Novel ini menceritakan pergolakan di awal kemerdekaan Indonesia dalam rentang waktu 1950-1954. Pak Junaidi menjadi pegawai Jawatan Mahkamah Islam Tinggi pindah tugas dari Jakarta ke Solo tatkala pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta. ketika Agresi Militer Belanda II. Keadaan tetap sama baik ketika Pak Junaidi bertugas di Jakarta maupun di Solo. Si Bocah, anak Pak Junaidi, hampir tiap hari menyaksikan para tentara memikul senjata, apalagi setelah TNI Jawa Barat pindah ke Jawa Tengah. Pergolakannya adalah seputar Agresi Belanda II, oposisi Muso serta DI/TII. Tetapi Si Bocah tidak sedikit pun terpengaruh oleh kenyataan itu. Ia tetap menjalani kegiatannya sebagai pelajar biasa: siang belajar di Sekolah Negeri No 27, sore sekolah agama dan malam mengaji di surau. Uniknya, novel ini mengambil sudut pandang Si Bocah, sehingga peristiwa pertumpahan darah tidak mengerikan, namun justru menggelikan. Di luar semua itu, novel ini penuh dengan metafora-metafora yang mengejutkan.
Ia ingin menulis, dan akan terus menulis. Sampai kapan? ''Hingga tak lagi mampu menulis,'' ujarnya. Mungkin karena itu, ''Ketimbang disebut politikus, saya lebih senang disebut sastrawan.'' Lelaki ini mengawali kegiatan menulis dan berorganisasi sebagai redaktur majalah sekolah, Pemuda Masyarakat, sambil mengetuai Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ranting SMP II di Jakarta, 1952.
Sebelumnya, anak pertama dari 13 bersaudara ini tamat SD di Solo, Jawa Tengah. Waktu itu, pada awal Kemerdekaan, sekeluarga mengungsi. Di Solo, ia juga belajar di madrasah Mabaul Ulum. Salah seorang gurunya, Kiai Amir, ''Memperkenalkan saya kepada tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. Masa itu sangat mempengaruhi perkembangan hidup saya,'' cerita Mahbub. Ayahnya, H. Djunaidi, almarhum, adalah tokoh NU dan pernah jadi anggota DPR hasil Pemilu 1955.
Tatkala Belanda menduduki Solo, ia sekeluarga kembali ke Jakarta, 1948. Ketika ia menjadi siswa SMA Budi Utomo, ia mulai menulis sajak, cerpen, dan esei. Karyanya sering dimuat majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman dan Star Weekly. Ia pun merintis karier di NU, masuk Ikatan Pelajar NU (IPNU). Ketika kuliah di Fakultas Hukum UI, ia pernah jadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tetapi kemudian pindah, dan jadi Ketua II GP Ansor, dan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), 1960. Kuliahnya terhenti hanya sampai tingkat II.Kegiatannya dalam organisasi mengantarkan Mahbub ke jabatan pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979. Terakhir, di samping sebagai Wakil Ketua PB NU, ia juga duduk di DPP PPP.
Sebagai kolumnis, tulisannya kerap dimuat harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Mahbub. Akibat tulisannya, ia pernah ditahan setahun, 1978. Dasar penulis, selama dalam tahanan, ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Sebelumnya, novel rekaman masa kecilnya di Solo, Dari Hari ke Hari, diterbitkan Pustaka Jaya, 1975.
Mahbub, yang jika sedang berpikir sering mengusap-usap rambut, mengagumi pengarang Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol. Di Indonesia yang dikaguminya, Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer. Mahbub pernah mengungkapkan kekesalannya karena dua kali tulisannya perihal Pramoedya ditolak media. “Orang yang seperti Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram mendidik kita,” katanya. Sebaliknya, Pram pun mengagumi Mahbub. Pada peluncuran buku "Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi" tahun 1996, Pram mengatakan, "di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela."
Meski sering berkunjung ke luar negeri, pengalaman yang menarik baginya, "bergaul dengan Bung Karno, presiden pertama RI," kata ayah tujuh anak, yang sudah dua kali naik haji ini. Baginya tanpa Soekarno, Indonesia tak mungkin bersatu di era Revolusi 1945.
Mahbub mengembuskan nafas terakhirnya pada 1 Oktober 1995.
Sumber: Pusat Data dan Analisis Tempo & Majalah Historia Online
Akhirnya novel pertama yang bisa aku kasih 5⭐️ di tahun ini. Kebetulan tau judul ini gara-gara shorts yt abang-abang pedagang buku yang ngerekomendasikan buku ini.
Ngebaca novel ini jadi keinget j-lit berjudul Dua Belas Pasang Mata karena kesamaan genre dan gimana perang mempengaruhi dunia di sekitar anak-anak. Aku rasa kalau suka novel itu juga bakal suka novel ini sih. Cuman, aku ngelihat novel ini hampir seperti slice of life yang jenaka dan sedikit-sedikit puitis.
Ini adalah hisfic indo yang dibingkai dari kacamata anak kecil asal Jakarta yang terpaksa ngungsi ke Solo di era 1950-an. Situasi politik yang tidak stabil, terutama dari Belanda yang mencla-mencle ingin menggerogoti Republik Indonesia, ditambah selipan 'musuh dalam selimut' seperti PKI yang didengungkan Soekarno dan juga sedikit mengungkit Darul Islam, membuat kehidupan si protagonis tidak jelas jluntrungannya, apalagi ia menempati kota yang sudi membakar dirinya sendiri agar tidak dijajah. Yang menarik, penduduk kotanya pun seperti 'terbiasa', hampir pasrah dengan peristiwa-peristiwa mencekam yang akan selalu terjadi. Minggu pertama dipenuhi kepanikan, minggu berikutnya diselimuti bisik-bisik yang was-was, dan di minggu selanjutnya kehidupan kota kembali ke setelan asal, seakan peristiwa-peristiwa naas itu tidak terlalu mengganggu produktivitas kota tersayang itu.
Selain elemen hisfic-nya, aku suka banget sama protagonisnya yang mungkin kujuluki 'si filsuf kecil yang suka dagelan', dan itu terlihat dari bagaimana pembawaannya yang kritis sejak awal, diperkaya dengan buku-buku yang disewakan kyai yang dikenalnya dan bagaimana ia selalu nimbrung memperhatikan obrolan orang-orang dewasa di sekitarnya tentang gonjang-ganjing nasib republik. Lalu pengaruh ayahnya yang PNS di Mahkamah Islam Tinggi–juga 'dipanggil kyai– yang mendidiknya menjadi amat religius di era itu juga menambah nafas lain yang membuat novel ini kian menarik. Ada satu scene yang membuatku gemas dengan si anak, ketika ia diberi tugas oleh guru SD-nya untuk membuat karangan tentang cita-cita, ia malah mempertanyakan apa sebenarnya cita-cita itu.
Overall, aku suka banget sama novel ini! Salah satu hisfic Indo underrated yang kurekomendasikan banget!
Tau buku ini dari rekomendasi salah satu konten Tiktok. Langsung tertarik baca karena pakai sudut pandang anak kecil-remaja, beda sama beberapa fiksi sejarah yang sudah pernah aku baca. Menurutku buku ini bisa banget dibaca sekali duduk. Selain isinya yang tergolong tipis, tapi alurnya juga menarik berhasil bikin penasaran!
Buku ini berhasil ngingetin betapa sederhana dan polosnya pikiran anak kecil sehingga perang jadi tidak terlalu menyeramkan. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan tokoh utama dan jawaban yang diberikan Ayahnya yang sering malas menjelaskan sepertinya masih sesuai dengan zaman sekarang.
Karena pengetahuan sejarahku minim alias udah banyak lupanya, jadi selama baca cukup bingung, tapi tetap enjoy kok bacanya! Cuma dari sini dapat disimpulkan bahwa harus lebih sering lagi baca fiksi sejarah....
Apa yang bikin kangen dari masa kanak-kanak adalah segala persoalan hidup kok terasa enteng-enteng saja. Sebaliknya, hal-hal remeh-temeh malah jadi urusan merepotkan. Ketakutan-ketakutan seorang bocah kecil juga terbatas pada omelan ibu dan gertakan ayah. Atau mungkin siapa saja yang ingat bahwa dulu kala kecil ada saja ancaman-ancaman berbunyi begini: jangan temenin si anu, jangan ajak main si anu. Pola-pola ini yang sulit dijumpai di masa dewasa. Hidup adalah kemampuan beradaptasi, kata seorang kawan.
Maka itu untuk mengobati kekangenan akan masa kanak-kanak buku ini cukup sebagai penawar. Walau saya mesti jujur, sebetulnya roman ini biasa saja diukur dari keseruan, ide atau konsep—berdasar pada selera pribadi. Nah, barangkali hal lain patut diacungi jempol ialah gaya tutur yang demikian halus dan jernih; dari yang serius hingga menggelitik semua dibalut rapi ala-ala pandangan seorang anak tanggung yang polos. Sehalus dongeng seorang kakek tua pada sang cucu, sejernih kejujuran seorang anak bercerita. Ada saja humor-humor ringan yang kerap bikin kaget sambil tersenyum kecil. Dari sini kita, pembaca, mendapatkan bekal-bekal penting kehidupan—yang sebenarnya sepele saja—tanpa perasaan digurui.
Pun transisi dari bab ke bab tampaknya dipersiapkan sehati-hati mungkin. Saya menikmati ini, sekali lagi, serasa didongengi oleh buyut sendiri. Mahbub menawarkan cita rasa yang berbeda dalam membaca. Bahwa selain mesti baru, inovatif, dan berbeda ada kalanya cerita yang lumrah, sederhana, dan bahkan mungkin biasa-biasa saja bisa menjadi penting dan perlu.
Mahbub sukses membikin hal-hal yang tidak perlu menjadi perlu, dan hal-hal yang perlu akan selesai cukup dengan anggukan kepala. Mengajarkan pada kita untuk memandang segala sesuatu secara positif. Ya, sebab membaca Mahbub adalah membaca kejujuran.
Tak sengaja bertemu buku ini saat menunggu keberangkatan ke Bandung disalah satu travel biro yang melayani perjalanan Jakarta- Bandung. Dijual dilapak yang digelar penjual buku kakilima disebelah kantor travel tersebut. Bersetting pada awal kemerdekaan didaerah Solo dengan point of view seorang anak kecil. Awalnya saya menyangka buku ini akan banyak berisi humor seperti buku Mahbub yang saya baca sebelumnya, ternyata tidak. Buku ini disebut-sebut sebagai salah satu novel penting dalam kesusastraan Indonesia.
Awal membaca saya tidak punya ekspektasi apa-apa, nggak nyangka kalau buku ini ternyata bagus sekali. Penulis menceritakan kisah hidupnya saat berusia 13 tahun, pasca kemerdekaan di tahun 1947-1950.
Di buku ini saya salut dengan ayahnya. Jadi bapak dimasa itu tanggung-jawabnya berat sekali. Kini saya paham mengapa anak-anak jaman dulu patuh dengan ayahnya.
Tahun 1947 Cerita dibuka ketika tokoh ‘Aku’ beserta ayah, ibu dan adik-adiknya sedang dalam perjalanan di kereta api malam menuju Solo.
Dengan suasana temaram nyala lilin dalam kereta, Ayahnya berkata, “Sekarang kita semua jadi pengungsi. Pengungsi sama sekali berbeda dengan pelarian. Camkan baik-baik. Ini istilah politik, tidak ada yg hina dalam politik.”
Revolusi pecah, ibu kota dipindah ke Yogya, sebagai pegawai negeri, ayah si ‘Aku’ pun di pindah ke kantor Solo, yang tidak jauh dari kementrian pusat di Jogja. Mereka sekeluarga akan tinggal di kampung Kauman.
*** Saat tinggal di Jakarta, sekolah berbulan-bulan libur, sistem pendidikan tersendat-sendat akibat pemerintahan yang belum stabil. Jadi ‘Aku’ yang sudah berusia 13 tahun, di sekolah baru masih duduk di kelas 4.
‘Aku’ sekolah hanya mengandalkan buku tulis dan pensil, buku pelajaran saat itu tidak ada. Namun ia beruntung bisa membaca banyak sekali buku dari perpustakaan sewa milik guru ngajinya, Kiai Amir.
Selain dia, di sekolahnya juga ada murid baru, namanya Juariyah, pengungsi dari Mojokerto, kotanya baru jatuh ke tangan pasukan Belanda.
Solo memang menjadi jujukan pengungsi yang datang dari bermacam-macam kota.
Dalam benaknya, ‘Aku’ berpikir bahwa gencatan senjata dan persetujuan Linggarjati tak ada gunanya, toh Belanda tetap saja mengusai kota-kota.
Januari 1948 Terjadi peristiwa perundingan di atas kapal Renville. Ia bertanya-tanya. Kenapa musti di laut? Apa tidak bisa di darat?
Lama-lama ia paham, karena pernah ada istri Inggris yang mau melahirkan naik ke kapal berbendera inggris supaya anaknya tidak kesulitan menjadi Inggris tulen.
Sepulang ayahnya dari Yogya, beliau mengabarkan tahun depan Indonesia menjadi negara serikat. Untuk itu dibentuk pemerintah intern. Belanda bersikeras menghapus TNI, bahkan hubungan republik keluar negeri juga akan dilarang.
Krisis moneter pun semakin terasa, rencana ayahnya untuk mengirim ia masuk pesantren di Lasem dibatalkan. Bahkan atas nama penghematan, di rumah semua makan bubur.
Ayahnya menghibur, bagaimanapun derajat orang yang makan bubur masih lebih tinggi daripada jagung, apalagi gaplek. Setidaknya jangan sampai seperti Begog, anak Pak Krebet yang kena busung lapar.
*** Kantor ayahnya pun akhirnya ditutup, beliau tidak bekerja lagi, namun rumah dititipi pet-peti yang berisi Al Qur’an dari kantor. Diam-diam ‘Aku’ mencuri dan menjual kitab tersebut sedikit-sedikit, harganya lumayan.
Sampai suatu hari Belanda mengangkut seluruh peti lalu dibakar habis di gedung sekolah depan pasar Kliwon.
*** Menjelang ujian sekolah, presiden Sukarno mengumumkan di radio bahwa ada perebutan kekuasaan di Madiun oleh PKI Muso.
Letak Madiun yang tidak jauh dari Solo membuatnya sedikit cemas, khawatir ujian sekolah diundur. Untungnya hanya dalam waktu 8 hari peristiwa di Madiun sudah dilumpuhkan, ujian sekolah pun tepat waktu
Sebelum lulus dan berpisah, murid-murid berkumpul di rumah Pak Guru. Pesta kecil-kecilan, yang perempuan bikin rujak & yang laki-laki mengupas kelapa muda.
Desember 1948 Belanda semakin semena-mena. Tempelan gambar bung Karno & bung Hatta di mana-mana, mereka ditangkap dan akan dibuang keluar jawa.
Kata Ayahnya, “Kota ini nanti malam akan di bakar.”
Panglima besar Sudirman tak mau kompromi dengan Belanda, siasatnya membuat kota habis terbakar dan menjadi tidak penting, toh masih ada desa. Sesudah rapi dibakar, kota dikosongkan lalu musuh dibiarkan masuk.
Kampung kauman pun jadi gardu ronda besar. Setiap saat lampu diputus dan sirine tiba-tiba berbunyi, itu artinya seluruh penduduk latihan berjaga-jaga menghadapi serangan udara.
*** Surat dari paman datang, semuanya berkerumun di sekitar ayah. Isi suratnya : Kantormu sudah tak ada lagi, bahkan tak ada republik, pulang sajalah dan kerja di jakarta,
Setelah itu hampir tiap hari ayahnya ke kantor urusan sosial. Setelah surat izin pindah beres, ibunya mengabarkan kepindahan ke tetangga sekitar.
Mereka sekeluarga pun balik Jakarta, iring-iringan 16 truk pengungsi yang dikawal serdadu Belanda bersenjata di depan. Sepanjang perjalanan, ayahnya menyuruh baca surat Yasin dan shalawat Nariyah terus menerus.
Desember 1949 Seusai Konferensi Meja Bundar, Republik Indonesia Serikat berdiri dan Belanda keluar dari Yogya.
Departemen ayahnya dibuka lagi dan semua pegawai negeri masuk kantor.
‘Aku’ dan murid-murid yang belajar di sela-sela pohon kelapa akhirnya pindah ke gedung sekolah baru.
17 Agustus 1950 Negara-negara bagian serikat dibubarkan. Bendera Republik Indonesia pun dikibarkan lagi.
Buku ini merupakan novel autobiografi dari sosok Mahbub kecil, si tokoh utama dalam cerita ini. Secara garis besar berisi tentang keseharian seorang anak tanggung menuju remaja memandang dan menjalani revolusi pasca kemerdekaan (periode 1946-1950), dengan kacamata yang polos, penuh humor, tapi juga cerdik.
Selain humor, dalam buku ini banyak tersebar kritik terhadap kondisi sosial dan politik saat itu. Dimana terwujud menjadi satir dibalut dagelan.
"Selayaknya pak guruku yang satu lagi baik hati ini maklum, betapa anak-anak seumurku ini punya rupa-rupa cita-cita yang tidak menentu, atau barangkali tak masuk di akal. Sedangkan orang tua banyak yang tak jelas apa kemauannya, konon pula anak-anak." pg. 76
Berlatarkan kota Solo yang memiliki peran besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, beberpa peristiwa yang dijelaskan secara rinci di sini diantaranya : 1. Perjanjian Linggarjati 2. Perjanjian Renville 3. Pembentukan Komisi Tiga Negara 4. Pekan Olahraga Nasional pertama 1948 5. Pembumi-hangusan kota Solo oleh TNI 6. Pengungsian penduduk Indonesia keluar dari wilayah milik Belanda
Kekalutan, kekacauan, ketidak-pastian digambarkan dengan sangat ringan namun berisi.
"Sebenarnya, aku ingin pulang. Aku benci Belanda, mengagumi tentara Republik, tapi tatkala aku pulang sambil mengempit lonjoran roti tempo hari (bayaran kerja rodi dari Belanda), hatiku bisa senang. Tapi, betapapun senangnya hati, tak pernah kubayangkan nistanya andaikata kakekku bekerja di kantor Belanda, menjadi orang federal." pg. 134
I love the progress of character development. Dimulai dari tokoh utama yang menduduki kelas 4 SD hanya mementingkan main senang-senang bersama teman, sampai tahun pertama SMP mulai muncul pikiran-pikiran kritis terhadap lingkungan sekitarnya & keluarganya. Satu kalimat penutup dari sang Ayah, "Ingat, sekarang kau bukan anak-anak lagi."
Aku berharap kita semua, bangsa Indonesia, tidak melupakan karya semenakjubkan ini. A must read book once in life! Melalui 'Dari Hari ke Hari', aku rasa julukan pendekar pena & kolomnis terbaik sangat patut disandingkan bersama nama Mahbub Djunaidi.
Saya kasih 3 bintang karena penggambaran dalam novel ini terkesan hitam-putih. Belanda selalu digambarkan sebagai penjahat di dalam novel ini karena kebetulan latar waktunya berada di kisaran tahun 1946-1948 di masa revolusi dan menggunakan sudut pandang seorang pemuda berusia tanggung. Walaupun begitu, seharusnya suara si pemuda tanggung ini tak seharusnya hitam-putih. Saya masih ingat dengan video kuliah Pak Ariel Heryanto di Youtube mengenai historiografi Indonesia yang rasis dan novel ini masih terjebak dalam stereotipe seperti itu. Kabar baiknya, gaya menulis Mahbub Djunaidi terbilang bagus. Cara menyusun metafora dan similenya cenderung tidak biasa.
Karena buku ini bersudut pandang kepada bocah itu, jadi pertumpahan darah tidak terbayang begitu menyeramkan (jadi buku ini menceritakan kehidupan bermainnya bocah ini) jadi tidak begitu fokus terhadap pertumpahan darah nya
Cerita jaman perang kemerdekaan dari sudut pandang seorang anak kecil berusia 12 tahun (saat awal cerita thn 1946) hingga 15 tahun (saat akhir cerita 1949). Ia, bersama ibu dan adik-adiknya, terpaksa mengikuti Ayahnya, pegawai negeri, yang harus pindah ke Solo saat ibukota negara RI dipindahkan ke Yogyakarta.
Seperti judulnya "Dari Hari ke Hari", cerita ini 'hanya' menceritakan kehidupan si bocah, pembicaraan orang di sekitarnya, suasana lingkungan sekitar, dengan gaya ceriwisnya. Disamping itu dia mengalami semua efek dari Perjanjian Linggarjati, Renville, Pemberontakan PKI Muso, PON I, bumi hangus Solo oleh gerilyawan (agar Belanda yg akan menyerbu masuk Solo tdk bisa memanfaatkan sarana tersebut).
Tokoh favorit saya tentu saja tokoh bocah ini, dengan segala komentarnya yang kadang lucu dan tak masuk akal. Dan teman dari ayah si bocah, Raden Mas X, bangsawan yg terpaksa menjadi pedagang ban, atau apa pun, yang penting menghasilkan. Dia yang digambarkan bertubuh gemuk, senang ngobrol, dan pandai mencari kesempatan bisnis.
Yang paling bikin saya agak terharu, adalah saat sang ayah, sebagai orang republik, akhirnya terpaksa memutuskan pulang ke jakarta, dengan konvoi yang dikawal tentara Belanda karena Solo dan Yogya dikuasai Belanda, dan sebagai pegawai negeri ia tidak bisa bekerja, dan tidak bisa juga ikut gerilya, karena tidak mungkin meninggalkan keluarganya. Mereka merasa jadi seperti pengkhianat, saat memutuskan kembali ke Jakarta.
Saya suka karena cerita ini diceritakan dari versi anak kecil yang penuh keceriaan, namun juga tidak digambarkan hitam putih (yang bekerja untuk Belanda atau tidak ikut gerilya, bukan orang jahat atau pengkhianat semua). Banyak yang hanya karena kepepet, tidak punya pilihan lain.
Kenapa tidak bintang 5? Kadang-kadang saya lelah juga membaca ocehan si anak yang ngalor ngidul, dan tidak fokus, maklum anak kecil. Hehehe. Yang membuat saya menghargai sang pengarang, yang mampu menghidupkan tokoh anak kecil ini.
Oh iya buku ini meraih hadiah penghargaan sayembara mengarang roman (sekarang sayembara mengarang novel) Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1974. Sang pengarang adalah tokoh NU, mantan ketua PWI, dan kolumnis Asal Usul di harian Kompas. Beliau wafat pada tahun 1995.
Novelet pada dasarnya dapat tuntas dibaca dalam sekali duduk. Namun, mahakarya Mahbub Djunaidi ini membikin saya tergopoh-gopoh, acap terantuk oleh gaya penulisannya yang segar, kocak, dan luar biasa sederhana. Sangat, sangat brilian. Mahbub begitu enteng dalam memainkan metafora, analogi, simile, atau apa pun itu dari sudut pandang tokoh Aku, seorang anak yang terkatung-katung ketika republik masih jabang bayi.
Simak cara dia mengawali novel:
Sore yang jatuh membuat kereta api, si Jerman tua bangka itu, menjadi anggun dan muda. Sekarang dia memekik-mekik, waktunya memanggil keputusan: inilah daerah republik yang betul-betul republik. Sungai Bekasi yang malas sudah kelewat, terlempar jauh ke deretan gerbong belakang. Bau batu bara dan jerami hampir menampar dari hampir semua jurusan.
Membaca Dari Hari ke Hari membuat saya semakin sadar bahwa sebagai "bangsa" kita menanggung beban dosa kolektif jika melupakan karya semenakjubkan ini.
Membaca buku ini karena satu-dua orang yang mengatakan buku ini bagus dan direkomendasikan untuk dibaca, dan barulah aku mengerti kenapa mereka mengatakan buku ini bagus.
Sebuah fiksi sejarah yang dikemas melalui pandangan seorang anak kecil─remaja tanggung yang menjalani hidupnya selepas kemerdekaan dan masa revormasi. Meninggalkan kota kelahiran menuju kota yang jauh berada nyaris ke arah timur Pulau Jawa sebagai pengungsi. Menjalani keseharian sebagai seorang anak republik menghadapi penjajah dengan pola pikirnya yang polos dan nakal selayaknya anak-anak pada umumnya.
Dalam buku ini tidak ada kisah pertumpahan darah yang eksplisit, meski begitu masih ada perlawanan-perlawanan yang bisa dilakukan rakyat Indonesia pada masa itu. Termasuk perlawanan ia dan keluarganya meski tidak secara terang-terangan.
Buku ini membawa aku kembali mengingat cerita para orang tua tentang bagaimana kondisi di kala itu, ketika bagaimana hendak sekolah hanya tinggal masuk sebab kepindahan, lalu bagaimana mereka yang diharuskan sekolah agama di setiap sore. Rasanya cukup rindu mendengar kisah-kisah kakek dan nenek atau mungkin ayah dan ibu jaman dahulu yang mana secara tidak langsung disuguhkan melalui buku ini.
Selain dengan kisah kehidupan pada masa revolusi, buku ini juga menyuguhkan bagaimana jenakanya isi kepala si anak kecil, juga humor-humor sederhana yang disampaikan melalui bahasa yang cukup aku suka.
Buku ini sebenarnya cukup bisa dibaca dalam sekali duduk, mengingat bukunya yang terbilang tidak terlalu tebal.
Pembaca Mahbub akan terjerat oleh jebakan-jebakan vokabuler yang menantang dan memikat. Gaya menulis Mahbub menjadi amunisi mujarab untuk mengacak-acak perspektif pembacanya. Berpindah dari kalimat ke kalimat berikutnya selalu diiringi letupan-letupan khas dan sentakan-sentakan magis karena Mahbub tak hanya mendongeng tapi juga menyihir. Saya sejak halaman awal sudah menangkap bahwa Mahbub adalah penulis langka, tulisannya dirasa serampangan dan tidak dibumbui aksesoris kesusastraan yang muluk-muluk tapi entah mengapa di saat yang sama juga sangat nikmat untuk disantap. Tulisannya bergaya satire, tetapi dengan sindiran yang jenaka dan konyol. Saya juga harus jujur, bahwa cerita yang dibawakan terlihat umum-umum saja. Tak lebih bagus dari kebanyakan cerita bagus. Tapi tak lebih buruk dari kebanyakan cerita buruk. Secara adil, saya nilai kualitas ceritanya sih mengambang. Tapi gaya tuturnya, benar-benar melambung tinggi. Kalau saya ibaratkan, seperti tumis genjer disajikan di atas cawan-cawan emas. Perpaduan yang unik, khas dan eksentrik.
Sebenarnya mau ngasih rating 4, tapi ngeliat average rating kok ga nyampe 4, duh buku sebagus ini? Semoga ratingku bisa bantu naikin ratingnya dikit-dikit. Aku duga ini mirip buku Perjalanan Penganten pak Ajip. Meski penulisnya ga dibilang ini ceritaku sendiri, tapi pembaca kepo bisa nyimpulin ini cerita penulisnya sendiri. Revolusi kemerdekaan, masa chaos. Semakin kubaca semakin aku ngeri sama jaman perang. Tapi pas baca buku ini (dan kebetulan sedang paralel sama Raja di Negara Republik, John Monfries) aku kok lebih sreg ama pendekatan militer :D. Lah piye, Londone bola bali ra mutu. Dan ntah mengapa pesona Sukarno Hatta semakin meredup saja. Kemerdekaan ini bukan karena mereka saja. Banyak faktor pendukung, bahkan dari pihak intel Jepang :D. Semakin nambah baca soal sejarah, aku yg buta sejarah ini makin ga paham haha. Berarti kudu baca lebih banyak lagi. Oh ya, soal buku ini. Memang sebagus itu.
Novel Dari Hari ke Hari merupakan novel autobigrafi dari Mahbub. Kisah anak kecil dalam novel ini merupakan gambaran Mahbub kecil sewaktu masa revolusi. Novel ini menyajikan humor yg renyah khas anak kecil setiap babnya.
Ungkapan yg dipakai Mahbub terasa segar, bahkan sering mengejutkan. Ungkapan-ungakapan tersebut terasa spontan tanpa beban. Mahbub memang tak bisa dipisahkan dari humor, selain orang NU blio jg orang Betawi yg kaya akan banyolan.
Selain humor, dalam buku ini Mahbub jg memasukan kritik terhadap kondisi sosial dan politik pada zaman itu. Mahbub terlatih "menyamarkan" kritik pedas karena dia hidup pada era Orde Baru sedang mencengkram kuat. Oleh sebab itu, kritik Mahbub terwujud dalam humor yang satir.
Buku ini bisa menjadi jalan anda yg berat membaca buku non fiksi pada zaman revolusi. Kekalutan, kekacauan, dan ketidakpastian tergambarkan dalam novel ini yg dibawakan dengan sangat ringan namun berisi.
Sedikit kaget soalnya langsung suka sama bukunya, terutama ini buku fiksi sejarah Indonesia pertama yang aku baca. Ceritanya ngalir ditambah banyak humor dari keingintahuan si Anak yang kadang nyeleneh tapi bikin kita mikir “iya juga ya” atau kadang sekedar lucu aja sih. Walaupun kadang ngalor-ngidul Dua Dini Hari tetap berhasil menggambarkan kehidupan di tahun-tahun awal kemerdekaan, dan masih banyak ketidakpastian. Ketidakpastian itu diceritakan dalam sebuah keluarga yang harus pindah dari Jakarta ke Solo, dan si Anak harus beradaptasi di lingkungan barunya. Selain itu banyak yang bisa dipelajari juga, kayak sedikit rewind mata pelajaran sejarah waktu sekolah tanpa bikin bosan. Akhir kata, buku ini oke banget buat yang mau mulai baca fiksi sejarah Indonesia, karena ringkas dan gak bikin bosan!
Bintang empat untuk Dari Hari ke Hari karya Mahbub Djunaidi.
Dari Hari ke Hari bisa dibilang merupakan buku fiksi sejarah yang gaya bahasanya ringan. Selain itu, padanan katanya bisa dibilang lebih bisa dipahami padahal buku ini tergolong karya sastra lama (masuk era pujangga baru menurut teori dan sejarah sastra).
Buku ini berlatar waktu di saat setelah kemerdekaan. Membaca buku ini bisa membuat kita dapat melihat sejarah kemerdekaan dari perspektif anak kecil. Di awal cerita memang pada awalnya cenderung terasa membosankan namun saat dipertengahan aku sudah mulai bisa menikmati alur ceritanya (ini alasan mengapa buku ini tidak bintang lima, namun cukup bisa diberi bintang empat)
Dari Hari ke Hari menambah perspektifku mengenai beberapa hal yang terjadi di Indonesia setelah digaungkannya kemerdekaan.
Buku yang sangat menarik karena semi autobiografi Penulis ketika masih anak-anak di masa Revolusi Indonesia (1945-1949). Tapi gaya penulisannya cenderung monoton jadi mungkin agak membosankan dibaca.
Mahbub Djunaidi dengan ayah dan ibunya harus mengungsi ke Solo dari Jakarta selama pasca kemerdekaan. Penulis mulai bercerita sejak keberangkatannya di Stasiun Tanah Abang ke Solo Balapan sampai beliau harus pindah lagi dari Solo. Tulisannya sangat detail menceritakan bagaimana kondisi di sekitarnya pada masa Revolusi tersebut. Membuat Pembaca merasakan kehidupan di masa itu dengan segala hiruk-pikuknya dari kacamata seorang remaja tanggung. Seperti mendengar cerita dari Kakek sendiri.
Saya merasa buku ini bisa menjadi pendamping buku teks sejarah nasional untuk anak SD dan SMP di Indonesia karena memuat banyak fakta sejarah yang bisa melengkapi materi pelajaran sekolah.
WAW... Itu yg aku rasakan selama baca novel/autobiografi dari Bapak Mahbub Djunaidi ini, karena tulisannya sederhana tapi juga indah dan nikmat buat dibaca. Jadi mikir "oh, gini ya rasanya baca karya penulis Indonesia yg hebat." Diksi dan rangkaian kata untuk menggambarkan situasi dan tempat sering kali gk biasa menurutku, tapi mudah dipahami. Karena ceritanya diambil dari perspektif seorang remaja, situasi Indonesia yg kacau balau pada masa Agresi Militer Belanda gk jadi semenegangkan kalau andai diambil dari perpektif orang dewasa. Karena "aku" adalah remaja, dia masih suka bermain dan bercanda seperti anak2 pada umumnya, tapi juga mulai bisa berpikir kritis tentang negaranya. Ini keren sih. Menarik banget. buat dibaca.
Novel ini memakai sudut pandang anak lelaki yang menjalani usia belasannya di tahun-tahun awal kemerdekaan. Sebagaimana lazimnya remaja lelaki tanggung, tokoh aku tidak lepas dari kejahilan-kejahilan yang dilakukan bersama kawan-kawannya. Dari sudut pandang seorang bocah, peristiwa perang dan kerusuhan jadi terasa tidak begitu mencekam. Alih-alih, justru jenaka dibuatnya. Humor-humor Pak Mahbub lucu dan langka; renyah dan konsisten. Meskipun bukan novel sejarah, buku ini cukup menggambarkan suasana dan kejadian pasca kemerdekaan yang penuh sengkarut.
Berlatar pada periode 1946-1949 tepatnya setelah Indonesia merdeka. Berlatarkan tempat di Solo pada masa itu. Mahbub bercerita dengan bahasa yang sedehana. Gaya anak remaja pada zamannya, begitu polos dengan kelakar apa adanya. Pun menggunakan sudut pandang orang pertama yang tentu saja membuat kita ikut serta dalam cerita sebagai tokoh utama. Saya suka dengan tokoh utama yang terkesan nakal namun cerdik haha.. Di bagian di mana dia menjual Al-Quran milik Belanda adalah tindakan konyol favorit saya. Fakta bahwa Indonesia masih berada dalam bayang-bayang Belanda setelah kemerdekaan adalah satu dari sekian banyaknya ironi tentang negeri ini.
Kata orang, sosok Mahbub Djunaidi adalah pendekar pena, dan bahkan Majalah Horizon (Kalau tidak salah, seingat saya) menuliskan disitu bahwa Mahbub ada kolomnis terbaik di Indonesia dan belum ada penggantinya sampai majalah tsb diterbitkan. Dan melalui karyanya ini, rasanya julukan dan penghargaan diatas tdi tidak lah berlebihan, luar biasa dalam penggambaran suasan cerita yang dihadirkan oleh penulis,dan selain itu juga dari karyanya ini kita bisa melihat sosok Mahbub kecil yang sudah menunjukkan kecerdasannya.
Five stars cuy!! It’s been so long since I’ve got such a great book yang sengaja lama-lama ditamatkan~~ Diksinya keren, penjabarannya detail namun ndak lebay, humornya edgy tapi bikin ngakak dan untuk sekelas sastra perjuangan, kata2nya ringan, menghibur, sekaligus mengedukasi.. Sudut pandang tiap tokoh dijabarkan dengan begitu epik.. I just found my new fave author 😍
baca buku ini rasanya kayak jadi tokoh utama disini, i'm as lost as him, and i'm just as curious as him too dengan apa yang sedang terjadi di masa itu. satu kalimat that i won't ever stop thinking about is: ‘Peluru Belanda tidak pernah menyentuh kulitnya yang segar, kenapa peluru yang dibidik oleh tangan bangsa sendiri merampas nyawanya?’ reading this book was great.
longest 218 i have ever read. Mungkin karena plot yang bisa dibilang datar dan bahasa yang digunakan juga kurang lazim. Tapi, aku suka banget cara penulis mendeskripsikan berbagai kejadian dan suana dengan banyak mengunakan kiasan dan gaya personifikasi, most of the times rasanya kayak lagi baca puisi. Extra beautifully written prose 5/5
Memang benar, buku ini merupakan salah satu buku penting di dunia sastra Indonesia. Sungguh pengalaman yang menyenangkan membaca novel ini, yang menceritakan tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia dari kacamata seorang anak laki-laki berusia 12 tahun.
pemaparan tiap detil kejadian justru membuat buku ini sangat menghibur dan unik, serius! kisah sehari-hari yang datang dari sudut pandang anak kecil nyatanya tidak membosankan, dan malah bisa membuat pembaca ketagihan alias "adiktif" banget hahaha. keren pak mahbub!!! :)
Karna diceritakan dari perspektif anak-anak, terasa banget cerita slice of life tapi dengan latar belakang baru merdeka. Walaupun si anak juga peduli tentang perkembangan Indonesia dan mengikuti semuanya, tentang perang, perjanjian dengan Belanda, dsb, tapi as a child, tetep enjoy main sama anak lain, sekolah, dan belajar ngaji.
Baca ini bisa sekali duduk, atau sebagai selingan buat bacaan lain yang berat. Ini cerita basic slice of life that could bore you or comfort you, I think
Fiksi sejarah dari sudut panjang anak-remaja. Gimana peristiwa revolusi Indonesia itu dari kacamata pihak yang sering diabaikan ini. Bukunya asik dibaca, diksi penulis juga berhasil bikin ngilu hati sampe bikin ketawa miris :')