pretty good story. They probably should have renamed our protagonist the Angriest Girl for this instalment...
Buku tentang aktivitas 'favorit' anak-anak dari segala belahan penjuru dunia: berantem, baikan, lalu berantem lagi.
Haha... yak, ini volume kedua dari seri Si Badung yang menampilkan Elizabeth, gadis urakan dan temperamental yang juga baik hati dan punya rasa keadilan tinggi. Saya baru pertama kali baca kisahnya si Elizabeth, tetapi sudah lumayan familiar dengan 'seri anak asrama'nya Enid Blyton melalui Mallory Towers dan St Clare yang pernah dimiliki kakak saya dulu. Seri Si Badung ini punya keunikan tersendiri kalau dibandingkan dua seri itu, karena sekolahnya yang campur cewek-cowok, kepribadian Elizabeth yang khas, dan sistem 'Dewan Juri' dan 'Rapat Besar' sekolah yang amat menarik perhatian saya.
Jadi, di sekolah Whyteleafe tempat latar cerita, ada kebijakan bahwa semua murid harus memberikan semua uang saku pribadi mereka (!) ke kas kolektif yang kemudian dibagi sama rata ke masing-masing murid (!!) Ada dewan yang akan mempertimbangkan kalau ada anak yang minta tambahan uang jatah. Dewan itu juga yang memberi keputusan dan solusi bagi pengaduan dan keluhan tiap anak terkait kehidupan sosial berasrama. Saya... tidak sepenuhnya merasa bahwa sistem ini tanpa cela atau bahkan realistis, tapi menarik sekali melihat simulasi 'negara sosialisme demokratik' yang seolah ditampilkan Blyton di sini.
Banyak aktivitas yang tercakup dalam buku ini, seperti berkuda, berkebun, dan lacrosse (olahraga khas bukunya Enid Blyton hahaha). Namun, inti plotnya berkisar pada konflik antara Elizabeth dengan dua anak baru bermasalah di sekolah, Robert dan Kathleen. Rapat dewan menjadi panggung utama yang menampilkan adegan-adegan klimaks dari konflik tersebut, dan proses berlangsungnya rapat itu selalu jadi adegan paling berkesan buat saya. Kadang penyelesaiannya begitu cepat dan 'indah', sehingga saya sempat merasa begini:
Baiklah, menyaksikan orang berantem itu sejujurnya memang ada keseruan tersendiri, tetapi lebih menyenangkan lagi melihat anak-anak saling berbuat baik satu sama lain. Saya bahkan sempat merasa bangga pada perkembangan mereka, yang menandakan Blyton sukses membawa saya memahami dan berempati dengan batiniah para karakternya.
Oke, tadinya saya mau menutup ulasan ini dengan pernyataan songong khas orang dewasa kalau "buku ini bagus untuk dibaca anak-anak supaya kepribadiannya jadi lebih bagus".... lalu, mendadak saya tersadar bahwa saya sendiri dan orang-orang dewasa di sekitar saya masih banyak yang kelakuannya seperti bocah-bocah di buku ini! Masih suka main ego bin baper, gengsi tidak mau mengakui kesalahan, atau bersikap tidak adil ke orang tidak kita suka. Bahkan masih lebih mending Elizabeth dkk., yang punya kesadaran diri dan mengakui kekurangan-kekurangan mereka. Kita masih suka munafik.
Jadi, saya akan bilang, buku ini bagus dibaca anak-anak DAN orang-orang dewasa dalam rangka mawas diri!
I used to love these books as a kid, but now, as an adult, reading this particular book makes me think it's probably not something I'd be that comfortable letting my kids read (unlike the other books in the series). Why? There is a big preoccupation with the kids (girls in particular) needing to be happy and cheerful and good in order to not only be perceived as pretty but to actually look pretty. One girl in particular, Kathleen, is sullen and spotty and has greasy hair and has quite a nasty personality, and we see in her particular character arc that as the school reforms her, she is actively encouraged to smile more and eat less sweets so she will look prettier. It's a bit of a toxic message, that her worth and behaviour are so closely tied to her looks. The series is very much about kids having their bad ways reformed by the unique, somewhat socialist schooling system of Whyteleafe, but this takes it to a new extreme and feels very contrived and preachy.
Ini adalah kisah perjuangan anak-anak dalam menyadari, menghadapi, mengatasi, dan mengubah sikap buruk mereka masing-masing. Kita akan disuguhi adegan-adegan menyakitkan yang dialami para tokoh seperti Elizabeth, Robert, Kathleen, bahkan tokoh-tokoh figuran seperti Peter dan John ketika mereka masih dikuasai sifat-sifat negatif seperti pemarah, penakut, pengecut, tukang bully, dan, iri-dengki.
Para tokohnya pun menyadari rasa sakit itu disebabkan karena ulah mereka. Bahwa sedikit/banyak mereka punya andil terhadap masalah yang menimpa mereka. Sungguh kontemplatif. Dan bagusnya, dengan proses yang panjang, para tokohnya digambarkan dengan tegar mengakui kesalahan, meminta maaf, lalu memperbaiki diri. Dalam prosesnya mereka tak mengingkari emosi negatif mereka. Mereka menerima kenyataan bahwa mereka sedih, marah, kecewa, sembrono, dan justru dengan begitu lebih mudah bagi anak-anak ini untuk memperbaiki diri.
***
Lingkungan mereka pun digambarkan berusaha menekan prasangka, mencari penyebab, dan memperlakukan sikap buruk suatu individu sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan bersama, tidak untuk dijadikan bahan olokan demi menutupi keburukan diri sendiri. Mereka yang bersikap buruk seperti Robert tidak dibiarkan terpuruk, justru diberi tanggung jawab dan kepercayaan agar mereka bisa berlatih untuk mengatasi kemarahan dalam diri dan mengeluarkan potensi sifat kasih sayang mereka.
Seperti apa yang diucapkan/dipikirkan Robert dan Elizabeth di sepanjang cerita: jika hati bahagia, takkan terbersit sedikit pun keinginan untuk berbuat keji pada orang lain.
Lingkungan ini juga mendorong anak-anak tersebut untuk jadi empatik. Misalnya ketika mereka tahu alasan Robert menindas anak kecil berakar dari rasa kecewa karena adiknya merebut perhatian orangtuanya di rumah. Para guru mengatakan bahwa itu hal yang biasa terjadi pada banyak orang, tapi banyak orang pun bisa mengatasinya. Para murid bahkan termasuk yang ditindas Robert pun mengakui bahwa mereka juga merasakan hal yang sama di keluarga masing-masing. Berawal dari rasa empati itulah mereka mau memberi Robert kesempatan untuk berubah, juga membantunya.
Setiap perbuatan buruk ditegur sesuai porsi, hukuman tidak harus menyakitkan, sedangkan tiap kebaikan dan proses untuk menuju kebaikan diapresiasi serta diberi imbalan. Mereka mengakui sikap baik adalah hasil dari proses panjang. Mereka tetap mengakui sifat buruk satu sama lain, tapi mereka juga terprogram untuk saling mendorong apresiasi terhadap perubahan sikap.
***
Mungkin kita, orang dewasa, yang membaca buku ini beberapa akan ada yang menganggap situasi dalam buku ini terlalu utopis. Anak-anak seperti William dan Rita biasanya akan menyalahgunakan kekuasaan mereka. Anak-anak biasanya justru akan menjadikan hasil dari Rapat Besar sebagai bahan gunjingan dan sebagainya-dan sebagainya. Juga mungkin akan muncul anggapan, para tokohnya terlalu cepat berubah.
Namun, ini buku anak-anak. Durasinya memang singkat. Para tokohnya juga memang diset menjadi model bagi para pembacanya. Karena itu para tokoh model itu perlu dibuat beberapa langkah lebih maju dibandingkan anak-anak biasa (dengan cara yang manusiawi, yaitu dengan mengekspos kelemahan-kelemahan mereka secara gamblang juga). Jadi buku ini tak hanya mencoba memperlihatkan cara mengendalikan diri ketika diri mengalami kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan, tapi juga memperlihatkan cara bagaimana idealnya kita bersikap jika di lingkungan kita ada orang-orang yang memiliki sikap seperti Elizabeth, Robert, dan Kathleen.
***
Aku tak memberi buku ini 5 bintang karena ada dua hal yang mengganjal buatku. Yang pertama adalah bagian pembagian uang saku yang buatku terasa ganjil dan sungguh berbau komunis/sosialis (semua uang saku maupun uang kiriman dari keluarga harus diserahkan ke sekolah, lalu tiap anak mendapatkan uang saku yang sama tiap minggu. Mereka baru bisa mendapatkan uang saku lebih dengan mengajukan permohonan di Rapat Besar, itu pun belum tentu diterima. Kelebihannya diberikan untuk sekolah, dan tiap akhir semester dibagi rata untuk semua anak).
Yang kedua adalah bertebarannya kata "tolol" di sepanjang cerita yang buatku sungguh kasar dan mengganggu untuk cerita anak-anak. Tampaknya ini jadi salah satu "ciri khas" terjemahan buku-buku anak Enid Blyton. Entah apakah ini ada hubungannya dengan budaya asli pada masa itu (dan juga masa sekarang!). Aku sendiri penasaran kata sifat dalam bahasa Inggris untuk "tolol" dalam cerita ini itu apa.
Di luar itu, aku tak punya protes lain. Ini buku yang bagus tentang pengendalian diri.
***
Beberapa kutipan yang aku suka:
Di sini akhirnya aku mendapat keterangan lebih lengkap soal jenis jumlah satuan uang yang digunakan di Inggris. 1 poundsterling = 4 crown = 20 shilling = 240 pence.
Mais um semestre no colégio Whyteleafe e desta vez a Elizabeth comprometeu-se a ser uma boa menina mas alguém vai-lhe fazer a vida negra, e ela não vai deixar passar isso em branco.
Buku ini bercerita tentang permusuhan Elizabeth dengan Robert, dan kisah bagaimana Kathleen menjadi sangat membenci Jenny dan Elizabeth tapi kemudian karena suatu kejadian yang sangat mengejutkan dan membahagiakan bagi Kathleen—karena dia mendapat kesempatan untuk berubah dengan bantuan semua temannya di Whyteleafe—Kathleen dapat berubah menjadi gadis periang dengan lesung pipit manis yang muncul saat ia tersenyum. Selain itu juga diceritakan kenapa Robert bersikap nakal pada anak yang lebih kecil. Para Guru mencari tahu sebabnya sebelum dengan adil memutuskan hukuman bagi Robert agar ia jera. Tapi hukuman yang dijatihkan tidak seperti hukuman karena Robert malah mendapat kehormatan untuk mengurus kuda, 2 ekor kuda, dan ia boleh memilih kuda mana yang ingin ia urus. Bagi Robert yang sangat menyukai kuda, hal ini merupakan hadiah dan bukan hukuman. Hatinya luluh dengan ‘hukuman’ ini dan ia pun tidak lagi menakali anak-anak yang lebih kecil. Di samping karena hatinya yang luluh akan kebaikan kedua Hakim yang adil itu, juga karena dengan sibuk mengurus kuda Robert tak akan punya waktu untuk menakali anak-anak yang lebih kecil.
Pelajaran dari buku ini Untuk membuat seorang anak jera tak perlu dengan cara keras atau malah memberikan suatu hukuman yang berat padanya. Kita seharusnya mencari tahu alasan seorang anak berbuat nakal, dan karena tak akan ada asap bila tak ada api, maka sebab itu pasti ada. Dan dari sebab itulah kita dapat berlaku adil
Kesimpulan Walaupun buku ini buku cerita anak tapi ada banyak pelajaran yang ada didalaminya.
Masih lebih oke seri pertama, meski tetep aja seri kedua ini enjoyable to read 👍🏻.
Elizabeth makin dewasa meski tetep masih emosional yang menyeretnya ke beberapa masalah yang diceritakan di buku ini.
Agak aneh ama mudahnya Robert untuk curhat saat RB mengenai alasan dia suka menindas yang lebih kecil. Dari sisi usia, jenis kelamin, dan karakternya kayaknya ga cocok aja gitu. Jadi emang buku ini seolah gampang banget menyelesaikan masalah tuh.
Cuma yowis lah. Namanya juga buku anak-anak. Pas dibaca jaman kecil kok biasa aja, baru berasa ganjil pas dibaca saat dewasa :p.
Yayyyy She'll be monitor next term And I'm surprised at her patience towards the end of term and super glad that her and robert are now friends!!!!!!!!!!!!!!
This entire review has been hidden because of spoilers.
I don't have the same emotional connection to this book as I do to its predecessor, and its incredibly didactic in places. At least it was a relatively quick read.
After I have read the beginning of "The Naughtiest Girl Again" I liked three things about it. One of the reasons that I liked this book is because the main character, Elizabeth, tries to change during this term. One example she gives during this story is that she tries to be friends with everybody and she tries not to break any rules. I really liked this book because every thing that is happening to Elizabeth represents a real life story. It can happen to anyone that goes to a boarding or a normal school. During this processes of changing, Elizabeth realizes that being naughty did not bring her to any thing. And this something i liked about Elisabeth because i find that she grew.
although there were some positive things in the story there were some negative things. What i did not like about this story is the fear of bullying. there is this new boy that bullies younger kids. The younger kid is afraid to say the truth because he is scared to be more bullied. when the younger kids are afraid to say the truth then Elizabeth gets her old reputation back of being the naughtiest girl in school because she defends the smaller kids but they are afraid to say the truth.
READING LOG 2
On this second part that read things are not getting easier for Elizabeth. the bully, Robert, wants nothing but bad things to happen to her. Robert wants Elizabeth to get her bad reputation back. He wants everyone to think that she did not change. Elizabeth wants to defend the younger students but is impossible because she always gets in trouble because no one ever saw Robert do any thing bad. Even the little boy who gets bullied by Robert is afraid to tell the truth. Elizabeth doesn't know what to do.
All Elizabeth wished for was a happy and friendly term with everyone. Joan is Elizabeth's best friend and she knows that Elizabeth is saying the truth but she can't witness because she was not with her when Robert was bullying that poor little peter. whenever Robert does something bad he is somehow never in trouble but whenever Elizabeth is the good person she is always in trouble. All Elizabeth does is say the truth and all Robert says are parts of truths but mostly lies.
to conclude Elizabeth will have to keep on waiting and trying. we will see what will happen to her next. I am so impatient to see what she will do. i hope some body will see Robert does and they will finally know the real truth. i am really looking forwards to tell you what will happen next. all i hope for is that every one will finally believe the poor Elizabeth.
Ketika membaca judulnya, aku sudah menebak jika buku ini berseri dan ini bukan seri pertama. Aku pun meluncur ke Goodreads dan jika aku tidak salah pengertian, buku ini merupakan seri kedua dari total 10 seri yang Enid tulis. Meskipun langsung melompat ke seri kedua namun tetap bisa diikuti dengan baik. Jalan ceritanya bisa berdiri sendiri meskipun tokoh di dalamnya tetap sama (hanya ada penambahan dua tokoh baru). Dan ketika membaca seri kedua ini, aku bisa merasakan ada perkembangan dari karakter tokoh di dalamnya. Pengembangan itu sepertinya bergerak maju seperti alur yang bergulir di dalam kisah di buku tersebut.
Buku ini berkisah tentang Elizabeth yang bersekolah di sekolah asrama Whyteleafe. Elizabeth anak yang jujur dan adil. Dia juga pemberani meski keras kepala dan pemarah. Dia dijuluki si Badung pada semester lalu (seri pertama). Tapi tampaknya sekolah Whyteleafe telah mampu mengubahnya dan dia bertekad mengubah diri menjadi anak baik di semester baru ini. Namun tekadnya tersebut segera diuji dengan kedatangan kedua anak baru yaitu Robert dan Kathleen. Robert anak yang suka menindas, keji dan licik. Sementara Kathleen diam-diam mengerjai Elizabeth sehingga dia dimarahi oleh para guru. Bagaimana Elizabeth akan melalui semester ini? Apakah dia mampu menjadi anak baik atau sekali lagi menjadi anak paling badung seantero sekolah? :D
Buku ini memang termasuk ke dalam Children Literature, jadi bisa dibaca oleh anak-anak. Ada banyak nasihat yang bisa mereka (dan kita) ambil. Buku ini bisa membantu mendidik anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Banyak sekali yang Enid ajarkan terutama tentang sikap dan perilaku yang baik. Nasihat yang disampaikan tersebut tidak terkesan menggurui. Semua terasa biasa namun bekesan saat ia menyampaikan nasihatnya melalui buku ini.
Kuberi rating Better (2/3) di blog dan 4 bintang di Goodreads karena ini buku pertama karangan Enid Blyton yang berhasil kubaca dan aku mau membaca seri lainnya.
I adore Enid Blyton's books, and in particular I love the Naughtiest Girl trilogy. From the writing style and subject matter it is very obvious the decade the book was written, but that doesn't detract from the wonderful story it tells. Elizabeth is a loveable character who has a hot temper, one that I'm sure many of us can relate to. Her interactions with the other characters are honest and true and is one of the things I love the most about this book.
The plot is so unbelievably simple it's difficult to remember that it wasn't written by a ten-year-old. It works in the book's favour however, as it gives us a chance to really focus on each of the individual storylines and the messages the book is trying to give. We get so many POV changes throughout the book (mostly in the middle of a paragraph!), and while this would normally frustrate me to no end, I found that I could very easily keep up with whose thoughts we were following, because each of these kids had such a different voice.
4 out of 5 stars and recommended to everyone who never read this trilogy as a kid. It's one of those book series that you really just ought to have read. Seriously.
A second moral tale in the Naughtiest Girl series as Elizabeth and her friends return to Whyteleafe School, based on the progressive Summerhill School, for another term and more life lessons.
Some of the well behaved children still seem rather priggish and the changes in any child with problem behaviour, after it has been challenged, are so miraculous that they seem unreal. (Which of course they are - if only it were so easy to sort out bad behaviour in real life). What most grates to the modern reader is the twinning of a child’s less attractive appearance with their character faults and the fact that at least one teacher comments on them - then as they transform into “nice” children so does their appearance.
Nevertheless the moral lessons are interesting - covering bullying, false accusations, keeping your temper and facing up - and if necessary owning up - to your fears, faults and mistakes. It’s definitely simplistic, but then the author was writing for an age group who would very much see things in black and white, rather than the grey shades of adulthood.
Tahun kedua Elizabeth Allen di mulai. Walaupun sudah merubah sikap dari tahun lalu, namun kali ini perjuangannya untuk menahan diri dari amarah akan lebih sulit karena ada anak baru bernama Robert yang begitu senang bersaing dengannya dalam hal apapun.
Banyak teman-teman baru Elizabeth di tahun kedua ini, selain Joan, Harry, dan Richard. Persahabatannya dengan John si penggemar berkebun pun semakin membaik, lalu ada Jennifer, murid baru yang lucu, dan juga ada Kathleen yang pendengki dan tentunya akan banyak konflik yang melingkupi tahun kedua si badung ini, termasuk pemilihan pengawas dan kericuhan di Rapat Besar.
Me being a fan of young adult books was not very keen in reading an enid blyton book which was something i use to when i was 10 years old (im 15 now) but it was a gift from a friend of who knows absolutely nothing about novels but it would be ungrateful on my side by not reading it so i did and i liked it, i found a potential pair in robert and elizabeth n i wish they could which was VERY Unlikely considering the age of the characters and the author but still their fights and friendship was the best part
Now that the naughtiest girl has been broken and has become a part of the horror of this school, it is time to make her a real obedient soul and of course have someone trying to upset the apple cart. The whole premise of the school is hard to take and even harder to believe, Lord of the Flies reveals how this school would actually end up. Anyway this is not one of Blyton's best and the whole school terrifies me more than anything else in this series.
Elizabeth Allen telah memasuki semester baru. Suatu ketika, Elizabeth melihat anak baru yang bernama Robert sedang mengganggu Peter. Ia mengayunkan ayunan yang dinaiki Peter tinggi-tinggi. Elizabeth marah. Ia menarik rambut Robert, lalu Robert membalasnya.
Elizabet melaporkan Robert ke Rapat Besar. Akan tetapi, semua orang tidak percaya karena ia tidak memiliki bukti. Peter takut untuk bersuara. Ia sudah diancam Robert agar tidak membuka suara.
Elizabeth dan Robert menjadi bermusuhan. Mereka mengintai satu sama lain. Akhirnya Elizabeth menemukan Robert sedang mengganggu Leslie. Leslie tidak sepengecut Peter. Ia mengadukan perbuatan Robert ke Rapat Besar.
Suatu hari, di ruang bermain, Jenny diam-diam menirukan gaya Kathleen. Ia mengatakan wajah Kathleen berbintik-bintik. Tanpa sengaja Kathleen mendengar dan melihat perbuatan Jenny. Ia jadi sangat membenci Jenny.
Diam-diam Kathleen membalas Jenny dengan perbuatan-perbuatan yang jahat. Ia juga membalas Elizabeth karena telah membela Jenny. Elizabeth dan Jenny mengira itu semua perbuatan Robert. Mereka melaporkannya ke Rapat Besar.
Latar belakang keluarga Robert diceritakan. Ternyata ia iri dengan adiknya.
Robert dihukum dengan alasan mengganggu Leslie dan juga dengan tuduhan yang sebenarnya dilakukan Kathleen. Ia justru diberi kesempatan melakukan hal yang disukainya agar hatinya penuh dengan kasih sayang. Ia dibolehkan merawat kuda, yang sebenarnya aktivitas itu dibolehkan untuk anak kelas atas.
Robert sangat bahagia dengan kudanya. Ia berubah menjadi anak yang baik dan penyayang. Ia berbuat baik pada siapa saja.
Sementara itu, Kathleen merasa hidupnya makin buruk. Ia iri dengan Elizabeth dan Jenny yang cantik dan pintar. Ia akhirnya mengakui perbuatannya pada Jenny dan orang-orang terdekat, lalu melarikan diri dari asrama!
Pihak sekolah mencari Kathleen. Untungnya Kathleen ditemukan. Ia diterima lagi di asrama dengan baik. Ia mengubah sikapnya. Ia berusaha jadi anak yang baik agar disukai banyak orang.
Suatu hari, Elizabeth dan teman-teman berjalan-jalan dengan kuda tanpa seizin Robert. Hal itu disebabkan karena Robert terlambat datang. Di tikungan perjalanan, mereka berpapasan dengan mobil penggilas. Kuda yang dinaiki Peter ketakutan hingga berlari kencang. Kuda Elizabeth mengejarnya. Elizabeth menarik pelana dari kuda Peter hingga tangannya bengkak.
Elizabeth mendapat kesulitan lagi. Ia marah karena tidak bisa melakukan berbagai kegiatan yang disukainya. Teman-temannya mendukung dan membuatnya melupakan musibah itu. Elizabeth berusaha menolong semua orang. Ia berusaha bersabar. Akhirnya ia menjadi Pengawas!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Seperti buku karya Enid Blyton lainnya, buku ini juga bagus banget! Menceritakan berbagai kenakalan anak-anak; yang melakukan bullying mau pun membuat teman dalam kesulitan (dengan merusak/menghilangkan barang), serta sifat-sifat negatif yang ada pada diri anak-anak yang sedang bertumbuh: iri hati, kecewa, marah, minder, penakut, sombong, dll, lalu cara mereka menghadapinya.
Bagiku cara mereka menyelesaikan masalah begitu mudah, dengan cepat karakter anak-anak nakal itu dapat berubah menjadi lebih baik. Tetapi karena buku ini kategori anak-anak, aku mewajarkannya. Meskipun tidak seseru buku pertama series si Badung dan ada beberapa titik aku merasa bosan serta merasa ceritanya sengaja dipanjangkan saja, tetapi masih worth untuk dibaca.
Pesan moral dalam buku ini juga bagus, tersirat dengan begitu apik, yang paling kuingat adalah mengajarkan bahwa kita perlu mengubah diri sendiri terlebih dulu agar bisa bahagia dan menyenangkan orang lain/teman. Bahwa selalu ada kebaikan dalam diri sendiri. Hanya saja, semua itu seolah-olah kita tak boleh bersedi, melainkan harus terus memendam perasaan buruk (seperti kecewa, sedih, murung, marah, dll) dengan bersabar. Walaupun kesabaran dalam memendam perasaan buruk agar tidak membuat orang lain merasa kesal akan membuahkan kebaikan, tetapi bukankah terkadang ada saatnya kita masih perlu merasa sedih? Bukankah tidak apa-apa untuk merasa "tidak baik-baik saja"? (jika kau tahu film 'Inside Out', maksudku adalah tidak baik untuk terus memaksakan diri selalu bersikap bahagia, tapi di buku ini aku tidak memperoleh kesan itu).
Karenanya, 4/5 untuk buku "Sekali Lagi si Paling Badung". PS. Aku masih kurang 'klik' dengan sistem sekolah asrama di buku ini.
Kalau lagi butuh bacaan ringan sarat makna, kelihatannya aku bakal baca serial ini lagi dan lagi!
Sebetulnya serial Si Badung ini gak tenang sama sekali sih, tapi menurutku tetap ringan dan nyaman dibaca di berbagai situasi hati, hehe. Hidup Elizabeth hampir gak pernah mulus dan penuh lika-liku akibat karakter uniknya yang baik hati, TAPI kurang sabar dan keras kepala (alias sama banget aku juga 😭). Mengenal Elizabeth bikin aku belajar banyak hal yang sepele tapi besar, lewat caranya menyelesaikan masalah dan keputusan-keputusannya yang selalu lahir dari kebaikan hati dan kematangan berpikir.
Karena sifat kami ada yang mirip, aku merasa dekat sekali dengan Elizabeth. Meski begitu, aku juga belajar banyak dari teman-teman Elizabeth. Here are some of my favorite quotes:
"Tetapi kini ia tahu bahwa kebiasaan jahat membuat seseorang menjadi jahat."
"Kita tak bisa melenyapkan kesulitan kita dengan cara melarikan diri. Kesulitan itu akan terus mengikuti kita." "Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Kathleen sambil mengusap air matanya. "Harus kita hadapi, dan kita carikan cara terbaik untuk mengalahkannya," kata Rita.
"Agaknya bila kita membenci seseorang maka yang kita lihat adalah yang terburuk saja dari orang itu, sebab memang itulah yang kita cari. Sebaliknya bila kita menyukai seseorang maka orang tersebut akan tersenyum pada kita dan hanya menampakkan yang terbaik saja pada kita. Aku harus mencoba memberi kesempatan pada siapa saja. Akan kucoba untuk menyukai siapa saja agar siapa pun akan menunjukkan yang terbaik dari dirinya padaku." –Elizabeth
"Semua orang memiliki keberanian yang sama. Hanya ada yang tidak bisa memutuskan kapan menggunakan keberanian tersebut." –Joan
“A friend is someone who knows all about you and still loves you.” ― Elbert Hubbard The author of the book is Enid Blyton. It was published in the year 1942. The genre of the book is fiction.
The book is about Elizabeth returning to her school for the second year. She has turned into a new leaf and doesn't want to be the way she was last year.
There are three new students. One boy two girls.
She spots the boy (whose name is Robert) bulling a kid (called Peter). When she tries to report him it backfires.
She and Jenny (another new girl) get on the wrong side of Kathleen (another new girl). She plays tricks on them and Elizabeth thinks it is Robert.
After some time things get settled down. Things go great until Elizabeth hurts her hand and is forbidden to play with the piano till her hand is better.
At the end of the term, Joan and Elizabeth get a great surprise.
The book was awesome and fun to read.
My favorite character is Elizabeth and Joan. I like Joan's friendliness in the book and Elizabeth's nature is also awesome.
People who like Enid Blyton's books will love this book and also people who like boarding school books.