Jump to ratings and reviews
Rate this book

Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia

Rate this book
In the early morning hours of October 1, 1965, a group calling itself the September 30th Movement kidnapped and executed six generals of the Indonesian army, including its highest commander. The group claimed that it was attempting to preempt a coup, but it was quickly defeated as the senior surviving general, Haji Mohammad Suharto, drove the movement’s partisans out of Jakarta. Riding the crest of mass violence, Suharto blamed the Communist Party of Indonesia for masterminding the movement and used the emergency as a pretext for gradually eroding President Sukarno’s powers and installing himself as a ruler. Imprisoning and killing hundreds of thousands of alleged communists over the next year, Suharto remade the events of October 1, 1965 into the central event of modern Indonesian history and the cornerstone of his thirty-two-year dictatorship. Despite its importance as a trigger for one of the twentieth century’s worst cases of mass violence, the September 30th Movement has remained shrouded in uncertainty. Who actually masterminded it? What did they hope to achieve? Why did they fail so miserably? And what was the movement’s connection to international Cold War politics? In Pretext for Mass Murder , John Roosa draws on a wealth of new primary source material to suggest a solution to the mystery behind the movement and the enabling myth of Suharto’s repressive regime. His book is a remarkable feat of historical investigation. Finalist, Social Sciences Book Award, the International Convention of Asian Scholars

344 pages, Hardcover

First published September 5, 2006

116 people are currently reading
1102 people want to read

About the author

John Roosa

7 books6 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
264 (51%)
4 stars
164 (31%)
3 stars
60 (11%)
2 stars
17 (3%)
1 star
10 (1%)
Displaying 1 - 30 of 77 reviews
Profile Image for mharipin.
86 reviews7 followers
October 3, 2008
OK, apa yang membuat buku Roosa sangat menarik dalam pandangan saya adalah penemuan bukti-bukti baru tentang berbagai hal menyangkut Gerakan 30 September (G-30-S) dan sekalian analisis mengenainya, rekonstruksi alternatif atas kejadian G-30-S ala Roosa, serta kearifan yang dikandung oleh buku itu.

“Dalih Pembunuhan Massal”, berbeda dengan buku-buku dengan tema sejenis, tidak serta-merta mengarahkan jari telunjuk kepada pihak-pihak tertentu sebagai dalang G-30-S. Entah itu PKI, Suharto dan komplotan Angkatan Darat-nya, Soekarno, maupun CIA. Roosa agaknya memulai riset untuk bukunya ini dengan pikiran naif dan rasa penasaran yang membuncah. Emm, sebenarnya Roosa (memang) tidak senaif itu dan naskahnya pun tidak sedingin layaknya naskah penelitian yang berjuang sekuat tenaga untuk menjunjung tinggi value free, namun Roosa sedikitnya sengaja –buah dari sikap hati-hatinya- untuk mencermati dan mencerna berbagai bukti baru guna mengkaji apa yang sebenarnya terjadi dalam G-30-S. Oleh karena itu, meski Roosa tampak memiliki tendensi untuk membela PKI –sebagai wacana tandingan terhadap propaganda Orde Baru, Roosa tetap memperlakukan aktor-aktor lain dengan fair dan berimbang. Hal inilah, menurut saya, salah satu keunggulan buku ini.

Selain perlakukan Roosa terhadap bukti, saya pikir kesimpulan buku ini pun cemerlang dan menunjukkan kapabilitas Roosa sebagai sejarawan mumpuni. Roosa tidak menganalisis pelaku/aktor G30S dengan “sekali pukul dan ketahuan, setelah itu selesai.”

“Kelemahan penyelidikan-penyelidikan tentang G-30-S terdahulu terletak pada titik tolak mereka: dugaan bahwa pasti ada dalang di balik gerakan itu. Menurut hemat saya tidak ada ‘otak’ yang utama, apakah ia berupa tokoh, ataukah suatu gugus rapat orang-orang yang terorganisasi mengikuti pembagian kerja serta hierarki kewenangan yang jelas. G-30-S menjadi bersifat misterius justru karena tidak adanya pusat pengambilan keputusan yang tunggal.” (Hal. 293)

Maksudnya, Roosa mendasarkan analisisnya terhadap sejauh mana para aktor itu berkontribusi terhadap G-30-S, di dalamnya juga termasuk pembatasan mengenai hal-hal apa saja yang sebenarnya tidak termasuk kontribusi para aktor tertentu dalam peristiwa G-30-S. Hal inilah yang membuat saya sangat menyukai buku ini. Roosa secara terang-terangan menolak propaganda Angkatan Darat bahwa PKI merupakan aktor utama G-30-S. Roosa menulis bahwa bukti-bukti baru, yaitu dokumen Supardjo, uraian tanggung jawab Sudisman, dan wawancara dengan mantan petinggi PKI bernama samaran “Hasan,” justru tidak menunjukkan demikian. Unsur PKI yang terlibat dalam G-30-S hanya terbatas kepada D.N. Aidit, Syam (Kamaruzaman), dan Biro Khusus. Ketiganya tidak bisa langsung dijadikan sebagai representasi kehendak PKI untuk turut serta dalam G-30-S. Fakta ini sangat memengaruhi kesimpulan Roosa untuk menyatakan bahwa pemberangusan terhadap PKI pada masa pasca-G-30-S yang dilakukan oleh Angkatan Darat, sebagai hasil dari kesimpulan prematur dan propaganda bahwa PKI adalah dalang utama, itu tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang manapun. Dengan kata lain, Angkatan Darat –dalam ungkapan yang sangat halus- telah bertindak tidak proporsional terhadap PKI: pembunuhan beratus ribu –angka pasti belum diketahui- petani, buruh, guru, dan aktivis PKI tentu sangat tidak sepadan dengan kematian tujuh perwira tinggi Angkatan Darat, terlebih lagi apabila dibandingkan dengan hasrat busuk Suharto dan Angkatan Darat untuk berkuasa.

Pada tataran yang lain, Roosa menunjukkan hal yang lebih menarik, yakni kelihaian dan kecerdikan Suharto beserta eksponen Angkatan Darat-nya yang berafiliasi dengan CIA, dalam memanfaatkan G-30-S. Menurut Roosa, Angkatan Darat memang tengah menantikan suatu peristiwa bombastis berkaitan dengan upaya pendongkelan Presiden Sukarno, maupun peristiwa berskala cukup besar lainnya yang memiliki intensi untuk merebut kekuasaan negara. Tujuan mereka, tentu saja, untuk menghancurkan PKI sebagai musuh politik Angkatan Darat dan menjatuhkan Sukarno karena dinilai terlalu dekat dengan PKI sehingga mengancam Angkatan Darat serta kepentingan Amerika Serikat. Angkatan Darat memiliki harapan besar bahwa sekali peristiwa semacam itu terjadi, PKI-lah yang akan didiskreditkan. Bahkan, berdasarkan bukti data-data CIA yang telah dideklasifikasikan, Roosa menulis bahwa Angkatan Darat sengaja menghembuskan isu dan berbagai upaya lain guna memancing PKI melakukan semacam upaya pendongkelan kekuasaan negara. Salah satu manifestasi strategi busuk Angkatan Darat ini adalah isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta. Angkatan Darat menginginkan PKI, khususnya pada tingkat Politbiro dan Komite Sentral, untuk berpikir bahwa apabila Dewan Jenderal berhasil melakukan kudeta maka PKI akan dihancurkan. Unfortunately, Aidit, Syam, dan Biro Khusus termakan perangkap Angkatan Darat ini. Dalam ungkapan Roosa, Aidit, Syam dan Biro Khusus, serta para perwira pro-PKI ini memilih, “rencana mendahului,” kudeta rancangan Dewan Jenderal tersebut. Hal ini pada akhirnya berujung kepada kegagalan G-30-S dan pemenuhan dalih yang dibutuhkan oleh Angkatan Darat untuk menggasak PKI.

Di samping kelebihan dan keunggulan buku Roosa yang telah dijelaskan di atas, “Dalih Pembunuhan Massal” pun tentu memiliki kekurangan. Menurut saya, sedikitnya ada satu kekurangan dan satu saran yang dapat dialamatkan kepada buku tersebut. Untuk kelemahan, saya berpikir Roosa terlalu mengecilkan arti pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat. Memang meski PRRI/Permesta dan peristiwa-peristiwa lain memiliki intensitas dan skala ancaman yang lebih besar, peristiwa pembunuhan ini agaknya harus dilihat lebih bijaksana. Bagaimanapun, pembunuhan ini tentu turut mendorong semangat para perwira Angkatan Darat dalam spektruk politik Kanan untuk benar-benar mengganyang eksponen G-30-S. Andaikata G-30-S tidak gegabah dengan membunuh para jenderal dan bertindak sesuai dengan rencana semula, yakni menghadapkan “Dewan Jenderal” ke Presiden Sukarno, Suharto dan Angkatan Darat tentu tidak memiliki dalih yang terlalu besar untuk benar-benar menghancurkan G-30-S, sekaligus dengan PKI yang dituduh sebagai dalang utama. Apabila para jenderal itu tidak terbunuh, mungkin Presiden Sukarno akan memberikan restu kepada G-30-S dan memenuhi keinginan PKI tentang reorganisasi susunan kabinet. Dalam tahap ini, saya pikir keadaan terbunuh/tidak terbunuhnya para jenderal turut menentukan jalan cerita G-30-S.

Selanjutnya, tentang saran. Saya hanya ingin menambahkan bahwa alangkah bergunanya apabila Roosa memberikan deskripsi mengenai konstelasi menjelaskan konstelasi para perwira Angkatan Darat, juga Angkatan Laut, Udara, dan Kepolisian, yang memiliki simpati atau antipati terhadap Sukarno serta PKI. Hal ini, menurut saya, penting. Keterangan ini akan memberikan gambaran yang baik mengenai penelusuran siapa-siapa saja, baik individu maupun kelompok, yang bisa dijadikan narasumber baru untuk memberikan keterangan berharga mengenai G-30-S. Selain itu, juga berguna untuk mendapatkan sudut pandang baru mengenai keadaan Angkatan Darat pada masa itu, misalnya mengenai infiltrasi Biro Khusus terhadap Angkatan Darat, kerjasama para perwira tinggi yang bekerjasama dengan CIA, dll.

Dengan tuntasnya uraian kekurangan dan saran, maka sebaiknya tuntas pulalah tulisan refleksi ini. Semoga berguna bagi Anda, para sidang pembaca. Silakan tuliskan komentar dan kritik Anda tentang tulisan ini atau buku Roosa secara keseluruhan, kalau berkehendak. Sekali lagi, saya hanya minta maaf kepada mereka yang memang patut dimintakan maafnya.

Terima kasih banyak.

Salam hangat,
mh.
Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
December 4, 2008
Saya memegangnya, membacanya menjelang beberapa bab akhir. Bab pertama dan kedua menjadi penting, tidak boleh dilewatkan. Bila melihat strukturnya kita akan sadar bahwa penulis memang bermaksud menyampaikan pendapatnya seakademis mungkin. Dua bab awal itu lah kuncinya. Saya mengandaikan sebuah bab pendahuluan dan tinjauan teoritis yang sering kita temui dalam makalah akhir sarjana.

Roosa beranggapan, sejauh bukti akademis yang dapat dijadikan pijakan, peristiwa dinihari tanggal 1 Oktober 1965 hanya layak disebut dengan G30S. Embel-embel "PKI" dibelakangnya masih layak diperdebatkan. Itu pendapatnya, sekaligus kesadarannya ia melawan arus resmi yang dimiliki pemerintah Indonesia. Kesadaran yang diiringi ketakutan bukunya dibredel karena ke-nyeleneh-annya itu.

Salah satu peryataannya yang diajukan pada bab 1 adalah apakah itu G30S dan mengapa ia menjadi sebuah momen penting yang sesudahnya menimbulkan pembunuhan massal. Peristiwa yang kontroversial sekaligus menarik untuk dianalisa. Roosa bertanya, mengapa peristiwa dinihari itu, yang memakan korban belasan jiwa, berbuntut pada ribuan kematian kelompok orang yang dinilai memiliki afiliasi dan keterkaitan dengan PKI. Roosa menolak pendapat sarjana lainnya (Geertz salah satunya. Kalau tidak salah Geerzt juga sedang menulis buku ini) yang menilai itu adalah bagian dari budaya amuk dari bangsa Indonesia. Ia memaparkan buktinya, dan menegaskan konflik tersebut tidak murni konflik horizontal yang didorong oleh budaya amuk, tetapi juga dikarenakan adanya keterlibatan unsur negara (tentara). Meski saya pribadi menimbang ia juga kurang berimbang menggambarkan ketegangan yang terjadi di tingkat masyarakat, sehingga ia tidak sepenuhnya membantah kemungkinan peristiwa itu bisa disebut sebagai konflik horizontal, saya tetap memandang perlu untuk memperhatikan pendapat Roosa mengenai hal itu. Bab pertama menjadi sebuah nyawa, apa dan kenapa, serta dengan apa buku ini ditulis sebagai sebuah pendapat baru.

Bab kedua. Bab ini tinjauan teoritis. Ia mengemukakan sejumlah "teori" atau skenario peristiwa G30S. Mulai dari tuduhan dalang kepada beberapa orang berbeda hingga ia mengajukan pendapatnya sendiri. Di sini Roosa menemukan research gap untuk sebuah pendapat/thesis baru. Pendapatnya cenderung pada G30S adalah sebuah kudeta yang gagal. Dugaan ini merupakan pijakan yang didasarkan pada dua sumber sejarah yang disebutnya sebagai Dokumen Soepardjo dan Wawancara dengan "Hasan" (narasumber anonim).

Belum tamat memang, namun menarik cara ia sedemikian hati-hati untuk memilah bukti dan interpretasi. Bermain di antara bukti dan interpretasi lama yang telah dianggap diterima dengan menyodorkan bukti barunya. Dia tidak sepenuhnya menolak cerita umum yang didengar, namun interpretasi bisa menjadi suatu yang menggelitik. Toh seperti yang diajukannya, ia menganggap peristiwa G30S adalah sebuah pretext untuk peristiwa berdarah

Saya membacanya pun semata mengikuti alur berpikirnya. Cara ia merekonstruksi peristiwa masa lalu. Guru sejarah SMA saya benar lagi, ilmu sejarah itu seperti detektif juga adanya. Di buku ini, John Roosa juga menguraikan analisa rentetan peristiwa yang di mata saya mirip dengan teknik causal mechanism yang saya dapat dari uraian Bennet dan Goerge. Ini buku content-nya memang bukan bidang saya, tetapi analisa dan metodenya dapat diperhatikan dan dipelajari toh!
Profile Image for M. Zimam  Ihsanul  Faqih.
7 reviews3 followers
September 29, 2025
Alih-alih mencoba "menebak atau menembak" siapa dalang dibalik "Gerakan 30 September" seperti kebanyakan buku, John Roosa memilih menulis buku ini dengan menjelaskan secara detil keganjilan hingga kenapa gerakan ini gagal dan mudah dikalahkan berdasarkan seluruh pernyataan, kesaksian pelaku, hingga dokumen-dokumen terkait.

Hal yang menjadi highlight/poin penting dalam buku ini adalah bagaimana Soeharto dan Angkatan Darat menggunakan Peristiwa G30S sebagai "Dalih" atas perbuatan-perbuatannya, mulai dari melanggengkan rezimnya selama 32 tahun hingga genosida 1965-1966 yang diperkirakan memakan korban jiwa 500 ribu sampai 1 juta orang anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembunuhan Massal ini dilakukan tanpa adanya pengadilan terlebih dahulu, dimana ternyata tidak semua dari mereka "ikut serta" atau bahkan tahu menau tentang G30S (Banyak dari mereka hanyalah petani-petani yang mendapatkan bantuan pupuk dari PKI sampai simpatisan Presiden Soekarno).

Sebelum Tahun 1965, Pemerintah Indonesia tidak pernah menimpakan kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Dalam menghadapi PRRI/Permesta (1950-an), pemerintah melarang PSI dan Masjumi. Tetapi pemerintah tidak menyatakan bahwa semua anggota partai menjadi pengkhianat, lalu menahan dan/atau membunuh mereka. Pemerintah mengampuni pemberontak Darul Islam (orang-orang yang memang mengangkat senjata), kecuali pimpinan puncaknya.

Bayangkan seandainya prinsip kesalahan kolektif diterapkan pada anggota-anggota Golkar: haruskah setiap anggota Golkar pada masa Orde Baru diminta bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan Soeharto?
Profile Image for Barry Sierer.
Author 1 book68 followers
January 17, 2014
This is an excellent book for investigating the events of the 1965 "coup" and "counter-coup" in Indonesia. The term "coup" here is actually misused, as neither side attempted to remove the head of state (Sukarno) at that particular time. Instead, I would regard this as a botched purge of powerful political opponents within the military.

The author does an excellent job of compiling facts and giving a detailed context of the events leading up to the attempted purge. Using the evidence that he has compiled, he theorizes (successfully in my opinion), on the motives and some of the operational details of the events of October 1st, 1965. He takes on what I think is the most puzzling question regarding the September 30th plotters; what were they thinking ?

The author does a fairly good job of stitching together his evidence and his theories, while trying to look past the "official" explanation that is put forth by the Indonesian government.
Profile Image for Bangsamanusia.
4 reviews3 followers
October 28, 2011
Suatu ketika Ariel Heryanto pernah menandaskan, bahwa hanya di Indonesia, tempat dimana komunisme tak pernah mati. Bukan tanpa musabab ia menuturkan hal demikian. Berbeda dari eksistensinya di banyak negara, komunisme di Indonesia menjadi momok yang tak pernah berhenti diujarkan, malah dilembagakan dalam aturan perundang-undangan. Hingga sekarang pun, menyebut kata itu, masih menyiratkan makna tertentu. Sesuatu yang dengan segenap kekuatan harus dihancurkan, mesti dibasmi, layak dibumihanguskan, lebih dahsyat ketimbang terorisme juga diskursus tentang aliran sesat.

Komunisme telah menampak sebagai sepenggal cerita yang menakutkan. Menyebutnya di Indonesia dapat dipandang sebagai upaya untuk mengembalikan kekuatan itu lagi. Kekuatan yang pernah amat takzim dilafalkan oleh rakyat setengah juta di era 60-an. Setelah anasir komunisme terlembagakan dalam rupanya sebagai partai politik, kemampuannya untuk menarik massa bagai permen manis yang didekati semut. Berduyun-duyun rakyat mendekati komunisme sebagai parade bernegara. Bukan negara bila tak melafalkan komunisme, bukan abdi pemerintahan yang taat bila tak mengetahui Marx juga Lenin, bukan intelektual yang benar bila tak menandaskan revolusi.

Namun, di Era Soeharto dapat dikatakan amat sedikit yang berani menuturkan komunisme sebagai kata biasa. Setelah tragedi yang menimpa salah satu partai politik besar di tahun 1965, tidak hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkena imbas dari pelarangan dan penghancuran total, tetapi segenap konsep yang dapat bertalian dengan yang digunakan oleh partai, juga menjadi terlarang. Mengajarkan komunisme akan dituduh anggota PKI, dan terlihat menyebut tokoh-tokoh komunis akan di cap sebagai antek-antek PKI.

Rezim Soeharto menjadi gerbang penjaga yang menginginkan komunisme tidak lagi tampak di permukaan selamanya. Setiap dari elit mereka bertugas untuk menjaga agar konsep ini tidak hadir di masyarakat. Setiap orang yang menyebut konsep ini, terdengar mengujarkannya di khalayak ramai, terlebih sebagai pendukung, akan bersiap berhadapan dengan penjaga negara. Setidaknya 40 tahun komunisme menjadi kata yang diam dan jarang terdengar.

Amat sedikit literatur yang dilekati sebagai karya-karya kaum komunis yang beredar di tengah-tengah publik. Das Capital karya Marx yang berjilid-jilid itu baru terbit di kisaran tahun 2004. Karya-karya Tan Malaka, baru terbit sekitar tahun 1990-an, itu pun dengan sensor besar-besaran dimana-mana. Bahkan, tokoh sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, hanya sedikit karyanya yang dapat dinikmati pada masa Soeharto berkuasa. Komunis dilarang tidak saja dalam perbuatan, tetapi dalam bayang gelap ia juga masih dicari dan coba dibumihanguskan.

Demi menjaga agar komunisme benar-benar tidak lagi terdengar, lembaga negara menerbitkan segenap aturan yang meregulasi tentang hukum yang dikenakan bagi mereka yang menyebarkan, menggunakan atau mengajarkan gagasan Marxisme atau Leninisme yang bertitik tolak pada komunisme. Semua model urusan keseharian juga tidak lepas dari dampak penjagaan seperti ini. Urusan-urusan dengan pihak berwajib senantiasa melampirkan tulisan besar-besar, tidak pernah terlibat sebagai anggota PKI dan konsep-konsepnya.

Bertahun-tahun bentuk penjagaan seperti itu dilakukan, bahkan ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak lagi punya bentuk dan telah nyata dibubarkan, segala model buku yang bersangkut-paut dengannya dibakar habis, dan ratusan pengikutnya telah dibunuh dan sedikit lainnya dibungkam di dalam penjara tanpa persidangan. Setelah semua itu dilakukan, negara masih diliputi ketakutan berlebihan. Para penjaga yang kini tak lagi tahu-menahu soal, masih setia melakoni aktifitas ronda tentang bahaya komunisme. Dimana-mana masih dijumpai pintu-pintu sensor yang besar terhadap komunisme, bahkan masih terlihat pendongkelan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki aroma komunis.

Maka, Ariel Heryanto benar saat menuturkan bahwa di negara ini komunisme memang tak pernah mati. Setiap saat tindakan waspada terhadap bahaya komunisme digalakkan dari segala arah. Semua orang seperti amat takzim mengira komunisme sebagai raksasa bermata satu mirip Dajjal yang siap merenggut negara dan membawanya pada kebinasaan. Bahkan, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengusulkan pencabutan Tab MPR yang mengatur tentang PKI dan bahaya laten komunis, dengan gegap-gempita gugatan datang dari segala penjuru. Tidak hanya kalangan agamawan yang memasang badan siap menggagalkan keinginan Gusdur, tetapi politisi, militer, serta masyarakat biasa seperti melihat Gus Dur tengah menginginkan mencabut patok tali anjing galak yang siap menerkam. Pertanyaannya, memang seberbahaya itukah komunisme?

Di tengah larangan terhadap ajaran-ajaran yang berbau Marxisme, Komunisme, Leninisme, Sosialisme, PKInisme, tersirat bayangan tentang PKI sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia di tahun 1960. Tidak saja kesuksesan yang pernah diraih partai ini dalam pentas politik, tetapi harapan dan cita-cita kebangsaannya yang menginginkan semangat nasionalisme, kemandirian bangsa, dan kedaulatan serta kemerdekaan yang semakin besar bagi segenap kaum buruh (petani, nelayan), borjuis imut-imut (intelektual, mahasiswa), borjuis lokal (pedagang, tuan tanah), dan borjuis nasional (politisi, militer, negarawan) yang menanamkan rasa kebencian yang sama terhadap penumpukan modal dan monopoli, masih dipandang wajar untuk tetap ditumbuhkan sebagai spirit kebangsaan.

Ketika larangan pada PKI masih begitu terasa, jadi amat tak relevan rasanya mengira masih ada celah yang dapat dibuat untuk menggagalkan pandangan-pandangan yang beraroma Marxisme juga Leninisme. Komunisme telah menjadi pandangan yang mengalami modifikasi sedemikian rupa di dalam sejarah, dan telah merengsek masuk ke dalam segala sendi dunia kekinian. Larangan apapun tak lagi mempan untuk mematok pasak besi larangan komunisme. Justru, patok-patok itu hanya jadi sekedar penghalang untuk melihat hal-hal baik yang dapat dipelajari dari konsep tentang komunisme yang sudah usang itu.

Andai pengikut setia komunisme dan PKI masih bertahan hingga hari ini, menggunakan corak yang pernah berkembang di tahun 1940-1960-an itu hanya jadi bahan tertawaan belaka. Dunia berubah seiring berpendarnya bumi, dan gagasan-gagasan baru yang lebih mutakhir bermunculan dari ragam gagasan tokoh dunia. Menjebak diri dengan ketakutan pada hantu-hantu dari masa lalu, tak ubahnya bagai manusia zaman metropolis yang masih takut dengan genderuwo atau setan Sumiati. Relevankah ketakutan itu? Masih zamankah model ketakutan seperti itu?
Profile Image for Boyke Rahardian.
340 reviews23 followers
July 28, 2022
Argumen yang disampaikan dalam buku ini lumayan meyakinkan justru karena John Roosa dari awal tidak punya pretensi untuk bisa mengungkapkan apa dan siapa sebenernya yang menjadi otak di belakang G30S. Ia telak-telak menyatakan bahwa semua fakta obyektif tentang G30S sifatnya terbatas dan tidak akan mampu memberikan penjelasan yang memuaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Roosa dari awal menolak beberapa hipotesis populer tentang G30S yaitu: (1) G30S adalah usaha kudeta PKI (versi Orde Baru) (2) G30S adalah pemberontakan perwira muda (Anderson, McVey) (3) G30S adalah persekutuan antara perwira angkatan darat dan PKI (Crouch) (4) G30S adalah konspirasi PKI (Wertheim).

Yang ditolak Roosa dari hipotesis di atas adalah ketidakmampuan mereka secara sendiri-sendiri memberikan penjelasan yang cukup masuk akal tentang G30S. Alih-alih Roosa mengambil elemen dari setiap hipotesis di atas, memperkuatnya dengan penjelasan dari beberapa pelaku G30S dan anggota politburo PKI dan membuat penjelasan yang lebih meyakinkan.

Intinya, menurut hipotesis Roosa, G30S adalah gerakan perwira muda AD, yang tidak puas atas manuver perwira tinggi yang diam-diam menggembosi Soekarno. Rencana para perwira muda ini terdengar dan dikipasi oleh Biro Chusus PKI, sebuah badan yang bertanggung jawab langsung ke Sekjen PKI tetapi tidak pada organisasi. Gerakan ini tidak direncanakan dengan matang, seperti diungkapkan oleh BrigJen Soepardjo salah satu pemimpin G30S, sehingga dengan mudah dipatahkan oleh Soeharto dan Angkatan Darat. Buat Angkatan Darat sendiri G30S seperti durian runtuh, karena mereka jadi punya alasan untuk menghantam balik PKI yang jadi musuh bebuyutannya dalam perpolitikan nasional. Angkatan Darat memang sudah siap dengan skenario kejadian seperti ini sehingga tanggapan mereka cepat dan efektif. Peranan Amerikapun tidak bisa dipungkiri: dalam situasi perang dingin Amerika aktif mendukung semua elemen yang dianggap bisa dijadikan sekutu dalam melawan gerakan komunis. Ujungnya Amerika Serikat dan sekutunya menutup mata, bahkan mensyukuri, terjadinya pembunuhan massal yang menyusul tumpasnya G30S. Pembersihan ini adalah strategi Soeharto dan Angkatan Darat untuk memuluskan "kudeta merangkak"nya, strategi yang menghasut anak bangsa untuk menumpas sesama...semuanya untuk keuntungan Soeharto dan kroninya. Patut dikutip kata penutup John Roosa di sini:

"Tragedi sejarah modern Indonesia tidak hanya terletak pada pembunuhan massal 1965-1966 yang diorganisasi Angkatan Darat saja, tapi juga pada bertakhtanya para pembunuh, yang memandang pembunuhan massal dan operasi-operasi perang urat syaraf sebagai cara-cara sah dan wajar dalam mengelola tata pemerintahan. Sebuah rezim yang mengabsahkan dirinya dengan mengacu kepada sebuah kuburan massal di Lubang Buaya dan bersumpah “peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi” mewariskan kuburan massal tak terbilang dari satu ujung tanah air ke ujung lainnya, dari Aceh di ujung barat sampai Papua di ujung timur. Pendudukan Timor Leste dari 1975 sampai 1999 telah meninggalkan puluhan ribu, jika bukan ratusan ribu, korban mati, kebanyakan terkubur tanpa nama. Setiap kuburan massal di Nusantara menandai pelaksanaan kekuasaan negara yang sewenang-wenang, tertutup, dan rahasia."
Profile Image for Aqmarina Andira.
Author 3 books10 followers
January 3, 2016
It supposed to be my 40th book to read in 2015, yet I failed. So, after two days struggling with "Super Ngantuk Syndrome" this is now become the first book to read (and finish) in 2016.

I admire the way how John Roosa narrated this book. He started the book with series of disturbing questions. It made my head hurts. Then he threw several facts he considered as the "reliable" one. Then he wrote a complete narration that made things seem logic and made sense. Just like the style of a detective or mystery novel. He didn't try to point out who's to blame, he just want to try to tell the truth. Which is very interesting.

For those who are curious about what happened in Indonesia 1965, or simply just into Indonesian history, I recommend you guys to read this book.

I will put this book as "A Murder Mystery" for my 2016 Reading Challenge.
Profile Image for Ms.TDA.
233 reviews3 followers
June 13, 2025
John Roosa menggarap buku ini dengan banyak nya informasi terkait kepingan-kepingan bagian mengenai G-30, PKI, dan mereka para antek2 yang terlibat didalam sejarah itu sendiri membuatku mual dan jijik. Jujur banyak informasi dibuku ini yg menambah banyak sekali pandanganku mengenai sejarah 65 itu sendiri. Semakin kesini ko semakin kesana, tapi kalau tidak dicari tau kita akan terus percaya dg kebodohan2 sistem propaganda yg disuap oleh pemerintah itu sendiri. Ini beberapa highlight yg cukup membuat tercengang versiku:
- Sebelum 1965 pemerintah Indonesia tidak pernah menimpakan kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan.
- Siapapun yang tidak menyetujui penahanan dan pembunuhan massal atau menunjukkan simpati terhadap tahanan politik dianggap sebagai pendukung PKI.
- Lebih banyak pula studi-studi yang perlu digarap tentang kudeta Suharto, misalnya, bagaimana ia mengambil alih media massa, keuangan negara, dan birokrasi sipil.
- Dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Suharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa dengan menumpas G-30-S. Rezim Suharto terus-menerus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda negara: buku teks, monumen, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional.
- Benedict Anderson dan Ruth McVey benar, ketika menulis pada 1978, melontarkan keraguan akan kebenaran kesaksian Sjam dan menduga bahwa sangat mungkin Sjam seorang agen ganda yang lebih banyak bekerja untuk militer ketimbang untuk Aidit dan PKI.
- Pimpinan PKI secara perseorangan, paling tidak Aidit dan Sudisman, melibatkan diri di dalam operasi militer rahasia ini dan membawa serta kelompok-kelompok terpilih dari kalangan pendukung PKI. Bagi segelintir pemimpin PKI G-30-S bukanlah merupakan operasi resmi partai. Ia adalah putsch militer yang akan membuahkan hasil yang menguntungkan bagi partai. Pimpinan partai ingin mendukung G-30-S tetapi tidak ingin melibatkan seluruh partai di dalamnya.
- Supardjo berpendapat bahwa sesuatu aksi yang diorganisasi dengan seksama harus menyiapkan arus propaganda terus menerus dan harus menjelaskan tujuannya dengan rinci dan teliti.
- Tampaknya G-30-S berhasil menculik enam jenderal justru karena rencananya dikaburkan oleh meruaknya “hiruk-pikuk intelijen”.
- PKI mempunyai departemen khusus yang berperanan sebagai penghubung rahasia dengan para perwira dan meminta mereka agar berbuat sesuatu untuk PKI sebagai imbalannya.
- Sjam selaku organisator utama Gerakan 30 Septembe bertugas menerima perintah dari Aidit, menjaga rahasia, dan mendekati para perwira kiri.
- Banyak politisi di Jakarta pada 1965, termasuk Sukarno sendiri, mengkhawatirkan bahwa jenderal-jenderal tertentu Angkatan Darat sedang berkomplot dengan kekuatan Barat untuk menggulingkan Sukarno.
- Aidit mungkin sudah mendengar dari berbagai sumber bahwa para perwira muda dan prajurit sangat marah terhadap kesenjangan ekonomi yang dalam antara mereka dan para jenderal.
- Untung dan Latief, dua perwira kunci yang tetap bersedia bekerja sama dengan Sjam, bahkan ketika yang lain-lain mengundurkan diri, mengira bahwa Suharto adalah sekutu mereka.
- Agar sebuah kudeta berhasil di Indonesia, ia harus diberi kedok yang sebaliknya: usaha untuk menyelamatkan Presiden Sukarno.
- G30-S menjadi bersifat misterius justru karena tidak adanya pusat pengambilan keputusan yang tunggal.
- G-30-S merupakan dalih yang tepat sekali untuk melaksanakan rencana Angkatan Darat yang sudah ada sebelumnya untuk merebut kekuasaan.

Padat? Ya begitulah sejarah kelam kita🙂
Terima kasih sudah menghadirkan buku ini Prof 👍🏻
Profile Image for Ben.
180 reviews16 followers
March 24, 2008
“Pretext for Mass Murder” is an impressive overview of the complicated events behind the 1965-1966 coup in which pro-U.S. General Suharto seized power and began a three decade reign of terror. Roosa worked with a group of Indonesian scholars on interviews and other historical research which produced core material for this book. Though in the end Roosa concludes that a few members of the Indonesian communist party (PKI), by launching an ill-conceived anti-military action, did provide the provocation which rightist military forces and the U.S. had been waiting for in 1965, the foolhardy actions of those individual PKI members do not in any way absolve Suharto and his western backers for what consequently happened (an epic campaign of bloodletting which eviscerated the PKI and killed up to a million Indonesians).

choice quotes:
p.178 “In the months before October, the United States and the army wanted an incident like the movement to occur[…] Eisenhower and the Dulles brothers – Allen at the head of the CIA and John Foster at the head of the State Department – viewed all nationalist Third World leaders who wished to remain neutral in the cold war as Communist stooges. In full confidence of their right to handpick the leaders of foreign countries, Eisenhower and the Dulleses repeatedly used CIA covert operations to overthrow such leaders: Mossadegh in Iran in 1953, Arbenz in Guatemala in 1954, and Souvanna Phouma in Laos in 1960. The Dulles brothers viewed Sukarno as yet another irritating character who needed to be removed from the world stage.”

p.182 “The consistent U.S. strategy from 1959 to 1965 was to help the army officers prepare themselves for a violent attack upon the PKI.”
Profile Image for Anjar Priandoyo.
309 reviews16 followers
November 7, 2018
The September 30th Movement (G30S) is one of the biggest mystery in the history of modern Indonesia, it is very complicated and taboo to even discussed or talked. Therefore any effort especially academic approach regarding this issues should be appreciated. So far this book as is written in 2007 is the most updated and comprehensive report of this event. The author mainly analyzes this based on the two "evidence" which are Supardjo Writing (1966) and The Testimony of Sjam (1967). However, I believe that the author uses the variety source of information, interview and observation for a very long time.

In short, the author summarizes and challenge the four theory of The September 30th Movement:
1.Attempted Coup d'Etat by the PKI (Indonesian Government)
2.Mutiny of Junior Officers (Anderson and McVey aka Cornell paper, Jan 1966)
3.Alliance of Army Officers and the PKI (Harold Crouch), PKI lead the movement
4.Frame-up of the PKI (W.F Wertheim), main weakness assuming Suharto is super genius

Author also provided the other narrative as summary of his investigation.

Profile Image for Laurensius Anggha.
10 reviews6 followers
October 3, 2015
Whether you're commie or not, social justice warrior or not, keblinger historian or not,this book is a must read.
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
July 17, 2024
This book has been referenced in so many of the Indonesian history or non-fiction books that I read. And it really is a special book. John Roosa investigates what really happened on the night of September 30th 1965 in Jakarta. His investigation is brilliant. He writes very well and thanks to this book I finally have a better understanding of what happened. In Chapter One, Roosa presents the incident on a surface level and introduces the main key players. They are often not mentioned when talking about this event briefly. In Chapter Two, he presents the four interpretations of September 30th: 1.) the Suharto propaganda version that the coup d'etat was staged by the PKI, 2.) Ben Anderson's interpretation that it was a mutiny of junior officers, 3.) Harold Crouch's interpretation that an alliance of army officers and PKI staged the coup and finally, 4.) W. F. Wertheim's interpretation of a frame-up of the PKI. In Chapter Three, Roosa analyses the only primary source document available on this incident - the Supardjo document. In this document, Supardjo talks about why the plan failed. He shows how there was a lot of disagreement within the secret group. Indecision and lack of clear line of command played a huge part of the problem. Chapter 4 focuses on the Special Bureau and especially Sjam, the mystery character, who is actually pretty unknown but somehow became the leader of the group. He turns out to be a delusional character and I still wonder if he was a double agent? Chapter 5 focuses on Aidit, the leader of the 3rd largest Communist party at that time. The author argues that the PKI never agreed unanimously on staging the coup. Instead, this has been orchestrated by only two men - Aidit and Sjam. Unfortunately, Aidit was too optimistic about Sjam. Chapter 6 focuses on Suharto, the army and the US embassy / USA. Roosa brilliantly describes the tension between the army, the PKI and Sukarno. The army knew that they couldn't launch an outright attack on Sukarno and the PKI because Sukarno was so popular. Instead they were counting on a PKI attack and were actually prepared on how to turn the story around and grab full power of the state. Once the PKI fell for this trap, the army used this event as a pretext and accused the PKI of endangering the nation. Finally, in the last chapter, Roosa recounts what happened on September 30th based on his findings. There are still some tiny gaps but overall, he really tied together this mystery. To say that the PKI are responsible for what happened on September 30th is false. Only two men were involved. Moreover, the army was waiting for such an attack because they planned to vilify and get rid of the PKI completely with the help of USA.

"The movement was a convenient pretext for implementing a preexisting plan for the army to seize state power. The army generals had already determined that their power grab should target the PKI as the enemy while maintaining the pretense that they were protecting President Sukarno.

The tragedy of modern Indonesian history lies not just in the army-organized mass killings of 1965-66 but also in the rise to power of the killers, of people who viewed massacres and psychological warfare operations as legitimate and normal modes of governance. A regime that legitimated itself by pointing to a mass grave at Lubang Buaya and vowing "never again" left countless mass graves from one end of the country to the other, from Aceh on the western edge to Papua on the eastern edge. The occupation of East Timor from 1975 to 1999 left tens, if not hundreds, of thousands dead, many buried in unmarked graves. Each mass grave in the archipelago marks an arbitrary, unavowed, secretive exercise of state power and mocks the Suharto-era social imaginary in which only civilians commit atrocities and only the military holds the country together. The fetishization of a relatively minor event (the movement) and the erasure of a world-historical event (the mass killings of 1965-66) have blocked empathy for the victims, such as the relatives of those men and women who disappeared. While a monument stands next to the well in which the movement's troops dumped the bodies of seven army officers on October 1, 1965, no monument marks any of the mass graves that hold the hundreds of thousands of people killed in the name of suppressing the movement. As for the number of dead, their names, the location of the mass graves, the manner in which they were massacred, and the identity of the perpetrators, little is known in any detail or with any certainty. Beyond Lubang Buaya lie many larger, more complex mysteries."
Profile Image for Lembusora.
60 reviews3 followers
October 30, 2017
Buku ini pasti masuk nomor satu untuk dibakar di masa Orde Baru. Penulisnya udah pasti diburu dan digebuk karena nekat nguliti G30S. Mana judulnya ngehe pula: Dalih Pembunuhan Massal.

Ulasan singkat, membaca buku ini membuat org bisa yakin bahwa bukan PKI dalang utama G30S. Benar ada turut tangan organ PKI, namun terbatas pada pimpinan pucuk saja. PKI tidak bisa disalahkan sebagai partai karena bahkan seorang Sudisman (salah seorang petinggi PKI) pun tak diajak di gerakan ini.

Pembunuhan jenderal adalah ekses negatif gerakan, bukan rencana awal. Mana mungkin direncanakan membunuh, secara Sudisman itu kakaknya S. Parman. Jika direncanakan dan Sudisman tahu, jelas ia akan memberontak.

Lalu, apakah PKI bersih dari G30S? Tidak mungkin. Peran Sjam dan Aidit besar. Bahkan Sjam seperti jd komandan karena gertakan revolusinya. Hah pret!

Andai Sjam tidak ikut mbacot dan urusan strategi diserahkan ke Brigjen Pardjo, arah sejarah kita pasti berbeda nyaris 180 derajat.

Dan membaca buku ini membuat kita melek tentang peran AS. Sampai skrg pun mereka sebetulnya masih cawe² urusan kita (dan negara lain, kecuali Korut dan Kuba mungkin). Akhirnya tuntas kewajiban membaca 18 buku tahun ini. Rehat dulu, banyak jurnal mengantre
Profile Image for Agung Wicaksono.
1,089 reviews17 followers
October 5, 2020
Rencananya, saya mau menyelesaikan buku ini ketika akhir September supaya dapat "feel"-nya. Haha. Tapi karena buku ini harus dibaca pelan-pelan supaya apa yang dijelaskan bisa dipahami dengan baik, maka baru awal Oktober ini selesai.

Setelah membaca buku hasil dari penelitian mendalam oleh John Roosa ini, saya merasa setelah belajar bertahun-tahun tentang Sejarah--khususnya Peristiwa 30 September 1965--dari SD sampai SMA, jadi terasa tak ada apa-apanya. Jika ketika masih di sekolah, guru saya mengatakan bahwa PKI adalah tersangka mutlak peristiwa tersebut, pada kenyataannya sungguh kompleks; banyak faktor dan organisasi lain yang terlibat, seperti Angkatan Darat. Bahkah, karena saat itu masih terjadi Perang Dingin, Amerika Serikat tentu juga termasuk yang ikut campur.

Selain diberikan bukti dokumen dan wawancara dari beberapa orang yang masih hidup--dengan disamarkan namanya--, buku ini jadi referensi wajib bagi yang ingin mendalami Peristiwa 30 September. Oleh karena itu, dengan membaca sudut pandang dan sumber lain tentang peristiwa tersebut, diharapkan supaya pikiran kita bisa lebih terbuka dan tidak mudah didoktrin oleh "sejarah" yang dibuat Orde Baru karena sudah disusupi oleh "kepentingan-kepentingan" dan pernyataan-pernyataan yang masih diragukan.
27 reviews4 followers
Read
February 19, 2021
Akhirnya berkesempatan juga membaca hingga selesai paparan soal G30S oleh Roosa ini, salah satu yang sering direkomendasikan orang-orang. Buku nonfiksi soal G30S pertama yang saya selesaikan, karena selama ini saya hanya membaca artikel-artikel daring ataupun mendapat penjelasan yang cukup terbatas semasa sekolah menengah dahulu.
Setelah membaca ini, G30S sebenarnya masih cukup kelabu buat saya pribadi, tapi jalinan kisah baru yang disodorkan Roosa di sini saya rasa yang paling bisa saya terima untuk saat ini. Gerakan yang dimaksudkan untuk mendahului desas-desus adanya usaha kudeta ini dipersiapkan tidak matang, ceroboh, hingga pada akhirnya gagal dan menjadi dalih atas tragedi yang terjadi selepasnya.

Catatan yang ingin saya berikan di sini adalah mungkin sebaiknya kawan-kawan membaca cetakan pertama terbitan Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (bisa diunduh secara legal di sini). Cetakan kedua terbitan Kendi (2017) yang saya baca terdapat beberapa kesalahan tanda baca (banyak tanda "-" yang hilang serta spasi yang tidak perlu) dan penomoran catatan kaki (beberapa keliru dan tidak di-superscript).
Profile Image for Lewi.
57 reviews5 followers
August 26, 2012
Buku ini begitu mempesona saya. Tak heran kalau tokoh sekaliber Gunawan Mohammad merekomendasinya lewat akun twitter pribadi beliau. Malahan, saya tahu tentang buku ini dari dia, dan dengan semangat menggali ke rimba internet buat mendapatkan versi e-booknya :)

Singkat kata, buku John Rossa ini ternyata berangkat dari banyak pertanyaan yang saya sendiri pertanyakan sejak awal saya tertarik buat menggali dan mempelajari awal dari suatu rezim individualis yang sangat kuat dan memerintah Indonesia selama 30 tahun lebih.

John Rossa mengetengahkan analisa sejarah tanpa mengadili siapapun pemain yang ada di dalamnya, terlepas dari -menurut pembaca, seperti saya- bersalah atau tidak, baik atau buruk, dll. John Rossa mengajarkan pada kita, bahwa semua peristiwa dalam sejarah terbentuk dari jalinan rumit antara tokoh, kejadian masa lalu, dan faktor-faktor X yang terjadi. Walau seperti penulis bilang, bahwa buku ini bukanlah suatu kesimpulan akhir dari peristiwa yang masih misteri ini, buku ini menyajikan fakta dan analisa logis yang paling komprehensif mengenai peristiwa G/30/S.

Profile Image for Frida.
201 reviews16 followers
March 6, 2017
Bisa dibilang, saya awam tentang sejarah Indonesia tentang Gerakan 30 September. Untungnya, buku tentang itu yang saya baca pertama adalah buku ini, coba gimana jadinya kalau saya baca buku tulisan antek pemerintah Soeharto.

Alur penulisan John Roosa dan gaya detektifnya, sangat membantu saya yang awam ini, untuk memahami G30S. Hanya saja, saya kurang nyaman dengan peletakan "Catatan" di bagian akhir bab. Saya lebih suka kalau catatan diletakkan sebagai footnote, sehingga saya tidak perlu nyekrol jauh ke awal bab misalnya, untuk melihat kembali yg dimaksud oleh Catatan no. 1. Padahal bagian "Catatan" ini penting. Mungkin penerbit merasa kalau diletakkan sebagai footnote akan memakan terlalu banyak bagian halaman tulisan, karena tak jarang catatan untuk satu poin sampai satu paragraf.
Profile Image for Dyah.
4 reviews4 followers
April 19, 2008
saya baca terjemahannya terbitan hasta mitra. ini buku bagus. bagaimana sebuah peristiwa bisa dihilangkan jejaknya bahkan dibuatkan rekaman jejak baru dalam ingatan seluruh anak bangsa. sungguh sial yang tertipu oleh 'rekaman buatan' itu. setidaknya baca buku ini, teman, akan ada sedikit yang terkuak. cuma sedikit sayangnya!

kudengar isu launchingnya ada pencekalan. hihi. kayaknya lg musim cekal dan sobek. wufh!
Profile Image for Muhammad Syarafuddin.
18 reviews3 followers
May 8, 2012
Jika orang cenderung memaki almarhum Soeharto karena ia beserta kroninya tiran dan korup. Maka John Roosa mengajak kita untuk tidak lupa, sedari awal mula, cara ia membangun rezimnya sendiri penuh intrik--hanya saja tidak banyak yang mau memperbincangkannya.
5 reviews
November 10, 2021
John Roosa bukan pihak manapun, john roosa bukan pihak orde baru, serta bukan pihak kiri. john roosa mengungkapkan G30S secara independen.
.
Saya penasaran dengan buku ini bermula dengan orang orang mengatakan bahwa ini buku hampir sempurna, mendekati sempurna, terbaik dalam mengungkapkan G30S
.
Apalagi lebih penasaran kenapa buku ini dilarang oleh pemerintah SBY dalam menerbitkan buku ini sampai benar benar hampir mau tidak ada dalam buku ini. Apakah isi dalam buku ini berbahaya bagi negara Indonesia padahal ditulis oleh satu orang dan katanya membahayakan....
.
Buku ini menceritakan untuk mengungkapkan bahwa ada apa dibalik rencana G30S seperti yang dituduhkan oleh masyarakat Indonesia terhadap PKI sebagai dalang G30S. Apakah buku ini menceritakan kehadiran sisi lain katanya berbahaya menurut pemerintah SBY
.
Buku yang ditulis oleh penulis yakni John Roosa untuk mengkritisi apakah PKI benar benar mendalangi rencana G30S, peran soeharto dalam fakta di lapangan yang dinilai janggal.
.
Ben Anderson dan Mcvey didalam bukunya bahwa yang menembak tentara, yang ditembak tentara, yang dilapangan juga tentara. Tidak ada yang benar benar PKI mengerahkan massa sepenuhnya untuk G30S
.
Menurut W. F. Wertheim kebingungan terhadap peran sjam kamaruzaman dilapangan baik partai maupun militer mana yang benar benar sjam kamaruzaman untuk diperkirakan, sjam bekerja untuk siapa? Sampai menyimpulkan bahwa bekerja untuk militer daripada PKI
.
Bagi Ben anderson menilai sjam kamaruzaman pernah bekerja untuk tokoh PSI terdahulu sebelum PKI namun keberadaan sjam diperdetail oleh biografi didalam bab pada buku john roosa
.
Penulis (John Roosa) menggunakan kesaksian tanpa cacat merupakan teman dekat dari sjam kamaruzaman seperti nama samaran yakni hasan bahwa sjam teman kerja dari 1940 - 1965. Hasan menganggap sjam mengikuti perintah aidit suatu kejadian 1965
.
John Roosa menganalisis dokumen suparjo, jenderal supardjo dijebak oleh sjam. Diinterogasi oleh penanya, suoardjo menjawab rencana g30s adalah "partai" john roosa menjawab isyarat partai dengan artian yaitu Sjam Kamaruzaman
.
Supardjo tidak ikut dalam rencana G30S dan sjam menghubungkan dengan supardjo dan sjam menjebak supardjo untuk memutuskan supardjo pergi ke soekarno untuk mendapat restu dukungan dari soekarno. Namun soekarno menolak rencana dukungan g30s di Halim.
.
Setelah mendengar soekarno. Supardjo menghormati perintah presiden soekarno. Saat itulah soekarno kebingungan apa yang terjadi pasca pergi dari rumah ke istana ternyata dipenuhi tentara liar dan berangkat ke Halim dan ditemui supardjo. Kebingungan soekarno terjawab.
.
Pada intinya supardjo dijebak oleh sjam. Tidak mendapat restu dukungan soekarno. Sjam bersikeras di lapangan untuk tetap kuat namun yang terjadi di lapangan penuh kebimbangan, lelah,
.
Begitu para orang terlibat G30S ditangkap dan dibawa pengadilan. Tidak ada orang yang mau mengakui terlibat G30S. Ada seorang berani untuk tanggung jawab atas keterlibatan dirinya atas G30S yaitu sudisman
.
Sudisman mengatakan bahwa PKI tidak terlibat secara lembaga dalam rencana G30S. Sudisman mengakui keterlibatan dirinya itu diperintah oleh Aidit dan ini diperkuat Iskandar subekti menyalahkan aidit untuk proyek pribadi G30S
.
Aidit merupakan premakarsa mengorganisir G30S dan tangan kanan nya adalah Sjam Kamaruzaman. Aidit meniru metode kup Aljazair untuk merebut kekuasaan dan sistem yang berbeda yaitu mengumumkan dewan revolusi
.
Alasan sudisman dan Iskandar subekti menyalahkan aidit untuk kepentingan pribadi G30S disitulah sudisman dan Iskandar subekti menyalahkan aidit membuat PKI hancur akibat kebodohan aidit sendiri
.
Bagaimana aidit memilih jalan berbahaya untuk kup 65, terjebak perangkap oleh perang urat saraf yang dibuat CIA yakni mendesas desuskan oleh surat yang berisi dewan jenderal akan kudeta. Sehingga harus benar benar takut PKI dihancurkan oleh angkatan darat
.
Tahapan pertama aidit merekrut perwira progresif agar terkesan PKI jaga jarak dan tidak terlibat G30S. Komando lapangan yaitu sjam. Terjadilah di lapangan G30S tentara menembak tentara ditembak tentara diculik tentara menculik.
.
Kejanggalan peran soeharto kenapa ini terjadi dibiarkan pasca dilaporkan oleh Kolonel Latief. Untung merupakan teman dekatnya. Diungkapkan oleh WF. Wertheim. Jika soeharto bergerak untuk menyelamatkan para jenderal tetapi tindakan soeharto berbeda dan malah membiarkan G30S sendri
.
Bagi penulis (John Roosa) untuk mengungkapkan dalang G30S sebetulnya tidak tunggal. Peristiwa G30S, sebuah peristiwa misteri belum bisa diungkapkan. John roosa menganalisis dokumen supardjo dan sudisman, Iskandar subekti, kesaksian hasan merupakan teman dekat sjam
.
Untuk memberi gambaran G30S didalam bukunya, john roosa mengkritik kenapa tidak diangkat peristiwa besar pasca G30S yakni genosida 1965 - 1966 merupakan masalah terbesar bagi indonesia
.
Tragedi kemanusiaan memakan korban dengan jumlah 500 rb - 1 jt. Itulah penulis john roosa mengkritik didalam bukunya sebagai dalih pembunuhan massal yang dijadikan judul buku dan menceritakan gambaran G30S berdasarkan kejadian tidak cacat dan menganalisisnya.
.

Profile Image for Shidiq Thoha.
29 reviews
June 30, 2017
Jujur ini buku pertama yang saya baca yang mengupas secara lengkap dan jelas tentang peristiwa 1965. Sebelumnya, pengetahuan saya tentang ini ibarat mendung brselimut awan tebal, meminjam istilah penulis. Kasus G 30 S tanpa tulisan PKI menyimpan banyak sekali rahasia rahasia.
Saya yang besar di tradisi NU selalu melihat bahwa PKI adalah sebuah hantu yang harus segera dienyahkan. Seperti tertulis dalam buku, PKI selalu diibaratkan sebuah hantu yang bersiap diri dengan jebakan kuburan dan pembunuhan massal mereka yang anti komunis atai non-komunis.
Meskipun dalam sepanjang buku, saya merasakan bahwa penulis disini tidak mendasarkan tulisannya pada netralitas. Penulis serasa ingin membuktikan bahwa kasus 65 adalah sebuah grand design yang amat komplek dan rumit dijelaskan. Dan kasus ini tidak semata-mata dilakukan oleh PKI sebagai sebuah partai. Ada sekian banyak keanehan dalam kasus kecil yang dibesar-besarkan oleh rezim militer Angkatan Darat ini. Dan adalah sebuah kesalahan besar untuk menimpakan semua kesalahan ini kepada PKI secara kesuluruhan. Ibaarat pertarungan Tinju, pemain utama tinju telah dikalahkan pada beberapa hari setelah peristiwa. Tapi kemudian, sang pemenang mencoba memburu mereka para penonton bahkan pendukung yang tidak melihat dan mmengatahui pertandingan tersebut.
Bagian penutup buku ini, menurut saya merangkum sebuah tesis dan pernyataan besar kenapa kasus 65 harus didudukkan kembali dengan kebesaran hati setiap pihak yang merasa atau tidak, ikut terlibat bersalah didalamnya.
" Tragedi sejarah Indonesia modern tidak terletak hanya pada pembunuhan masal 1965-1966 yang diorganisasikan Angkatan Darat saja, tapi juga pada bertakhtanya para pembunuh yang mengabsahkan cara-cara pembunuhan dan perang urat syaraf sebagai sebuah cara sah dalam mengelola tata pemerintahan. ........
Penagalaman sebuah peristiwa yang reltif kecil (G30S)dan penghapusanperistiwa bersejarah tingkat dunia (pembunuhan massal 65-66) telah menghalangi empati terhadap korban dan perempuan serta laki laki yang hilang. Sementara itu berdiri sebuah monumne didekat sumur, tempat tentara G 30 S membuang jasad 7 perwira AD pada 1 Oktober 1965. Tidak ada sedkitpun monumen untuk ratusan ribu orang yang ditumpas atas nama penumpasan G-30-S." (Purnakata)
Profile Image for Reza Fajar Raynaldi.
20 reviews1 follower
March 15, 2021
Satu informasi baru yang cukup signifikan bagi saya di dalam buku ini adalah mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa G30S dengan dokumen-dokumen yang baru dideklasifikasikan saat buku ini ditulis. Dokumen Supardjo telah saya ketahui melalui buku Fic yang juga membahas G30S, pledoi Sudisman dapat diakses di internet. Selebihnya, informasi lain juga banyak yang baru, seperti wawancara penulis dengan beberapa orang yang dekat dengan tokoh sentral dalam pusaran G30S. Tentunya, apa yang baru juga adalah analisis Roosa yang menyatakan bahwa G30S adalah dalih yang sudah dinantikan oleh Angkatan Darat untuk mengambil alih kekuasaan.

Roosa menyatakan bahwa Angkatan Darat (AD) menjalin komunikasi dengan AS untuk mempersiapkan dalih untuk menghabiskan PKI sebagai kekuatan politik di Indonesia. Strateginya sederhana, memancing dan menunggu PKI menyambut umpan dengan melakukan tindakan gegabah agar AD memiliki dalih untuk menghabisinya–dan tentu menghabisi Soekarno juga sebagai kekuatan politik paling dominan saat itu.

Layaknya pernyataan yang disampaikan oleh Sudisman dalam pledoinya, beberapa pimpinan PKI memang terlibat dalam G30S, namun dapat dikatakan partisipasi ini merupakan petualangan liar Aidit dengan Biro Chususnya. Sudisman menyatakan bahwa PKI secara kelembagaan tidak terlibat, dan kesalahan terletak kepada pembiaran lembaga pimpinan yang memberikan Aidit keleluasaan untuk bergerak secara klandenstin.

Tepatlah sebuah ungkapan yang menggambarkan pembunuhan massal 1965-66 yang menyatakan bahwa AD "memburu tikus dengan membakar seluruh rumah." Pada akhirnya, AD memang menghabiskan PKI sebagai kekuatan politik di Indonesia, dengan memanipulasi informasi (mis. terkait cara pembunuhan para jenderal, menggambarkan para anggota PKI yang bersiap-siap merebut kekuasaan dengan menyiapkan kuburan massal, menemukan kursi listrik di rumah-rumah kader PKI dsb.), menguasai media (mis. tidak memberitakan pembunuhan besar-besaran pada '65-'66, mengizinkan hanya media yang sesuai dengan preferensi AD), dan tentunya menjadikan G30S sebagai dalih.
Profile Image for Delasyahma.
242 reviews125 followers
September 6, 2019
Akhirnya setelah sekian purnama aku berhasil menyelesaikan buku ini. Dari bulan April yang sengaja aku tunda, hingga akhirnya aku rasa tepat kembali untuk meneruskan membacanya.

Secara keseluruhan aku sangat menyukai bagaimana John Roosa menulis buku ini dengan riset2 data yang cukup terpercaya. Data yang dituliskan langsung dari orang2 yang ( tidak secara langsung) berkaitan dengan kejadian 1965.

Perspektif baru yang aku dapat dari buku ini adalah nagaimana rencana G-30-S merupakan agenda yang hanya sebuah upaya untuk menggertak petinggi2 Angkatan Darat atau Dewan Jendral yang ingin mengadakan KUP, petinggi2 PKI merasa KUP yang akan dilakukan Dewan Jendral membahayakan posisi partainya dan juga Soekarno, dan ya, tergagaslah rencana penculikan tersebut, yang ternyata tidak berjalan sesuai rencana, gagal, karena kurangnya persiapan dan perlawanan terhadap Angkatan Darat yang anti-komunis yang sudah menunggu momen ini untuk menggulingkan Soekarno dan menghancurkan PKI.

Itu gambaran besarnya saja, masih banyak hal yang aku dapatkan ketika membaca buku ini. Banyak momen yang membuat saya tercengang juga ketika membacanya, saya tau saya masih harus membaca banyak buku yang memang membahas tentang tahun '65 ini. Buku ini menurutku salah satu pembuka yang baik.
Karena penulis tidak berat sebelah ketika menuangkan pendapatnya, semua berdasarkan riset dan data2 yang dia temukan.


Membaca buku ini sebenarnya membuat saya seperti menemukan harta karun, bahkan dibagian2 catatan dan daftar pustaka. Dimana tiap2 bab yang disajikan berisikan banyak sekali informasi yang bisa kita jadikan acuan untuk melihat tragedi '65 melalui perspektif yang tidak timpang, dan bukan melalui kebencian atau propaganda.


4,5/5 Bintang
Profile Image for Ervirdi Rahmat.
51 reviews
September 14, 2022
Studi yang cermat terkait G30S sebagai gerakan yang serba tanggung: bukan aksi militer rahasia, bukan aksi revolusi massa, tapi berusaha mencampurkan keduanya dan pada akhirnya gagal total.

Mesti masih ada sisa tanda tanya seperti bagaimana persisnya kelompok ini pada awalnya dapat menjalin kerja sama, kesimpulan sementara dari hasil interpretasi dokumen (Supardjo, Sudisman, Iskandar Subekti, deklasifikasi arsip Amerika Serikat) dan wawancara beberapa sumber anonim cukup memuaskan rasa penasaran saya selama ini.

Selain menjawab soal terbatasnya atau malah tidak ada keterlibatan Partai (terlebih sebagai lembaga), analisis John Roosa juga mengenyahkan segala pikiran konspiratif bahwa gerakan ini cuma akal-akalan Suharto semata. Mengutip penjelasan Roosa, seakan-akan Suharto adalah sosok adimanusia yang bisa menentukan segala takdir sesuai skenario yang dia inginkan.

Obsesi kita untuk mencari sosok dalang akan mengaburkan kita dari pandangan yang jernih, seakan-akan peristiwa sosial politik tidak ditentukan oleh aktor-aktor yang punya kehendak, pertimbangan, dan perhitungan mereka masing-masing.

Konspirasi soal G30S sebagai gerakan yang dirancang gagal memang meragukan, tapi provokasi dan rencana serangan Angkatan Darat yang kemudian dikomandoi oleh Suharto nyata adanya.

Buku ini setidaknya masih jadi pegangan paling komprehensif untuk memahami berantakannya rencana penculikan, ketidakjelasan (pendistribusian) informasi terkait gerakan pada hari H (padahal sudah memegang RRI), sampai betapa ngerinya aftermath peristiwa tersebut: bagaimana Angkatan Darat begitu cepat menghajar dan mendemonisasi spektrum kiri di Indonesia.
Profile Image for astraeus.
48 reviews
February 6, 2024
Firstly, this is a very informative and insightful book looking into the september 30th movement. There is abundant sources of evidence (each in a seperate chapter) that are analysed respectively. In the end all these evidence is pieced together to get a most likely "narrative of crime". So this is very comprehensive, with various perspectives and cohesively logical conclusion. Of course certain flaws may still exist but i am sure thats the best we can achieve

Second, as the result of the first point, this book is an excellent sample of history research. List out all sources and do your analysis of each, and come up with your own idea in the end. Very clear, very logical, very convincing.

Third, i concur with the author that the seeming mysteriousness is completely out of the incompetence of the "plotters" who did nothing but chaos during the movement. In the end the failure is both in strategic and tactical sense, to the extent that no one can understand what they are doing. The reality is just much more ridiculous than our wildest possible imagination. No need any conspiracy, just they did everything in the most unbelievably lousy way.

In the end, both sides are despicable for their abuse of human lives and faith. The military in the end betray their country by turning their guns not to their enemy on the other side of the border but the armless citizens. The PKI wasted supporters' trust and faith and sent them to death for the idiocy of the leadership. Only the innocent people suffer and bear all the costs of history, in the context, mass murder.
Profile Image for Brad Gray.
59 reviews1 follower
July 17, 2019
Must read!

I hadn't thought much about Indonesia. One night while on the internet, I stumbled across a few things about Indonesia's history. After being led to various websites, forums, and threads... the next thing I knew I was learning the Indonesian language. Complete with two tutors(that live in Indonesia) and everything. The more I learned the more I became fascinated.

I tend to gravitate towards the darker parts of history. I think we can learn the most from those things. This book is both interesting and crazy to think about. Events that happened in Indonesia are still very fresh happening only 50-60 years ago. Since reading this book, I've started looking into all kinds of historical events that happened on that side of the world. American schools just don't teach that unless you focus on it in college. Most of the k-12 curriculum focuses on the US, Europe, and the Middle East(or at least that's what was focused on when I was in school-the 90s).

Anyway, this book is a "good" read. I think it takes a fair look at different sides of what happened in Indonesia. When reading through the facts, it can become clear that things just don't add up. If you aren't interested in history at all... this book will likely put you to sleep within the first 10 pages. Don't let that deter you. You should definitely read this book... even if you have to read 2 pages at a time and it takes you months.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
October 27, 2019
Sebagai mantan mahasiswa jurusan Sejarah, G30s memiliki tempat tersendiri dalam historiografi Indonesia. Aksi ini tidak tersentuh, ia ada di tempat yang bahkan orang tak tahu ada dimana. Karena unsur misterius tersebut pula, kebanyakan masyarakat tidak ingin dan berani membicarakan aksi ini serta cenderung mengamini tafsiran tentang aksi ini.

Tugas utama buku ini ialah mengungkap selubung-selubung kelabu aksi G30s menjadi lebih terang, aksi ini bukan klik politik dan militer tingkat tinggi yang tidak bisa dinalar. Aksi ini merupakan produk perebutan kekuasaan tingkat nasional yang tidak bisa dilepaskan dari gelanggang politik global pada saat itu. Dan G30s tidak bisa dipahami sebagai peristiwa politik semata, ia kompleks.

Sejarah hanyalah merekam kisah-kisah yang dituturkan oleh pihak yang menang, begitupun dengan tafsiran mengenai G30S. Pihak yang menang berhak sesuka hati menafsirkan aksi ini melalui perspektif mereka, maka dari itu perlu kiranya membaca buku ini bukan hanya narasi yang penulis bangun berbeda dengan apa yang diyakini selama ini.

Tapi penafsiran yang baik dan benar tentang aksi G30S akan mengubah pemahaman peristiwa-peristiwa politik yang mengikutinya.
Profile Image for Aulia Darmawan.
41 reviews
December 26, 2024
Dalih Pembunuhan Massal karya John Rossa adalah buku yang penuh dengan analisis tajam dan menggugah tentang bagaimana kekerasan dan pembunuhan massal bisa terjadi, dengan alasan yang terkadang sangat sulit diterima. Buku ini membawa pembaca menyelami konteks sejarah dan politik yang melatarbelakangi tragedi-tragedi besar, dan bagaimana pembenaran atau dalih digunakan untuk menjustifikasi tindakan brutal tersebut.

Dengan gaya penulisan yang jernih dan informatif, Rossa memaparkan kejadian-kejadian kelam dalam sejarah dengan cara yang membuat pembaca merenung. Buku ini mengajak kita berpikir lebih dalam tentang keadilan, moralitas, dan bagaimana kita bisa menghindari kesalahan serupa di masa depan.

Bagi kamu yang tertarik dengan sejarah, politik, dan pembahasan tentang hak asasi manusia, buku ini memberikan wawasan yang sangat berharga. Dalih Pembunuhan Massal nggak hanya sekedar buku tentang kekerasan, tapi juga tentang bagaimana kita bisa belajar dari masa lalu untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai.
Displaying 1 - 30 of 77 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.