Buku ini menghimpun puncak-puncak prosa Agus Noor. Beberapa termaktub dalam cerpen pilihan Kompas dan Pena Kencana. Eksplorasinya dalam bercerita membuat setiap kisah yang ditulisnya menjadi penuh pukau. Cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik dan religiositas, terasa subtil dalam bahasanya yang puitis dan sering kali mengejutkan. Sepilihan karya ini memperlihatkan rentang panjang proses kreatif Agus Noor sebagai salah satu cerpenis dalam khazanah sastra kontemporer Indonesia yang terus -menerus melakukan penjelajahan gaya dan tema.
Agus Noor, menulis banyak prosa, cerpen, naskah lakon (monolog dan teater) juga skenario sinetron. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain, Memorabilia, Bapak Presiden yang Terhormat, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak Setia), Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos.
Karya-karya Agus Noor yang berupa cerpen juga banyak terhimpun dalam beberapa buku, antara lain: Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Ripin (Cerpen Kompas Pilihan, 2007), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Pembisik (Cerpen-cerpen terbaik Republika), 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana), dll.
Menerima penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta 1992. Mendapatkan sertifikat Anugerah Cerpen Indonesia dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1992 untuk tiga cerpennya: “Keluarga Bahagia”, “Dzikir Sebutir Peluru” dan “Tak Ada Mawar di Jalan Raya”. Sedang cerpen “Pemburu” oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000. Dan cerpen “Piknik” masuk dalam Anugerah Kebudayaan 2006 Departemen Seni dan Budaya untuk kategori cerpen.
Nyaris seluruh cerita dalam “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia” adalah sekumpulan fiksimini dan berupa kumpulan cerita pendek juga. Jadi seperti kumpulan cerita pendek dalam kumpulan cerita pendek. Bisa dilihat dari cerpen berjudul ‘Empat Cerita Buat Cinta’ yang ternyata adalah kumpulan dari empat buah cerpen yang beberapa di antaranya sudah pernah saya baca di koran minggu maupun di buku antologi cerpen lain: “Pemetik Air Mata”, “Penyemai Sunyi”, “Penjahit Kesedihan”, “Pelancong Kepedihan”. Begitu pula pada cerpen berjudul ‘Cerita yang Menetes dari Pohon Natal’ yang terdiri dari tiga buah cerpen lain: “Parousia”, “Mawar di Tiang Gantungan”, “Serenade Kunang-kunang”. Hanya dua judul cerpen yang merupakan cerpen tunggal, yakni ‘Kartu Pos dari Surga’, ‘Permen’, dan ‘Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia’. Sementara cerpen sisanya yakni ’20 Keping Puzzle Cerita’, ‘Episode’, ‘Variasi bagi Kematian yang Seksi’, dan ‘Perihal Orang Miskin yang Bahagia’ adalah jelas sebuah fiksimini.
Kenapa cerpen-cerpen tersebut dikumpulkan dan diberi payung satu judul lain, tidak dipajang sebagai cerpen tunggal yang berdiri sendiri (dengan judul sendiri seperti cerpen ‘‘Kartu Pos dari Surga’, ‘Permen’, dan ‘Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia’?) Ini sepertinya dilakukan untuk menegaskan image fiksimini yang sudah melekat di benak pembaca tulisan-tulisan fiksi Agus Noor. Saya kira kalau memang ada cerpen-cerpen lain yang senada atau setema dengan ‘Kartu Pos dari Surga’, ‘Permen’, atau ‘Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia’, maka mungkin akan dikumpulkan juga seperti itu dan diberi payung sebuah judul lain.
—Fantasi dan Dongeng yang Cantik
Membaca cerpen-cerpen dalam “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia” seperti membaca sebuah dongeng atau fantasi yang surreal sekaligus cantik. Pada cerpen ‘Empat Cerita Buat Cinta’, (subcerpen?) “Pemetik Air Mata” diceritakan tentang peri-peri pemetik airmata yang memetik airmata (ya iyalah) orang-orang yang sedang menangis (ya iyaalah, lagi.. capede). Cantik di sini maksud saya adalah bagaimana cara Agus Noor merangkai ceritanya dengan kalimat-kalimat yang lembut dan sesekali seolah berkilau bak tetesan airmata hasil tampungan para peri pemetik airmata yang dijadikan ‘butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalaktit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu-lalang’.
Surreal seperti misalnya pada cerpen ‘Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia’ yang menceritakan tentang kisah cinta segitiga antara Maneka, Alina, dan Sukab. Tentang Maneka yang tiba-tiba di suatu hari mendapat kiriman sepotong bibir dari Sukab, yang sudah lama tak ada datang kabarnya. Juga Alina yang memang sering mendapat kiriman dari Sukab, berupa potongan-potongan telinga. Dan banyak lagi yang lain di cerpen yang lain.
—Kisah yang Misterius dan Penuh Teka-teki
Pada ’20 Keping Puzzle Cerita’ saya disajikan sekumpulan fiksimini yang mengisahkan tentang peristiwa kematian seseorang. Teka-teki yang sudah cukup membingungkan tersebut semakin diperparah dengan pengaburan tokoh antara ‘Aku (yang juga berperan sebagai narator cerita), Kau, dan dia (bayang-sosok tokoh lain, yang mungkin juga adalah si ‘aku’ atau si ‘kau’), yang tersajikan pada bagian terakhir dari sekumpulan fiksimini tersebut. Saya benar-benar bingung pada bagian ini.
Pada ‘Episode’ saya teringat akan sebuah cerita misteri anak-anak “Goosebumps” karya R. L. Stine. Yakni ciri khasnya yang terletak pada perpindahan plot yang dapat melompat-lompat. ‘Episode’ terdiri atas beberapa bagian Satu hingga Tiga Belas, dan pada tiap bagian si narator menawarkan pembaca untuk meloncat ke bagian-bagian lain yang tidak pada urutannya. Tapi saya mencoba membacanya dengan berurutan saja, dan ternyata efeknya begitu kentara terlihat perbedaannya kalau saya mengikuti ‘tawaran’ si narator untuk membacanya meloncat-loncat. Masih kalah dengan teknik puzzle “Goosebumps”.
Secara keseluruhan, saya merasa cocok dengan gaya narasi Agus Noor dan model fiksimininya. Cerita model fiksimini tersebut lebih nyaman dibaca sehingga walaupun idenya merupakan fantasi tingkat tinggi namun tetap enak ditelusuri. Recommended deh!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Bisa dibilang aku ketagihan cerita-cerita yang bergaya cerpen-cerpen kompas. Apa ya nama alirannya? Semacam cerita tapi rasa dongeng. Dan Agus Noor salah satu penulis yang aku percaya ceritanya bakal bagus tanpa perlu intip isinya.
Dari judulnya mengingatkan saya akan karangan Seno. Tapi judul buku ini merupakan juga judul dari salah satu cerpennya. Dan ternyata setelah saya membaca cerpen-cerpennya baru lah saya tau, cerita itu untuk seno, karena ada inisial namanya (SGA) di akhir cerita.
cerita-cerita pendek dibuku ini, sarat dengan sindiran, kesedihan dan kesunyian. Dari ke sembilan cerita pendek yang ada, saya sangat suka dengan 'kartu pos dari surga' dan 'cerita yang menetes dari pohon natal.
* Ia merasakan kelembapan udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian * kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan * permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini manis dan patut kamu nikmati * Di hadapanku telah tumbuh setangkai sunyi yang begitu cemerlang, basah dan murni. memancarkan keredupan yang menenteramkan hati. * Ia terus mengembara mencari entah apa (ataukah tak mencari apa-apa?) * Seseorang akan benar-benar menikmati pengembaraan ketika ia telah benar-benar terbebasdari bayangan pulang. * Setiap kota memang memiliki jiwa. Itulah yang membuat setiap kota tumbuh dengan keunikannya sendiri-sendiri. * Karena bila para pelancong itu menganggap kota kami adalah kota yang penu keajaiban, kenapa kami mesti menganggap apa yang terjadi di kota kami ini sebagai malapetaka atau bencana? * Bukankah mengubah kesedihan menjadi permen itu cara yang luar biasa? *Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. * Hidup memang seperti permen karet, meskipun lembut dan manis, kita harus berhenti menikmatinya sebelum terasa asam dan hambar. * Karena ia sendiri tak yakin, apakah ia memang ingin pergi ke kota. Ia hanya ingin pergi. entah ke mana. Mungkin ke tempat paling sunyi di dunia
Beruntung punya kesempatan bisa baca kumcer Agus Noor yg ini, karena menarik!! Sempat agak mengernyitkan dahi perihal kisah-kisah tentang peri, soalnya penulisnya laki-laki (ya gak papa sih. Soalnya cara nulisnya nggak cengeng). Terus ada penulisannya nggak biasa macam Episode atau 20 Keping Puzzle Cerita tapi efeknya luar biasa. Kemudian, sedikit menyadari (pas belum sampai akhir cerita) bahwa cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini adalah semacam "surat cinta" Agus Noor pada Sepotong Senja untuk Pacarku: Sebuah Komposisi Dalam 13 Bagian-nya SGA *sotoi*
Tapi paling suka dan paling-paling suka sama cerita Perihal Orang Miskin yang Bahagia, sindiran-sindirannya terasa pas sama kebobrokan mental negeri ini.
Buku ini berisi kumpulan cerita pendek karya Agus Noor. Agus Noor yang disebut sebagai salah satu cerpenis dalam khazanah sastra kontemporer Indonesia. Buku ini merupakan salah satu buku terpilih shortlist KLA tahun 2010.
Suka dengan gaya dan tema-tema yang dibawakan pada tiap cerita. Semua menarik, tapi favoritku Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, Kartu Pos dari Surga dan Perihal Orang Miskin yang Bahagia.
Indonesia adalah negeri kaya raya. Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia menjadi modal paling utama rakyat untuk mengais rizki di dalamnya. Karena begitu melimpah kekayaannya, tak salah kalau negeri Barat terpesona untuk ikut serta mengais harta di bumi Nusantara. Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang berturut-turut mengusung kekayaan Indonesia untuk menambal kekurangan mereka. Francis Goude dalam Duuchculture Oversease (2005) menyebut kaum pelancong ini telah melakukan pergundikan di “tanah surga.” Iya, Goude melihat bangsa Barat begitu terpesona dengan Indonesia karena menjanjikan surga di tanah yang teramat kaya ini.
Tetapi sungguh tragis nasib para penghuni yang menetap di tanah surga ini. Para penghuni justru menjadi “pengemis” di negerinya sendiri. Surga yang terkandung di tanah mereka selalu digadaikan kaum pelancong yang tega dengan saudara sendiri. Walau kemerdekaan telah diraih, tetapi para penghuni terus menjadi ‘pengemis’ yang bagaikan hidup di perantauan. Lebih mengenaskan lagi, mereka hidup distempel sebagai kaum miskin yang diformalkan. Mereka mempunyai “Kartu Tanda Miskin” yang dibuat negera untuk menentukan status kewargaannya. Dan negara begitu bangga membuat ribuan kartu miskin buat para penghuni tanah surga.
Kegetiran inilah yang direkam oleh Agus Noor dalam kumpulan cerpennya bertajuk “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”. Logika kehidupan semua terbalik di negeri surga ini. Kebaikan dan keadilan menjadi sesuatu yang terus disembunyikan, sementara kejahatan dna kerakusan terus dihadirkan di berbagai penjuru sosok negeri. Jurus yang selalu digunakan untuk menggadaikan martabat bangsa adalah dengan ‘sepotong bibir’. Pandai bersilat lidah untuk mengelabuhi dan membohongi rakyat demi meraih kekuasaan, harta dan jabatan yang diimpikan. ‘Sepotong lidah’ yang hadir bukan dari sembarang orang, tetapi dari kaum berdasi atau berpangkat bintang yang berderet-deret jabatan dan mobilnya.
Inilah yang sindir Agus Noor sebagai “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”. Pemilik ‘sepotong bibir’ ini begitu lincah memainkan bibir dan lidahnya tatkala tanah surga ini akan memilih memilih wakil rakyat atau pemimpin negeri. ‘Sepotong bibir’ ini menjanjikan berbagai kemudahan dan kemewahan untuk anak negeri. Mulai dari biaya kesehatan murah, sekolah gratis, pemberantasan korupsi, minimalisir kemiskinan, kemudahan lapangan kerja, meningkatkan martabat pertanian, menyantuni fakir miskin dan anak terlantar, serta menghapus berbagai tindak kekerasan. Begitu fasih ‘sepotong bibir’ mengucapkan berbagai impian tersebut. Rakyat pun tergiur dengan kefasihan yang diuraikan ‘sepotong bibir’.
‘Sepotong bibir’ kaum elite negeri surga ini telah membuat beragam kegetiran yang terus menghinggap di wajah rakyat jelata. Saking panjangnya kegetiran yang dialami para rakyat jelata, mereka menjadi orang miskin yang bahagia, yang kemiskinannya terus diwariskan kepada anak cucunya di berbagai jalan raya dan kolong jembatan. Kaum miskin yang terus disantuni itu dibuat bangga dengan formalitas tanda miskin yang dicetak negara. Kaum miskin juga terus dibicarakan dalam berbagai seminar, rapat, diskusi, penelitian, dan lainnya. Kemiskinan menjadi proposal kekuasaan yang terus dilanggengkan untuk menjadi bahan strategis melakukan kampanye pemilik ‘sepotong bibir’. Kalau kegetiran dan kemiskinan usai, bisa jadi pemilik ‘sepotong bibir’ tidak memiliki lagi bahan pembicaraan untuk menggoda kaum miskin yang sedang bahagia.
Dalam cerpen berjudul “empat cerita buat cinta”, Agus Noor secara gamblang mengisahkan kegetiran dalam sebuah cinta di negeri surga. Kisah awal mengukirkan para pemetik air mata yang bangga dengan keuletan mereka membuat kaum bawah mandi dengan air matanya. Setiap waktu, kaum miskin hanya bisa menangisi kegetiran yang terus menerpa tanpa henti ini. Pergantian pemimpin dan kebijakan tidak pernah membuat kaum miskin untuk tertawa atau sekedar berbagai tawa dengan sesama. Sekelilingnya kaum miskin selalu hadir kegetiran yang tak pernah terputus. Pemilik ‘sepotong bibir’ tak henti-henti membuat kegetiran menjadi tangis air mata.
Setelah sukses meneteskan air mata kegetiran, pemilik ‘sepotong bibir’ melanjutkan keculasannya dengan menjahit kesedihan. Berkali-kali janji dilayangkan untuk mengurangi kesedihan, tetapi ‘sepotong bibir’ justru membuat kesedihan semakin menyedihkan, yakni dengan menjahitnya secara paksa tanpa sedikitpun rasa persaudaraan. Kesedihan yang terus berlanjut semakin ditumpuk-tumpuk, agar kaum miskin ‘memakan’ kesedihannya tanpa henti. Kemudian dilanjutkan dengan melancong kepedihan, agar kesedihan terus meninggap mencapai kesuksesan.
Sebelum sukses membuat kepedihan, ‘sepotong bibir’ akan melanjutkan kesunyian agar terus menerpa. Setiap kali mendapatkan bahagia, maka ‘sepotong bibir’ akan menghadirkan kesunyian baru untuk menutup kebahagian tersebut. Lihatlah kaum petani desa yang terus terlantar tatkala memanen hasil padinya, karena harga gabah selalu turun tatkala musim panen tiba. Padahal biaya obat, pupur, dan semacamnya begitu mahal. Datangnya kebahagian selalu disambut dengan kegetiran yang begitu dahsyat, sehingga kaum miskin hanya terus meneteskan air sebagai simbol perlawanan atas ‘sepotong bibir’ yang hanya berjanji dan berjanji semata.
Walaupun tercecer dalam berbagai cerpen, tetapi pilihan cerpen yang terkumpul ini membuktikan keseriusan Agus Noor dalam mengkritik kebijakan negara yang tak pernah bersahabat dan ramah terhadap kaum miskin. Karya ini unik dan autentik dalam mengisahkan kegetiran dalam kecamuk kehidupan.
semenjak baca Perihal Orang Miskin yang Bahagia di sebuah blog pengarsip cerpen-cerpen koran, saya jadi ketagihan membaca tulisan Agus Noor. gaya berkisah yang sederhana dan mengalir menjadikan cerpen-cerpennya enak dibaca dalam sekali duduk.
di buku ini, ada dua judul yang ternyata berisi beberapa judul cerita lagi. seperti Empat Cerita Buat Cinta yang di dalamnya terdapat 4 cerpen tentang kesedihan, salah satunya Pemetik Air Mata yang seperti sebuah kelanjutan dari cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira; dan Cerita yang Menetes dari Pohon Natal yang memuat 3 cerpen bernuansa Natal, salah satunya jadi favorit saya, Mawar di Tiang Gantungan. cerpen 20 Keping Puzzle Cerita dan Perihal Orang Miskin yang Bahagia disajikan layaknya fiksi-mini.
membaca cerpen-cerpen dalam buku ini seperti mendengarkan dongeng dari antah-berantah yang menggugah imajinasi saya. dalam Pemetik Air Mata, terdapat dongeng tentang para peri yang bertugas memetik air mata dan menyimpannya dalam gua. di cerpen selanjutnya yang berjudul Permen, para peri dikisahkan memetik buah permen yang lantas menjadi bantal mereka, sebelum dicuri oleh para penyihir dan dijajakan kepada anak-anak. fantasi yang lain tersaji dalam Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, ketika Sukab si pengembara mengirim sepotong bibir kepada dua wanita yang mencintainya.
keseruan tak berhenti di situ. di lain cerpen, Agus Noor menawarkan teka-teki yang cukup membikin saya berkerut dahi. 20 Keping Puzzle Cerita, Episode, dan Variasi Kematian yang Seksi adalah di antaranya. selain itu, satu hal yang saya soroti sejak awal membaca adalah tema keluarga-tidak-bahagia yang hampir selalu saya temui di setiap cerpen.
secara keseluruhan, cerpen favorit saya di antaranya adalah Kartu Pos dari Surga, Mawar di Tiang Gantungan, dan Perihal Orang Miskin yang bahagia—meskipun saya sudah baca cerpen ini tiga kali, tapi kesatirannya selalu bikin saya ketawa lagi. ah, suka sekali!
Well, udah lama tau buku ini, tapi gak tergerak utk baca. Sampe akhirnya gw dapet waktu terpilih sebagai penanya terbaik di event bedah buku DHD-nya Trinity.
Gw mulai dari cerpen yang jadi judul bukunya. Dan... (pabila esok), kaget. Ada Sukab. Ada Alina. Wah wah wah.. gw yg lumayan akrab sama kedua orang itu, jadi makin tertarik. Dan endingnya kocak. Sindiran yg kena.
Ini juga tentang Alina, Maneka, Sukab, Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma. Dan ini juga tentang Kepedihan, Kesunyian, Kematian, Kemiskinan, dan barangkali masih terselip Cinta di sudut sunyi di pojok sana.
Surealis, magis, realisme-magis, apa pun namanya. Bahasanya canggih, keren, indah. Gaya berceritanya mirip Seno Gumira Ajidarma.
Sesungguhnya ini ripiu seadanya, barangkali sementara, sebelum waktu memberi kesempatan yang lebih leluasa.
Baca lewat Bookmate, entah kenapa ada beberapa cerpen yang kepotong bagian akhirnya -_- padahal cerpen-cerpen di dalam buku ini bagus-bagus. Terdiri dari 9 judul yang beberapa di antaranya terbagi menjadi sub-judul lagi. Cerpen favorit saya: - Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (tentu saja!) - Permen - 20 Keping Puzzle Cerita -Variasi Kematian yang seksi, dan - Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Ya, biarkan aku memangkas embun-embun kenangan dan memasukkannya ke dalam tungku penderitaan. Biarkan itu mengental sebentar menjadi adonan patah hati. Lalu, masukkan bumbu air mata kesengsaraan dari kekasih-kekasih yang sedih akan perginya senja yang mendadak. Sajikan selagi hangat untuk menghadapi kematian tiba-tiba orang terdekat tokoh dalam cerita sebagai alat serbaguna memeras kesedihan para pembaca.
Saya ingat menyukai kiasan-kiasan seperti itu saat masih zamannya pubertas. Namun, sekarang ini, entah mengapa begitu membenci bahasa "nyastra" seperti yang telah disebutkan. Apalagi kata-kata itu diulang terus menerus layaknya semakin banyak maka semakin "nyastra" pula kisah yang ditulis. Sebaliknya, kisah yang ditulis dalam buku ini menjadi semakin "pretentious" dan "banal" saja.
"Highlight" yang saya dapat hanyalah referensi SGA dan penulis yang mencoba meniru style SGA. Hanya saja itu pun cukup mengganggu karena author juga gagal menyajikan aspek serta tiruan SGA yang baik.
Mungkin memang salah saya saja yang membaca buku ini terlalu telat.
This entire review has been hidden because of spoilers.
♡ Saya tak sering membaca sastra kontemporer, bagi saya membaca genre ini membutuhkan waktu berkualitas, konsentrasi, dan hanya seorang diri. Saya hanya tak ingin berbagi ketika menikmati.
♡ Terdapat sembilan judul yang rasanya kental dalam benak saya bahkan ketika usai terbaca. Cerita-cerita tersebut melekat, seperti manis lengket dalam cerpen Permen. Getir dalam Kartu Pos dari Surga. Terasa seperti logam dalam darah ketika membayangkan sepotong bibir dengan darah segar yang masih menempel dalam Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia yang semacam spin off Sepotong Senja untuk Pacarku milik SGA.
♡ Dan ya cintaku, telah kubaca cerita-ceritamu dengan hati sendu.
Kenapa akhirnya memutuskan baca buku ini? Karena aku butuh asupan fiksi yang ringan-ringan buat memperkaya diksiku. Setelah sekian lama nggak nulis, tulisanku super mengerikan susunan kalimat & pemilihan katanya. Meskipun entah kenapa aku udah nggak begitu menikmati lagi buku-buku fiksi. Terbukti dengan kecepatan bacaku yang mirip siput & susah banget nyelesaiin meski hanya 1 buku.
Tulisan Agus Noor masih tetap indah ya, masih masuk dalam deretan penulis favoritku meskipun preferensi genre bacaanku udah bergeser dan berubah.
Suatu hari nanti kalau aku kangen, aku bakalan baca lagi karya-karya ybs tapi buat 2019 ini atau bahkan 2020 mungkin jumlah buku-buku sastra yang aku baca jumlahnya akan berkurang drastis.
Dalam rangka mengurangi timbunan, maka rasanya yang paling gampang adalah menyelesaikan buku-buku kumcer, salah satunya adalah buku ini.
Satu-satunya cerita yang paling bisa saya nikmati hanyalah Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, yang lainnya terasa sedih akan kemiskinan, kesepian, kesunyian, air mata. Sungguh ditulis dengan baik hingga terasa sekali segala kesedihan, kesunyian dan air mata di dalamnya.
4.5/5🌟 Berisi beberapa kumpulan cerpen. Nyesel banget baru tau cerpen² Agus Noor. Tiap cerpen mempunyai kesan tersendiri buatku. Aku paling suka cerpen berjudul “Penyemai Kesedihan”. Bagiku, membaca tiap kisah memiliki efek magis tersendiri. Mungkin karena pembawaan cerita beliau yang unik dan autentik. Definitely gonna read another books.😙
Buat saya, tidak mudah memahami banyak cerpen. Begitu pula cerpen-cerpen dalam buku ini. Namun cerita-cerita yang aneh, absurd dan tak saya pahami ini, saya nikmati
gaya penulisan di cerpen sepotong bibir paling indah di dunia mirip penulisannya seno gumira ajidarma, tapi ini versi lebih mudah dimengerti (in my opinion).
Puitisnya itu sampai ke tahap kau membayangkan dengan metafora yang melompat-lompat di atas awan. Indahnya itu sebagaimana kau dapat melihat kepul-kepul awan berselerak dibelai angin. Naskhah ini hebat ya Tuhan.
Cerpen pertama yang dibaca adalah judul cerpen terakhir. Sekilas, isi buku ini SGA Banget. Nuansanya begitu kental. Namun, setiap penulis punya ceritanya masing-masing dan justru disitulah letak keunikan dari Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Perjumpaan saya dengan karya Agus Noor dimulai dengan kumpulan cerpen Potongan Cerita di Kartu Pos. Secara tak sengaja, saya dibuat penasaran dengan judulnya Pengalaman pertama saya itu dilatarbelakangi oleh suatu rasa penasaran. Kenapa seorang Agus Noor menjadi begitu penting hingga Alina merasa harus menulis surat untuknya dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku milik Seno Gumira Ajidarma (SGA).
Dalam karyanya yang kesekian ini, Agus Noor mengeksplorasi cerita hingga membuat setiap kisah yang ditulisnya menjadi penuh pukau. Cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik dan religiositas, terasa subtil dalam bahasanya yang puitis dan sering kali mengejutkan.
Bila diperhatikan sepintas, gaya menulis yang dimiliki Agus Noor sedikit banyak dipengaruhi oleh SGA. Pun ketika saya menemukan bahwa ada beberapa potongan cerita dari karya SGA yang disisipkan ke dalam cerita gubahan Agus Noor. Sebagai orang awam, saya melihat bahwa hal itu sah-sah saja dan bukan merupakan suatu plagiatisme. Karena Agus Noor justru mampu menciptakan suatu imaji karya yang baru dengan menyisipkan "bumbu" milik penulis lain.
Barangkali, kalau ada yang tidak berkenan dengan hal seperti ini adalah pembaca yang baru mengenal karya-karya Agus Noor dan bukan pembaca karya SGA. Sehingga memungkinkan adanya missing link dalam pemaknaan konteks cerita yang diadaptasi Agus Noor dari SGA.
Sebagai pembaca SGA, saya tentu hanya bisa "nyengir" melihat hal seperti ini. Agus Noor telah membantu saya untuk recurrent cerita-cerita SGA yang telah saya baca. Saya menganggap bahwa Agus Noor telah mampu membawa suatu pemaknaan baru terhadap karyanya sendiri walau dengan menyertakan potongan cerita-cerita dari SGA. Utamanya dengan bumbu cerita khas metropolitan: cinta dan perselingkuhan, yang lebih kuat.
Tentu ini sangat baik sebagai tanda hidupnya imajinasi dari seorang penulis yang berujung pada munculnya karya baru yang lebih segar dengan pencitraan imaji yang semakin kreatif dan imajinatif.
Saya harus bersetuju dengan komen kebanyakan pembaca bahawa karya Agus Noor adalah unik dan Autentik. Sejujurnya kisah beliau sangat luarbiasa imaginasinya namun membawa maksud tersirat yang terkadang membuat pembaca terbuai dengan dunia ciptaan penulis. Sukar untuk saya nyatakan di sini. Ianya memang sastera indah. Seolah kisah sayu, malah ngeri juga terpahat indah hasil tulisan Agus Noor. Saya secara rasmi menjadi peminat beliau.
Berdasarkan tajuknya sahaja saya sudah terpikat. Malah kulit buku beliau sangat memikat bukan? Saya berikan 5 bintang untuk ini.
Empat Cerita Buat Cinta
Salah satu cerpen yang menarik minat saya adalah Empat Cerita Buat Cinta. Di dalamnya terdapat 4 kisah yang digabungkan iaitu Kisah tentang Pemetik Air Mata, Penyemai sunyi, Penjahit Kesedihan dan Pelancong Kepedihan. Kesemua kisah ini mewakili tema tentang jiwa yang lara dan sisi hitam manusia. Kamu harus bersetuju bahawa Agus Noor adalah penulis kisah yang terdengar sedih dengan lakaran cerita yang sangat indah! Kisah tentang Pemetik Air Mata suatu kisah yang tercampur imaginasi dan realiti. Ternyata manusia sering tewas dengan realiti.
Antara keempat kisah ini, saya terpaut hati pada kisah "Penyemai Sunyi". Percayalah cakap saya bahawa anda sendiri akan terikut merasai kesunyian watak si penyemai sunyi. Ya, seolah itulah pertama kali anda merasakan perasaan sunyi. Terutama rangkap terakhir kisah ini: " Setiap pagi aku selalu menyaksikan setangkai sunyi itu berbunga. Dan setiap kali aku merasakan keperihan kesepian".
Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Cerpen ini juga antara cerpen yang menarik. Pada awalnya saya merasakan kepedihan jiwa seorang penunggu cinta. Namun akhirnya kisah ini adalah karya berbaur politik yang seolah memerli tuan Presiden. Jika kamu mahu tahu keseluruhannya bacalah kisah ini sendiri ya!
Keseluruhan
Buku ini saya berikan lima bintang. Segalanya luar biasa bagi saya!
“Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan, di mana, dan bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri.” (Variasi Bagi Kematian yang Seksi)
Begitulah cara Agus Noor bercerita; sederhana tapi dalam maknanya. Melalui sudut pandang yang unik di tiap cerpennya, ia berhasil menghadirkan pentingnya hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, yang sering dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Menarik menemui tiap cerpen yang memiliki gaya dan plot yang berbeda. Pembaca akan disuguhi hal-hal yang menyenangkan, khayalan tanpa batas, bahkan humor-humor yang ironis. Seperti pada 'Perihal Orang Miskin yang Bahagia' yang mengajak pembaca untuk merenungi kembali hidup ini, sekaligus menyentil keadaan masyarakat dan pemerintahan negara melalui kegetiran hidup tokohnya.
Gambaran khayalan dalam beberapa cerpen fiksinya menurut saya belum dapat menghadirkan suasana yang 'nyata'. Terlalu muluk dengan detail latar tapi kurang mengena.
Kemudian, teknik penceritaan yang paling menonjol dimenangkan oleh '20 Keping Puzzle' dan 'Episode' karena tidak mudah memahaminya hanya dalam sekali baca.
Namun, ada sedikit kecewa ketika bertemu Sukab dan Alina yang "sudah terkenal" dalam 'Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia', yang memang merupakan pengembangan dari 'Sepotong Senja Untuk Pacarku' milik Seno Gumira.
Tambahan; misal cetak ulang, saya rasa perlu dipertimbangkan cover barunya, yang ini (maaf) kurang nendang, kalau penulisnya nggak sekondang Agus Noor, cover yang begini nggak akan dilirik sama orang berprinsip judge the book by it's cover, seperti saya.
Jadi begini review tentang buku ini yang saya berharap semoga bisa singkat karena sejujurnya saya lambat sekali membaca buku ini. Setelah saya pikirkan baik-baik saya berkesimpulan bahwa saya belum bisa menebak atau bahkan memutuskan gaya cerita Agus Noor yang bisa saya nikmati. Dalam beberapa penggal paragraf yang ada dalam salah satu cerpen di buku ini saya kadang menemukan satu-dua kalimat yang menunjukkan betapa Agus Noor benar-benar piawai dalam merangkai kata dan menyampaikan maksud cerita dengan berbagai cara. Dalam hal ini saya setuju dan bahkan saya kagumi, satu hal yang mengganggu saya mungkin di beberapa cerpen yang diberikan penanda nomor untuk berpindah scene, adegan dan lain sebagainya dalam buku ini. Tetapi kali ini saya berusaha menerima apa adanya sebuah karya cerpen yang diotak-atik oleh beliau dalam rangka kreativitas karya dan bisa jadi memunculkan sesuatu yang baru dan saya menyalahkan diri saya yang terlalu datang dengan ekspektasi yang sederhana: ingin senang dan tergerak untuk menulis cerpen lagi. Harapan saya bahwa cerpen seharusnya tidak lebih dari sepuluh halaman dan kesan yang saya inginkan sebagaimana dulu saya membaca banyak sekali jenis cerpen perlahan menghilang atau mungkin saya yang beranjak kaku dan kurang bisa berimajinasi? ah saya malah curhat. Lupakan. Baca saja lebih dulu.
buku ini sangat absurd -aku kurang paham apa istilah ini benar, dan absurditas ini mungkin memang khas penulisnya- yang ketika selesai membacanya cukup untuk membuatmu ketagihan mencari keabsurdan yang lain. mengapa demikian? karena setiap kali kau menuntaskan satu hal yang absurd yang diceritakan, seketika kau akan mampu merefleksikannya dengan kisahmu sendiri, tanpa batasan, tanpa keraguan bahkan saat tertentu kau akan menduga jangan-jangan si agus noor sedang menguntitimu dari belakang. menjadi jelas bukan?
bagi yang bosan dengan novel populer indonesia kebanyakan, karya-karya agus noor sangat pantas menjadi alternatifnya.
Sedikit rumit untuk memahami jalan cerita dari beberapa cerpen yang ditulis dalam buku ini. Barangkali penulis sengaja memberikan "kejutan-kejutan" di buku ini. Variasi Kematian yang Seksi adalah yang paling sulit dimengerti. Mungkin saja karena saya masih awam dengan gaya bahasa dan perubahan sudut pandang yang teramat cepat seperti ini.
Perihal Orang Miskin yang Bahagia merupakan penutup yang sempurna, setelah sebelumnya pembaca disuguhkan dua cerpen kesedihan di bagian awal. Cerpen ini merupakan favorit saya.