Jump to ratings and reviews
Rate this book

Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer

Rate this book
Tepat hari Minggu, 19 Desember pukul 00:00 serdadu-serdadu Belanda melancarkan operasi Burung Gagak (Kraai) ke ibukota RI (Republik Indonesia) di Yogyakarta. Dikenal sebagai Doorstoot naar Djokja, serangan kilat darat-udara ini diharapkan dapat menghancurkan kekuatan militer dan politik RI sekali dan selamanya.

Sementara pasukan lintas-udara KST (Korps Speciale Troepen) mendarat di Maguwo, terjadi perpecahan hebat di kalangan pemangku kekuasaan RI di Yogyakarta. Para pejabat militer bersikeras melawan serangan Belanda dengan perang gerilya. Sebaliknya, pejabat sipil bertekad membalas serangan melalui perang kata di jalur diplomasi.

Sementara perdebatan strategi perang RI memanas, pasukan khusus Belanda dari kesatuan Baret Hijau telah merangsek ke pusat kota dalam hitungan jam. Para pemimpin RI harus memutuskan bentuk perjuangan di bawah hujan mortir dan peluru Belanda. Keputusan mereka kelak tidak saja menentukan nasib RI, namun juga hubungan sipil-militer di Republik Indonesia.

Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan tempat pelarianku. Aku harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, serta memimpin rakyat kita.”

(Sukarno, an Autobiography)

437 pages, Paperback

First published December 1, 2009

5 people are currently reading
89 people want to read

About the author

Julius Pour

10 books10 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
21 (25%)
4 stars
34 (41%)
3 stars
23 (28%)
2 stars
4 (4%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 20 of 20 reviews
Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
January 25, 2010
hasil skimming: saya pikir ceritanya akan berkuta pada seputar penyerbuan yogya saja. Tapi ternyata ada cerita tentang Slamet Riyadi dkk di Sala.

Apa karena yang nulis orang Sala?

Ia berkisah penyerbuan itu mengubah jalan hidupnya ketika pesawat Belanda menyerang Delanggu. Kekacauan itu pun ternyata melibatkan beberapa orang yang dikemudian hari punya andil penting dalam perjalana republik ini (sebut sebuah nama, WIranto yang dilarikan dengan delman dari sekitar Mangkunegaran). Kilasan demikian setidaknya menyiratkan sejarah yang juga personal di mata beberapa pelakunya.

Sepersonal itukah penulisnya menggambarkan perbedaan pemimpin militer dan sipil dalam mengambil sikap usai Belanda? Perbedaan pendapat dan mengenai sikap yang harus diambil atas kondisi republik yang diserbu oleh Belanda dengan menggunakan strategi yang sama yang digunakan oleh Nazi dan Jerman. Termasuk pilihan waktu penyerbuan, hari minggu pagi. Kekacauan di hari minggu pagi yang membelah sikap pemimpin republik.

NB: ada info kecil. Serbuan belanda yang menggunakan dua instrumen utama: serbuan udara untuk membuat kekacauan, dan serangan pasukan payung dan komando untuk menguasai pangkalan udara dan kota itu awalnya direncanakan melibatkan Kapten Raymond Westerling. Perwira Belanda berdarah Turki yang heboh dengan taktik teror di Sulawesi Selatan itu baru saja bermasalah dengan pembantaian di Tasikmalaya. Oleh karenanya oleh pemimpin militer Belanda, ia digantikan oleh seorang perwira dua tingkat di atasnya. Bayangkan jika ia memimpin pasukan baret hijau maju menembus jantung kota Yogyakarta? Berapa nyawa kaum sipil yang akan dilego dengan murahnya? Padahal tanpa Westerling pun, sudah tercatat beberapa penembakan penduduk sipil dalam peristiwa itu.

***

review lengkapnya sedang diendapkan. mencoba mencari ke-geuleuh-an dari kebungahan saya membaca buku ini. Saya suka dengan anak judul buku ini: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Sebenarnya bukan cuma pertikaian sipil militer. Bisa jadi bukan soal di garis sipil-militer saja. Buku ini juga berkisah juga soal, Lubis yang berpendapat Nasution itu harusnya disidang karena dia pakai acara kunjungan seremonial ke Jawa Timur menjelang latihan perang yang juga menjelang serbuan Belanda ke Yogya. Ada juga tulisan Nasution yang menegaskan sikap politik seorang militer yang berdasarkan catatan saya, seharusnya itu berbeda ketika ia memikirkan dwi-fungsi.

Soekarno di Prapat bertengkar hebat dengan Sjharir. Syahris ngomel kepada Soekarno kenapa dia mengumumkan kepergiannya ke India. Serbuan Belanda bisa jadi memanfaatkan momen rencana keberangkatan itu. Soekarno dan Soedirman bersitegang soal dari kenapa mengubah rencana gerilya. Soedirman berpendapat, Moh. Roem tidak pantas jadi juru runding berdasarkan surat kepercayaand dari Soekarno dan Hatta yang sedang jadi orang tahanan. Soedirman lebih melihat Syafruddin Prawiranegara yang pantas menentukan. Syafruddin adalah orang merdeka yang memimpin PDRI yang legitimate berdasarkan mandat sidang darurat menjelang anak buah Letkol Van Beek menyerbu ke Gedung Agung. Bila pun Soedirman - yang garis politik kemerdekaannya mendekati Tan Malaka dalam hal Merdeka 100% - "berdamai" secara pribadi dengan Soekarno. Itu karena sentuhan pribadi. Kekerasan pribadi-pribadi yang ksatria dalam menjalankan sikap politik dalam koridor kenegaraan yang notabene masih bayi.

sejujurnya, kerinduan kepada pribadi-pribadi besar itu yang melanguti saya waktu menulis kemarin. Jangan-jangan review lengkap itu isinya sangat lebay.. ah tau kan bagaimana birunya rindu? :D

Catatan saya sendiri, negara ini memang pantas merdeka dan menang melawan Belanda, karena pemimpinnya sangat penuh dengan dedikasi dan kepribadian yang matang saat memperjuangkan negara ini. Termasuk jawaban T.B. Simatupang soal jalan mana yang membawa Indonesia merdeka. Diplomasi atau senjata? ah, kemana jawaban itu saat saya sekolah dulu. karena kesan saya saat itu bedil lebih sakti dari kata-kata para diplomat.
Profile Image for Nara.
23 reviews3 followers
March 13, 2013
Julius Pour banyak menyajikan fakta-fakta unik sebagai 'petite histoire' di buku ini, seperti kisah persaingan Slamet Riyadi dan bawahannya, Mas Achmadi di Solo, kisah Corps Mahasiswa yang semua anggotanya kelak 'jadi orang' dll. Fakta-fakta itu makin merangsang kita untuk menolak kebosanan saat memegang buku ini.

Buku ini juga dituturkan dengan bahasa yang cergas dan alur dinamis yang menggoda. Saya jadi tahu bagaimana tegangnya pasukan-pasukan kita menunggu konvoi Belanda, perasaan para pemimpin saat menunggu ditangkap Belanda di Gedung Agung serta kegalauan Panglima Soedirman saat praktis harus memimpin sendirian bangsa Indonesia pasca-Agresi II

Beberapa kekurangan kecil mungkin ada, cuma saya lupa. Maklum, keasyikan baca. Hehehe.
Profile Image for Anggi Hafiz Al Hakam.
329 reviews5 followers
March 3, 2013
Doorstoot Naar Djokja, bila diterjemahkan secara bebas (mengacu pada Google Translate) adalah Tusukan ke Jogja. Barangkali, itu sebabnya dinamakan Operatie Kraai atau Operasi Gagak. Serangan ke jantung Republik dilangsungkan sejak 19 Desember 1948 pukul 00.00. Ribuan prajurit KNIL (Koninklijke Netherlands Indische Lager-Tentara Kerajaan Belanda) didukung puluhan pesawat tempur mengudara dari Lapangan Udara Andir di Bandung menuju sasaran Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta.

Serangan ke Maguwo dilaksanakan oleh KST (Korps Speciale Troopen-Korps Pasukan Khusus) untuk segera menduduki lapangan terbang dan membuat jembatan udara dengan pasukan kiriman dari Kalibanteng Semarang. Sebelum berangkat terbang, pasukan para KST melagamkan mars untuk menaikkan moral mereka “..naar Djokja.. naar Djokja..”.

Penyerbuan mendadak ke Yogyakarta ini tidak pernah diduga oleh Pemerintah Republik sebelumnya. Berhubung Komisi Tiga Negara (KTN) masih berada di Kaliurang, Yogyakarta. Pengalaman lebih dahulu membuktikan bahwa Belanda akan kembali mengulang hal serupa seperti yang dilakukannya pada Agresi Militer ke-1, 21 Juli 1947.

Saat itu, Belanda mengumumkan bahwa pasukannya telah melintasi garis demarkasi Van Mook pada pukul 00.00. Berdasarkan kenyataan itu, Kolonel TB Simatupang mencoba meyakinkan Bung Hatta. Secara logis, Bung Hatta meyakinkan bahwa kemungkinan Belanda menyerang sangat tidak masuk akal. Sedangkan, para pemimpin militer sudah melihat kemungkinan akan datangnya serangan Belanda sehingga militer telah menyiapkan Perintah Siasat dari Panglima Besar Soedirman.

Melalui siaran radio hari Sabtu, 18 Desember 1948, Wakil Agung Mahkota Kerajaan Belanda, Dr. Louis Van Beel, mengeluarkan maklumat bahwa ia akan mengumumkan sesuatu pada esok pagi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak para pemimpin Republik. Tidak biasanya pengumuman dari Belanda datang pada hari Minggu. Kecurigaan terhadap kemungkinan serangan pun semakin meningkat.

Pengambilan keputusan yang berjalan alot di KTN antara kedua negara bersengketa telah membuat Belanda memainkan intrik. Saluran komunikasi sengaja diputus. Kemudian, Van Beel juga ‘memainkan’ surat Merle Cochran, komisioner KTN. Sehingga, Perdana Menteri Dr. Drees di Den Haag pun tidak mempunyai pilihan lain selain memberi otorisasi kepada Simon Spoor untuk melaksanakan Aksi Polisionil (sebutan Belanda untuk tindakan agresi militer ke Republik Indonesia) setelah menimbang semua laporan ia terima.

Sabtu malam pukul 21.00, Jusuf Ronodipuro dipanggil menghadap ke Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) dalam kapasitasnya sebagai perwakilan delegasi Republik. Dalam kesempatan itu, Jusuf menerima sebuah surat dari Wakil Agung Mahkota bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda merasa telah tidak terikat dengan perjanjian Renville.

“The said agreement should be terminated and is considered as no longer binding as from Sunday, 19 December, 1948, 00.00 hours Batavia time.” (hal.15)

Peran Delegasi Republik di Batavia dalam menyiarkan berita soal penyerangan ini sangat penting. Mereka kemudian menyusun laporan soal kejadian itu dan segera mengirimkan telegram kepada Duta Besar Republik Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, melalui saluran telegram milik Konsulat Jenderal India di Jakarta. Sehingga, pada hari Minggu keesokan harinya All India Radio di New Delhi sudah dapat menayangkan berita bahwa tentara Belanda telah menyerang dan membom Yogyakarta.

Minggu, 19 Desember 1948. Pesawat pertama pengangkut KST berangkat dari Andir, Bandung. Menyusul pesawat lainnya yang terang setiap satu menit. Pukul 08.00 pagi Dr. Louis Beel membacakan pengumuman yang isinya serupa dengan suratnya kepada Delegasi Republik di Batavia. Sedangnya, 3,5 jam sebelum pidato Beel dibacakan, tepat pukul 05.15 Landasan Udara Magoewo sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25. Hal ini menandai serangan pengecut dari pihak Belanda sebelum dikeluarkannya pernyataan perang.

Pembomban terus berlanjut hingga KST berhasil menyelasaikan tugasnya dan pasukan tentara KNIL bersama Marinir dari KM (Koninklijke Marine- Angkatan Laut Kerajaan Belanda) dapat menyerbu ke Yogyakarta. Dengan kondisi demikian, Presiden Soekarno segera mengadakan rapat kabinet guna menentukan langkah apa yang akan diambil oleh Pemimpin Republik. Dalam sebuah catatan, rapat kabinet tersebut dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman. Namun, Panglima Besar tidak ikut masuk di ruang rapat melainkan menunggu di ruang tamu Istana Presiden. Hal ini menjadi indikasi awal bagi anak judul buku ini, yaitu pertikaian pemimpin sipil-militer.

Keputusan telah diambil. Bung Hatta mengirim telegram untuk memberikan mandat kepada Menteri Urusan Kemakmuran, Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membuka Pemerintahan Darurat Republik seandainya pemimpin Republik di Yogyakarta ditahan Belanda. Kemudian, pesan itu juga diteruskan bahwa Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di India untuk membuka Exile Government.

Presiden beserta staf akan tinggal di Istana Presiden. Presiden Soekarno menyatakan tidak akan ikut bergerilya bersama Panglima Besar Soedirman, seperti sudah direncanakan sebelumnya bila Yogyakarta diserang musuh. Kenyataan tersebut melukai hati Panglima Besar Soedirman. Bahwa Soekarno ‘melanggar’ janjinya sendiri untuk ikut memimpin perjuangan gerilya. Dengan berbagai alasan, Panglima Besar Soedirman terpaksa menerima kenyataan bahwa Pemimpin Republik telah ‘menyerah’ kepada Belanda.

Pertempuran tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Pertempuran guna menghalangi mobilisasi pasukan Belanda juga dilakukan di kota Solo, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise (Kantong Militer) I, Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Atas perintahnya, Solo kemudian dibumihanguskan dan pasukan Republik mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perlawanan balasan secara mendadak.

Serangan Belanda yang bertujuan meringkus Pemimpin Republik serta menghabisi tentara Republik ini berjalan begitu singkat sehingga pada Minggu siang, Soekarna beserta pemimpin lainnya yang masih berada di Istana ikut ditangkap Belanda. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara. Sedangkan, Bung Hatta, Ali Sastroamidjoyo, Suryadarma, dan Moh. Roem, menyusul diasingkan ke pulau Bangka.

Dalam keadaan gerilya, Panglima Besar Soedirman menerima kabar bahwa Pemimpin Republik telah menyerah. Mereka ditangkap di Istana. Hal ini tentu sangat menyakitkan hati Panglima Besar. Bagaimanapun, mereka tidak melakukan perlawanan sedikit pun dan membiarkan diri mereka ditangkap musuh. Keadaan ini ikut memperburuk kondisi kesehatan Panglima Besar yang memang sudah ringkih.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Perlawanan demi perlawanan pun terus dilakukan di berbagai kota. Belanda masih bernafsu untuk menghabisi Panglima Soedirman. Sedangkan, upaya diplomasi melalui PBB pun terus dilakukan. Dewan Keamanan diminta segera mengeluarkan resolusi terkait dengan agresi militer Belanda kepada suatu negara berdaulat. Sementara perjuangan diplomasi terus berlanjut, tentara Republik berusaha menyerbu kembali Yogyakarta. Serangan yang kemudian terkenal dengan sebutan “Serangan Oemoem 1 Maret 1949”, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise III, Letnan Kolonel Soeharto, yang kelak menjadi Presiden selama 32 tahun.

Serangan itu dimulai usai bunyi sirine tanda jam malam berakhir. Letkol Soeharto mempimpin sendiri pasukannya untuk menyerbu Yogyakarta. Serangan tersebut berlangsung dengan sukses. Bukan saja mengejutkan tetapi juga terkoordinasi dengan cermat. Pertanyaan kemudian muncul, siapakah yang memberi otorisasi kepada Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan. Perintah Panglima Besar Soedirman kepada Sultan Hamengkubuwono IX, untuk tetap tinggal di kota dilaksanakan sepenuhnya oleh Sultan. Sehingga, Sultan dapat mudah berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang berhubungan dengan Sultan lewat kurir, bahkan bertemu sendiri dengan Sultan sehingga dicapai kesepakatan untuk melakukan serangan. Serangan ini juga berarti memberi pernyataan kepada dunia bahwa pasukan militer Republik masih ada. Dengan cerdik, ketika serangan dimulai, dari basis operasi radio di Wonosari, tersiar kabar bahwa pasukan Republik menyerang dan dapat menguasai Yogyakarta. Sebuah pukulan besar bagi Belanda yang kemudian menyerang Wonosari dengan sia-sia karena telah ditinggalkan pasukan Republik.

Melalui UNCI (United Nations Commision for Indonesia), perjuangan diplomasi Republik membuahkan hasil yaitu dengan dibebaskanny Pemimpin Republik. Pembebasan tersebut dilakukan setelah Belanda mendapatkan desakan bertubi-tubi dari komunitas internasional. Belanda sebagai negara penerima Marshall Plan yang digulirkan Amerika Serikat untuk membangun kembali perekonomian negara dicurigai menyalahgunakan dana tersebut untuk menyerang Indonesia, suatu tuduhan yang kemudian terbukti.

Kembalinya Panglima Besar dan Silang Pendapat

Persoalan kemudian mengemuka menjelang pelaksanaan gencatan senjata. Pada sidang kabinet 15 Juli, pemerintah secara terbuka menuduh pemimpin militer menyatakan gencatan senjata sulit dilakukan. Militer menganggap tidak ada jaminan bahwa Belanda akan datang ke KMB (Konferensi Meja Bundar).

10 Juli 1949, Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogyakarta, meninggalkan persembunyian selama perjuangan gerilya berlangsung. Panglima Besar kembali ke Yogyakarta dengan dijemput oleh Letkol Soeharto. Ikut bersama rombongan adalah wartawan harian Pedoman, Rosihan Anwar. Petikan wawancara Rosihan Anwar dengan Panglima Besar segera dikirim ke Batavia.

Dalam catatannya, Rosihan Anwar menulis bahwa Jenderal Soedirman tidak menyetujui garis kebijaksanaan politik para pemimpin Republik yang berada di Bangka. Perjanjian Roem-Roijen yang diterima tanggal 7 Mei 1949, tracee-Bangka, seperti digariskan Soekarno, pada pokoknya akan menghentikan perang gerilya dan bersedia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, guna merundingkan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia Serikat, tidak dapat diterima sepenuhnya oleh Panglima Besar Soedirman. Akibatnya, guna menghindari kesan terjadinya perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Panglima Besar Soedirman harus bisa diajak kembali ke Yogyakarta.

Panglima Besar Soedirman menampakkan dirinya kembali ke tengah khalayak yang menunggunya dengan pakaian sederhana yang selama itu digunakannya bergerilya, pakaian sederhana seorang petani Jawa dengan ditutupi mantel Tentara. Sebuah sikap yang jujur pada sejarah, mengutip penilaian TB Simatupang.

Panglima Besar Soedirman kemudian melapor ke Istana untuk bertemu Presiden dan Wakil Presiden. Setelah itu, Panglima Besar beranjak ke Alun-Alun Utara untuk menyambut parade pasukan. Sore itu, Panglima Besar Soedirman selalu berdampingan dengan Soehart, salah satu perwira militer kepercayaannya. Sosok yang memberikan jaminan pribadi sehingga Panglima Besar bersedia meninggal tempatnya memimpin perang gerilya.
Melalui berbagai pembicaraan, pada 1 Agustus 1949, gencatan senjata secara resmi diumumkan. Gencatan senjata itu adalah kebijakan politik yang konon sudah dirancang Presiden Soekarno dalam pengasingannya di Bangka.

Pada hari itu juga, Panglima Besar Soedirman menulis surat kepada Presiden Soekarno, yang pada intinya melukiskan akibat dari berubahnya kebijakan yang ditempuh para pemimpin politik. Sejumlah perwira militer telah mengalami geestelijke harakiri (bunuh diri jiwa). Meninggal akibat penderitaan batin. Panglima Besar menunjuk contoh Letjen Oerip Sumoharjo dan Kolonel Tjokronegoro. Kemudian, Panglima Besar juga meminta persetujuan atas pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar Angkatan Perang dan Kepala Staf Angkatan Perang, disertai dengan opsi keluar sama sekali dari ketentaraan. Surat yang hendak dikirimkan oleh Kolonel AH Nasution itu kemudian dibaca dan Kolonel Nasution menemui Panglima Besar diruangannya. Kemudian, melalui pendapatnya yang menegaskan persatuan pemimpin republik, Panglima Besar batal mengirim surat itu.

Panglima Besar menitip pesan pada Kolonel Nasution, mengharapkan agar Presiden Soekarno sendiri yang memberikan pidato di radio untuk memerintahkan gencatan senjata, berikut kebijakan politik yang mendasarinya.

Sejak hati itu, meski tidak jadi mengundurkan diri, Panglima Besar Soedirman praktis menarik diri dari segala macam kegiatan kemasyarakatan. Presiden Soekarno sendiri sering merasa tidak nyaman, khusus pada sikapnya yang memaksa memberlakukan gencatan senjata yang tidak disetujui Panglima Besar Soedirman.

visit my blog for more posts
Profile Image for Berny Julianto.
3 reviews2 followers
January 16, 2022
Ketika pihak Belanda mencampakkan perjanjian Renville pada awal 1948 dengan melakukan agresi militer kedua pada akhir tahun tersebut ke wilayah Republik Indonesia. Mereka mendarat di Maguwo lalu kemudian menduduki ibukota negara di Yogyakarta. Para pemimpin sipil dan militer sebelumnya telah sepakat bila terjadi serangan Belanda lagi seperti pada agresi militer pertama semua pemimpin termasuk Presiden, Wakil Presiden dan para anggota kabinet akan keluar dari ibu kota untuk memimpin perang gerilya. Tetapi pada hari itu Presiden Sukarno menolak untuk meninggalkan ibukota bersama Panglima Besar Sudirman. Letnan Jendral Sudirman yang masih dalam keadaan sakit parah karena TBC akhirnya berangkat bersama pasukannya keluar masuk hutan untuk memimpin perang gerilya. Para pemimpin sipil antar lain Presiden dan Wakil Presiden beserta anggota kabinet menyerah kepada tentara Belanda dan kemudian diasingkan ke Sumatra dan pulau Bangka. Perlawanan para gerilyawan masih terus berlanjut menekan militer Belanda di berbagai wilayah Nusantara. Puncaknya adalah peristiwa Serangan Umun 1 Maret 1949 di mana ribuan personil pasukan TNI yang oleh pihak Belanda dikabarkan telah kocar-kacir dan hilang koordinasi tiba tiba menyerang pada siang hari selama enam jam di Jogja. Hal ini menjadi titik balik tekanan politik Belanda menjadi kemenangan politik pihak Republik. Kondisi politik di Belanda sendiri beralih dari menyetujui agresi militer menjadi menyetujui perundingan pengakuan kedaulatan. Perundingan Roem-Rojen digelar untuk menyiapkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Tetapi terjadi perselisihan antar pihak pemimpin sipil yang harus menghadapi tuntutan gencatan senjata oleh Kerajaan Belanda; yang sudah kedodoran pasukan militernya menghadapi perang gerilya pihak Republik Indonesia; sebagai syarat mereka mau datang ke KMB sebagai langkah ke pengakuan kedaulatan dan pembentukan RIS. Pihak pemimpin militer yang sudah tidak mempercayai kejujuran pihak Kerajaan Belanda yang telah melanggar Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville sukar untuk menerima mereka harus melakukan gencatan senjata yang sudah berkali-kali digunakan sebagai taktik Belanda ketika kekuatan militernya melemah. Tetapi untuk mencapai tujuan perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia maka pihak pemimpin sipil dan militer harus bersatu untuk bisa memulai proses KMB. Tetapi pihak militer mengajukan beberapa syarat untuk berjaga-jaga seandainya terjadi kegagalan KMB dan perang meletus kembali.
Profile Image for Nuning Soedibjo.
Author 3 books
March 9, 2010
Buku ini bercerita mengenai sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama setelah Agresi Militer II oleh Belanda, dan menghasilkan persetujuan Roem-Roijen hingga KMB (Konferensi Meja Bundar).

Buku ini sempat membahas Serangan Oemoem 1 Maret 1949, yang dipimpin oleh Letkol Soeharto, tetapi Doorstoot Naar Djokja sangat menonjolkan Sultan Hamengkoe Boewono IX dan Panglima Besar Jendral Soedirman, selain Presiden Soekarno & Moh. Hatta.

Agresi Militer oleh Belanda, yang disebut sebagai Operasi Kraai oleh Jendral Simon Spoor, bertujuan menghancurkan TNI, karena dalam setiap perundingan politik antara Belanda dan Republik, keberadaan TNI selalu menjadi batu sandungan bagi Belanda.

19 Desember 1948, terlihat perbedaan pandangan antara militer dan sipil. Soekarno justru sebaliknya membujuk Soedirman untuk bersembunyi di dalam kota sambil berobat, setelah sembuh barulah berangkat ke luar kota. Tetapi Soedirman menolak dengan terang-terangan, dengan alasan jika seorang Panglima Besar sampai bisa ditangkap oleh musuh, efek psikologisnya terhadap seluruh prajurit akan sangat berat dan bakal meruntuhkan semangat perjuangan.

Akhirnya Soedirman mengadakan perang gerilya dengan Belanda, dengan restu Soekarno. Sedangkan Soekarno memilih jalur diplomasi dan mengibarkan bendera putih.

Penempatan Djokja sebagai Ibukota Republik Indonesia tidak bisa lepas dari peran Sultan Hamengkoe Boewono IX, dan setelah diserang oleh Belanda, otomatis perekonomian dan jalan pemerintahannya pun mati, sekalipun sudah diadakan pemerintahan darurat di Bukittinggi.

Namun Sultan HB IX sudah berpandangan jauh ke depan, mata uang Belanda dalam jumlah sangat besar yang seharusnya "dihancurkan" selama pendudukan Jepang, tetap disimpan dengan baik dalam Keraton. Dan dikeluarkan kembali untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan Republik.

1 Maret 1949, dengan kecerdikan Soedirman, Soeharto dengan anak buahnya, berita radiogram segera dikirim ke Bukittinggi, direlay ke Takengon, Aceh, diteruskan ke Rangoon (Birma) dan dilanjutkan ke New Delhi (India), hingga akhirnya go internasional. Hal ini menyebabkan posisi Belanda semakin melemah di mata dunia internasional, sebab ini membuktikan bahwa TNI masih ada. Mematahkan berita dari Belanda, bahwa TNI sudah dihancurkan.

Mulai dari Persetujuan Roem-Roijen hingga KMB, Soedirman tetap bersembunyi dengan sistem perang gerilyanya, sebab dalam pemikirannya, bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan tidak pernah ada sikap tawar menawar.

Akhirnya, Soedirman berhasil dibujuk untuk turun gunung oleh Presiden Soekarno dengan perantaraan Letkol Soeharto, dan menghadap Presiden Soekarno lengkap dengan pakaian sederhana seorang petani Jawa dengan ditutupi mantel tentara, beserta blangkon.

Memang sempat terjadi ketegangan antara keduanya mengenai gencatan senjata paca persetujuan KMB, sehingga Soedirman memilih mengundurkan diri dari jabatan Panglimanya dan keluar dari ketentaraan sama sekali. Namun Nasoetion telah menengahinya,
"Bagi saya, lebih baik ada kebijakan, meski jelek tetapi tetap menjaga persatuan antara Soekarno, Hatta, Hamengkoe Boewono, Soedirman sebagai pemimpin yang dipercayai. Dibanding kebijakan bagus tapi akan bisa memecah belah persatuan para pemimpin nasional."

Akhirnya Soedirman tidak jadi mengundurkan diri tetapi dia praktis telah menarik diri dari segala macam kegiatan kemasyarakatan. Soekarno sendiri selalu mengiriminya surat-surat, untuk mengatasi ketidaknyamanan antara mereka.

Buku ini berakhir pada kemerdekaan Indonesia sepenuhnya dari Belanda, dengan adanya persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar), tetapi Hatta mengingatkan kita, bahwa :
"Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani. Maka dengan tercapainya penyerahan kedaulatan, perjuangan masih belum selesai. Malahan kita berada pada permulaan perjuangan yang jauh lebih berat dan lebih mulia, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan manusia daripada segala macam penindasan."

Doorstoot Naar Djokja benar-benar mampu mengintepretasikan semangat nasionalisme dan patriotisme, disamping mengulas beberapa pengkhianatan oleh prajurit-prajurit Indonesia dan beberapa pejabat pemerintahan lainnya. Yang paling mengharukan saya, adalah semangat juang Pak Dirman yang sangat tinggi, meskipun badannya sudah menderita kesakitan dengan satu paru-paru saja.
Profile Image for Dimitri.
29 reviews1 follower
May 1, 2010
Perjuangan para pendiri Republik Indonesia, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, masih belum selesai. Kemenangan pihak Sekutu dalam Perang Dunia ke-2, dimana Belanda termasuk di dalamnya, membuat Indonesia tidak bisa langsung lepas dari cengkraman Kolonialisme.

Para 'Republiken' masih harus mengalami 2 konflik dengan Belanda dan 1 konflik dalam negeri, saat terjadi kekacauan di kota Madiun, sebelum Belanda benar-benar mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949.

Salah satu konflik yang terjadi dengan Belanda adalah Peristiwa Agresi Militer Belanda ke-2 yang ditujukan langsung untuk menghancurkan para kaum Republiken di kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Inilah fokus cerita buku ini, yang berakhir dengan bergabungnya Republik Indonesia dengan negara-negara BFO (Pasundan, Indonesia Timur) dalam memperjuangan pengakuan kedaulatan penuh di Konferensi Meja Bundar.

Di dalam buku ini kita diajak untuk merasakan perjalanan kejadian-kejadian yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda. Metode perjuangan, legitimasi kepemimpinan sipil vs militer serta persaingan / intrik politik menjadi sebuah "pseudo-konflik" yang mewarnai seluruh cerita di buku ini.

Ada beberapa hal yang cukup "merisaukan" dalam buku ini :

1. cerita perjuangan di kota Solo tidak melibatkan konflik antara pemimpin sipil dan militer, namun merupakan masalah internal militer. selain itu juga tidak berhubungan langsung dengan agresi di kota Yogya, karena juga banyak kejadian di daerah / kota lain yang terkena dampaknya. jadi memasukkan persaingan militer di Solo di buku ini agak kurang tepat.

2. bagi pembaca yang paham dengan situasi geografis daerah Jawa, terutama Yogyakarta dan sekitarnya, mungkin bisa lebih menikmati narasi perjalanan perang yang terjadi. Namun bagi para pembaca awam, yang tidak mengerti peta Pulau Jawa, mungkin tidak akan terbayangkan dan tidak bisa menikamti narasi yang ada. Saya usul bagaimana jika dimasukkan illustrasi peta yang dapat memandu pembaca untuk lebih menikmati dan menghayati cerita buku ini.

Hal yang sangat "menggembirakan" dalam buku ini adalah isi buku ini membuat sejarah perang Revolusi menjadi lebih hidup, dibandingkan hanya sebuah tanggal dan nama, seperti yang biasa didapatkan di buku sejarah sekolah.

hal ini membuat kita lebih menghargai peran dan kontribusi setiap individu, kekuatan dan kelemahan mereka dalam menjalani peran mereka dalam sejarah Indonesia.

Bahwa Soeharto pernah bertindak heroik di Yogya sudah sepatutnya mendapat apresiasi, walaupun banyak hal negatif yang kemudian terjadi saat dia memegang kekuasaan.

Bahwa Soekarno adalah orator ulung dan Proklamator bangsa ini sudah seharusnya kita selalu ingat, namun ketidaksediaannya untuk ikut perang gerilya bersama Sudirman dan menyerah langsung dengan mengibarkan bendera putih saat Belanda perlahan mendekati kediamannya di Yogya juga menjadi suatu hal yang bisa dikatakan menjadi kelemahannya, terutama di mata para anggota TNI

semoga akan ada lebih banyak buku semacam ini untuk para pembaca Indonesia demi lebih menghargai jasa para pahlawannya di masa lalu dan membuat Pemerintah masa kini menjadi malu karena tidak berani menghukum mati para koruptor...seluruh pejuang yang meninggal demi Indonesia akan menangis di kubur mereka melihat pemimpin bangsa ini sekarang (di legislatif, eksekutif maupun ketentaraan)
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Sancaka.
95 reviews13 followers
April 8, 2010
Isinya menarik dan menambah pengetahuan seputar agresi militer II atau aksi polisionil atau apa pun namanya oleh Belanda terhadap wilayah Republik di Yogyakarta. Sungguh hal menarik ketika buku ini tidak melulu membahas aksi heroik TNI melawan tentara Belanda, tetapi juga menyajikan konflik antara pihak sipil dan militer dalam menyikapi serangan militer Belanda ke Yogyakarta. Hal ini yang tidak disampaikan dalam mata pelajaran sejarah sewaktu saya belajar di SD dan SMP.

Bintang lima pantas disematkan apabila penulisan buku ini menggunakan ragam tulis bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar sehingga enak dibaca serta meminimalkan salah tafsir oleh sidang pembaca.
Profile Image for Leni.
31 reviews2 followers
August 14, 2016
selanjutnya, saya akan memandang Jogja tidak dengan cara yang sama seperti dahulu. saya suka dengan pemahaman betapa istimewanya Jogja dalam masa perjuangan meraih kedaulatan, namun saya juga seringkali terganggu dengan alur cerita di buku ini yang tercampur-campur, teks surat yang tidak diterjemahkan, hingga distraksi-distraksi lainnya yang agak mengurangi kenyamanan dalam membaca. sebagaimana efek dari setiap membaca buku sejarah : selalu menerbitkan rasa penasaran untuk membaca juga buku-buku sejarah yang lainnya.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
September 1, 2016
Buku yang sangat detail karena memang mengambil salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah pengakuan Republik, skup temporal yang sangat eksplisit membuat bahasan menjadi sangat diakronis dan detail.
Ditambah dengan pembawaan materi yang sangat kronologis tak dipungkiri akan membuat pembaca lebih cepat memahami isi buku, inilah titik vital kekuatan buku Julius Pour satu ini.
Selain itu, buku yang hanya mengambil salah satu kepingan sejarah justru malah bisa membuktikan bagaimana kompleksitas dalam merebut kedaulatan negara. Singkatnya, tak bosan saya memuji buku ini.
Profile Image for Lauti Sutedja.
37 reviews16 followers
June 23, 2011
Buku yang mengupas sejarah perjuangan para pendiri RI dalam upaya mempertahankan proklamasi. Tidak melulu berkutat pada angka-angka tahun yang disajikan dalam mata pelajaran sejarah ketika sekolah, namun juga pergulatan antara pemimpin sipil dan militer dalam menyikapi agresi Belanda ke-2. Buku yang layak dibaca oleh siapapun yang menghargai jasa besar para pendiri Republik kita tercinta.
Profile Image for Kukuh Ardian.
4 reviews
June 10, 2013
menyajikan sejarah lebih menarik. mengingatkan masa kecil saya saat diceritakan seorang guru ttg pesan tsb "pesan panglima tertinggi soekarno kepada panglima besar soedirman, Adalah Ispirasi! Agar saling Mengisi dalam perjuangan di bidang yang dikuasai, sifat Pantang menyerah dan kepercayaan adalah keutamaan dalam perjuangan...Bukan untuk Abadi tapi Menjadi Arti dalam tiap detik perjuangan.
Profile Image for Handaka mukarta.
50 reviews14 followers
November 14, 2012
saya kira Julius Pour cukup serius mempersiapkan buku ini. Beberapa peristiwa direkonstruksi dari berbagai sudut pandang pelaku sejarah dan diramu menjadi sebuah bacaan yang menarik. Akan lebih pas kalau setiap kutipan langsung diberi citation.

Profile Image for Agung.
Author 1 book2 followers
January 11, 2010
jangan sekali-kali melupakan sejarah!
Profile Image for Melati Putri.
5 reviews5 followers
May 16, 2011
Kisah nyata sejarah yang diceritakan secara gamblang dan lugas!
135 reviews3 followers
April 16, 2013
Magoewo, Podjok Beteng, Aloen-aloen, Sentolo, Samigaloeh, Plajen, Plered, Ngejaman, Toegoe, Kauman, Kerathon, Malioboro, Kotagede,... Liane lali...
Profile Image for devie.
47 reviews2 followers
January 19, 2017
Keren.

Ini buku kalau dibuatkan filmnya. Akan keren sekali!!! Latarnya di Agresi Belanda kedua tahun 1948.

TOP
Profile Image for Setyo Aji.
19 reviews
September 3, 2017
bercerita tentang sejarah Indonesia yang wajib kita ketahui. menyegarkan
Displaying 1 - 20 of 20 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.