Ada yang menghindar, ada pula yang mengincar: jabatan Ketua RT. Bu As sangat ingin suaminya, Pak As, menjadi Ketua RT Kampung Merdeka karena otomatis jabatan Ketua PKK bakal ia pegang. Dan, begitu berkuasa, mulailah Bu As menindas warga. Kebijakan macam-macam, tetapi yang paling menyiksa warga adalah kewajiban bercocok tanam dan sepekan sekali senam. Perlawanan muncul di sana-sini, termasuk di grup percakapan.
Namun, kampung yang awalnya dihuni para purnawirawan ini tidak melulu berisi relasi kuasa. Ada kisah petualangan asmara membara yang melibatkan sekian pemain. Pagebluk datang, tetapi adu muslihat antarwarga tak berkurang, bahkan ketika Kampung Merdeka akhirnya menerapkan lockdown—lauk daun.
Lauk Daun mengingatkan saya pada novel Saman (Ayu Utami, 1998), di mana sebuah peristiwa (besar) baru saja terjadi dan langsung mewujud sebuah novel. Dua novel itu seperti mengisyaratkan soal pengendapan (peristiwa) bukanlah hal yang mutlak oleh durasi waktu.
Tanpa ingin berpretensi menilai, jika diteliti lagi, novel serupa Lauk Daun banyak sekali di jumpai dalam platform cerita. Di jagat platform, novel yang mengambil latar / tema Covid begitu banyak, dan melimpah ruah. Tapi Lauk Daun punya keistimewaan, mau berlaga di jalur sayembara novel sastra, dan nyatanya menarik perhatian dewan juri.
Saya tidak mau mencampuri dapur dewan juri, siapakah juri yang mengusulkan novel ini sebagai salah satu dari sekian judul pilihan juri. Yang menarik adalah, keinginan dewan juri yang ingin mendekatkan tema pandemi dalam sastra. Setidaknya, sejarah pandemi (yang tercinta ini) mengawet dalam sejarah susastra Indonesia.
Dan sangat dipahami jika penerbit baNANA akhirnya menerbitkan judul ini. Hidup sudah sedemikian berat, tema selincah dan berenergi seperti Lauk Daun ini seperti menjadi setengah tablet obat demam di antara beratnya pasca pendemi. Novel ini lincah, trengginas, sindar-sindir membikin senyum, lalu dekat dengan semua orang. Novel alumni DKJ yang berbeda, hemat saya. Istilahnya, enggak berat-berat amat, tapi ngena.
Di dalam himpitan beban hidup ini, saya terhibur, sekaligus kecubit saat membaca novel ini.
Siapa sangka drama RT RW bisa ditulis menjadi novel pendek seasyik (dan semenjengkelkan) buku ini. Dengan latar pandemi ketika semua desa berlomba menutup akses jalan, novel ini mengingatkan saya kembali pada masa ketika pagebluk tidak hanya munculkan jarak, tetapi juga membuat "dekat" mereka yang tinggal bersebelahan. Tetangga jadi lebih sering menyapa, tapi drama antartetangga yg seringkali dihindari jadi mengemuka. Ada banyak kejadian sederhana dan sangat dekat dengan masyarakat kita di buku ini: arisan, grup WhatsApp RT, tirakatan, lomba agustusan, jalan sehat, dan membuat portal. Astaga, ini kayak kisah sehari hari di kampung sendiri dengan drama yang sepertinya bnyak warna tetapi sejatinya ya begitu-begitu saja. Kepiawaian pengarang (dan mungkin juga erkat editornya) telah menjadikan kisah di buku ini terasa begitu kuat efeknya.
Berawal dari percakapan WA grup ibu-ibu warga Kampung Merdeka mengenai lock down (meminjam istilah pada buku ini: lauk daun) pada pandemi covid, nafsu atas kekuasaan politis tak lagi terbendung. Tak luput, bapak-bapak RT pun juga ikut mewarnai keterlibatan politik ini bersama istri mereka. Salah satu momen politis paling berdampak adalah penunjukkan ketua RT dari Pak Amar ke Pak Asikin. Dengan kehadiran Bu As, istri Pak Asikin, sebagai ketua PKK baru yang ambisius dan keras kepala, drama kehidupan bertetangga Kampung Merdeka makin “berwarna”. Belum lagi adanya frenemies Yayuk-Jubaidah yang memberikan efek “sakit kepala” pada siapapun yang hendak menjadi ketua RT Kampung Merdeka. Akankah lauk daun dapat mendamaikan keriuhan di kampung ini?
Diutarakan dengan percakapan yang penuh satir namun santun, Kak Hartari merangkum muslihat politikus-politikus skala RT dipenuhi balas dendam, kerumpian, celetukan dan tentunya drama yang kental dengan kehidupan masyarakat. Kepiawaian penulis terhadap plot cerita sungguh mengagumkan. Storytellingnya sangat natural — pembaca serasa diajak masuk dan juga menyimak atas semua kejadian politis Kampung Merdeka.
Belum lagi pilihan kata, terutama pada celetukan-celetukan Bu As, yang terang-terangan mengajak pembaca untuk tertawa, baik tertawa lepas hingga sinis maupun getir. Vibenya novel ini mengingatkan saya pada film serial TV jaman dahulu, Bajaj Bajuri.
Sayangnya, Kak Hartari menutup kisah Kampung Merdeka ini terlalu cepat. Semoga ada kisah selanjutnya untuk Kampung Merdeka. Disamping itu, karakter yang ada di dalam novel cukup banyak dan perlu berulang kali mengingat nama karakter yang ada.
Overall, Lauk Daun cocok untuk kamu yang butuh rekomendasi bacaan yang ringan dan penuh humor (dengan tone yang agak satir) khas ibu dan bapak RT. Sedikit note dari saya, please jangan baca ini di ruang publik, karena sungguh mengundang gelak tawa lepas tak terbendung yang ngga ada jaim2nya 😉
This entire review has been hidden because of spoilers.
Buku ini menceritakan tentang situasi saat pandemi. Awalnya saya mengira "Lauk Daun" itu menu sehat saat pandemi yang terdiri dari sayur-mayur. Ternyata salah dong, "Lauk Daun" merupakan penyebutan simpel dari kata lockdown. Oalah.
Saya agak bingung bikin review buku ini. Terlalu banyak tokoh dan terlalu banyak kejadian. Tokoh utamanya tidak jelas yang mana, konflik utamanya juga membingungkan saking banyaknya kejadian.
Singkatnya begini, sebelum pandemi, kampung Merdeka dipimpin oleh Pak As sebagai ketua RT. Bu As yang ambisius dengan jabatan ketua PKK, membuat banyak acara dan wacana yang bukannya mendapat pujian, malah bikin ibu-ibu jengkel dengan seabrek kegiatan. Mulai dari jalan sehat, senam aerobics, sampai menciptakan kampung hijau. Perlawanan pun muncul di sana-sini, termasuk di grup chat ibu-ibu.
Lalu tibalah saat pandemi, waktunya berbarengan dengan pergantian RT. Ibu As pun diganti oleh Bu Rusdi. Saat situasi lockdown, bukannya suasana hening dan tenang, suasana di Kampung Merdeka justru makin panas. Bu Rusdi sebagai ketua PKK yang baru, makin stres dengan pro-kontra sebagian warga akibat penutupan portal saat lockdown, lalu menyulut pertengkaran sengit ibu-ibu di chat. Mendadak semua tokohnya jadi antagonis, semuanya menyebalkan. Terutama Yayuk.
Yayuk, wanita yang bolak-balik kawin cerai dan sering menjadi bahan gosip, akhirnya saat lockdown bisa membalaskan dendamnya pada ibu-ibu yang menyakiti hatinya. Endingnya astaga, Yayuk, kamu sadis banget.
Banyak dialog sehari-hari yang lucu dan receh. Walaupun kehidupan bertetangga seperti ini cukup relate dengan kehidupan saya, namun cerita yang dikemas secara satire ini bukan selera saya.
Wah! Buku yang super seru dan lucu. Gw ketawa gak berhenti baca kelakuan Bu As. Alur ceritanya gak sesuai bayangan gw sih. Gw kira akan sangat banyak cita-cita Bu As yang kandas karena lockdown, terus gimana masyarakat menghadapi virus sambil rindu berkumpul. Ternyata ceritanya jauh lebih sederhana dan ringan. Konfliknya khas bertetangga. Buku yang menyegarkan~
Ringan, menghibur. Benar-benar berhasil membawa drama kampung (yang biasa saya temui di kampung sendiri) dengan satir, cerdik. Begitu juga cara kampung mengatasi pandemi - sangat relatable.
Cerita sederhana kayak gini sangat menyegarkan setelah digempur baca Berserk. Tapi satu aja yang mengganjal, saya pengen liat Yayuk diamuk Bu As… eh malah gak ada 🥲
Satu hal yang kurang dari novel ini adalah ceritanya yang terlalu singkat (dan cepat), padahal banyak banget potensi drama di Kampung Merdeka yang bisa dikulik hahahahaha
Kritik sosial dengan humor benar-benar bikin ketawa dan geleng-geleng kepala. Kalau pernah baca cerpen di koran (dulu di Jawa Pos tiap hari Minggu), nah gaya penulisannya mirip.
Dengan premis yang sederhana, Lauk Daun dapat mencuri perhatian dewan juri hingga meraih predikat 'Naskah yang Menarik Perhatian Juri' dalam Sayembara Novel DKJ 2021. Saya lebih suka menyebutnya menyebutnya novela karena hanya terdiri dari 144 halaman saja. Bagi penggemar buku (khususnya yang menggandrungi novel-novel lokal), Lauk Daun menjadi angin segar karena menawarkan nostalgia dan kedekatan yang mampu menjangkau resepsi personal pembacanya. Di tengah kemunculan novel-novel etnografis yang menonjolkan ragam lokalitas dan konflik di dalamnya, Lauk Daun muncul membagi cerita ringan soal realitas masyarakat urban yang rumit, menggelitik, dan tentunya bisa habis dalam sekali duduk.
Segala elemen di dalam Lauk Daun dikemas dengan cerdas dan unik. Satire yang diselipkan dengan rapi, penamaan karakter yang matang (bahkan saya merasa terdapat banyak alasan terselubung dari nama-nama tokohnya, terlebih ibu-ibu yang kebanyakan hanya menyandang nama suaminya), hingga tema penting yang diangkat (pandemi tahun 2020 silam tentu harus diabadikan dalam karya sastra). Apabila menilik pada perspektif subjektif, saya yang belum berumah tangga merasa kesal dengan tingkah setiap tokoh di dalamnya (jangan tanya saya memihak Bu As atau Yayuk). Namun, membaca Lauk Daun sedikit banyak mengajarkan saya soal kehidupan masyarakat Indonesia 'pada umumnya'.
Ribut-ribut di grup WhatsApp, perseteruan ibu-ibu PKK yang tiada habisnya (mulai dari arisan, senam, hingga menanam cabai dan program kampung hijau), perselingkuhan, gosip, pemilihan ketua RT yang selalu jadi pusat perhatian karena setiap jabatan yang dipegang memiliki masalah dan intrik politik yang pastinya turut membuat emosi pembaca diaduk-aduk. Saya jadi bertanya-tanya apakah memang kehidupan orang dewasa; khususnya yang sudah berumah tangga, seperti itu? Bagaimanapun, sastra selalu berkaca dari pengalaman nyata pengarangnya dan menurut saya, Hartari yang memulai debutnya dengan Lauk Daun mampu mengobservasi, memotret, dan menuangkan suasana pandemi tahun 2020 dengan apik.
Oh iya, saya nggak begitu memahami beberapa banyolan atau lelucon yang dibubuhi dalam setiap fokus konflik. Saya nggak bisa tertawa atau sekadar ikut senyum karena saya nggak paham dengan konteksnya. Meskipun saya jelas tahu kalau paragraf yang sedang saya baca adalah plesetan-plesetan konyol. Barangkali karena esensi jokes yang berbeda antargenerasi bikin saya malah jadi kebingungan sendiri (duh, risiko age-gap). Namun, hal itu nggak menutup kesempatan di adegan kelucuan dan tingkah absurd warga Kampung Merdeka yang bikin saya geleng-geleng kepala karena nggak habis pikir.
Membaca Lauk Daun membuat saya terhibur, karena kisah dalam buku memunculkan rasa antara gemas sekaligus menggelitik karena lucu. Cerita yang ringan tentang kehidupan sosial masyarakat kampung yang untuk saya pribadi relevan dan cukup related terjadi di kehidupan warga pinggiran kota alias warga kampung.
Lauk Daun bercerita tentang dinamika hidup di kampung Merdeka, sebuah kampung di tengah kota yang sangat mirip dengan kampung-kampung pada umumnya. Penghuninya beragam, status sosial ekonominya beragam, pekerjaannya pun beragam.
Fokus cerita Lauk Daun berpusat pada kepala kampungnya. Mulai dari masa Pak Aripin, Pak Amar hingga Pak Asikin dan istrinya Bu Asikin (yang lebih dikenal dengan sebutan Bu As) yang menjadi pemimpin Kampung Merdeka. Meskipun Pak Asikin, seperti bapak-bapak pada umumnya, tidak terlalu heboh dan ingin biasa saja dalam memimpin Kampung Merdeka, tapi Bu As ternyata punya misi lain: Ia ingin menjadi Ibu kepala kampung dan kepemimpinannya membekas dan berprestasi, sehingga dimulailah dramanya disini. Kenapa drama? karena Bu As sebetulnya bukan sosok yang dekat dengan masyarakat, ia bahkan tidak mengenal semua orang di Kampung Merdeka meskipun sudah tinggal di sana.
Bu As jadi super duper menyebalkan dan membuat kita gemas ketika membaca tingkahnya. Sementara itu seperti halnya dinamika di kampung, bapak-bapak kecil sekali perannya di sini. Seperti halnya di kampung-kampung kebanyakan: Ibu Ibu lah pemegang kekuasaan sebenarnya.
Selain kelakuan Bu As, kita juga akan menemukan sosok Yayuk yang tak kalah dominan. Yayuk jadi stereotipe perempuan yang juga sering digosipkan tetangganya seperti Bu As, bedanya Yayuk digosipkan karena kisah asmaranya. Suka gonta ganti pacar, hamil duluan sebelum menikah, hingga batal kawin siri karena calon suaminya dijemput istri sah, tak kurang kurang ia juga tipe warga yang senang ribut dengan tetangga lainnya.
Buat kalian yang ingin membaca bacaan ringan, lucu, namun tetap dengan isi yang menarik. Buku ini akan menjadi paket lengkap, meskipun cenderung tipis ternyata buku ini tidak bisa habis hanya dalam sekali duduk (itu kalau saya, kalian tidak tau ya 😅)
“Bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan atas dasar ambisi bukan karena panggilan nurani?” Didukung dengan latar belakang COVID-19 Lauk Daun adalah cerita menggelitik dan menarik untuk dibaca sampai tuntas. Kampung Merdeka berisi sekelompok warga yang memiliki beragam sifat dan karakter mewakili orang-orang yang ada di sekitar kita. Semua bermula ketika jabatan ketua RT lama sudah selesai dan digantikan dengan RT baru. Bukan suaminya, melainkan istrinya (Bu As) sangat ingin suaminya mendapatkan gelar jabatan itu. Disitulah kampung yang awalnya damai menjadi ricuh dan bersitegang setiap waktu. Bu As memimpin dengan ego dan ambisi yang dimilikinya bukan untuk kepentingan kampung melainkan ingin mendapatkan pandangan baik oleh petinggi maupun kampung lainnya. Berbagai macam kebijakan sepihak dan memaksa diterapkan, masyarakat tak boleh menolak maupun protes melainkan tunduk dengan semuanya meskipun terkadang tidak masuk akal. Bu As berhasil membawa kampungnya menjadi perwakilan kampung hijau namun warganya tidak bahagia bahkan semakin tertekan. Apapun yang dilakukan karena ambisi tinggi tentu saja tidak mendatangkan kebaikan. Waktu berjalan Pak As lengser digantikan dengan Ketua RT lain namun siapa sangka Bu As yang masanya habis masih merecoki kerjaan RT baru. Konflik memanas ditambah COVID-19 semakin merajalela, muncullah gagasan membuat portal. Hanya saja ternyata gagasan itu ditunggangi atas kepentingan kelompok tertentu didukung dengan orang-orang yang mudah terbawa suasana. Pertikaian tak bisa dihindari orang-orang tak takut lagi COVID-19 apa saja yang dilakukan bukan untuk menyelamatkan nyawa warganya namun untuk menyelamatkan kepentingannya masing-masing. Lauk Daun adalah buku dengan gaya kepenulisan menarik ditambah sentuhan humor dari percakapan ibu-ibu di dalam grub. Memang sangat menarik membiarkan orang bodoh yang pura-pura pintar bermain lakon di atas panggung. Hahaha, bukankah memang benar begitu??
Lauk Daun merupakan novel karya Hartari yang mengisahkan cerita tentang kekisruhan para warga Kampung Merdeka yang penuh intrik karena hampir setiap warganya mempunyai agenda pribadi yang ingin selalu dimenangkan dan hal itu sering kali bertentangan dengan ideologi atau prinsip warga yang lain. Selain itu, novel ini juga menggambarkan tentang fenomena respon dari ketidaksiapan warga Kampung Merdeka dalam menanggulangi pagebluk.
Berawal dari usulan Yayuk untuk memasang portal di ujung gang 1 (Kampung Merdeka) di sebuah grup W.A ibu-ibu PKK. Menjadi panjang karena usulannya tersebut ternyata dibumbui dendam pribadinya kepada warga lain yang dianggap pernah melukai hatinya. Usahanya mengusulkan sempat disetujui, namun protes dari warga yang memang sedari mula tidak menyetujui usulan Yayuk berhasil membuat portal yang sudah dipasang hanya bertahan dalam hitungan hari. Masih tidak terima dengan keadaan, Yayuk berserta suaminya Teguh melancarkan isu-isu fitnah tidak mendasar kepada orang-orang yang dianggapnya telah melukai hati Yayuk.
Novel ini cukup tipis dan bisa dikategorikan page turner sehingga bisa habis sekali duduk. Namun apabila ditelaah lebih jauh dalam lagi, novel ini memotret banyak hal yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari namun acapkali luput karena rutinitas yang begitu menyita waktu. Beberapa isu yang saya bisa simpulkan dari novel ini yaitu: Politik kekuasaan, conflict of interest dan juga tentang kelas sosial. Meskipun isu yang ada dalam novel terlihat cukup berat, dengan teknik kepenulisan dan diksi yang digunakan menjadikan novel ini cukup ringan karena tidak sedikit ditemui guyon-guyon receh yang cukup menghibur.
Bagaimana bisa buku sekecil ini, setipis ini, menyajikan cerita kompleks terkait penguasa yang otoriter, tidak merit, emosional, anti kritik, dan oligarki dalam lingkup yang kecil, di tingkat RT! Lengkap pula di akhir cerita digambarkan adanya kekuasaan yang lebih besar dari itu.
Buku ini sangat menghibur! Kejayusan khas perkampungan, obrolan ibu-ibu di grup percakapan dengan bahasanya yang lugu, keriwehan bertetangga, serta beberapa permasalahan remeh-temeh lain, membuat orang yang hidup jauh dari kampung asalnya, akan merasakan rindu.
Kampung Merdeka namanya, dipimpin oleh Bu As (sebenarnya Pak As lah ketua RTnya, sedangkan Bu As hanyalah first lady, tapi kuasa Bu As bahkan melebihi suaminya sendiri).
Bu As sebelumnya dikenal sebagai ibu-ibu sederhana, membumi, dan ansos, berubah 180 derajat saat diberi amanah, memberikan pengalaman baru yang membuat resah warga, padahal bertahun-tahun sebelumnya kampung Merdeka damai sentosa.
Cerita berubah dari asyik menjadi agak menyebalkan saat Bu As mulai membuat aturan-aturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Memaksakan prestasi kampung tanpa memperhatikan kebahagiaan warganya. Cerita lebih menyebalkan lagi saat ada kekuatan yang lebih besar, masuk ke desa, yang bahkan Bu As sendiri tak berkutik dibuatnya.
Sebenarnya cerita ini lebih baik dibatasi dalam lingkup RT saja, namun jika tujuan penulis adalah mengenalkan adanya kekuatan di atas kekuatan, yang bisa mengganggu ketentraman kehidupan di lingkup bahkan sekecil desa, berarti buku ini adalah terobosan baru untuk mengenalkan dan meningkatkan awareness kita tentang bagaimana penyelewengan kekuasaan bekerja. Top! Highly recommended 👏
Sebenarnya tema dalam Lauk Daun terbilang biasa. Biasa boleh dibilang 'biasa saja'. Tapi jika melihat sejarah alumni sayembara novel DKJ, Lauk cukup segar. Dengan penyuntingan yang ketat, terasa narasi mengikat pembaca.
Sekalian saja saya berapresiasi dengan Kereta Semar Lembu di sini. Kereta ditulis dengan megah, terasa sekali dibuat dengan matang dengan proses pengendapan yang kuat. Ada jejak dari penyeragaman dari kalimat yang menempatkan kata sifat. Terasa peran editor di sini 'menyerobot' terlalu kuat. Bukan masalah. Justru di sini letak buku sebagai industri jadi terasa intens dan siknifikan. Tapi Kereta tidak menyajikan gaya baru. Bentuknya ya pun terasa realis magisnya GABO, hanya dibuat dengan tema Indonesia; dari masa lalu sampai masa-masa (mendekati) modern.
Izinkan saya menggunakan ilustrasi perbandingan, yang semisal saja Lauk adalah karya desainer Michael Kors (yang dianggap terlalu biasa saja) tapi disanjung banyak orang: nah ini baru mewah layak pakai. Sedangkan Kereta ibarat orang kebanyakan membuat baju seperti rancangan Viktor & Rolf. Ajaib. Mewah. Membuat imajinasi seperti terantuk langit-langit. Tapi apa yang dibuat oleh orang biasa itu bukan hal baru. Tidak ada keberanian menguji bentuk novel. Kereta bagi saya adalah novel hebat yang tidak memberikan gaya baru.
Sedangkan Lauk bagi saya pembaca umum yang membaca di kendaraan umum adalah novel biasa yang memberikan rasa segar.
Kalau dilihat sekilas, novel Lauk Daun seolah mengangkat cerita kehidupan sehari-hari yang latar tempat dan waktunya begitu dekat dengan banyak pembaca. Ya, asam-manis kehidupan bertetangga di sebuah kampung kota, bernama Kampung Merdeka, saat pandemi Covid-19 melanda.
Sekilas, kisah Bu As dkk. seperti dinamika hidup bertetangga biasa--siapa membicarakan siapa, pada acara apa, dan siapa yang perlu diwaspadai juga perihal apa, tetapi cara penulis menggerakkan lajur cerita membuat pembaca akhirnya curiga, seakan ini bukanlah desas-desus warga kampung ataupun kompleks biasa.
Ada adu siasat. Kalau diselisik lebih jauh, Lauk Daun seolah menyimpan pesan menarik, yaitu di mana pun kamu berada, tidak mungkin kamu lepas dari kehidupan berpolitik, bahkan di tataran rukun tetangga sekali pun. Mulai dari pemilihan Ketua RT-Ketua PKK, program apa dan siapa yang punya kuasa untuk menjalankannya, siapa yang boleh protes dan apa konsekuensinya, bahkan mengamankan jejaring sosial untuk membentuk kubu mana lawan mana.
Untuk saya, Lauk Daun menyenangkan untuk dibaca. Ada punch line yang kadang berhasil menjadi humor atau kejutan menyenangkan. Cukup mudah menamatkannya dalam sekali duduk. Namun, setelah buku ditutup, tidak banyak yang masih bisa saya ingat dari novel itu. Menyenangkan, tetapi tidak berkesan.
Pandemi memberikan efek pada selera pasar, yang akihirnya bergerak pada ekonomi global sehingga membentuk kultur ekonomi pada umumnya. Aku melihat pilihan menerbitkan Lauk Daun adalah keputusan yang cerdas; di mana daya beli masih bantet, malas memikirkan yang berat-berat(apalagi buku yang tebal, tak ada ilustrasi, dan dominasi bahasa yang berlapis-lapis).
Setelah juri mencantumkannya sebagai salah satu judul yang menarik perhatian, mau tak mau, naskah dengan mudah menemui pembacanya. Novel ini riuh, cenderung berisik, gesit, dan memang ada polarisasi penggambaran Indonesia dalam bentuk mikro, sebuah rukun tetangga. Ini juga bukan novel etnografis yang butuh catatan kaki yang khusus. Aku kira Ia menjadi dekat dengan semua orang, khususnya Indonesia.
Aku tidak tahu, seperti apa draf naskah ketika diikutsertakan sayembara DKJ, tapi melihat hasil jadinya setelah dalam bentuk buku sangat terasa istimewa. Kesederhanaan yang istimera, lebih tepatnya menutuku. Aku yang pembaca kebanyakan jadi tau, ohh, naskah perkotaan juga bisa menarik perhatian juri jika digarap dengan cerdas seperti ini rupanya.
Saya tertawa saat membaca bab pertama buku ini. Pelafalan lockdown ala lidah Jawa dari orang dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi (baca: Bu As) membuat saya mampu melahap novel ini dalam sekejap.
Buku ini mengambil peristiwa ketika awal-awal Indonesia dan dunia mengalami pandemi Covid-19 sebagai salah satu latar waktu, meski sesungguhnya alur novel ini berlangsung jauh sebelum peraturan lockdown berlaku.
Lauk Daun, sebuah novel yang memotret situasi perkotaan dari jarak dekat: sebuah perkampungan modern. Kisahnya cenderung santai, tetapi berisik, penuh kegaduhan dengan sajian drama masyarakat pada umumnya di unit pemerintahan terkecil: RT, dengan ragam kegiatan mulai dari arisan, lomba agustusan, senam sehat, kegiatan PKK, ramainya percakapan grup WA yang berisi emak-emak, kisruh rebutan lelaki, semula sahabat kemudian musuh, julid, nge-geng, ingin eksis, sindir menyindir, dan pernak-pernik lainnya. Benar-benar kisah sehari-hari yang juga terjadi di tempat tinggal kita, kan?
"Dengan lelucon kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor pikiran kita jadi sehat." - Gus Dur
Kesibukan saat acara 17an, senam pagi, kerja bakti, dan konflik antar tetangga, potret kehidupan warga kampung menjadi pusat cerita Hartari dalam buku Lauk Daun. Gaya bertutur Hartari yang ringan dan sederhana membuat buku ini bisa dibaca sekali duduk.
Jika hanya cerita yg ringan dan sederhana mungkin akan terasa membosankan, Hartari di sini menghadirkan humor yg lugas dan satire yg menggelitik yg memberi kesan "pas" untuk buku ini. Cocok dibaca dikala senggang contohnya.
Sejak bab pertama kita disuguhi kehidupan sehari-hari di kampung yg kadang kita anggap sepele. Hartari mampu mengangkat kisah2 ini menjadi suatu pondasi cerita yg kuat, tidak kehilangan ciri khas penulisannya yg lugas.
Aneka intrik yg sering terjadi di kampung antar warganya membuat geger warga sekampung. Ciri khas kampung2 di tengah kota. Hingga pak RT mau tau mau turun tangan membereskannya. Meski hanya pejabat RT namun keruwetan mengatur warga yg heterogen menjadi bumbu2 dlm cerita.
Lauk Daun adalah sebuah novel yg mempersentasikan wajah perkampungan padat ibukota yg penuh warna, ruwet, namun juga terkadang jenaka.
Sebenarnya kisah di buku ini sangat menarik. Lika-liku kehidupan bertetangga yang dekat sekali dengan keseharian orang Indonesia pada umumnya. Mengangkat manusia dengan karakter yang bervariasi dan kepentingan yang beraneka ragam.
Sayangnya, prolog buku ini menimbulkan ekspektasi yang berbeda dari yang ditawarkan. Dari awal, pembaca sudah dipancing dengan kisah lockdown di masa pandemi. Namun demikian, sampai lebih dari setengah buku, setting waktu belum tiba di masa pandemi. Pun setelah tiba di waktu tersebut, konflik yang muncul hanya berkaitan dengan pemasangan portal. Kompleksitas ketakutan, kebingungan, kekhawatiran, bahkan kemasabodohan warga--yang sangat potensial untuk dieksplorasi layaknya konflik yang telah terbangun di awal--tidak muncul.
Terlepas dari itu semua, buku ini layak dibaca untuk mengajak kita menjelajahi kompleks perumahan dan kampung dengan segala dinamikanya. Cukup menghibur meski mungkin akan mengingatkan kita pada tetangga yang menyebalkan.
Bagus sih sebenarnya, tapi kurang KENA! gitu. Feel baca buku ini tuh kayak waktu baca Dawuk-Mahfud Ikhwan atau Jatisaba-Ramayda Akmal. Vibe rakyat jelatanya dapat banget, sekalipun tokoh-tokohnya nggak hanya berisi rakyat jelata. Nggak tau ya, ini tipe tulisan apa tapi beneran dapat banget penggambaran suasananya. Sayangnya cuma satu menurutku, ceritanya kebanyakan konflik lalu penyelesaiannya kurang nendanggg! Jadi sebagai pembaca merasa, "cuma gini aja nih??". Sayang banget, padahal di awal-tengah udah berapi-api. Tapi tengah ke akhir yang harusnya udah mulai konklusi, ini maih panass. Akhirnya pas akhir kayak kurang. Nggak tau deh, aku merasa penulis buru-buru kepingin cepet ending. 😅
merekam potret keseharian konflik sosial-politik rakyat kampung remeh-temeh yang, sebetulnya, suatu hal yg sudah dituliskan berkali-kali. misal kalau kau mengangkat latar 'pandemi' lalu menyampingkannya, segala ceritanya tidak ada yg betul-betul berubah. konteksnya terasa tidak begitu kuat.
seru untuk dibaca sambil leyeh-leyeh tanpa perlu mikirin hal yg dalam (karena, ya, memang tidak sedalam itu. seperti membaca yotsuba atau menonton nichijou, lah). gaya tutur, tema dan ide yg diangkat, timing komedi yg dilempar, semua dalam proporsi yang cukup dan menyenangkan untuk dibaca.
Seru banget! Sebenarnya ini sebuah cerita santai, kehidupan sehari-hari di mana sebuah lingkungan warga tingkat RT (dengan sangat banyak Kepala Keluarga) bisa2nya saling sikut demi ambisi menjadi yang terhebat... hanya di antara mereka.
Jabatan paling tinggi yang diidamkan di sini adalah Ketua RT. Nggak ada yg bercita-cita menjadi Ketua RW, Lurah, Camat, Walikota, Gubernur, atau Presiden.
Naskah yang menarik perhatian juri. Labelnya begitu di sampul depan. Memang menarik sih, temanya sederhana tentang ketua kampung atau Pak RT dan Bu RT. Ya ceritanya memang sangat biasa sebenernya, tapi konflik seperti diceritakan dalam buku ini nyata.
Zaman sekarang kalo dapet undangan pergantian pengurus RT pada gak mau dateng, takut malah ditunjuk jadi ketua RT. Kan ribet ya ngurusin orang sekampung 😄😄
Strategi yang jitu menerbitkan novel ini di kala suasana hati, pikiran dan kantung acakadul wasaidul. Novel ini menjadi istimewa karena bisa memperlihatkan situasi perkotaan juga semenarik isu keterpurukan yang biasa dikendarai novel etnografis. Enak dibaca, dengan editing yang ketat nan rapijali. Tapi hati-hati. Kejenakaan ceritanya menjelma duri yang menusuk di akhir cerita.
Sempat enggan ketika ada yang menyiratkan novel ini dengan 'teori' relasi kekuasaan, dan saya coba ternyata saya lebih melihat karya ini mewakili eranya; pandemi, krisis multidimensi, dan hal remeh temeh yang bisa digarap dengan serius.
Cerita tentang kehidupan bertetangga dengan segala macam konfliknya. Premisnya sederhana, dan karakter-karakternya membuat novela ini terasa nyata dan dekat sekali. Satu lagi novela Indonesia yang mungkin akan saya rekomendasikan ke teman-teman yang sedang mencari bacaan ringan.
Novel tentang seluk beluk kehidupan di kampung, mulai dari pemilihan Pak RT, kenyentrikan Bu RT serta sekelumit masalah masalah di kampung..cukup seru untuk dibaca, karakter karakter yang ngeselin dapet banget ngeselinnya.