Jump to ratings and reviews
Rate this book

Selimut Debu

Rate this book
Selimut Debu akan membawa Anda berkeliling “negeri mimpi"—yang biasa dihadirkan lewat gambaran reruntuhan, korban ranjau, atau anak jalanan mengemis di jalan umum—sambil menapaki jejak kaki Agustinus yang telah lama hilang ditiup angin gurun, namun tetap membekas dalam memori. Anda akan sibuk naik-turun truk, mendaki gunung dan menuruni lembah, meminum teh dengan cara Persia, mencari sisa-sisa kejayaan negara yang habis dikikis oleh perang dan perebutan kekuasaan, sekaligus menyingkap cadar hitam yang menyelubungi kecantikan “Tanah Bangsa Afghan” dan onggokan debu yang menyelimuti bumi mereka. Bulir demi bulir debu akan membuka mata Anda pada prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dilupakan—sampai akhirnya ditemukan kembali.

“As a backpacker, Agustinus has taken several routes in his journey which other travelers would have most likely avoided.” -The Jakarta Post

“Agustinus tak ingin hanya menjadi penonton isi dunia. Ia mau terlibat sepenuhnya dalam perjalanan itu. Ia tak sekadar melihat pemandangan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga mengenal budaya dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.” - Kompas

468 pages, Paperback

First published January 12, 2010

169 people are currently reading
1820 people want to read

About the author

Agustinus Wibowo

9 books608 followers
Agustinus Wibowo is an Indonesian travel writer and photographer who had spent four years traveling overland continuously. Departing from Beijing, his original destination was South Africa, but he was stuck in Afghanistan and stayed there for 3 years as a photojournalist. He has published two travel narrative books in Indonesian language, namely: Selimut Debu---Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan (Blanket of Dust---Dreams and Pride from War-torn Afghanistan) and Garis Batas---Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (Borderlines---Journey in Central Asian Countries).

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
897 (45%)
4 stars
757 (38%)
3 stars
238 (12%)
2 stars
50 (2%)
1 star
24 (1%)
Displaying 1 - 30 of 273 reviews
Profile Image for Uci .
617 reviews123 followers
January 18, 2011
Afghanistan, dulu dan sekarang, adalah ironi. Sementara alamnya tandus, gersang dan kejam, penduduknya menyimpan keramahan dan kemurahan hati tak terhingga. Sementara bulir-bulir tasbih tak henti berputar di jari para lelaki, praktik bachabaz atau hubungan seks antar lelaki dianggap lumrah. Sementara para lelakinya dikenal garang dan jantan, sinetron India Karena Ibu Mertua Juga Pernah Menjadi Menantu, menjadi tayangan favorit mereka (hal.199). Bedil yang tergantung sangar di pundak juga tak luput dari hiasan bunga (hal. 302). Dan kini, sementara uang jutaan dolar mengalir deras ke negeri itu, Afghanistan tetap miskin dan terbelakang. Hanya para ekspatriat dan 'pekerja sosial' yang semakin kaya. Kematian, baik akibat perang maupun keganasan alam, menjadi makanan sehari-hari. Tidak ada yang berubah, meski di belahan dunia lain zaman terus melaju cepat.

Ke dalam negeri unik nan luar biasa ini Agustinus Wibowo melangkahkan kaki. Bukan sekadar melangkah, tapi menjelajahinya hingga ke pelosok. Menceritakan pada pembaca tentang negeri yang kerap mengisi tajuk utama namun tak pernah benar-benar dikenal. Agustinus mungkin tidak menyumbangkan banyak hal kepada Afghanistan, berbeda dengan Greg Mortensen misalnya, yang membangun sekolah demi sekolah di sudut-sudut perbatasan Afghanistan. Namun, jika saya orang Afghanistan, buku seperti ini mungkin bisa membuat saya sedikit tersenyum. Buku yang bersuara jujur tentang sebuah negeri indah namun hancur oleh perang dan ketamakan. Buku yang sedikit banyak bisa membuka mata tentang orang Afghanistan, bukan hanya sisi buruknya, tapi juga sisi baiknya. Sehingga suatu hari nanti tidak ada lagi ucapan semacam ini: "Kamu orang dari negara beradab, kenapa masih memakai baju seperti ini?" (hal.321). Ucapan yang diterima Agustinus dari seorang lelaki Iran, yang mengira dia orang Afghanistan karena memakai salwar qamiz lusuh khas Afghan.

Afghanistan bukan cuma Taliban, Afghanistan bukan cuma burqa, dan saya iri pada para petualang 'nekat' seperti Agustinus yang berani dan berhasil melihat sisi lain negeri ini. Sesama backpacker yang ditemui Agustinus di sini, Lam Lin, bahkan lebih memikat lagi di mata saya, karena dia seorang perempuan. Semua tahu betapa sulitnya seorang perempuan bepergian sendirian di Afghanistan. Backpacker-backpacker seperti mereka memang selalu membuat saya berdecak kagum, karena mereka benar-benar menjelajahi dunia, bukan sekadar menjenguknya.

Satu hal yang sangat menonjol dalam buku ini adalah, perjuangan bertahan dari alat transportasi yang mengerikan! Pembaca terus-menerus disuguhi sulitnya bepergian dari satu tempat ke tempat lain di Afghanistan karena sistem transportasi yang masih nol besar. Truk dan mobil buatan tahun 70-an masih jadi andalan, padahal medan begitu berat sehingga seharusnya menggunakan mobil yang tangguh. Itu pun belum tentu seminggu sekali ada yang lewat. Saya jadi kepikiran merintis karir sebagai pengusaha transportasi di sana :D Mungkin jika uang jutaan dolar itu disalurkan dengan benar, transportasi seharusnya menjadi prioritas utama.

Terus terang, saya teringat negara saya sendiri, Indonesia. Mungkin kita terlihat lebih makmur, tapi dalam hal diremehkan bangsa lain, kita punya pengalaman yang sama, bahkan oleh negara tetangga saja yang jelas-jelas lebih kecil. Pertikaian yang terus-menerus, baik di jajaran elit maupun akar rumput, juga kerap mewarnai negara kita. Walaupun tentu saja saya, dan jutaan warga Indonesia lainnya, berharap masa depan negeri ini tidak akan seterpuruk itu.


PS: Kepada para petualang 'nekat' di seluruh dunia, I salute you!!!

Profile Image for Jimmy.
155 reviews
March 31, 2011
Tanah airku, lelah oleh khianat, oh tanah airku…
Merana dan kesepian, oh tanah airku…
Begitu banyak derita yang kau rasakan, oh tanah airku…

Siapa yang melantunkan ratapan dan isak tangismu.
Tanah airku, siapa yang membuka jalanmu
Tanah airku, siapa yang setia padamu

Engkau adalah bulan bintangku.
Engkau adalah jalan pulangku.
Ku tak hidup tanpamu

Mereka mencuri hartamu.
Mereka hancurkan hatimu.
Tanah airku, lelah oleh khianat, oh tanah airku…


Sarzamin-e-Man (yang berarti “Tanah Airku”, lagu yang dipopuler beberapa tahun setelah jatuhnya Taliban)

Perang. Bom. Ranjau. Taliban. Teror. Kekerasan. Kebodohan. Opium. Tandus. Invasi Uni Soviet. The Kite Runner. Hal-hal itulah yang muncul dalam pikiran saya ketika mendengar kata Afghanistan. Dengan hanya membaca lirik lagu di atas, seperti apa bayangan anda akan Afghanistan? Kesedihan. Korupsi. Kemiskinan. Penderitaan. Pengkhianatan. Kehancuran. Ratap tangis. Mungkin apa yang anda bayangkan sedikit mirip dengan apa yang saya bayangkan. Mungkin. Tapi seperti apa sebenarnya kehidupan rakyat Afghanistan yang masih saja dibayangi teror, bom, ranjau sisa perang, dan jenis kekerasan lainnya? Saya – dan mungkin anda – hanya bisa mengira-ngira.

Untunglah ada seorang Agustinus Wibowo, yang berkelana, melihat dan merasakan langsung kehidupan rakyat Afghanistan yang diselimuti oleh debu. Banyak hal baru mengenai Afghanistan yang saya dapat setelah membaca buku ini.

Sejumlah orang yang mengaku sebagai backpacker, traveler, ataupun yang hanya sekedar berwisata kuliner, sudah membukukan catatan perjalanannya. Tapi kalau dilihat dari materi yang ditawarkan, kebanyakan hanya mengunjungi tempat-tempat indah, menuliskan catatan harian, dan berfoto. Tak lupa, memajang foto-fotonya di akun jejaring sosial mereka. Lebih hanya untuk memperkenalkan tempat-tempat indah yang bisa anda kunjungi saat liburan atau cuti untuk relaksasi. Hotel murah dan nyaman. Tempat makan murah dan enak. Ada juga yang mencoba mengenal lebih dekat budaya daerah yang mereka kunjungi, tapi itu hanya kulit luarnya saja.

Agustinus Wibowo lebih dari itu. Dia bukan hanya seorang backpacker ataupun traveler. Dia tidak menginap di hotel. Dia tidak berwisata kuliner. Dia menumpang tidur di atas matras berkutu yang tersedia di warung yang sangat sederhana. Dia menumpang truk, traktor, atau Falang Coach dengan ongkos yang sangat “fluktuatif” sesuai keberuntungan. Bahkan kadang harus berjalan kaki. Kelaparan. Kehausan. Kecopetan. Tidak mandi berhari-hari. Kena gampar. Dan ... menjadi objek pemuas nafsu seorang bachabaz.

Sejak beberapa bulan yang lalu, saya sangat tertarik dengan acara “Don’t Tell My Mother” yang dibawakan oleh Diego Bunuel dan “Departures” oleh Scott Wilson dan Justin Lukach (tayang di saluran NatGeo Adventures). Saya lalu berpikir dengan penuh percaya diri, Agustinus Wibowo layak untuk punya acara di saluran ini. Seperti kata Maggie Tiojakin di bagian kata pengantar, Agustinus Wibowo adalah seorang explorer. Ya, saya setuju. Dia adalah seorang explorer yang telah menjadi mata saya.

Memangnya apa yang ditawarkan Agustinus Wibowo dalam buku ini? Saya akan cuplik beberapa untuk anda. Tapi, tolong jangan anggap sebagai spoiler, karena cuplikan yang saya berikan hanya sebagian kecil yang bisa anda dapatkan sendiri.

Dalam kemiskinannya, Afghanistan termasuk dalam sepuluh besar negara terkorup di dunia. Saya suka dengan kalimat yang saya kutip dari bukunya ini. Miskin tapi merupakan sepuluh negara terkorup. Ironi? Ternyata, dana miliaran dolar yang digelontorkan komunitas dunia ke Afghanistan dikorupsi secara gila-gilaan. Sementara anak jalanan, janda perang, dan pengemis cacat hanya bisa memimpikan sepotong roti untuk mengganjal perut kosong mereka.

Masih banyak perempuan Afghanistan yang terkurung di balik burqa. Terlindung dari debu, tapi kepanasan dalam waktu yang bersamaan. Dan … menjadi anonim. Bukan karena pilihan, tapi dipaksa oleh keadaan. Tidak bebas keluar rumah, dan juga tidak punya akses terhadap pendidikan. Menurut saya, dalam hal ini burqa tidak lagi sekedar penutup aurat, tapi menjadi “sangkar emas” buat sebagian besar perempuan Afghanistan. Sebagian besar lelaki Afghanistan percaya bahwa jika mereka sudah memenuhi kebutuhan istri(perempuan dalam keluarga) mereka, lalu untuk apa para perempuan bersekolah, mempunyai keahlian, atau keluar rumah? Dalam hati, saya bertanya ... bukankah laki-laki Afghanistan juga manusia? Yang setiap saat bisa kehilangan nyawa. Lalu siapa yang akan menghidupi istri atau perempuan-perempuan di keluarga mereka kelak jika itu terjadi? Apakah mereka tega membiarkan perempuan-perempuan itu menjadi pengemis karena tidak punya pendidikan dan keahlian? Ngomong-ngomong, meski anonim, tapi mas kawin untuk menikahi perempuan Afghanistan sangatlah mahal. Dan itu yang menyebabkan banyak lelaki di negara ini memilih hidup membujang seumur hidup.

Bangsa Pashtun merupakan suku mayoritas di Afghanistan. Mereka sangat menjunjung nilai-nilai kehormatan. Menyinggung kehormatan orang lain bisa berujung pada kehilangan nyawa. Dari segala macam nilai kehormatan yang paling utama untuk dijunjung adalah memastia, atau keramahtamahan terhadap tamu. Tamu harus dihormati, tak peduli apa suku atau agamanya. Orang Pashtun pantang menyerahkan tamunya pada musuh. Tamu harus dilindungi, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan nyawa sendiri. (P143) Pesan moralnya adalah jika suatu saat anda berkelana di Afghanisan, menginaplah di rumah bangsa Pashtun. Setidaknya, sedikit lebih aman… :)

Di Afghanistan, ada umat Ismaili, Syiah, dan Sunni. Umat Ismaili dari lembah Wakhan ini kerap terpinggirkan. Orang Syiah bilang, Ismaili sudah bukan lagi bagian dari Syiah. Orang Sunni bilang, Ismaili, seperti halnya semua orang Syiah, sudah bukan di jalan yang benar. Sekte-sekte di Afghanistan, walaupun sama-sama mengucap kalimat syahadat, saling curiga dan memandang rendah. (P260)

Tapi kemudian, coba kita simak kalimat berikut:
“Bagi kami yang paling penting adalah insaniat. Kemanusiaan. Semua manusia, apa pun agamanya adalah sama. Agama itu letaknya di hati,” itu ucapan Shah dari Panja yang selalu saya kenang. Insaniat, kemanusiaan, adalah prinsip dasar Ismaili. Umat diajarkan untuk mencintai sesama manusia tanpa melihat apa suku dan agamanya. Saya sangat terkesima dengan kata-kata yang bijak, yang membuat saya membuka mata, bahwa di tempat waktu tak mengalir ini, pemahaman terhadap agama justru sangat maju.P260-261

Tapi, tentu saja tidak semuanya berpikiran seperti itu. Ada juga yang menganggap barang-barang seperti piring, sendok, garpu, gelas, botol minuman yang dipakai oleh orang non-Muslim menjadi nazis dan harus dibuang. Bagi saya, ini bisa menjadi salah satu alasan untuk tidak menggeneralisasi sebuah sikap dari bangsa atau suku atau agama tertentu.

Ada sebuah kultur di Afghanistan yang disebut dengan Bachabazi. Bachabazi atau bermain bocah adalah hubungan seksual antara dua pria, biasanya konotasinya adalah lelaki yang lebih tua “bermain” dengan bocah yang masih muda. Sementara kultur mereka juga menjunjung tinggi kemachoan. Dan pelaku bachabazi bukan dianggap sebagai kelainan orientasi seksual, tapi sebagai lelaki tangguh. Lelaki yang ‘bermain’ dianggap sebagai lelaki tangguh, sementara lelaki yang ‘dimainkan’ dianggap sebagai lelaki yang lemah. Tetapi dalam kultur machoisme itu terselip pula aspek feminisme. Pria Afghan, betapapun sangar dan lebat jenggotnya, suka sekali dengan bunga. Truk dihias bunga. Sepeda dihias bunga. Bahkan bedil pun dipasangi kalungan mawar kecil. Disamping itu mereka juga sangat suka menonton sinetron India, yang bercerita tentang mertua dan menantu.

...dan masih banyak informasi lain mengenai Afghanistan yang bisa anda dapatkan dari buku ini.

Agustinus Wibowo melakukan petualangan karena terinspirasi dari sebuah buku “A Historical Guide to Afghanistan”, sebuah buku panduan perjalanan klasik yang diterbitkan tahun 1977, ditulis oleh Nancy Dupree. Sementara saya – sepertinya – terinspirasi untuk melakukan petualangan karena buku “Selimut Debu” ini. Mungkinkah? Tidak ada salahnya untuk bermimpi, bukan?

Buku setebal 461 halaman ini ditulis dengan bahasa yang - menurut saya - sangat cair. Waktu seolah tidak terasa bergulir saat membacanya. Bahkan, saking terlenanya, saya pun tidak lagi memperhatikan apakah ada 'typo’. Meski sempat menemukan sedikit pengulangan informasi, tapi itu tidak lagi menjadi hal yang mengganggu.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih untuk Agustinus Wibowo yang telah bersusah-susah di negeri Afghanistan, agar bisa menjadi mata bagi para pembaca buku ini. Penulis telah menjadi mata bagi saya, sehingga selimut debu yang menghalangi pandangan saya, mulai tersingkap sedikit demi sedikit, dan memberikan gambaran yang lebih banyak mengenai keadaan di Afghanistan.

PS. Bukankah keadaan Afghanistan kurang lebih sama dengan Indonesia? Ahh...tapi ekonomi Indonesia masih sedikit lebih baik.
Profile Image for Astrid.
93 reviews6 followers
September 25, 2011
this is probably one of the first travel notes of indonesian traveler i ever read. it's apparently one of the best. i'm moved to wanting to translate it to english.

agustinus had that strong empathic observation vital for writer and being also a photographer, he treats his observation as details and strongly as his photos. he captured the right momentum, the things that has been left unsaid, grasping every single breath of his stories.

agustinus wibowo is not your regular backpacker and his experience is certainly not a regular one. his courage to change his way of living reflected on his decisions to take the road he is traveling. he had an amazing spirit to learn and deal with humanity, in the places we wouldn't imagine to travel. he shattered all the image created by the outer world and give his own perspective about experiencing afghanistan within.

this is a very important book and such an intimate relations to understand afghanistan. it is also a very compelling experience to travel along agustinus through the pages, steps, every dust he cough yet honestly shaken the reader's heart. i think this book is an important voice for everyone in this world to read and clearly understand about the diversity and uniqueness of afghanistan. especially at the time where our world seems to be losing its grip of tolerance.

agustinus captured in his brief description the spirit of humanity, the strength of human bond, and the value of human soul everywhere he go. such an inspiring young man. making me proud and optimistic with the generation i'm living in. and hopefully the world we live in.

this book remind me that we all go back to dust. there for life should be worth living, no matter how dusty things are.
18 reviews3 followers
October 22, 2010
Buku ini aku dapatkan tidak dengan sengaja. Di sebuah stasiun kereta yang padat dengan penumpang yang mengumpat, memburu dan terkantuk karena membunuh waktu. Tidak berbeda denganku, dikala kekesalan dan kekecewaan melanda, buku ini ibarat oase ditengah gurun yang panas. Sampul luarnya biasa saja, warna kecoklatan dengan siluet gambar orang-orang bersurban mengendarai kuda bertuliskan judul "selimut debu". Tidak ada yang spesial. Awalnya aku mengira buku ini adalah buku tentang peperangan atau kisah epik perjuangan kaum milisi. Eh, ternyata tidak. Prasangka saya keliru total.

Setelah membayar pada seorang ibu gendut separuh baya di ujung toko kecil di stasiun Gambir, aku pun bergegas mencari sudut yang ternyaman untuk membaca. Ya, dinding kaca ATM ditengah hall itu cukup nyaman nampaknya. Hanya ada dua orang pria yang sedang bercakap-cakap. Pria bertopi paruh baya dan seorang lagi lebih muda dengan membawa beberapa tas jinjing. Apa yang mereka perbincangkan, entah.

Setelah duduk nyaman, saya lalu mulai membaca dan membolak-balik lembarang kertas kecoklatan itu. Dan, satu persatu halaman kulahap dengan rakus. Agustinus wibowo pengarangnya. Petualang indonesia yang dengan gigih memperjuangkan mimpinya menjelajahi belantara Afghanistan, terinspirasi dari buku kisah perjalanan seorang hippies dari Perancis pada tahun 1970-an, Nancy dupree. Kisah ini menceritakan tentang dua hal intinya. Pertama adalah keberanian tiada batas dan Kedua adalah Angkara tiada ujung. Keduanya bersatu membentuk melodrama epikal. Mengharu biru dan mengaduk emosi. Membawa pembaca menapaki jalur-jalur baru petualangan tanpa menimbulkan rasa bosan. Selalu ada yang baru disetiap paragraf yang disusun dengan bahasa sederhana. Ya, bahasa pewarta. Bukan ditulis dengan bahasa mendayu khas kesusastraan melayu ala Andrea Hirata atau bahasa filosofis macam mohammad Sobary, atau bahkan sastra berat macam Rendra atau Pramoedya ananta toer yang saya belum pernah baca satupun bukunya. Semuanya ringan. Khas tulisan seperti di kolom kompas 'jejak petualang' dimana kisah-kisah ini biasanya dijejalkan.

Buku ini menawarkan sisi baru dari Afghanistan. Setelah sekian lama manusia di planet ini dibombardir dengan berita negatif dan miring mengenai afghanistan. Bangsa bar-bar, bangsa peneror, bangsa tidak beradab, atau mungkin bangsa yang tidak layak disebut manusia karena keganasannya. Setelah kisah 'kite runner' dan 'a thousand splendid suns' dari khaleed Hossaini yang mengharu biru pembaca dengan kisah kelam afghanistan mulai dari perang tak berkesudahan, pengkastaan manusia,penyimpangan seksual dan pengebirian hak perempuan; seketika masyarakat dunia demam membicarakan burqa, homoseksualitas, lelaki afghan yang kasar dan barbarik. Seketika reputasi bangsa gagah pemberani ini hilang dan hanya berganti dengan satu kata yang selalu menimbulkan kengerian yang sangat. Thaliban!. Begitu kuatnya sastra. Mampu membalikkan segala sesuatu hanya dalam hitungan detik.

Selimut Debu menawarkan petualangan langsung dari tangan pertama. Ditulis melalui coretan tinta tangan dari perut yang lapar. Dinarasikan dari ujung desa yang begitu miskin hingga penduduknya terpaksa berbagi makanan yang sama dengan ternaknya. Diilustrasikan dengan akal yang cemas, cemas akan kelangsungan hidup penulis di esok hari. Dengan segala keterbatasan itu, penulis sanggup menggambarkan intisari dari Afghanistan dengan Cinta-nya. Sesuatu yang jarang dilakukan pengembara penulis saat ini. Agustinus mampu membawa pembaca menembus belantara tandus negeri pashtunian dengan mengajak pembaca menyesapi apa yang dia rasakan. Pembaca dibukakan matanya akan seperti apa sejatinya bangsa afghan. Bangsa yang gagah perkasa, ditakuti semua bangsa didunia. Tetapi ditengah kegarangan itu, mereka adalah bangsa yang sangat ramah, selalu memperlakukan mehman (tamu) sebagai raja, bangsa yang sederhana tapi memegang teguh arti kebanggaan menjadi sebuah bangsa. Pelajaran yang menohok bagi kita. Agustinus juga termasuk orang yang royal, mau membagi semua kisahnya, hingga kisah terkelam yang pernah dia alami, yang mungkin bagi sebagian besar orang adalah aib yang harus ditutupi. Kombinasi yang luar biasa. Cinta memang membutakan segalanya. Buku ini contohnya. Tashakor!

Kesan: Sangat direkomendasikan

catatan kaki: Buku ini dibeli dan mulai dibaca tanggal 1 Oktober, sore hari tepat sebelum kecelakaan kereta Argo Anggrek tiga minggu yang lalu. Buku ini diselesaikan 21-10-2010, tengah malam didalam Argo sindoro, pertengahan antara pekalongan dan semarang. Buku ini sudah menjelajah Semarang, Jakarta, Petarukan, Berastagi dan Cirebon.


Salam Hangat,

SH
22-10-2010
Semarang 07.33 am
Profile Image for Indri Juwono.
Author 2 books307 followers
November 5, 2011
#2011-44

Pernah saya menonton film tentang sekelompok orang invalid, di padang pasir, yang mengejar-ngejar kaki palsu yang diterbangkan dengan parasut. Ketika membaca bagian rumah sakit untuk orang cacat ini, yang pekerja RSnya pun orang cacat juga, saya teringat film itu. Dulu saya masih tidak punya bayangan, negeri dongeng manakah yang penduduknya banyak yang invalid itu?

Membaca pemaparan Gus Weng tentang bahaya ranjau di mana-mana, bom yang bisa meledak kapan saja, di mana saja, saya menangis. Tuhan, kenapa masih ada perang? Kenapa orang tidak puas dengan tanahnya berdiam dan masih harus merampas tanah orang lain. Kenapa orang masih saling menyakiti?

Bom, ranjau, kematian, yang bagaikan berita biasa. Kepala manusia yang berharga lebih murah dari kepala kambing. Semua diselimuti pasir yang berarak, hanya debu belaka, di mana-mana.
Meringis melihat Gus Weng dibohongi oleh supir-supir truk, bahagia ketika dia disambut ramah laksana saudara di mana-mana, geram ketika ia dipukuli polisi, sampai miris, ketika seseorang bilang 'I like you very much' dan..

Negeri ini, negeri sejuta pasir, negeri bekas peperangan, tempat para NGO menangguk dana 'rehabilitasi' yang lebih banyak dialirkan untuk operasional pegawainya, tempat para perempuan merasa nyaman di dalam burqa-nya. Negeri ini, yang dikelilingi oleh pasir dan debunya, yang melindunginya dari pandangan mata, debu juga yang menyimpan ribuan ranjau yang siap meledak kapan saja ia diinjak. Debu seperti burqa yang melindungi dengan anonimitas, tetapi tak tahu bahaya kecantikan apa yang dikandung di sana.

Afganistan, negeri debu, apa kekayaanmu yang membuatmu terjebak dalam perang berkepanjangan? Apakah dirimu hanya benteng untuk negeri dingin di utara sebelum menghadapi selatan yang panas? Apakah dirimu benteng untuk penguasa-penguasa daratan minyak sebelum diserbu dari utara?


Minaret Jam. Apakah ini menara masjid, menara intai, menara dengan indahnya menjulang di tengah padang debu dan bebatuan. Beruntunglah selamat dari badai zaman. Lepas dari gempuran karena di lindungi oleh tebing curam.


Gus, awalnya aku iri sekali padamu. Perjalanan ke negeri ini hanya cocok untuk laki-laki. Perempuan sepertiku tak akan bisa berjalan-jalan bebas tanpa pendamping di negeri ini. Tapi membaca pengalamanmu yang menderita, naik turun truk, menginap di samovar, aku bertanya2, apa aku berani? Maka kubuang jauh2 rasa iriku dan mengikuti perjalananmu. Apalagi membaca bahwa ada perempuan Malaysia yang bisa, hmm, siapa tahu nanti aku bisa?



Profile Image for Yoyovochka.
307 reviews7 followers
April 15, 2023
Mustahil ada yang kasih buku sebagus ini peringkat di bawah lima. Wajib baca, Bang Agustinus selalu mampu membuat saya kehilangan di akhir buku
Profile Image for Mery.
Author 40 books218 followers
August 13, 2017
Apa yang muncul di benak kita setelah mendengar kata Afghanistan?
Perang, Bom, Teroris. dan Afghan penyanyi lokal hehe
Itulah yang terbersit dalam benakku ketika mendengar kata Afghanistan. Kata Afghanistan seakan teramat sakral dengan Perang, Bom, dan Teror. Bagaimana tidak? Setiap menonton siaran berita selalu saja “Terjadi bom bunuh diri di depan kantor kedutaan ini kedutaan itu di Afghanistan.” Atau “Taliban menculik turis-turis ini turis-turis itu sehingga membuat ketegangan antar Negara.”

Fiuhhhh

Lalu setelah membaca buku Selimut Debu karya Agustinus Wibowo ini, mataku jadi terbuka. Pikiranku mengenai Afghanistan tidak lagi berkisar Bom, Perang, Teroris. Dalam buku ini Agustinus sebagai seorang explorer mengajak kita menjelajahi satu per satu kota kecil di Afghanistan dan sekitarnya.

Aku jadi tahu mengenai dunia lain di belantika Negara Afghanistan yang terselimutkan debu ini. Bagaimana kehidupan keseharian orang sana, mengenai suku-sukunya, keramah-tamahannya, bahasa-bahasanya, dan peninggalan-peninggalan sejarahnya.

Ternyata, Negara yang setahuku penuh dengan tangisan ibu bapak yang kehilangan anak-anaknya akibat ledakan-ledakan nyasar ini, menyimpan banyak misteri terselubung. Keindahan alam semestanya masih belum dijamah para turis dan pemerintah. Mungkin karena perang terus menerus bergulir di negeri itu maka, sukar untuk mengobati kecemasan yang melanda di sana.

Kalau berbicara tentang Afghanistan pasti kita berbicara juga mengenai sistem patriarkat di sana. Dan aduh sistem patriarkatnya ketat sekali. Aku sampai menggeleng-geleng pas baca mengenai aturan di sana mengenai perempuan. Bayangkan saja. Untuk daerah-daerah yang adat istiadatnya kental, seperti bangsa Pashtun, para wanitanya diharuskan memakai kerudung yang tertutup dari atas sampai bawah. Untuk melihat saja hanya bisa melalui jarring dari kerudungnya di bagian mata. Dan ini berlaku untuk seluruh warga Afghanistan. Walau ada juga yang tidak terlalu mematuhi adat tersebut. Katanya Kerudung yang disebut Burqa itu adalah tanda kehormatan bagi kaum perempuan. Karena di sana perempuan adalah hal yang harus dihormati, jarang dibicarakan, dilindungi dan bahkan untuk menikahi seorang perempuan saja harganya sangan mahal.

Maka dari itu timbullah sistem Bachabazi. Yaitu memelihara bocah-bocah untuk pelampiasan seks laki-laki dewasa. Bagi mereka sistem ini tidak disalahkan dan bukan juga termasuk kelainan. Karena bagi para pemelihara, mereka hanya ‘memberi’ bukan ‘menerima’. Yang menjadi sasaran cemoohan adalah yang dipelihara itu. Jadi kemerdekaan bagi perempuan, tapi malah menjadi kesengsaraan bagi bocah laki-laki.

Lalu di Negara ini Rasis nya ternyata sangat kuat. Apalagi terhadap orang-orang Hazara. Duh kasihan sekali. Sudah negaranya selalu diselubungi rasa cemas, hidup kaum mereka selalu juga mendapat kesusahan.

Sebenarnya menatap Afghanistan, seperti menatap Negara sendiri di masa yang akan datang. Kalau saja nantinya kita tetap seperti ini, siapa yang tahu nanti ke depannya Negara kita akan seperti di Afghanistan? Teror, Bom, Pemberontakkan itu kan timbulnya karena masyarakat tidak puas dengan keadaan sekarang. Padahal baik Afghanistan dan Negara kita sama-sama sudah pernah mengalami pedihnya perang dan dijajah… bertahun-tahun lamanya pula.

Ahhhh Sungguh bodoh orang yang menangisi kesialan dan tak mau belajar dari pengalaman. –Latief sang Pencuri Ulung—hal 99.
Profile Image for lita.
440 reviews66 followers
August 7, 2012
“Aduh kasihannya perempuan-perempuan Malaysia ini, harus bekerja. Aduh kasihannya, mengapa para suami tidak bekerja untuk mereka. Aduh, kasihan betul….”

Kalimat tadi dilontarkan beberapa perempuan Afghanistan saat disodorkan foto-foto perempuan Malaysia yang sibuk bekerja di pabrik dan sawah. Kaum perempuan di Pastun dari Kandahar, satu wilayah di Afghanistan, sudah terbiasa hidup nyaman tersembunyi di sudut rumah dan di balik burqa. Hidup nyaman di bawah ketiak suami. Tak perlu lagi bekerja atau melepas kenyamanan burqa. Rasa aman yang ditawarkan selubung burqa muncul dalam bentuk persembunyian. Dunia luar penuh bahaya. Tak ada tempat yang lebih baik daripada rumah dan burqa. Selubung ini memberi perlindungan, rasa aman, terhadap jiwa yang sebenarnya dirundung ketakutan. (hal. 155)

Dunia luar penuh bahaya…. Kalimat yang ditulis dalam buku ini betul-betul berbeda dengan satu berita yang pernah saya tulis: “Afghanistan, Negara Paling Tidak Kondusif untuk Perempuan”. Berita yang diangkat dari laporan Trustlaw, sebuah divisi dari Thomson Reuters Foundation yang diumumkan sekitar pertengahan tahun lalu ini menempatkan Afghanistan sebagai negara yang paling berbahaya untuk ditinggali perempuan. Tradisi nikah paksa, sunat perempuan, dan hukum rajam yang sering dilakukan terhadap perempuan adalah alasannya.

Bab “Di Balik Burqa” dalam buku ini adalah bab yang paling menarik untuk saya. Selama ini, saya disuapi oleh kekejaman pria-pria Afghanistan terhadap kaum perempuan mereka. Perempuan yang hidungnya dipotong karena kabur dari rumah, padahal dia melarikan diri dari kekerasan yang dilakukan suaminya; perempuan di usia awal belasan tahun yang dipaksa menikah; hukum rajam terhadap perempuan korban perkosaan; “justifikasi” terhadap perilaku seks antara laki-laki dengan laki-laki (karena butuh mahar selangit untuk menikahi perempuan, sementara seks bebas dilarang), adalah berita-berita yang biasa saya baca mengenai Afghanistan.

Padahal…”dunia ini begitu nisbi. Konsep nilai yang menjadi standar hidup kita pun nisbi. Mana yang benar, mana yang salah, semua nisbi, tergantung dari siapa yang bicara, pemerintah mana yang membuat hukum, atau adat mana yang berlaku.” (hal. 382).

Perempuan dalam burqa bebas melihat dunia, walaupun semuanya dilihat melalui kotak-kotak jaring seperti mata faset lalat buah. Dia mengintip dunia, tapi dunia tak bisa mengintipnya. Dia tak berwajah, tak berwujud, jati dirinya terbungkus rapat. Dia anonim, dia menjadi manusia tembus pandang.

Bagi sebagian orang, dia tampak sebagai kurungan. Bagi yang lain, dia adalah perlindungan. Di negeri yang kental sekali patriarkatnya menjadi perempuan anonim di jalan yang dipadati kaum lelaki beringas sangat banyak faedahnya.

Kesalahpahaman terhadap burqa – dan pandangan mengenai kesetaraan gender – di Afghanistan yang sering dipaksakan oleh Barat ini membuat geram Nancy Hatch Dupree, penulis An Historical Guide to Afghanistan. “Kesetaraan gender itu sudah ada dan hidup dalam masyarakat tradisional Afghanistan… tak perlu lagi para ahli-ahli ini mendatangkan konsep asing yang malah bertubrukan dengan nilai-nilai yang mereka anut,” kata Nancy Dupree. (hal.77)


Profile Image for Robert.
71 reviews16 followers
April 4, 2010
Sebuah catatan perjalanan dari seorang backpacker bernama Agustinus yang menakjubkan di tanah magis Afghanistan. Buku yang ditulis oleh Agus ini seolah menampar orang-orang yang latah menyebut dirinya sebagai traveler, namun berlindung di balik kenyamanan tiket pesawat, taksi, hotel, keramahan tour guide, dan lembaran uang Dolar.

Dulu saya sempat membaca kisah perjalanan Agus saat dimuat sebagai artikel "Titik Nol" di Kompas. Di sana saya terpana saat menyaksikan kenekadan Agus berangkat sendirian dari Beijing menuju Afghanistan melalui perjalanan darat dengan biaya seminim mungkin. Dia melewati Tibet, Nepal, India, Pakistan, dan sederet negara atau wilayah yang mungkin baru pernah kita dengar namanya.

Saya sempat mengira di buku ini, kisah perjalanan Agus turut dirangkum sejak awal, namun ternyata di buku ini hanya dimuat kisah perjalanan Agus saat ia telah sampai di tanah Afghanistan (Saya jadi ingin membaca lagi kisah kocak saat Agus menceritakan sebuah kuil di India yang memuja tikus-tikus). Well, I think it's the final destination, therefore he has a story to be told!

Melalui cerita-cerita Mas Agus, tanah Afghanistan terasa mistis, eksotis, dan menampakkan beragam sisi lainnya. Afghanistan tidak hanya tentang terorisme, Al-Qaeda, Taliban, bom bunuh diri, dsb. Orang Afghanistan tidak melulu hanya pria berjenggot memakai sorban kumal dan menenteng AK-47 kemana-mana. Afghanistan juga memiliki keramah-tamahan terhadap tamu, ketulusan hati membantu orang asing, pancaran semangat yang menyala-nyala dalam menjalani hidup yang keras, pantulan antusiasme mata yang menyembul dari balik burqa, secuil modernistas kapitalisme di Kabul dan juga sekelumit kisah-kisah terlarang mengenai hubungan seksual yang tak wajar. Tidak ketinggalan pula cerita-cerita tragedi mengenai penindasan gender.

Meskipun memang, bagi kebanyakan orang di dunia ini, melafalkan kata "Afghanistan" mirip dengan melafalkan kata "masalah". Karena itu, Agus menulis, memegang paspor Afghanistan atau sekadar terlihat seperti seorang Afghanistan adalah jaminan bahwa yang bersangkutan selalu akan dihentikan dan diinterogasi oleh polisi atau tentara.

Overall, ini buku menarik dan banyak memberikan Anda wawasan serta pengetahuan yang luar biasa. Bila Anda butuh buku-buku kisah traveler yang berbeda dari kebanyakan, buku ini sangat direkomendasikan. Salut setinggi-tingginya buat Agustinus, meskipun menurut saya pribadi, kisah-kisah yang hanya berputar-putar dari Afghanistan, Pakistan, Tajikistan, ini sedikit agak membingungkan karena informasi-informasi di dalamnya nyaris mirip-mirip semua.

Sekilas seperti: terdampar di padang pasir, diselamatkan seorang musafir, dan malam-malam mendengarkan ceritanya di depan api unggun sambil mencicipi daging kambing dan menghisap hasish
Profile Image for Rhea.
263 reviews73 followers
April 12, 2010
Khaak yang berarti debu juga tanah kelahiran.
Yang terlintas dalam pikiran saya ketika pertama kali akan membaca buku ini Afghanistan,, negara yang penuh dengan teror, perang, kelaparan, dan juga burqa.
Ketika membuka buku ini pada awalnya, saya langsung penasaran dengan lembar yang ditempelkan pada tengah2 buku dimana lembar tersebut lebih tebal dari yang lainnya yang tak lain ternyata adalah foto2 Afghanistan. Dan hal2 yang membuat saya terpukau adalah foto gunung Baba Tangi di Wakhan, Mall di Kabul dan foto balon2 warni warni di tengah2 debu.
-Gunung Baba Tangi di Wakhan, tidak saya sangka, ternyata Afghanistan mempunyai alam yang indah.
-Mall di Kabul, siapa sangka ditengah2 perang yang berkepanjangan terdapat mall yang begitu megah dan tinggi.
-Balon2 warni warni di tengah2 debu, karena warna balon yang cerah di tengah2 debu.

Saya mulai membaca lembar demi lembar dari buku ini, dan sungguh terkejut ketika saya mendapati ternyata di Afghanistan ada sebuah mall dengan nama Soekarno Chowk atau Soekarno Square. Yup, mall ini memang di dedikasikan kepada presiden pertama kita Soekarno. Penasaran kenapa? silahkan dibaca sendiri bukunya.

Saya tak menyangka, seorang Indonesia non muslim pula mempunyai ketertarikan yang begitu besar terhadap Afghanistan. Perjalanan2 yang dilalui oleh penulis sungguh tidaklah mudah. Satu hal yang membuat saya terkaget kaget membaca buku ini adalah budaya bachabazi. Secara garis besar bachabazi adalah pelampiasan seks laki2 kepada bocah laki2. Sungguh ngeri membayangkannya. Saya sudah membaca dua novel Khaled Hosseini yang bertema Afghanistan juga, saya berpikir bachabazi hanyalah budaya yang dulu pernah terjadi di Afghanistan dan sekarang sudah menghilang, ternyata budaya ini masih ada sampai sekarang dan telah menjadi rahasia umum dan tak sedikit pula penduduk Afghanistan yang melakukannya.

Membaca buku ini, membuka mata saya tentang Afghanistan. Selain perang yang berkepanjangan, ternyata Afganistan juga memliki tempat2 yang indah dan eksotis.

Diakhir cerita, tidak dijelaskan dimana posisi penulis saat ini dan tidak pula ada fotonya, padahal saya penasaran sekali seperti apakah Agustinus Wibowo.



Profile Image for Guguk.
1,343 reviews81 followers
June 14, 2016
ε=(´∇`*) Fuaah~ bacaan yang nikmat!
Kalimat-kalimatnya bener-bener kayak mengalun, menghipnotis.., membawa ke dunia lain yang selama ini ga kukenal~

Selain cara berceritanya yang "memabukkan" sekaligus mengenyangkan, aku juga takjub dan selama baca merasa: "Bisa-bisanya orang inii!!" Σ(°△°|||)︴
Serius! Aku, yang kalo bisa makan + beli buku tanpa kerja bakalan memilih menjalani kehidupan seorang hikikomori yang sempurna, merasa kagum sekaligus malu...

Tapi abaikan perasaanku yang rumit dan belum berhasil kupahami sendiri itu~

Yang penting, "dunia" yang dibawa buku ini berhasil—bukan hanya menghibur—tapi juga tiap habis baca sebagian itu bikin menerawang... bukan menerawang duit kertas loh, tapi mulai [sedikit] berpikir tentang orang-orang yang kehidupannya keras banget, yang kalo aku ditaro di sana mungkin cuma dalam hitungan jam udah klepek-klepek.., entah tewas, pingsan, atau mewek minta pulang...

Selain itu, tadinya dengan cupu-nya aku berpikir: 'Ah, bahayanya apa sih~ penulis kan cowok. Paling bahaya dicopet doang.'
Ternyata!! Bom, rampok, begal, penipu, dan..."pria hidung belang"? ლ(º □ º ლ) ~wut?! Saking penasaran, sampe nge-gugel wajah penulis...ternyata cukup bishie.., pantesan kok digodain cowok mulu~ ┬┴┤( ͡° ͜ʖ├┬┴┬ //woi

Oke *FujoGoggle:OFF!* (^皿^)

Bisa dibilang jarang juga baca buku perjalanan, paling favoritku selama ini adalah American Notes-nya 'Mbah Dickens 人(_ _*) *salimdulukeembah*
Soalnya buku perjalanan yang penulisannya "kurang ini dan itu" beresiko bikin bacanya separo tidur, kadang bisa juga sebel setengah idup dengan pengarangnya.

Tapi begitu dapat yang 'klik' seperti helm dan sabuk pengaman seperti buku ini, itu bacanya kayak cucian yang hanyut kebawa arus sungai~~~ >>((#(°)3
Profile Image for Ambar.
105 reviews
June 17, 2010
Identitas adalah sebuah deretan pertanyaan tanpa henti. Anda muslim? Anda Pasthun? Anda Ismaili, Sunni, Syiah? Ini menandakan bagaimana negeri ini terbangun dari berbagai rumpun. Negeri yang dulunya bagian dari peradaban tinggi tiga ribu tahun yang silam. Jauh sebelum Kristus, sejak agama kuno Yunani, Romawi, Zoroaster, Budha, Islam dan Komunis.

Toh Agustinus berani menyelipkan ironi dan absurditas di tengah perjalanannya. Tentang membanjirnya produk barat seperti Coca Cola misalnya, atau betapa tak bisa dipahaminya ketika semua lelaki di samovar -warung teh terduduk ta’zim melihat sinetron Hindustan. Ia juga membenturkan pergulatan perempuan di Afghanistan untuk mendapatkan tempat di ruang publik, mempertanyakan efektifitas bantuan asing untuk penduduk pasca perang dan juga esensi konsep kebangsaan ‘satu bangsa satu bahasa’ ditengah keanekaragaman budaya.

Agustinus memutuskan untuk mengenal lebih dalam negeri ini melalui bahasa. Ia dikarunia talenta termasuk bahasa Farsi, ataupun Dari - lingua franca bahasa Persia yang dipakai secara luas di daratan Asia Tengah. Mengerti bahasa membuat karakter-karakter yang ditemuinya adalah mewakili pemikiran dan konsep mereka.

Agustinus tidak berusaha membuat sebuah penilaian absolut terhadap karakter karena agama, budaya, opini ataupun keberpihakan politik. Ia memilih mengabsorsi, mengolah dan memahami. Sebuah proses panjang dari seorang backpacker menjadi eksplorer hingga seperti layaknya seorang observer. Baginya seorang pejalan adalah merekam, mencatat, menguntai kisah negeri Afghanistan. Tentang manusia didalamnya, tentang budaya yang membentuknya dan pergulatan politik tanpa henti.
Profile Image for Tyas.
Author 38 books87 followers
December 26, 2010
The book Selimut Debu (Blanket of Dust) is written in Indonesian, but the following review is written in English with the hope that more people can learn about this book.

* * *

Some of the annoyance you get during traveling comes from your travel buddies – I have had to grit my teeth when one complained for the absence of ‘hotel slippers’ (when she’s not even in a hotel) while another said “What kind of a hotel is this?” when he found out that the hotel did not provide free-flow mineral water in rooms. Many of us proclaim we love traveling, but fall to criticizing and complaining as quickly as we buy our plane tickets nowadays. We can’t even imagine the kind of ‘traveling’, or like probably Maggie Tiojakin would prefer more, ‘exploring’, like Agustinus Wibowo has done (and is still doing) in Central Asia.

Agustinus, a non-Muslim Indonesian, dared to penetrate into the remotest corners of countries like Afghanistan (the focus of this book), which to most people in the world have become synonymous with ‘Muslim extremists’. How can a foreigner, moreover someone who’s not a Muslim, survive Afghanistan that is not just Kabul or Bamiyan? (Even going to Kabul would already be extremely going too far for most of us!)

Surviving in Afghanistan for Agustinus didn’t mean staying behind the safe walls of luxurious hotels, enjoying a life that most Afghans have never tasted. He took to the road, traveling, sleeping, and eating like ordinary Afghans do, sometimes with not much money left in his pocket. He went through ordeal after ordeal—crossing icy rivers with the risk of drowning and other difficult terrains, walking alone for hours with an empty stomach on the mountains, eating unhygienic foods, sleeping in samovar with cruel flies, facing bomb and gun threats—all that, he reminds us, is probably ‘only’ one-in-a-lifetime experience for those who are brave enough to try, but a day-to-day reality for most Afghans. This should kick some sense into us.

The rewards are amazing, though: not only Agustinus was able to see and experience the fantastic cultural and natural heritage that Afghanistan has to offer and are long untouched by the world outside; he also met so many nice people along the way, who helped him without hoping for any return, who were willing to share what little they had with a guest. To find human kindness in a place like Afghanistan must have been the greatest prize of all.

The result of Agustinus’ detailed, vivid, fascinating writing is an earnest, rare account of the present Afghanistan – a nation torn by war with foreign forces and among themselves, but exactly the place where humanity still lives amongst the dust that’s everywhere. (When Indonesians call their motherland ‘tanah-air’, ‘soil-and-water’, Afghans call theirs ‘khaak’, ‘dust’.)

Selimut Debu gives us an insight to Afghan culture and the way the people think – what are important for them, what they think is right or wrong, what they love and what they hate. And just like Afghans are not just one homogeneous group of people, their values and opinions too varied. Agustinus too had opinions of his own, but he did not judge, although he was clear in showing his disapproval of organizations that claimed to be helping and rebuilding Afghanistan, when what they did was taking advantages for themselves and forcing Afghans to accept foreign ways that might not be suitable for them.

Agustinus experienced, empathized, and tried to understand. He didn’t just come, make pictures, and leave again. He breathed Afghanistan and we’re lucky that he’s a damn fine writer that can share what he learnt with us. To me, he lifted the burqa that veiled not only the Afghan women, but the whole country in my ignorance. I hope this book will soon be available in other languages – more people need to read what Agustinus had found in his journey.

His second book, about his time in some Central Asian countries, is going to be published soon. I just can’t wait.
Profile Image for Angelic Zaizai.
976 reviews35 followers
February 3, 2010
Petualang yang sudah sering gw baca tulisannya di kompas.com akhirnya membuat buku, lumayan excited juga beli bukunya.

eye opener-lah kata gw
bisa tau seperti apa Afganistan, dari dalam sedalam-dalamnya, karena Agustinus ini menjelajah negara itu bener-beneran dari ujung ke ujung, tengah juga, termasuk juga menjelaskan sejarah Afganistan yang dulunya bernama Ariana - tanah bangsa Aria
dan itu bukan hal yang mudah
selain ancaman taliban, perampok, sarana prasarana seperti jalan amat sangat tidak layak..
siapa sangka Afganistan juga menyimpan keindahan tiada tara (halah), dan sejarah mengesankan yang berusia ribuan tahun


oh iya
kebetulan sekarang lagi musim imigran gelap dari sana yang ketangkap di indonesia
kalo diperhatian, lumayan banyak di antara para imigran itu yang bermata sipit, berkulit terang - tidak seperti orang afgan yang di tivi2 yang jenggotan ituh
di buku ini juga bisa ditemukan jawabannya

Bab yang bikin meringis waktu Agustinus 'kenalan' dengan Mahmud si Bachabazi (playboy) - literally.. play with boy wkwkwkwkwk
Adat kebiasaan bangsa Pashtun katanya tuh.. *masih inget Kite Runner kan, ada juga sedikit cerita tentang ini*


Bagian favorit gw adalah Sebongkah Mimpi ketika Agustinus berusaha menyeberang ke Tajikistan..
aduh Ghulam Shakti itu bodor pisan.. pengen dijitak, tapi bawaannya Kalashnikov


Berkat Gus Weng, gw ga perlu lagi ke Afganistan..cukup membaca bukunya..
yea right, mana mungkin juga kali gw senekad dia haha
mo backpacker aja masih mikir, apalagi harus bisa membaca 'gelagat'..
mungkin nanti kalo negara itu sudah damai
penasaran pengen liat Bamiyan


kalo ada yang dikritik adalah
petanya tulisannya kecil-kecil trus melingker2 .. susah bacanya
dan letaknya terpencar-pencar.. harusnya sih di satukan aja, di appendiks misalnya dan
ga ada daftar isi, jadi harus bolak-balik kalo ingin mengulang kembali yang sudah dibaca tadi *sayang bukunya bisa lecek*

dan terakhir gw bersyukur, indonesia yang punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika ..
berbeda-beda tapi tetap satu..



..Menunggu buku-buku Agustinus lainnya..
Profile Image for Didin hartojo.
16 reviews4 followers
February 3, 2010
khaak! membaca buku ini seperti terselimuti oleh debu maha dahsyat. mencoba mengerti afghanistan dengan segala keunikannya. sebelum membaca ini, 2 buku khaled hosseini telah khatam terbaca. buku ini jadi semacam study banding 2 novel fiksi hosseini tadi.

tentang burqa, khaak atau debu atau juga tanah air, bachabazi, samovar, taliban, hazara, kabul dan organisasi kemanusiaan pemberi bantuan khusus afghanistan. sangat terkesan dengan penjelasan tentang burqa yang dilihat dari segala sisi. bagaimana seorang lelaki asing, dan non-muslim, memandang burqa dengan jujur, tanpa terbaca seperti merendahkan salah satu pihak. jujur, hanya jujur saja. saya suka.

yang paling menarik tentunya kenyataan adanya fenomena 'terlarang' bachabazi. langsung saya teringat adegan ketika tokoh assef mensodomi si hasan dalam kite runners. selesai saya membaca bab itu, cukup terkejut, sesak, heran dan tak habis pikir. bagaimana hosseini bisa menempatkan konflik ini dalam novel yang berlatar afghanistan. maklum saya memang masih buta tentang negara penuh gejolak itu. setelah saya membaca buku ini hampir 3/4 nya, saya seperti tersadar. ternyata isu bachabazi adalah sebuah rahasia umum yang sampai menjadi lelucon melegenda bahkan diabadikan oleh para pujangga afghan dalam puisi-puisi mereka. dalam budaya mereka yang sangat memuja kemachoan, fenomena ini bagai ironi. para pelaku tindakan ini bukanlah termasuk golongan homoseksual. mereka hanya butuh 'penyaluran'. kisah-kisah mengenai dunia lelaki afghan cukup menyita perhatian. tak terkecuali dengan kisah agustinus yang mengalami langsung percobaan 'pemaksaan' untuk melakukan bachabazi ini.

membaca buku ini memperlebar pandangan saya mengenai keberagaman suku dan pemahaman atas agama yang membabi buta. keberagaman suku yang seharusnya mewarnai dan agama yang seharusnya memberi damai dan ketentraman seperti diujikan kepada pemiliknya. semoga membaca buku ini membawa manfaat. thanks to agustinus, yang berhasil membawa 'debu' itu masuk kedalam pikiran saya dan mengenalkan afghanistan dari segala penjuru. mimpi saya bertambah satu setelahnya. mengunjungi bamiyan, wakhan, tajikistan.
Profile Image for Nura.
1,056 reviews30 followers
January 10, 2018
Read harder challenge 2017 #22: Read a travel memoir finish in January 2018

"Dunia luar sering kali mengenal Afghanistan hanya dari satu sisi. Tentang orang-orang melarat yang sedang mengais puing reruntuhan perang. Tentang perempuan yang--oh malang sekali--dirampas kemerdekaannya. Tentang anak-anak yang sudah pandai bermain bedil. Orang-orang tak berpendidikan. Taliban. Kebodohan. Kemiskinan." p.70

Seperti Agustinus yang terpesona pada kisah seorang pengelana Jepang yang menunjukkan tentang negeri berselimut debu itu, saya pun terpana seolah menemaninya mengalami segala suka duka perjalanannya. Saat kelas 1 di SMIP saya terpesona melihat patung Buddha raksasa di Bamiyan yang terpotret dalam sebuah travel planner, dan bercita-cita kelak suatu hari akan ke sana. Namun situasi dan kondisi semakin tak memungkinkan. Jadi saya hanya bisa ikut bertualang merasakan keramahan para penduduk Afghan menyambut sang mehman, dengan roti nan dan nasi palaonya.

Buku ini baru saya sentuh setelah 7 tahun lamanya setelah terbit. Saat bertemu pertama kali dengan Agustinus di sebuah diskusi di GP Ansor, saya tak habis pikir bagaimana pria sepertinya mampu berkelana seorang diri ke negeri yang terkenal fundamentalist itu? Walaupun jauh sebelum perjumpaan tersebut saya sudah mengikuti tulisan-tulisan di blognya. Kata-katanya terangkai indah dan menyentuh begitu dalam buat saya.

Profile Image for Azia.
243 reviews11 followers
January 30, 2012
Tragedi menara kembar World Trade Center 11 september 2011 membuat negara Afghanistan menjadi bulan-bulanan Amerika. Karena pemerintahan taliban melindungi pimpinan Al-Qaeda,most wanted person of the world-orang yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa WTC,Osama bin Laden. Sejak ribuan tahun lalu,Afghanistan tidak pernah sepi dari pertikaian dengan orang asing atau sesamanya sendiri.

Afghanistan yang terletak di asia tengah memiliki alam yang keras. Padang gersang dan berdebu. Entah apa yang ada di pikiran Agustinus Wibowo sehingga membulatkan tekadnya ke Afghanistan. Negara yang berbahaya,jangankan untuk orang asing bagi rakyatnya saja tidak aman. Setiap waktu mengintai ancaman perampokan,penculikan,ranjau darat, dan bom bunuh diri. Harga nyawa manusia disana lebih murah dibandingkan harga keledai.

Perjalanannya keliling Afghanistan ini mengulas kondisi Afghanistan dari kota besar seperti Kabul hingga pelosok-pelosok perbatasan Afghanistan. Mayoritas rakyat Afghanistan berasal dari etnis Pashtun. Disamping itu masih ada etnis minoritas lainnya seperti Tajik,Uzbek dan Hazara. Kesukuan sangat lekat dan satu sama lain saling mencurigai. Karena Agustinus memiliki ciri-ciri wajah yang mirip etnis Hazara,sehingga tak jarang mendapat diskriminasi karena dianggap orang Hazara.

Mungkin orang luar menganggap burqa sebagai sebuah 'penjara' bagi kaum perempuan. Sementara bagi perempuan Afghanistan terutama Pashtun,hal tersebut adalah budaya. Hingga etnis minoritas pun mau tak mau mengikuti memakai burqa karena taliban mewajibkannya. Mahar untuk perkawinan sangat mahal. Sehingga banyak yang memilih tidak menikah. Satu hal yang mengejutkan saya adalah budaya Pashtun yang menyukai berhubungan seks dengan bocah lelaki yang disebut Bachabazi. Astaghfirullah. Bagaimana mungkin perilaku seks menyimpang dianggap sebuah adat yang lumrah. Sekalipun sudah mempunyai istri kebiasaan 'play with boy' masih sukar ditinggalkan. Agustinus sendiri 'hampir' diperkosa oleh laki-laki.

Keberadaan lembaga donor internasional pasca jatuhnya Taliban menjamur di Afghanistan. Relawan asing yang datang bertujuan mulia untuk membantu Afghanistan bangkit dari keterpurukan sisa perang. Sayangnya dari sekian juta dollar,entah berapa yang benar-benar dirasakan manfaatnya bagi rakyat. Rakyat Afghanistan tetap miskin. Pekerjaan tak ada,harga kebutuhan mahal, krisis air bersih. Sementara ekspatriat digaji ribuan dollar,kompensasi yang dirasa tepat mengingat risiko mereka di Afghanistan. Jika untuk gaji staff dan security sudah habis sekian banyak,tinggal berapa sisa budget untuk program yang benar-benar ditujukan untuk rakyat Afghanistan?.

Hidup yang keras di Afghanistan membuat sebagian besar rakyatnya mencari negeri impian. Iran dan Pakistan,dua negara tetangga yang menampung pengungsian dari Afghanistan. Semakin banyak jumlah pengungsi membuat masalah baru bagi keduanya sehingga pasca jatuhnya pemerintahan Taliban, pengungsi Afghanistan dipulangkan ke kampung halaman mereka. Indonesia sendiri seringkali disinggahi oleh Immigran gelap Afghanistan yang menuju Australia.

Dari foto-foto yang diselipkan di tengah buku,perhatian saya terhenti di gambar kamera model kuno masih dipakai. Agustinus merekam kehidupan rakyat Afghanistan dari keramahan, kegetiran, ketakutan dan mimpi-mimpi mereka. Walaupun pengalamannya tak melulu beruntung,ditinggal pergi sopir truck, dirayu dokter hingga babak belur dipukul polisi. Agustinus benar ada satu sisi yang tak bisa ia masuki kecuali di daerah Wakhan yaitu sisi perempuan yang tertutup oleh Burqa. Cerita dari Lam Li cukup melengkapi bagian yang terasa 'bolong' bagi saya yaitu bagaimana kehidupan wanita Afghanistan di balik burqanya.
Profile Image for Maggie Tiojakin.
25 reviews14 followers
January 22, 2010
Pertama kali saya membaca naskah "Selimut Debu" itu sekitar 2 tahun lalu. Saat itu, naskahnya masih mentah, tapi sudah sangat menjanjikan. Saya takjub membaca tentang petualangannya, belum lagi kalau secara langsung diceritakan lewat telfon atau instant messenger -- momen-momen genting yang harus dia lalui demi semangat eksplorasi yang membara dalam dirinya. Bagi saya, ceritanya "ajaib" semua, dalam arti pengalamannya merantau di tanah asing tak ubahnya sebuah anekdot panjang tentang perjalanan hidup anak manusia di tengah belantara keduniawian -- tangis, tawa, amarah, sedih, lega. Dan juga "ajaib" karena apabila saya yang ada di posisi dia, saya yakin sudah lama saya kembali ke tanah air demi menghindari masalah dan ketidak-nyamanan yang seringkali mengisi keseharian Agus. Karena itu, saya mengagumi dia sebagai seorang penjelajah. Eksplorer. Dan selebihnya -- kemampuan dia menulis, memotret, dan menatap jauh ke dalam relung jiwa penduduk Asia Tengah: pria, wanita, dan anak-anak yang dunianya terselubung dalam lapisan debu gurun ... itu adalah bonus yang luar biasa. Saya harap pembaca akan tergugah membaca kisah-kisah kemanusiaan yang direkam Agus selama perjalanannya dalam buku ini; dan saya juga berharap Agus akan terus merekam perjalanan selanjutnya -- menjadi mata, telinga, hidung, mulut, dan perasa bagi kita semua yang duduk buta di kenyamanan rumah kita, ribuan mil jauhnya dari perang, kelaparan, dan dahaga. Karena dengan begitu ... kita boleh menghargai apa yang selama ini kita sepelekan. Lima bintang untuk "Selimut Debu" ... atau tepatnya, untuk menyingkap apa-apa saja yang ada di balik rengkuhannya. Selamat membaca! Selamat berpetualang!
Profile Image for ucha (enthalpybooks) .
201 reviews3 followers
November 27, 2016
Salah satu target tahun ini adalah menyelesaikan beberapa buku yang berhenti saya baca di tengah jalan pada tahun-tahun yang lalu termasuk buku ini. Di catatan GR, awal membaca pada Februari 2013 dan baru selesai hari ini.

Buku tentang kisah perjalanan luar biasa di negara Afghanistan yang hancur karena perang ini. Penulis berkali-kali ditipu, hampir diperkosa, dicurigai dan dipukuli polisi, sangat kelelahan karena tersiksa dingin dan debu. Namun juga menemukan kehangatan, kebaikan dan kemurahan hati orang Afghan di sepanjang tempat terpencil di balik gunung. Benar, perjalanan adalah seperti kehidupan itu sendiri.

Sepuluh tahun berlalu dari awal perjalanan di buku ini, perang masih berkecamuk di negara ini. Berita terbaru masih tentang serangan Taliban dan bom di mana-mana. Jumlah wartawan yang tewas tertinggi di 2016, dan masih terjadi serangan mematikan ke masjid Syiah. Bukan hanya di Afghanistan, kebencian dan saling curiga terhadap suku, ras, dan agama yang berbeda pada diri dan kelompoknya menyeruak dimana-mana di belahan dunia ini.

Buku perjalanan ini harus dibaca sebanyak-banyaknya orang. Membuka mata dan hati, dan sanggup menerima perbedaan. Mengetik nama penulis pada laman pencarian di internet, hal yang paling tertinggi dicari adalah agamanya apa. Di buku ini bisa merenungi ucapan Shah dari Panja :
"Bagi kami yang paling penting adalah insaniat. Kemanusiaan. Semua manusia, apa pun agamanya adalah sama. Agama itu letaknya di dalam hati."
Profile Image for Sweetdhee.
514 reviews115 followers
December 31, 2011


Dari Kursi di baris ketiga

di depan sana
ia bersenandung
hanya dua bait

mengenai kelelahan
mengenai kecintaan
mengenai tanah air

dari sini, di kursi pada baris ketiga
saya mendengarnya berbicara
dengan bibirnya saya berkelana
ke kota-kota tak terjamah angan
masuk ke dalam tiap hati penghuninya
jauh dari nada sumbang berselimutkan kapitalis

dengan matanya saya menjelajah
hingga menuju surga tak terjangkau mimpi
tertutup lembah bagai sangkar
menikmati warna dari tiap wajah
yang garis beda nya menegaskan batas,
menyembulkan dendam mengakar,
nyaris menghancurkan seonggok kebanggaan
dan belum mau berhenti
demi kepentingan hewan berkedok kemanusiaan

lirih saya dengar dari sini
dari kursi pada baris ketiga
lagu yang mengantar saya takjub menerka
suka cita yang tertuang pada tiap butir debu
senyum yang tersembunyi di balik kain berjendela
bukan lagi hanya derita tua peradaban
yang mengacu pada candu kemunafikkan

Sore di Festival Buku, Depok Town Square, 30 April 2011

perjalanan itu bukan sekedar kemana tujuan nya...
*berasa ditabrak debu baca buku ini*
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
March 26, 2013
Buku pertama karya Agustinus Wibowo yang aku baca, mengundang minat membacanya justru setelah melihat review buku terbaru beliau di goodreads yang banyak memuji dan memuja. Tapi tentu kurang elok jika langsung membaca buku ketiga karya Agustinus karena sepertinya ketiga buku tersebut memiliki keterkaitan.

Membaca kisah perjalanan Agustinus ke negara yang cukup membuat gentar memberikan kesan kengerian, kesedihan dan hal-hal lain yang tentunya tidak berkaitan dengan keriaan. Bahkan hal-hal yang semestinya lucupun terasa ironis.

Banyak hal-hal yang membuat kening berkerut,sebagai muslim terasa menyakitkan dan rasa-rasa tidak ingin percaya. Namun apapun itu, diantara debu,penderitaan dan maut yang mengintip, sisi-sisi kemanusiaan selalu ada, penghormatan dan kasih sayang antar manusia tetap ada.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
June 16, 2019
** Books 63 - 2019 **

Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2019

4,3 dari 5 bintang!


Hahhaa akhirnya sejak buku ini teronggok di timbunan (23 Maret 2014) kelar juga aku membacanya di tahun ini.. well 5 tahun berlalu secara cepat ya :D

lagi-lagi aku dibuat terpukau dengan penulisan mas Agustinus Wibowo dan buku Selimut Debu ini mengungkapkan beberapa fakta dan deskripsi akan Afghanistan, Iran dan Pakistan. Sisi baik dan buruknya diceritakan dengan apa adanya yang membuat berhasil mencuri hatiku dengan membaca setiap halamannya sampai akhir..

Apalagi kegigihan si penulis dalam menerjang badai, ditipu berkali2, hingga disangka orang Hazara karena perawakannya benar2 pengalaman yang mencengkam ketika saya membacanya.. Jadi kepengen lekas membaca Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah tapi kayaknya mau diselingi sama bacaan yang lainnya dulu :D

Profile Image for Hadiyatussalamah Pusfa.
109 reviews11 followers
October 14, 2012
Khaak. Debu dan perang. Itulah Afghanistan.

Tapi ternyata, Afghanistan itu lebih dari sekedar “khaak”. Perjalanan yang dialami oleh Agustinus Wibowo menjadi sangat menarik untuk dibaca karena perjalanannya yang tidak biasa. Nyaris seperti menggelandang di negeri orang. Pergi dari satu desa ke desa lainnya, lembah, bukit, sungai, pegunungan, padang pasir, semua dilewati. Itupun dengan menumpang ke Falang Coach, truk, atau kendaraan apapun yang ada. Seringkali dengan ongkos yang sangat mahal karena beliau ini orang asing, terkadang karena beliau dikira etnik Hazara (etnik mongoloid di Afghanistan). Pernah dicopet hingga uang tak bersisa. Pernah ditinggal kendaraan yang janji akan mengangkut.

Tapi dengan perjalanan seperti ini, justru kita bisa ikut mengenal adat kebiasaan di Afghanistan sana. Salah satu hal unik adalah cara salam mereka. Sangat panjang.

“Chetor asti? Khob asti? Jonet jur asti? Sihat khob asti? Famil shoma khob asti? Khona khairiyat ast? Aman asti? Aram asti? Zinda boshi. Monda naboshi. Apa kabar? Baik-baik sajakah? Semangatmu baikkah? Kesehatanmu baik? Keluargamu baik-baik saja? Rumahmu baik-baik? Aman? Santai? Hidup terus. Jangan kecapekan.” Dan masih disambung dengan “Diga chi gab ast? Masih ada kabar apa lagi?”

Panjang kan?

Afghanistan juga terdiri dari berbagai macam etnik. Ada Pashtun, Tajik, Hazara. Tapi sayang, hubungannya tidak harmonis. Perbedaan agama merupakan pemicu utamanya, antara Sunni dan Syiah. Legenda Ali bin Abi Thalib-nya udah ga masuk akal lagi. Tapi ya itu, taqlid. Sampe ada semacam ziarah ke sebuah danau Band-e-Amir dan harus “dicelup” ke dalam air sebanyak 3 kali (bayangkan menjelang musim dingin) sambil berteriak, “Ya Ali madad. Wahai Ali, tolong.” untuk menghilangkan kenestapaan, musibah, nyembuhin penyakit. Penganut Syiah di sana sangat percaya dengan legenda ini. Dan korban jiwanya banyak, salah satunya karena infeksi paru-paru.

Afghanistan merupakan negara dengan penyandang cacat terbanyak di dunia. Terjebak dalam suasana perang selama lebih dari 3 dekadelah yang menyebabkan ini semua terjadi. Memang ada beberapa daerah rawan yang penuh ranjau. Salah melangkah sedikit, anggota badan hilang. Lebih beruntung jika dibandingkan dengan kehilangan nyawa (tergantung sudut pandang sih). Kehilangan 1 kaki, 2 kaki, tangan, merupakan hal biasa. Bahkan ada sebuah rumah sakit yang khusus menangani kebutuhan orang-orang cacat. Rehabilitasi kaki palsu. Dokter dan staf rumah sakit pun kebanyakan mengalami hal yang sama. Keren ya. Makanya bisa lebih empati, karena tau rasanya kehilangan anggota badan.

Keadaan perang ini juga membuat banyak warganya mengungsi ke negara tetangga, Iran dan Pakistan. Saat Uni Soviet pertama kali menginvasi Afghanistan, kedua negara ini lah yang membuka lebar-lebar pintu untuk pengungsi. Tapi ternyata perang tidak sehari dua hari. Hal ini berlangsung puluhan tahun. Lama-kelamaan kedua negara tetangga pun menerima terlalu banyak beban sehingga sekarang sudah tidak secara bebas lagi menerima pengungsi. Visa dipersulit. Pekerjaan dipersulit, hanya bisa menjadi pekerja kasar. Di negara tetangga hidupnya sulit, di negara sendiri sedang berperang. Astaghfirullah. :’(

*** bingung mau cerita apa lagi, banyak banget sebenernya, detailnya, emag lebih enak baca sendir sih ***

Kadang saya suka takjub sendiri selama baca buku ini. Kok bisa ya orang-orang hidup di tempat seperti ini. Mungkin salah satu hal yang bisa diteladani oleh kita adalah semangat pantang menyerah orang Afghan (sebenernya, kalo baca buku ini, agak kurang tepat menyebut orang Afghan. Istilah ini hanya me-refer ke 1 etnik, yaitu Pashtun. Tapi apa daya, semua orang menganggap sama saja hehe). Pantang menyerah, maka bisa terus bertahan sampai sekarang. Meski keadaan sulit. Meski teror bom selalu menunggu.

Di epilog, penulis menutup buku dengan kisah baru. Perjalanan menuju Tajikistan, tetangga Afghanistan. Sebuah negara harapan. Kata orang-orang Afghan.

Can’t wait to read “Garis Batas”.
*besok kuliah woy*

***

Sampai di Ishkashim, diseret polisi dari Falang Coach. Polisi itu membolak-balikkan paspor serius bgt. Padahal bacanya tibalik. #SD

Sasapedahan dari Ceko lintasi Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Kirgistan, Tajikistan, Afghanistan, dg tujuan akhir India. #SD

Dagingnya berwarna hitam. Jika dikibaskan, warna hitamnya menghilang, berubah menjadi lalat yg beterbangan. #SelimutDebu *merinding*

Setahun lebih ia tinggal di Indonesia, cuma tahu kata "berapa". (tentang Ramazan) #SelimutDebu

"Diskriminasi," kata dokter Najmuddin, "di sini memang ada diskriminasi. 95% staf di RS ini adl penyandang cacat.Tetapi kl boleh saya menyebutnya, ini diskriminasi positif."

Ada titik (teuing kota teuing naon) namanya Farah loh di Afghanistan. Baru tau :)) @farahdiputri

Bahkan ada jejak Indonesia di Peshawar. Bung Karno pernah berpidato disana. Ga aneh kl ada pertigaan namanya Soekarno Chowk/Square. Tapi pas ditanya arti Soekarno apa, jawabannya malah "aha, mungkin pahlawan dari India!" *gubrag* #SelimutDebu

Ada petanya! #SelimutDebu *pdhl baru beres prolog* http://lockerz.com/s/238827654 (dan emang ada banyak lagi peta)

Kandahar tidak ada apa-apanya. Tapi hati2 kalau kau ke Ghazni. Keadaannya parah.... Kasur dan selimutnya banyak kutu.

Wakhan adl surga tersembunyi, diapit Tajikistan, Cina, & Pakistan. Kau harus melewati Kunduz, Taloqan, sampai Badakhshan. 4 hari dari Kabul.

Lebih dari sekedar traveler -- explorer. Aaaaaaaaaaaa :_) *padahal baru baca kata pengantar doang* http://lockerz.com/s/238818525
Profile Image for Saad Fajrul.
120 reviews2 followers
March 15, 2019
Akhirnya saya menyelesaikan ini. Titik nol, garis batas, dan sekarang selimut debu. Saya suka semuanya. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya merasa iri dengan keberanian penulis untuk melakukan perjalanan. Rasanya jauh sekali, tapi saya selalu berharap dapat melakukan perjalanan saya sendiri nantinya

Buku yang sangat inspiratif. Saya suka sekali.
Profile Image for Satrio Dirgantoro.
11 reviews
May 6, 2018
Identitas, tak peduli walau memiliki postur, wajah & bahasa yang mirip jika konsep identitas berbeda, maka darahnya dapat dihalalkan. Miris..
Profile Image for Basmah Thariq.
4 reviews
September 5, 2011
Asia bagaikan tubuh hidup yang terdiri dari atas tanah dan air. Jantung yang berdetak di dalamnya adalah Afghanistan. Kehancuran Afghanistan adalah kehancuran Asia. Kemajuan dan kemakmurannya adalah kesejahteraan Asia.
--Allama Iqbal--


Apa yang ada dibenakmu tentang Afghanistan? Negara gersang dengan perbukitan yang gundul? atau laki-laki yang berjeggot tebal dan perempuan yang menutup diri dibalik burqanya? atau negeri dengan Islam extrem yang terkenal dengan Talibannya? atau juga negeri penuh debu dan peperangan yang tak kunjung usai?

Tidak ada yang salah dengan semua persepsi yang ada dibenakmu saat ini. Afghanistan adalah sebuah negeri impian bagi para penduduknya yang telah bermigrasi ke berbagai negara seperi Pakistan, India, Iran dan belahan dunia lainnya akibat perang yang tak kunjung usai. Dan Agustinus Wibowo menceritakan kisah perjalanannya ke negeri Selimut Debu dengan begitu apik seakan kita ikut dalam petualangannya.

Tapi bagiku, membaca buku ini bukan sekedar ikut dalam perjalanan sang penulis, tapi buku ini membuatku lebih mengenal dirimu. Bagaimana setiap lembar yang ditulis oleh Agus adalah kisah tentang dirimu yang tak pernah terungkap sebelumnya. Dan akupun larut dalam kisah-kisah yang diceritakan Agus melalui buku ini.

Kau beruntung. Kau tidak termasuk anak-anak afghani seperti yang diceritakan Agus lewat bukunya dimana banyak sekali anak-anak yang tidak sekolah, bahkan tidak bisa membaca tulis. Kau beruntung. Kau bisa sekolah di luar negeri, di sekolah penerbangan yang bergengsi. Semoga kelak kau bisa membantu negerimu dengan tanganmu yang kokoh, seperti sering kau bilang bahwa kita harus membantu yang lemah.

Lewat buku ini, sekarang aku mengerti mengapa kau bisa berbahasa urdu. Dimana pada zaman Taliban masih berkuasa, terjadi pengungsian yang besar-besaran ke Pakistan. Taliban membuat negeri ini lumpuh, tak berdaya, ditambah dengan peperangan dimana-mana bahkan terjadi kebencian antar suku yang begitu menyolok. Sehingga Pakistanlah tempat untuk berlindung dan mencari kehidupan yang lebih baik.

Syukurnya, engkau tidak punya pikiran kolot dan islam extrem yang selama ini kubayangkan tentang Afghanistan. Kau tidak berjenggot tebal. Kau punya pikiran yang moderat. Dan yang paling aku sukai dari dirimu adalah bagaimana kau menghargai orang lain. Pemikiranmu yang tajam dan hatimu yang lembut membuat aku suka berbicara denganmu berjam-jam. Mungkin inilah efek dari pendidikan dan pengalaman hidup yang keras.

Melaui novel ini, sebagian pertanyaanku tentangmu terjawab. Novel Selimut Debu bukan sekedar cerita tentang seorang traveler keliling dunia dengan gegap gempitanya, tapi ini sebuah cerita tentang petualangan yang menampilkan kisah-kisah yang tak pernah kalian tahu sebelumnya. Tentang budaya, islam, kepedihan, peperangan, kehancuran hidup dan tentang persaudaraan. Tak heran ada pepatah Afghan "Hari pertama adalah teman, hari berikutnya jadi saudara".
Profile Image for Erica.
162 reviews2 followers
August 10, 2021
Blanket of Dust: Dreams and Pride from War Country Afghanistan

A truly, truly epic read. This was not only the first travel memoir I've read, but it is also the first travel memoir I have read from an Indonesian author. It was so amazing and well-written that I want to translate the entire thing, just so the rest of the world can also share in the experience

To summarise this book in a few words: compelling, honest, and magical. Written back in 2010, it chronicles the author's experience as a journalist in Afghanistan in 2006.

"Everything is expensive here. Only one thing is cheap: human life."


Agustinus is not your typical traveller who sees only the shiny surfaces and refuses to dive deep into a place. When he travels, he travels. And he doesn't sugarcoat the dark sides of the country. Throughout his adventure, he was swindled, left without a ride in the middle of nowhere, manhandled by the police, and had to hitchhike across the unforgiving plains of Afghanistan.

"Time flows as it wills, sometimes fast, sometimes slow. Summers and winters come and go. And no one cares. Ask anyone here in Kret Village how many summers have passed in their lifetime.

Few would know the answer.


But Agustinus also managed to capture the simple beauty in such a chaotic world. He portrays the kinship he feels when staying in local tea shops, the hopeful hearts of Afghans who dream of paradise, and the delightful taste of a simple dish after suffering a journey on an empty stomach.

His descriptions are vivid, his prose lyrical. You can almost see yourself tracing his footsteps in this war-torn country; witness the lives of women in burqas whose skin barely ever sees the sun; watch little kids run around in spools of dust; dine and sleep like packed sardines in roadside samovars.

He takes you all over the country: from Kandahar and Kabul, to the valleys over in Wakhan. He introduces a diverse cast of characters, including fellow travellers he meets along the way, ill-meaning drivers that con him, and kind-hearted shop owners who gladly open their homes for this weary foreigner. Also, he tells of the struggles that Afghan refugees face in Iran.

I must admit it took me a long while to finish this book and get stuck in, but it had nothing to do with the writing or the content.

Blankets of dust, mountainous veils, echoing cries, and the terror of war conceal the real face of Afghanistan-an ancient country whose grand civilization has been buried deep.
Profile Image for Akmal A..
172 reviews9 followers
December 14, 2015
Peristiwa 11 September tahun 2001 adalah titik pertemuan aku mengenali Afghanistan. Waktu itu aku berumur 10 tahun, dan apa yg terpampang di dada akhbar tentang Afghanistan semuanya melibatkan kematian, teroris, militan bom dan semua perkara yang menyedihkan.

Tahun 2013 aku kembali berjumpa nama Afghanistan tetapi kali ini di Melbourne, sewaktu melawat Muzium Melbourne yang sewaktu itu mengadakan pameran tentang satu bandar kuno yang wujud di sebalik gunung-ganang di negara yang dilabelkan tempat kelahiran para pejuang militan, Taliban. Walaupun ketika itu aku di Melbourne bertujuan untuk mengkaji tentang kecanggihan sistem bangunan tersebut, namun pameran yang di anjurkan oleh National Geographic ini menghanyutkan aku untuk memahami tentang peradaban agung yg pernah wujud satu ketika dulu.

Sejak dari itu semangat untuk mengkaji rahsia tentang negara-negara Asia tengah menarik minat aku. Travelog ini pula menemukan sedikit sebanyakan jawapan tentang persoalan bagaimanakah keadaan Afghanistan selepas perang, pengalaman beragama mereka, tentang budaya dan bermacam lagi.

Seperti juga Titik Nol, Agustinus berjaya membawa aku untuk bersama-sama menikmati kisah petualangnya dan pengalamannya dapat dirasai walaupun dengan hanya membaca aksara-aksara di helaian kertas. Ini merupakan travelog yang bagi aku sangat hebat kerana bukan sahaja menceritakan tentang keindahan atau keburukan sesebuah tempat tetapi kisah penulis yang cuba memahami adat resam masyarakat di sana membuatkan ianya berbeza dengan kisah-kisah travelog dari yang lain.

Sebenarnya kisah Agustinus ini lebih dari sekadar backpacker, aku kirakan ianya boleh dikategorikan sebagai sebuah karya sosiologi/antropologi meskipun ianya tiada bukti-bukti dan karya akademik. Mungkin aku terlalu mendewakan si penulis namun aku membenarkan apa yang tertulis di prakata, "Agustinus bukan lagi seorang backpacker, dia seorang Eksplorer!"
Profile Image for Awal Hidayat.
195 reviews35 followers
November 1, 2019
Pada mulunya, menghabiskan buku ini semata-mata karena kewajiban The Book Club Makassar anniv meeting yang hanya membahas satu buku spesifik dari manusia seribu nyawa, Agustinus Wibowo. Yang paling melekat dari ingatan tentang buku ini adalah refleksi yang menyadarkan kalau kondisi Afghanistan dan Indonesia memiliki benang yang saling mengaitkan.
Ya, sebagian besar penduduk kedua negara ini ialah masyarakat Muslim. Ketakutan terbesar ialah konflik berkepanjangan di Afghanistan bisa saja akan terjadi di Indonesia. Kalau upaya penangkalan terorisme tidak segera ditanggapi secara tuntas. Kalau masyarakat tidak menghargai dan menjunjung tinggi toleransi antargolongan.
Buku ini memang menceritakan perjalanan Agustinus ke negeri debu. Detail yang dituturkan begitu apik sehingga seolah-olah mengantarkan pembaca terbang ke latar tempatnya. Saya pun kerap dibuat takjub sekaligus ngeri dengan pengalaman menantang dan lolos dari maut atau bahaya lainnya. If only I could really travel to Afghan, but later when it's already really safe and sound. I still can't die peacefully for now.
My favorite line adalah ketika Agustinus sedang berbincang dengan salah seorang supir yang mengantarnya ke destinasi berikut. "Hidup itu selalu ada naik-turunnya, seperti pegunungan ini. kita terkadang terengah-engah mendaki, terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada waktu untuk berbahagia." It's just feel so relieved.
Displaying 1 - 30 of 273 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.