Jump to ratings and reviews
Rate this book

Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an

Rate this book
Pada awal berdirinya Orde Baru, musuh besar penguasa ternyata bukan hanya komunisme, melainkan... rambut gondrong!

Persoalan yang sepertinya sepele ini ternyata menyita perhatian khusus penguasa. Petinggi militer mengeluarkan radiogram pelarangan rambut gondrong, bahkan Pangkopkamtib bicara mengenainya di TVRI. Instansi publik menolak melayani orang-orang berambut gondrong. Pelajar, mahasiswa, artis, dan pesepak bola dilarang gondrong. Razia dan denda digelar di jalan-jalan, melibatkan anggota pasukan teritorial bersenjatakan gunting, bahkan pernah dibentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong).

Pertanyaannya adalah: mengapa? Mengapa Orde Baru begitu cemas akan rambut gondrong?

Dengan apik sejarawan muda Aria Wiratma menelusuri kembali episode menggelikan sekaligus mengenaskan dalam sejarah Indonesia ini, awal dari sikap paranoid rezim yang selalu melihat rakyatnya sendiri sebagai ancaman.


"Kisah memikat tentang munculnya anak muda sebagai kategori politik dan budaya di masa Orde Baru. Mengambil tema gaya hidup yang sepenuhnya diabaikan dalam studi sejarah konvensional di Indonesia, studi yang orisinal ini sanggup mengupas kontradiksi dalam "politik anti-politik" Orde Baru. Terobosan penting dalam studi sejarah sosial."
— Hilmar Farid, Institut Sejarah Sosial Indonesia

"Pelarangan rambut gondrong tahun 60-an dan 70-an bukan hanya soal perbedaan persepsi tua versus muda, militer versus sipil, laki-laki versus perempuan, tetapi menyangkut pula masalah praktik kekuasaan dan simbol perlawanan terhadap kekuasaan tersebut. Mengapa penjahat yang ditangkap aparat keamanan kepalanya digunduli ? Apakah ada anasir subversi bersembunyi di bawah rambut itu? Pada era ’70-an biasanya perampok diberitakan berambut gondrong, tetapi sebaliknya era ’90-an penculik para aktivis dikabarkan berambut cepak. Buku ini mengawali diskusi tentang kuasa terhadap tubuh pria. Wacana yang patut didorong."
— Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI

184 pages, Paperback

First published January 1, 2010

49 people are currently reading
549 people want to read

About the author

Aria Wiratma Yudhistira

2 books4 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
111 (37%)
4 stars
124 (42%)
3 stars
38 (12%)
2 stars
13 (4%)
1 star
9 (3%)
Displaying 1 - 30 of 47 reviews
Profile Image for ana.
244 reviews41 followers
July 22, 2010
kata kata "Love at the first sight" saya alami pada buku ini. bagaimana tidak? kombinasi warna dan komposisi covernya begitu sempurna! (subjektif) ditambah lagi judul yang provokatif dan tidak biasa.

Yang membuat saya lebih tertarik tentu saja subjek yang ditulis disini: masa Orba dan pergolakan di dalamnya. jujur saja, walaupun saya (cukup) suka sejarah namun sangat lah sulit untuk mengingat hal2 yang pernah saya baca. (jangankan pelajaran, nama orang pun rasanya suliiit) tapi dalam buku ini semuanya ditulis begitu menarik dengan gaya bahasa yang enak dibaca dengan bonus sumber2 yang lengkap dan relevan membuat saya tak terbebani ketika mengingat isi buku ini. mungkin karena awalnya tulisan ini adalah untuk skripsi, urutan penulisannya begitu runut dan sistematis.

jangan salahkan saya bila saya memberi bintang lima karena bintang toedjoe sudah menjadi nama obat sakit kepala.
Profile Image for gieb.
222 reviews77 followers
July 26, 2010
Mendung kelabu memeluk Bandung hari itu. Pada 6 Oktober 1970, Rene Louis Conrad, mahasiswa elektro ITB, tewas tertembus timah panas akibat sebuah peristiwa yang seharusnya menyenangkan dan menyehatkan: sepakbola.

Yang membuat menyedihkan, Rene Louis Conrad sebetulnya sama sekali tidak terlibat dalam pertandingan sepakbola itu, ataupun menyaksikannya. Ia hanya kebetulan berkeliling kampus dengan sepeda motor Harley Davidson-nya sambil pamer. Kebetulan ketika terjadi keributan, Rene lewat di depan kampus, dan ia ditembak hingga tewas. Mayatnya dibuang ke atas kendaraan polisi begitu saja, lalu ditaruh di gudang. Menurut sebagian pihak, andaikan Rene segera dibawa ke dokter, kemungkinan ia tidak harus mati.

Kisah Rene ini menjadi titik klimaks akibat sebuah larangan yang menggelikan: rambut gondrong. Ya. Menjelang tragedi penembakan Rene, pihak kepolisian Bandung melakukan razia besar-besaran terhadap mahasiswa yang berambut gondrong. Banyak mahasiswa dan pemuda yang ditangkapi di jalan-jalan, lalu digunduli. Hal ini menimbulkan ketegangan antara mahasiswa dan polisi.

Untuk meredakan kondisi itu, diadakanlah pertandingan sepakbola antara pihak AKABRI Kepolisian dengan mahasiswa ITB. Namun kesempatan ini digunakan oleh sebagian mahasiswa untuk melampiaskan rasa kesalnya terhadap polisi. Sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi lain, seperti Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan pun datang menyaksikan pertandingan itu. Sebagian lagi membawa gunting dan mengejek-ejek pihak polisi, meminta supaya digunduli. Hal ini membangkitkan keberangan di pihak taruna kepolisian, sebagian malah mengeluarkan pistol. Terjadilah perkelahian massal itu. Dan akhirnya, Rene yang sedang asik mengendarai Harley-nya menjadi korban.

Atas nama peristiwa kelabu di atas, saya kira, buku ini berhasil menampilkan sebuah kajian sejarah dilihat dari sesuatu yang tidak serius. Coba bayangkan bagaimana sebuah stabilitas negara bisa terganggu hanya karena rambut gondrong. Saya jadi ingat, di tahun 80-an, yang menjadi musuh penguasa tidak lagi orang yang berambut gondrong, tetapi orang yang bertatto. Tahun-tahun itu, negeri ini sedang geger besar. Mayat-mayat ditemukan di sembarang tempat. Dengan lubang peluru yang memenuhi tubuh yang penuh tatto. Kita ingat peristiwa 'petrus', yang berasal dari dua kata “penembak” dan “misterius”. Disinyalir, pembunuhan itu merupakan pembunuhan sistematis oleh negara terhadap preman atau yang di tuduh preman.

Hal yang menarik adalah hampir semua korban memiliki tatto. Karena berita koran sangat deskriptif, masyarakat lantas mengidentifikasi kalau gali identik dengan orang bertatto. Kadar ini semakin meningkat, bahkan sampai pada titik memiliki tato = gali. Nah, karena saking takutnya, orang-orang yang memiliki tatto dengan alasan untuk gaya-gaya-an saja, akhirnya berbondong-bondong datang ke kantor polisi untuk minta perlindungan.

Berita baiknya, saat kekuasaan merumuskan bahwa rambut gondrong identik dengan radikalisme dan sikap acuh tak acuh, ada perlawanan dari mahasiswa. Konon, peristiwa Malari tahun 1974 itu juga berawal dari rambut gondrong. Jadi tak sempat ada opini publik yang mengidentikkan kekacauan dengan rambut gondrong. Meski memang, sampai sekarang, rambut gondrong tetap menjadi 'anak tiri' dari gaya seorang lelaki. Karena merunut pada pengalaman saya sendiri sebagai seorang mantan berambut gondrong, kesan pertama orang tua pacar saya dulu, yang memandang sebelah mata begitu tahu ternyata pacar anaknya adalah seorang yang berambut gondrong. Dosen pembimbing skripsi saya yang sulit ditemui karena saya berambut gondrong. Tetapi ada beberapa keuntungan, gondrong sering disangka angker atau korak dalam bahasa Jawa Timuran, sehingga selalu aman di jalan.

Dus, beberapa peristiwa di atas, semakin menegaskan, bahwa kekuasaan cenderung memaksakan kehendaknya, tidak hanya memakai sarana publik tetapi juga kepada hal yang paling privat yang dimiliki manusia. Rambut, tatto, bahkan kelamin. Dan tentu, kehadiran buku ini menjadi penting untuk menandai sebuah sejarah peradaban, yang ternyata tidak hanya terbuat dari hal-hal yang besar, tetapi juga hal-hal kecil. Sampai hari ini.



Profile Image for Evan Kanigara.
66 reviews20 followers
January 1, 2020
“Dilarang Gondrong!” karya Aria Wiratma Yudhistira merupakan buku penutup tahun yang sangat berkesan buat saya. Karya ini mencoba menguraikan fenomena pelarangan rambut gondrong yang terjadi di tahun 1970an. Wiratma melakukannya dengan menelusuri berita-berita di surat kabar lalu menginterpretasikannya sesuai dengan konteks yang ada. Menurut Wiratma di pendahuluan, “karya ini ingin mengetahui ‘bagaimana kekuasaan dipraktikan’.”

Bagian menarik dari buku ini terletak pada interpretasi kondisi sosial-politiknya. Ada dua yang begitu membekas di pikiran saya. Pertama, mengenai bagaimana orde baru menghegemoni pemaknaan dan pemahaman terhadap apapun. Bahkan “untuk urusan yang, mestinya, tidak dihubungkan dengan masalah kenegaraan dan adat kesopanan.” Kedua, mengenai hubungan generasi tua dan muda melalui perang wacana.

Buku ini dibuka dengan pembahasan “sejarah orde baru beserta karakter budaya politiknya”. Ternyata, peraturan pelarangan rambut gondrong ini merupakan fragmen kecil dari proyek depolitisasi besar-besaran yang hendak dilaksanakan oleh orba. Poinnya adalah menghancurkan pengaruh “orde lama” dan menghapuskan peninggalan Soekarno. Mengganti “politik sebagai panglima” menjadi “ekonomi menjadi panglima”. Mengganti hiruk pikuk eksperimen demokrasi liberal & terpimpin ala Soekarno, menjadi stabilitas dan pembangunan teknokratis ala orba. Menjauhkan masyarakat dari kegiatan politik kepartaian. Memperkenalkan konsep massa mengambang. Efeknya, masyarakat hanya boleh menyalurkan aspirasi politiknya selama lima tahun sekali. Padahal “Soekarno menganggap pembangunan di bidang politik lebih penting daripada pembangunan di bidang lainnya dan malah mengaharapkan masyarakatnya berpolitik.”

Membangun kembali ekonomi pasca inflasi besar-besaran di tahun 1960an memang penting. Namun, memberangus segala infrastruktur politik yang sudah dibangun Soekarno merupakan hal yang begitu merugikan. Efeknya terasa sampai sekarang. Partisipasi politik direduksi besaran menjadi hanya sekadar pemilu elektoral. Keengganan masyarakat untuk membicarakan hal-hal yang “berbau politik”. Partai politik yang tidak melakukan pendidikan politik. Partai politik tanpa ideologi yang konsisiten. Banyak. Semakin dipikirkan semakin membuat lesu. Orba mungkin sudah tiada. Namun gemanya masih begitu terasa sampai sekarang.

Mengenai hubungan generasi tua dan muda, saya hanya tertegun bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan pengulangan dari yang dulu-dulu. Ada beberapa contoh. Messiah complex generasi tua yang ingin menyelamatkan ‘akhlak’ generasi mudanya, narasi generasi muda harapan bangsa (yang ironisnya digunakan baru di orde baru untuk memuluskan pembangunan), kekhawatiran generasi tua terhadap generasi muda yang dipengaruhi budaya asing, dll. Saya melihat banyak sekali sentimen generasi tua saat ini yang senada dengan generasi tua tahun 70-80an. Jadi teringat kata Pram, “sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua jadi beban.” Entah kenapa, meski saya sudah menduga hal itu, tetap saja, kok rasanya kaget juga (dan tentu takut karena kita semua pada akhirnya akan menjadi tua juga).
Profile Image for miaaa.
482 reviews420 followers
April 4, 2019
Just like people burns books since the early civilisations, government and institutions can make something like long-haired men a national threat. Sounds silly but this is a serious case, and the author tried to figure it out. We're very fortunate he shared his researches with us.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews45 followers
August 19, 2021
Ternyata perihal rambut gondrong ini cukup serius pada masanya (dan bisa dijadikan bahan riset yang serius juga).

Buku ini, yang merupakan skripsi penulis, memberikan padangan menarik tentang pelarangan rambut gondrong di tahun 70an yang ternyata ketat sekali. Banyak razia, bahkan sampai kematian alumni kampus saya karena semakin panasnya hal ini (yang bukan sekadar tentang rambut sih memang). Orde Baru, yang merumuskan Indonesia menjadi sebuah keluarga besar dengan Soeharto sebagai Bapak tertinggi, berusaha mengatur segalanya, termasuk anak mudanya. Yang sebetulnya, sebuah upaya untuk mengatur anaknya sendiri. Begitu hasil kajian penulis. Stigma berambut gondrong pun mulai digencarkan di berbagai media, sampai razia oleh yang berwenang. Lalu wacana-wacana dilempar dan membuat masyarakat membicarakan terus menerus dan cek cok sendiri, sampai lupa akar dan kepentingan masalah utamanya. Terasa akrab?

Buku ini juga mengingatkan, pemerintah/para politikus negeri ini sedari dulu, alih alih memikirkan hal-hal yang betul-betul penting dan mendesak, malah gemar mengurusi hal-hal remeh temeh yang tidak seharusnya diurusi macam selera potongan rambut. Yang kalau dirunut ya kembali lagi pada ketakutan akan 'terganggunya' kekuasaan mereka sendiri.

Ah, negeri ini masih muda sekali. Begini lagi begitu lagi melulu.

Sebagai anak kelahiran 90an yang belajar di sekolah negeri dan dibesarkan oleh Bapak PNS, masalah rambut gondrong ini sangat akrab. Sampai sekarang bahkan kegondrongan rambut masih dikomentarin. Ya, saya nggak ganteng-ganteng amat dan cenderung berantakan sih memang kalau rambut berantakan. Cuma ya kadang kesal saja rambut terus diperhatiin. Jadi ingin ajak Bapak mengobrol tentang gondrong ini. Apakah masih imbas Orde Baru?

Buku ini tipe non-fiksi yang saya suka. Dimulai dari membicarakan hal ringan, tapi kemudian bikin sedikit berpikir. Hehe.
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
December 31, 2020
Di novel-novel distopia, kita membaca kisah manusia zaman depan yang kehidupannya dibatasi dalam satu atau dua hal, misalnya saja dilarang jatuh cinta, dilarang tidak berfaksi, dilarang pindah distrik, sampai dilarang membantah penguasa yang memiliki kekuatan super. Negeri kita di era 1966 - 1974 juga pernah melakukan pelarangan semacam ini loh. Tidak kalah keren dari negeri-negeri distopia, Indonesia pernah melarang warganya untuk berambut gondrong. Luar biasa.

Tentu ada alasan di balik pelarangan ini. Jika di novel orang dilarang pindah atau tidak berfaksi supaya mencegah kekacauan, maka di tahun 1970an, pelarangan berambut gondrong dilatar belakangi oleh kekhawatiran dari generasi tua (yang menjadi pihak penguasa) terhadap budaya barat hippies yang dianggap mulai meracuni generasi muda sebagai penerus bangsa. Kebetulan, di US dan Eropa saat itu memang tengah merebak Revolusi Bunga yang slogannya make love not war dan begitu menjunjung tinggi kebebasan individual sebagai respon pada banyaknya tuntutan dari generasi baby boomer di atasnya. Salah satu ciri kaum hippies yang suka mabuk, mandat, dan main wanita ini adalah berambut gondrong.

Ciri inilah yang menjadi keprihatinan pihak penguasa akan menimpa generasi mudanya. Meskipun lewat penelitian penulis buku ini, alasannya adalah keluarga dari para penguasa saat itu tidak ingin anak keturunannya (yg diharapkan akan mewarisi kekuasaan orang tuanya) tersesat dalam.budaya kaum hippies ini. Kebijakan pribadi ini kemudian diterapkan ke seluruh penjuru negeri dan berlaku untuk semua rakyat. Tidak boleh ada laki laki yang gondrong, tua ataupun muda, PNS atau swasta. Razia pun digencarkan. Bukan hanya razia SIM dan stnk, tapi juga razia RAMBUT GONDRONG. Parahnya lagi, ada kebijakan mereka yang berambut gondrong tidak akan dilayani saat mengurus surat surat di kantor pemerintahan.

Kedengarannya lucu dan sepele banget, tetapi saya termasuk yang kaget karena kebijakan seperti ini pernah dan benar benar terjadi di Indonesia. Dan penulis buku menggambarkannya dengan begitu kaya data lewat buku sejarah yang tidak membosankan ini. Ada begitu banyak catatan kaki dan juga kutipan dari era zadoel yang asyik disimak. Sebagai pembaca dari generasi setelahnya, kita dapat berkaca lewat buku ini bahwa sejarah kadang lebih aneh ketimbang fiksi dan dengan membaca sejarah kita belajar untuk bercermin tentang diri dan kemanusiaan kita.

Buku luar biasa untuk menutup rangkaian membaca di tahun 2020.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
June 9, 2018
Foucault pernah berujar bahwa wacana sangat berhubungan erat dengan kekuasaan, dan melalui buku ini, penulisnya mencoba untuk menguji tesis tersebut. Dan benar, dalam buku ini, pertautan antara wacana yang dipertarungkan antara dua kelas sosial yang saling bertentangan menjadi kian terang relevansi nya dengan praktik kekuasaan. Intinya, wacana adalah panglima.

Selain itu, yang menarik dari buku ini adalah, kegemaran mengurusi hal-hal remeh-temeh yang memang sudah menjadi tabiat para pembesar negeri ini. Sekarang, para pembesar sibuk bervakansi kesana-kemari, sekaligus abai pada persoalan yang lebih urgen seperti korupsi, pelanggaran ham dan intoleransi.

Serta, buku ini juga menunjukkan bagaimana para pembesar membentuk para "adik-adik terbayangkan" nya hanya berdasarkan selera, bukan melalui interpretasi masa lampau. Yang justru melahirkan salah didik pada generasi muda, yang sifat utamanya yaitu mencurigai para "kakak-kakaknya"
Profile Image for Rafli Ramadhan.
14 reviews3 followers
May 29, 2023
Kecemasan Bapak (pemerintah) terhadap anak-anaknya yang berambut gondrong karena takut merusak masa pembangunan saat Orde Baru. Dari buku ini saya melihat kekonyolan yang dilakukan pemerintah dengan amat serius.
Profile Image for Ms.TDA.
234 reviews3 followers
April 8, 2025
“Gondrong”, kata yg cukup kuat di era Orde Baru ketika pergolakan politik memanas dan juga era Budaya Barat mulai merajarela masuk ke Indonesia secara cuma-cuma dan bebas. Banyak sekali stigma negatif yg di perkuat juga oleh Pangkopkamtib Jendral Soemitro yg menyebutkan dalam sebuah acara TVRI bahwasannya rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh. Padahal yang terpenting adalah yang ada dibalik rambut, dan soal potongan adalah soal selera orang-perorang yang tidak bisa dipergunjingkan.

Buku ini direkomendasi oleh kenalanku pada saat berkunjung ke Kompas TV Palembang, lumayan tertarik karena judulnya yang sangat sentrik. Dan isinya juga banyak membuatku menghela nafas cukup panjang karna banyak yg bisa di kulik serta di diskusikan. 😌🙂
Profile Image for Her Margono.
6 reviews
September 12, 2022
Isu klasik sekaligus visioner, masih & akan terus relevan, terkait jati diri “Pemuda” & “Indonesia” sebagai kesadaran kolektif, yang selalu bergulat tentang perubahan - “Budaya Indonesia” - yang ideal. Tapi, mungkin, selama generasi lama belum jujur & bisa jadi panutan soal ke”Indonesia”an; selama itu juga generasi baru “Indonesia” berkelindan dalam tragedi atau parodi?
Profile Image for Alfi.
61 reviews2 followers
May 18, 2024
Berasa review ulang matkul studi kepemudaan
Profile Image for Anhie Greenish.
393 reviews4 followers
October 9, 2024
Setiap manusia akan sulit melepaskan diri dari sejarahnya. Apa yang pernah dialaminya, dilihat, dan dihayatinya akan selalu berbekas dalam dirinya. Maka dari itu, setiap kelompok umur dalam masyarakat akan memiliki sikap hidup yang berbeda sesuai dengan suasana zaman di mana mereka tumbuh.


Terlalu banyak masalah di negara ini daripada menghabiskan energi untuk mengurusi rambut gondrong, terlebih sampai harus mengorbankan jiwa seorang mahasiswa.
Profile Image for Steven S.
697 reviews67 followers
March 7, 2018
Mengantarkan pembaca ke masa di saat mahasiswa dilarang gondrong.

Ketika di awal-awal tahun, aku pengen baca buku bertema politik. Terus kemudian kepengen baca literatur humor. Tiba-tiba tanpa ada sengaja, "Dilarang Gondrong!" dan "Chicago Chicago" yang masuk daftar baca saya. Bacaan sejarah. Terkait Chicago Chicago sendiri. Boleh dibilang, ini kayak hidden gem buat saya. Pas beli itu nggak ada feeling bagus isinya. Cuman insting. Beli deh di Dema. Sekalian gitu sama yang lain. Tapi pas dibaca. (Skip pendahuluan). Buku yang terbit pertama kali di tahun 2006 itu nyeritain pengalaman hidup (meski ngga semua yah) sang romo Baskara T. Wardaya (nama panggilannya Bask, di masa studi beliau) yang studi ilmu sejarah di Amrik. Di sana dia cerita gimana sampai ke Mexico, jadi anak angkat temen kampusnya yang cantik, belajar ilmu kehidupan dari tradisi, latar belakang orang Caun, wawancara Pram. Blak-blakan PARAH. Khusus bagian ini (baru aja baca sampai disini) seru banget. Dan kerasa, saya harus membaca buku beliau yang lain, yang berjudul "Membangun Republik". Isinya tentang wawancara-wawancara beliau dengan para indonesianis dan orang-orang keren ikhwal ke-Indonesiaan. Wishlist berikut pokoknya. Sampai dalam hati, kapan-kapan musti ketemua bapaknya, kalau ada waktu, ngobrol, nanya pak, gimana pandangan bapak soal Indonesia jaman NOW?

Kembali ke buku ini yah. Mala ngelantur. Tapi memang bukunya bagus sih. (Lagi dibaca.)

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah cover. Sampulnya keren nggak sih?

Dua pemuda dengan style jaman doeloe. Isinya ngebahas tentang periode anak muda dilarang berambut panjang.

Karya ilmiah Aria Wiratma ini nggak kerasa kayak bacaan ilmiah. Serius. Tahu nggak? entah naskahnya udah dirapiin sama editor atau memang dirombak ulang oleh si penulis. Buku ini pas dibaca. Serasa lagi ngobrol sama si penulis yang lagi cerita "good old days" masa-masa Soekarno turun, Soeharto naik, dan keutuhan keluarga besar Indonesia mulai digoncang dengan konflik keluarga.

Lewat buku ini pribadi, aku jadi tahu gimana sih sejarahnya pergerakan pemuda (mahasiswa) yang memang dekat sekali dengan dunia politik. Dahulu semua perpolitikan dan arah kemajuan bangsa dimulai dan diaktori oleh anak muda. PEMUDA. Saat ini?

Ok lah, masing-masing punya beban dan perjuangan yang berbeda.
Sekarang mengisi kemerdekaan bukan lagi dengan perang urat, tarik-tarikan ideologi, namun memiliki aspek yang berbeda. Aku rasa benar-benar beda. Sekarang dunia sosmed, era digital membuat semuanya jadi lebih beda.

Coba sekarang lihat pendiri tokopedia, gojek, bukalapak, dan efishery.

Buku ini meski kerasa tipis banget, memberikan insight bagi pembaca muda seperti saya yang nggak sama sekali tahu gimana kehidupan era 70an.
Profile Image for Zulfasari.
50 reviews6 followers
April 12, 2018
Saya jarang membaca buku non-fiksi, terutama sejarah. Namun, Dilarang Gondrong! cukup mampu membuat saya ingin cepat merampungkan keseluruhan pembahasan di dalamnya. Melalui kacamata pembaca awam, saya merasa penulis mampu merunut problematika Orde Baru sejak awal terbentuknya dan wacana-wacana yang muncul selama masa itu berlangsung, termasuk larangan rambut gondrong. Terasa konyol dan sesekali saya tertawa geli, karena perkara yang masuk dalam ranah yang menurut saya subjektif dan sangat personal (tergantung pada selera) bisa jadi persoalan nasional, bahkan dianggap sebagai salah satu pemicu peristiwa Malari. Atas nama mempertahankan hegemoni, penampilan pun (dinilai) harus dibatasi, bahkan direpresi.
Profile Image for Mulki Makmun.
64 reviews3 followers
October 4, 2015
Awal mula tertarik buku ini karena sblmnya, saya sempat debat heboh dengan om (abangnya ibu saya) yg nganggap orang gondrong itu bukan orang baik-baik.

Saya yang tidak setuju dengan stereotipe begitu, dimana penampilan seseorang, terutama rambut, tidak memengaruhi sifat baik buruk seseorang.. ya langsung terpesona dgn judul buku ini. Langsung saya melahap habis isinya dalam hitungan hari sambil senyum senyum sendiri merasa menang.

Sekarang buku ini sudah saya hadiahkan ke si om yang tetep kekeuh dengan pendiriannya. Hm. Yasudahlah.
Profile Image for nana.
69 reviews9 followers
August 23, 2025
Dilarang Gondrong!

Judul buku yang cukup menarik minat saya untuk membaca.

Buku ini sendiri akan mengantarkan kita untuk dapat memahami bagaimana kekuasaan Orde Baru tidak hanya mengatur urusan politik formal, tapi juga menjangkau hal-hal yang tampaknya remeh—seperti model rambut anak muda. Lewat penelusuran arsip media massa tahun 1970-an, penulis membedah bagaimana pelarangan rambut gondrong menjadi bagian dari proyek besar depolitisasi dan kontrol sosial budaya yang dilakukan rezim Soeharto. Di balik hal yang tampak sepele tersebut, tersimpan narasi besar tentang represi, kontrol, dan dominasi kekuasaan Orde Baru atas tubuh dan pikiran warga negaranya.

Buku ini dibuka dengan pemetaan konteks lahirnya Orde Baru, serta perubahan orientasi dari masyarakat politis ala Soekarno menjadi masyarakat yang “tertib” dan teknokratis. Pelarangan gondrong bukan semata-mata urusan tata krama atau disiplin, tapi bagian dari upaya menghapus warisan Orde Lama dan menggantinya dengan identitas “baru” yang sesuai dengan visi pembangunan Orba. Anak muda—yang dulunya merupakan motor politik dan sosial—diubah menjadi objek yang harus dijinakkan. Rambut gondrong dipandang sebagai simbol perlawanan, pembangkangan, atau pengaruh asing, dan karena itu harus diberantas.

Buku ini juga menguraikan bagaimana pelarangan tersebut direalisasikan secara konkret—baik lewat razia, peraturan kampus, bahkan sampai tindakan main hakim sendiri. Kita melihat bagaimana negara mengatur tubuh warga negaranya sedemikian rupa, menjadikannya arena perebutan makna dan identitas.

Ada beberapa poin di dalam buku ini yang dibahas dan dapat dirangkum:

- Hubungan antara estetika dan politik dalam praktik kekuasaan Orde Baru.
- Proyek depolitisasi dan penciptaan massa mengambang.
- Ketakutan rezim terhadap simbol-simbol kebebasan dan ekspresi individual.
- Peran media massa dalam menyebarluaskan wacana negara.
- Ketegangan antara generasi tua dan muda dalam narasi pembangunan nasional.

Hal yang paling menarik dari buku ini menurut saya adalah keberhasilannya mengangkat isu yang tampaknya remeh—potongan rambut—dan menjadikannya pintu masuk untuk memahami praktik kekuasaan yang otoriter dan subtil. Penulis menulis dengan gaya yang lugas, tidak bertele-tele, dan sangat terarah. Buku ini juga menampilkan dinamika sosial-budaya tahun 1970-an dengan cara yang hidup, membuat kita seolah menyaksikan langsung bagaimana negara mendisiplinkan warganya, bahkan sampai ke soal gaya rambut.

Interpretasi mengenai relasi antara generasi tua dan muda juga menjadi catatan penting. Ketegangan antar-generasi bukan hal baru, dan ternyata punya akar historis yang panjang. Fenomena kekhawatiran terhadap “akhlak anak muda” atau “budaya asing” yang saat ini marak, ternyata merupakan pengulangan dari wacana yang dibentuk sejak masa Orba. Membaca buku ini membuat kita menyadari bahwa sejarah memang tak pernah benar-benar usai—ia berulang, dalam bentuk dan bahasa yang berbeda.

Meski Orde Baru telah tumbang, cara berpikir dan berpolitiknya masih terasa hingga kini. Kita masih melihat bagaimana kebebasan berekspresi sering dibatasi atas nama “kesopanan”, “norma masyarakat”, atau “moral bangsa”. Generasi muda tetap menjadi sasaran pengawasan—baik secara kultural maupun politis. Narasi “pemuda sebagai harapan bangsa” masih digunakan, namun kerap tanpa ruang aktualisasi yang benar-benar membebaskan.

Selain itu, banyak partai politik saat ini masih terjebak dalam budaya politik warisan Orba: tidak ideologis, elitis, dan hanya aktif menjelang pemilu. Politik dianggap urusan elite, bukan ruang partisipasi luas. Sentimen anti-politik juga masih tinggi di masyarakat—sebuah hasil dari depolitisasi jangka panjang yang digambarkan dengan baik dalam buku ini.

Pada akhirnya, buku ini membuat kita bertanya ulang: seberapa jauh negara boleh ikut campur dalam urusan pribadi? Dan bagaimana sejarah bisa berulang dalam wajah yang berbeda?
Profile Image for A N P.
59 reviews4 followers
May 13, 2018
Judul: Dilarang Gondrong!
Penulis: Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit: Marjin Kiri

**
Masa Orde Baru adalah era dimana Indonesia diibaratkan (atau dipaksakan) menjadi sebuah keluarga. Ada Bapak, Ibu, dan Anak. Eh tapi, masih ada satu peran lagi yang teramat spesial, yaitu "Bapak Besar". Kalau pada umumnya peran Bapak adalah peran tertinggi di keluarga, di masa Orde Baru ini peran Bapak justru mengambil posisi di bawah si "Bapak Besar", yang tak lain adalah Soeharto.
.
Seluruh anggota keluarga punya peran masing-masing, termasuk si Anak, yang menggambarkan para pelajar dan mahasiswa masa itu, harus patuh atas segala ketetapan Bapak Besar. Termasuk peraturan yang krusial di tahun 60-70an: dilarang gondrong!
.
Tahun 60an, Indonesia kedatangan budaya baru yang lagi hits akibat berakhirnya Perang Dunia II, yaitu budaya Hippies atau flower generation. Budaya itu terbentuk atas perasaan bosan dan muak muda-mudi di Amerika akibat peperangan. Seperti bunga, mereka berprinsip untuk menebar keindahan dan kedamaian. Maka muncullah slogan "make love, not war". Muda-mudi Hippies ini secara garis besar adalah mereka yang sudah gak mau lagi diatur dan dikotak-kotakkan. Akibatnya, mulai dari mode (rambut gondrong, jenggot panjang, baju warna warni) sampe segala macem prilaku (minum-minum, sex, narkoba) pun dilakukan secara terbuka.
.
Kedatangan budaya ini di tahun 60an ternyata disambut baik oleh sebagian besar anak muda Indonesia. Namun, Bapak Besar khawatir dengan adanya budaya ini akan membuat Indonesia terlihat "kotor" dan barbar, karena pada masa itu, Bapak Besar sedang "menjual" keindahan Indonesia yang aduhai pada para investor asing. Akhirnya, Bapak Besar meminta para Bapak yang ada di instansi pemerintahan untuk mencegah Hippies bertebaran di Indonesia. Termasuk dengan merazia para pemuda gondrong.
.
Alasan yang dipakai para petinggi untuk menjalankan keputusan anti gondrong tersebut adalah anak muda akan menjadi acuh tak acuh dan gak rapi. Tapi anehnya, gak ada satu penjelasanpun tentang seperti apa gondrong yang dimaksud? Sebahu? Sepinggang? Sepantat? Selain itu, media pun turut memprovokasi dengan menampilkan semua berita kriminal
.
Akhirnya, para mahasiswa mulai melakukan kritik terbuka, yang sangat dibenci Bapak Besar. Lalu timbul polemik rambut gondrong ini hampir di seluruh kota besar. Para mahasiswa mulai mengkritisi, mulai protes dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: negara ini diatur oleh undang-undang atau selera mode para pemerintah? kenapa harus razia rambut? kenapa gak razia koruptor, penipu dan manipulator?
***

Profile Image for Bangquito.
76 reviews25 followers
June 15, 2020
Saya masih ingat saat SMP dan SMA, sekolah melarang siswa lelaki berambut gondrong. Bagi siswa lelaki yang kedapatan rambutnya melewati cuping telinga, maka ia harus berhadapan dengan gunting wakasek. Setelah upacara bendera hari senin atau mendadak saat panggilan jiwa beliau sebagai tukang cukur memanggil, maka mereka-mereka yang sedang sial akan dibariskan di bawah pohon sebelah mushola. Pak wakasek kemudian menggunting rambut mereka setengah jadi, satu-persatu. Lalu potongan rambut diberikan pada masing-masing anak untuk mereka kantongi.

Saya menganggap kebijakan tersebut sebagai hal yang normal. Anak-anak yang masih mengenakan seragam, harus mengikuti tata aturan dan perilaku yang seragam pula. Bagi saya saat itu, menggondrong adalah kemewahan setelah sekolah. Lantas selama kuliah, saya tidak menggunting rambut kecuali jika pengeluaran shampo sudah boros atau kepala mulai gerah.

Dilarang Gondrong! membuka catatan pinggir tentang efek dari kekuasaan yang timpang. Disebut catatan pinggir karena isu ini luput dari pengamatan atau dianggap bukan soal besar untuk dibicarakan. Yudhistira memberi pernyataan yang tegas bahwa pelarangan gondrong merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang absurd. Jika selera dapat dijadikan landasan untuk dipresekusi (walaupun hanya dengan gunting dan sangsi sosial), maka hukum dapat dibengkokan sedemikian rupa.

Secara runut, Yudhistira mulai dengan menjelaskan apa yang dimaksud sebagai pemuda, anak muda, remaja dan korelasi mereka terhadap paparan budaya populer barat. Generasi muda orde baru yang tanpa musuh, tumbuh dalam situasi zaman yang acuh. Remaja (anak muda di kota), adalah individu dengan privilise berlebih sehingga dapat mengutarakan gaya hidup pilihannya. Gaya zaman berbeda yang diserap oleh remaja lantas menjadi kambing hitam bagi para orang tua di kota. Dengan mudah, para orang tua menandai rambut gondrong sebagai lambang pemberontakan terhadap nilai-nilai lama.

Normalisasi terhadap stigma rambut gondrong dimulai dari pemberitaan negatif berupa stereotip kriminal berambut panjang. Kemudian muncul tim khusus yang mengatur paksa pengguntingan rambut gondrong di jalan. Hingga akhirnya, indikasi tirani semacam ini menjadi katalis pertikaian sengit antara militer dengan sipil yang berjalan selama beberapa tahun, yang berujung di peristiwa Malari.

Agak sulit untuk melihat hubungan langsung antara larangan gondrong dengan praktik kekuasaan. Namun, Yudhistira telah memaparkan sumber pemberitaan secara cermat serta imbas yang mengikuti praktik tersebut.
Profile Image for Erza Heksa Arifin.
9 reviews
December 27, 2024
Baiklah, kesan pertama saya setelah membaca buku ini adalah "takjub". Mungkin, dari sekian banyak buku yang bermula dari karya ilmiah seperti skripsi, tesis, atau disertasi, buku ini adalah salah satu perwujudan yang paling baik dan rapih (setidaknya begitu bagi saya).

Buku ini menyajikan berbagai hal menarik dan variabel yang anti-mainstream untuk mengarahkan pembaca pada muara dan inti topik yang merupakan larangan terhadap rambut gondrong pada masa orde baru. Salah satu variabel penting untuk menjelaskan mengapa tata pemerintah Soekarno hingga Soeharto bersifat otoriter adalah pengaruh filosofis budaya Jawa pada diri mereka.

Penulis menjelaskan, Soekarno semenjak awal selalu menganggap dirinya adalah "Bapak" bagi masyarakat Indonesia. Sebagaimana budaya Jawa perihal kepatuhan dan kehormatan orang tua di mata anak-anaknya, Soekarno menempatkan dirinya sebagai sosok yang harus dihormati sebagai "Bapak".

Tak berbeda dengan Soekarno, meskipun di awal menjabat sebagai presiden yang menentang kaum kiri dan PKI (Partai Komunis Indonesia), Soeharto akhirnya jatuh pada kekuasaan yang membutakan matanya. Sebagai seorang Jawa yang tulen, Soeharto juga menaruh dirinya sebagai "Bapak" bagi tatanan bangsa Indonesia--tentunya sebagai Bapak yang kejam bagi anak-anaknya.

Variabel lain yang juga menarik perhatian saya adalah bagaimana stigma buruk yang ditujukan pada para pemuda saat itu dan upaya untuk menekan "kenakalan remaja" hanyalah imbas dari banyaknya anak-anak pejabat, aparat, hingga orang penting yang terlibat dalam kasus-kasus kriminal seperti narkoba dan lainnya.

Di buku ini banyak dilampirkan pula argumen-argumen dari para sosiolog, sejarawan, jurnalis melalui surat kabar yang ditujukan pada kebijakan pemerintah untuk mengurusi "rambut gondrong" bagi anak muda. Rambut gondrong dianggap pemerintah sebagai wajah pemberontakan dan berpotensi menjadi pihak yang merusak stabilitas negara. Kedunguan yang tidak karuan seperti ini lahir dari ketakutan yang tidak berasalan dari pemerintahan Soeharto.

Buku yang menarik dan sangat layak untuk dibaca dan dijadikan pranala diskusi!
Profile Image for Juinita Senduk.
119 reviews3 followers
May 26, 2025
Setelah menyelesaikan fiksi sejarah tentang pergerakan mahasiswa dalam melawan tindakan semena-mena penguasa Orde Baru, tiba-tiba mesin pencari saya memunculkan buku sejarah Dilarang Gondrong karya Aria Wiratma Yudhistira.

Judul yang mengusik rasa ingin tahu saya, mengingat di masa Orde Baru, komunisme merupakan musuh besar mereka.

Kata pengantar Andi Achdian yang menyatakan,"Buku karya Aria Wiratma Yudhistira ini memberi kita salah satu jawaban dan cerita menarik mengenai proses yang digambarkan dalam konsep Michel Foucault bagaimana "sebuah orkestrasi kelembagaan, prosedur, analisis dan refleksi, kalkulasi dan taktik yang memungkinkan sebentuk kekuasaan spesifik - meski kompleks - terhadap penduduk sebagai target, ekonomi-politik sebagai bentuk pengetahuan utamanya, dan aparat keamanan sebagai instrumen teknis utama" menjadi mungkin dalam periode itu dan periode-periode selanjutnya di Indonesia.

Dan saya pun setuju dengan Andi Achdian yang menyatakan, "Pelajaran terbesar dari pengalaman sejarah yang diulas buku ini adalah rendahnya kesadaran sejarah para penguasa, serta bagaimana yang privat begitu mudah dicampuradukkan dengan yang publik.

Karya Aria Wiratma memotret dengan jelas ruang privat yang mendadak menjadi ruang publik.

Ketakutan penguasa terhadap rambut hanya karena pengalaman buruk mereka saat kudeta peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Penguasa yang tidak mampu menangkap perbedaan generasi muda di tahun 1945, 1966 dan 1970.

Baru kali ini buku setebal 160 halaman, saya bubuhi anotasi nyaris di setiap halamannya. Analisa dan fakta yang disajikan Aria Wiratma lewat karyanya menurut saya merupakan harta yang berharga, mengingat "represi terhadap rambut gondrong di awal Orba berkuasa, nyaris tidak terdengar."

Di catatan penutup "Pemuda, Remaja dan Alay, Aria Wiratma memasukkan kondisi pemuda di zaman reformasi, yaitu Alay. Perbandingan yang menurut saya kurang tepat, mengingat tidak ada tindakan represi terhadap pemuda alay.

Namun bagi saya, catatan penting yang harus digaris-bawahi adalah bagaimana ruang privat tetap dicampuradukkan ke dalam ruang publik.
Profile Image for Kevin.
18 reviews1 follower
September 3, 2022
Seru! Buku ini punya riset yang mendalam sehingga bisa memberikan konteks yang komprehensif mengenai bagaimana pemberantasan rambut gondrong di era 1970-an berkelindan dengan semangat pemerintah (dan militer) merupakan sebuah dinamika yang kompleks tentang (tidak hanya perbedaan pandangan antara generasi muda dan tua) tetapi bagaimana pemerintah Orde Baru dalam upaya awalnya mencoba memberangus pemikiran kritis generasi muda yang aktif dalam gerakan politik dan rajin mengkritisi pemerintah.

Namun agak disayangkan begitu bahasan utama seputar pemberantasan rambut gondrong yang masif di tahun 1973 dibahas, bahasan yang menjelaskan semua peristiwa sesudahnya dipangkas hanya dalam lima halaman epilog dan satu artikel tambahan yang ditulis terpisah dengan buku ini, sehingga benang merahnya terasa begitu lemah. Sering juga benang merah tersebut hanya menjadi catatan kaki, misalnya saat penulis berargumen bahwa pemberantasan rambut gondrong ini adalah preseden untuk Peristiwa Malari 1974. Padahal stigmatisasi rambut gondrong ini sepaket dengan upaya mendiskreditkan kritik anak muda terhadap pemerintah, ageism, serta pola pandang "kebapakan" dalam cara pemerintah Indonesia memandang anak muda, yang masif dilakukan bertahun-tahun setelahnya dan masih terus terlihat - sadar maupun tidak sadar - lama setelah Orde Baru runtuh.

Penulis malah memilih jalan snobbish, dengan lebih banyak menyuruh pembaca membaca buku/tulisan lain untuk bisa sepemahaman dengan argumen yang ia bangun. Padahal, konteks semacam itu seharusnya menjadi tanggung jawab penulis untuk bisa menjelaskannya dengan sebaik mungkin kepada para pembaca yang mungkin belum sekritis penulis.
Profile Image for raflyfaridh.
41 reviews
October 13, 2021
satu kata, "menarik!". begitulah kata yang pantas digambarkan ketika membaca buku ini. buku ini memberikan gambaran tentang peran pemuda pada era masa berakhirnya soekarno sampai pada era soeharto. tidak mengherankan apabila kebanyakan stereotip masyarakat sekarang ini memandanang pemuda (remaja) dari penampilan dan gaya hidupnya. rambut gondrong, gaya berpakaian yang tidak sesuai dengan apa yang mereka pandang dianggap buruk. kegiatan belajar mengajar, instansi pemerintah melarang pihak yang terlibat didalam nya memanjangkan rambut bagi laki-laki. bahkan di sebuah dosen di universitas tertentu melarang mahasiswa nya gondrong karena tidak sesuai dengan selera mereka (pengalaman pribadi). setelah membaca buku ini, saya menjadi lebih paham dengan pemikiran mereka. tidak ada yang patut disalahkan, mereka hidup dan di bentuk pada jaman orba yang mengharuskan demikian, berpuluh2 tahun pemikiran mereka di bentuk. maka seperti itu lah kehidupan masyarakat indonesia selama generasi mereka masih memegang kekuasaan, dan yang patut di tunggu bagaimana pemuda generasi 1990-2000an menghadapi nya dan meneruskan estafet kepememimpinan mereka.
Profile Image for Dinda Tahier.
52 reviews
December 16, 2024
This is mindblowing! I bought the book in Jogja, at an independent bookstore: Buku Akik. There are a lot of interesting books there!

It was quite fast for me to finish the book. It’s not a thick book anyway. It’s actually the author’s thesis. His faculty was Departemen Sejarah Universitas Indonesia. He wrote that the idea of the thesis was rejected at first, for it was considered a trivial theme. But the author found that almost every official like the ministers, attorney generals, Pangkopkamtib declared about what to do with the youngsters and with the ones who had long hair aka ‘rambut gondrong’.

It sounds so trivial. But after reading it, my eyes were opened that the government of Indonesia have been weird since day 1!

The author proved that the governments were being ridiculous when they said having long hair wasn’t in line with Indonesian culture. Whereas the truth is that since the kingdom era, Indonesians had been having long hair. That to prove the power they had.

The book might have a funny title, but the inside is so deep.
Profile Image for Rifqi Rachman.
4 reviews
September 12, 2021
Kutipan Haryatmoko (2002: 14) pada bagian epilog mengenai kekuasaan sebagai alat normalisasi individu dalam masyarakat adalah pintu yang tepat dalam memahami pokok bahasan dari karya Aria Wiratma ini. Tema spesifik yang diangkat rasanya juga tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca usia muda yang terus bermunculan.

Dari keunikan itu, bagi saya, porsi penyajian yang didominasi oleh konteks zaman ketimbang pembahasan (soal rambut gondrong) menjadi suatu catatan kecil. Akhirnya, saya sempat menikmati buku ini sebagai karya yang menggambarkan persoalan generational gaps di Indonesia dengan sangat baik ketimbang sebagai buku yang mengangkat persoalan rambut gondrong.

Terlepas dari itu, upaya Aria Wiratma dalam mengumpulkan semua informasi secara manual (dari banyak koran cetak lawas), melakukan pembacaan terhadapnya, serta menghadirkan sebuah pengetahuan baru dengan menyusun data-data tersebut patut diapresiasi dengan tinggi. Saya sangat menikmati buku ini.
Profile Image for Yosafat Prasetya.
42 reviews
January 31, 2025
Kebijakan potong-memotong rambut gondrong ini efek dan stigmanya tetap kuat bahkan sampai sekarang, khususnya di sekolah-sekolah. Coba tanya guru sekolah negeri mana pun yang sudah berusia 40-an ke atas (baca: tumbuh besar di bawah pemerintahan Orde Baru) soal pandangan mereka terkait rambut gondrong; hampir pasti jawabannya negatif.

Dan yang lebih bikin ngelus dada, persoalan rambut gondrong pun bisa berujung pada kematian mahasiswa di tangan aparat kepolisian—tanpa konsekuensi hukum (wah kaget banget!). Melihat kasus serupa masih terjadi sekarang, makin jelas bahwa pemerintahan Indonesia saat ini hanyalah versi upgrade Orde Baru dengan tampilan Windows 11.
Profile Image for Alessandro Manuel Rustanto Sitompul.
109 reviews3 followers
December 26, 2022
Buku yang sangat teliti membedah salah satu larangan atau praktik kontrol yang diterapkan Orde Baru untuk menciptakan masyarakat, khususnya pemuda yang dulu revolusioner, menjadi remaja yang ‘’penurut.’’

Tidak pernah menyangka bahwa ada bedanya di antara dua istilah ini. Untuk generasiku dan yang akan mendatang, apakah kita ingin menjadi semata-mata remaja atau menjadi pemuda?
Profile Image for Saad Fajrul.
120 reviews2 followers
March 13, 2018
Saya sangat menyukai buku ini. Kiranya akan sangat bagus jika semakin banyak orang yang meneliti hal - hal yang terlihat remeh namun memiliki dampak yang besar dalam sejarah Indonesia. Bravo
1 review
June 13, 2020
amazing
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Vika.
89 reviews5 followers
April 21, 2022
Sebuah buku yang menarik, menjelaskan secara runtut kenapa perkara rambut gondrong bisa menimbulkan huru-hara di seluruh negeri pada masa itu.
Displaying 1 - 30 of 47 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.