Setelah Kuda Terbang Maria Pinto karya Linda Christanty meraih Khatulistiwa Literary Award 2004 untuk kategori buku fiksi Indonesia terbaik, kini Linda kembali lagi dengan cerita-ceritanya tentang dunia hari ini dalam Rahasia Selma. Rahasia orang-orang yang berjuang melawan ketidakadilan, trauma, doktrin, mitos, kesunyian, atau bahkan apa yang mereka sendiri tak tahu. Cerita-cerita ini meluaskan pandangan kita tentang manusia dan kemanusiaan, sampai ke batas-batas terjauh yang dimungkinkan.
Sapardi Djoko Damono mengatakan, dalam cerita-cerita Linda, ia membayangkan perkembangan cerita pendek Indonesia di masa datang. Kritikus sastra Nirwan Dewanto menyebut realisme Linda mencekam, justru karena antididaktik. Penyair Sutardji Calzoum Bachri menyatakan Linda menampilkan tema kemanusiaan tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan. Di kata pengantar antologi dwibahasa Terra, Sandra Thibodeaux mengemukakan bahwa ketakutan yang dialami seorang serdadu Indonesia dalam Kuda Terbang Maria Pinto dengan cemerlang menggoyahkan pemahamannya tentang konflik bersenjata dan maskulinitas.
Linda Christanty adalah sastrawan-cum-wartawan kelahiran Bangka. Pada 1998, tulisannya berjudul “Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste” meraih penghargaan esei terbaik hak asasi manusia. Kumpulan cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Dia sempat bekerja sebagai redaktur majalah kajian media dan jurnalisme Pantau (2000-2003), kemudian menulis drama radio bertema transformasi konflik untuk Common Ground Indonesia (2003-2005). Sejak akhir 2005, dia memimpin kantor feature Pantau Aceh di Banda Aceh.
Sejak cerpen pertama, saya sudah curiga ini akan gawat. "Pohon Kersen" penulisannya dari sudut pandang bocah nan polos. Dari pengalaman membaca cerpen, saya belajar, pola semacam ini pasti tragis, tapi karena keluguannya, si protagonis tak akan mengerti. Dan benar saja, keseluruhan cerpen dalam buku ini bernada demikian. Konflik yang jauh dari pemahaman, dibekuk kabut tabu, norma, dan tradisi. Keluguan tokoh-tokoh dalam kumcer ini (yang didominasi anak kecil) membuat saya gusar. Bukan hanya secara lugas menarasikan kebingungan anak kecil di tengah masalah keluarga, namun secara simbolis juga menunjukkan pikiran rakyat kecil di tengah kemelut konflik sosial yang berkepanjangan. Rakyat kecil, sama seperti anak kecil, yang jadi korbannya. Sialnya mereka tak tahu, paham saja tidak, apalagi protes, dan "boro-boro" melawan. Akhirnya hanya bisa mengikuti orang-orang dewasa (orang besar), yang punya kuasa, meski yang diikuti sinting, dan masyarakatnya sudah gila. Sebel dan gemes sendiri.
Gaya penulisan buku ini asyik benar, pembaca diminta meraba-raba, menerka, tapi pelan-pelan juga dibuka. Bikin nagih, walau tema yang diusung terhitung berat. Sampai membuat saya kepikiran lagi, tentang mereka yang kecil dan tak tahu apa-apa.
Linda menampilkan tema kemanusiaan tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan (sutardji Calzoum Bachri)
Realisme Linda mencekam, justru karena antididaktik (Nirwan Dewanto)
ketakutan yang dialami seorang serdadu Indonesia dalam Kuda Terbang Mario Pinto dengan cemerlang menggoyahkan pemahamannya tentang konflik bersenjata dan maskulinitas (Sandra Thibodeaux)
dalam cerita-cerita Linda, terbayangkan perkembangan cerita pendek Indonesia di masa datang (Sapardi Djoko Damono)
Saya tertarik dengan cover buku ini, yaitu sepasang kaki yang dibalut dengan kaus kaki hijau mengenakan sepatu sandal berwarna hitam. KOntras dengan background yang berwarna kuning. Mungkin berhubungan dengan kesukaan Linda yang warna-warna cerah.
Buku ini terdiri dari 11 buah cerpen, dimana delapan diantaranya telah dimuat di media cetak dalam kurun waktu terbit tahun 2005 s.d.2010. Tiga buah cerpen yang tidak diterbitkan di media cetak adalah Rahasia Selma, Ingatan, dan Babe. Membaca kumpulan cerpen dari satu orang penulis biasanya kita akan menemukan kesamaan karakter tokoh yang diceritakan, namun khusus cerpen-cerpen Linda ini saya mengalami kesulitan menemukannya. Tapi ada benang merah yang menjalinnya yakni Linda mengangkat tema kenangan masa lalu, kesepian, serta kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial-sahabat berbagi.
Linda piawai menuliskan sesuatu yang terjadi itu dengan kalimat santun, puitis dan tidak terkesan bahasa sastra yang tinggi, salah satu kutipannya yang menggambarkan tentang kenangan.
..dan kenangan akan aroma sama seperti trauma, selalu tersimpan lama, sayup, dan bangkit memenuhi benakmu oleh satu peristiwa tak terduga, seperti dampak sengat listrik voltase rendah. Tiba-tiba terasa ngilu di jantungmu ketika kotak ingatanmu terbuka. Kamu laksana mobil parkir, yang bisa melaju lagi saat urusan sang tuan sudah selesai. Tuanmu kali ini: kenangan (Hlm 49).
di sisi lain, Linda menonjolkan sentuhan jenaka. Ia mengemas wajah seorang ibu dalam imajinasi anak-anak.
Ibu juga gemar menarik garis lengkung di bagian luar bibir dengan pensil khusus, membentuk dua busur kembar, atas dan bawah. Bibir perempuan ini menjadi lebih tebal, sehingga wajahnya bagai sebuah negeri dengan bibir sebagai pusat pemerintahan (Rahasia Selma-Hlm 56).
Kembali ke cerpen Linda, cerpennya ini agak berat dibaca. Saya sendiri harus membaca buku ini dua kali. Satu kali dibaca, kemudian googling cari tahu siapa beliau, kemudian baca lagi. Menurut saya, cerpen Linda ini memang pantas didiskusikan oleh para pendidik maupun pemerhati masalah anak dan karena sarat dengan emosi jiwa berupa ingatan dan masa lalu. Berikut ini sedikit cuplikan (spoiler alert!!) kumpulan cerpen ini.
Pohon Kersen Kenangan akan Pohon Kersen yang di tanam di sebelah rumah kakek. Kakek sempat ingin menebang pohon ini. Dari atas pohon ini, "Aku" melihat banyak peristiwa.
Menunggu Ibu Seorang anak melihat Ibunya depresi. Ia harus berpisah dengan adiknya karena keputusan keluarga, Ibunya tak mampu membiayai belanja mereka. Kelakuan ibunya yang semakin aneh dan mengkhawatirkan. Apa sebab?
Kupu-kupu Merah Jambu Kehidupan seorang wanita malam. Sekelilingnya membuat ia mual, rumahnya, tempat ia mangkal, sungai kotor di depan kamar sewanya. Ia punya harga diri, ketika orang lain mengancamnya.
Mercusuar Cerpen ini pernah dimuat dalam kumpulan cerpen "Rahasia Bulan". Bercerita tentang dua wanita yang bertemu karena wanita yang satu ingin meminjam pemantik api. Perjalanan mereka selanjutnya ke Mercusuar. Mercusuar memandu kapal-kapal, sendirian. Persis seorang nabi.
Rahasia Selma Kesepian seorang putri tunggal yang masih anak-anak. Ia mencoba menemukan dunianya dengan berjalan-jalan dan mengitari setiap tempat. Linda menempatkan kesepian dalam dunia anak dengan gambaran-gambaran yang imajinatif.
Kesedihan Kala kita menghibur orang lain karena kesendiriannya, terhiburkah kita karena kitapun butuh dihibur serupa? Ah...Linda sangat cerdas menggambarkannya dalam cerpen ini dengan tokoh: Aku, Kamu, Dia, dan Kita.
Drama Pengakuan: Saya bingung dengan cerpen ini. Saya kurang paham dengan konteksnya. Ampun..ampun..
Para Pencerita Kerinduan akan suasana ranjang. Dimana Ibu dan anak-anak serta saudara-saudara bercerita apa saja di ranjang. Ranjang ibarat sebuah press center, dimana segala informasi mengenai rumah, keluarga dan urusan apa saja tersaji dengan lengkap. Dan kemana semua pencerita itu?
Jazirah di Utara Akar budaya dan darah nenek moyang, mengikat orang untuk berlaku sesuai kaidah suku bangsa. Apakah setiap ajaran orangtua memiliki celah untuk dilanggar? Hal itu kembali pada manusia itu sendiri.
Ingatan Ingatan itu milik manusia. Simpanlah itu. Ada waktunya ia menjadi tak berguna karena......
Babe Surat seorang istri pada suaminya yang ia panggil dengan "Babe".
Linda Christanty adalah seorang penulis kelahiran Bangka Belitung tahun 1968. Salah satu bukunya yang mendapat apresiasi adalah Dari Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam, dan Gay. Cerpennya Kuda terbang Maria Pinto, mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2004. Saat ini memimpin Kantor berita Aceh Feature Service, sebuah kantor berita yang menyediakan informasi dan liputan mendalam tentang kondisi Aceh pascatsunami dan konflik di Banda Aceh. Ada satu berita yang mengatakan bahwa Linda mengkritik Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi, bahwa sesungguhnya ia tidak memberikan endorsement pada novel Edensor. Diketahui pada novel itu, ia memberikan endorsement “Andrea Hirata mebuatku mabuk kepayang”. Linda mengatakan bahwa Ia merasa sama sekali tidak pernah menulis komentar apapun untuk buku Andrea manapun apalagi sampai membuatnya mabuk kepayang.
Jurnalisme sastrawi, begitu ia menyebut cara ia menuturkan peristiwa. Karena itu ia kerap dihujani pertanyaan tentang bumbu imajinasi dalam laporan. "Tapi saya tidak akan terpeleset dan memberi imajinasi pada laporan jurnalistik saya. Saya tahu betul di mana batasannya," ucapnya dalam nada penuh penekanan.
Akhirnya saya memberi bintang 4 untung kumpulan cerpen, satu bintang kurang karena (lihat message #2).
Rasanya aku memang gak kapok membaca antologi cerpen LC. Setelah Pinto dan Murghab, yang keduanya jg gak terlalu kupahami, masih mau dan ingin membaca kumcer yg ini.
Memang gaya penulisan yg berputar-putar dalam menyampaikan maksud cerita ini bikin nagih. Nagih untuk menebak-nebak dan menduga-duga. Kadang-kadang aku tak tahu apakah gender dari tokoh dalam cerpen, hingga harus kubaca sekali dan sekali lagi. Tak jarang pula aku tak tahu umur dari si tokoh, tua, muda, anak-anak atau malah renta.
Tema utama dari kumpulan cerpen ini adalah kenangan masa lalu. Kenangan-kenangan yang selalu kembali. Mempengaruhi pikiran dan tindakan tanpa dapat dihentikan.
Dari semua cerita, aku suka Pohon Cersen dan Rahasia Selma. Namun sisa-sisa kepahitan masih terasa kental lama setelah selesai.
Aku membaca buku ini seharian tanpa rasa jemu. Bahasanya amat indah, isi ceritanya sangat perinci dan penuh details. Cerita-ceritanya cuma berkait hal harian dengan ending yang biasa-biasa saja namun entahlah kenapa aku rasa senang sekali. Barangkali mungkin kerana ini genre kegemaranku.
Paling aku suka- Pokok Kersen, Menunggu Ibu, Para Pencerita dan Babe. Berharap sangat semoga aku dapat peroleh hasil tulisannya yang lain untuk bacaan dan koleksi.
Tidak salah kalau buku ini meraih khatulistiwa literary award, cucok dengan penilaian dan selera ku,girang seolah-olah ikut jadi jurinya...hahaha...Ceritanya kejadian sehari-hari,banyak terjadi disekitar kehidupan orang banyak namun sering terlupakan. Namun dituliskan dengan menarik, tidak berlebih-lebihan...dengan kata lain keren dah pokoknya...Love this book...
11 cerpen dalam buku ini bukan kisah-kisah yang mudah dimengerti. Beberapa judul awal malah membuat saya kesal. Pembukaannya manis, meski terkadang detailnya terlalu terperinci hingga menimbulkan tanya ini sebenarnya cerita tentang apa. Di pertengahan mulai menangkap ide cerita dan merasakan keseruan dan rasa penasaran. Tapi endingnya? Rasanya seperti dihempas begitu saja saat berada di puncak permainan roller coaster. Mungkin otak saya saja yang tak bisa sampai pada jalan pikiran penulis. Sehingga saya merasa penulis kehilangan fokus dan endingnya maksa. Ibarat lagi jalan-jalan di pantai, tiba-tiba berada di pegunungan. Hanya beberapa cerpen yang saya anggap bagus. Selebihnya gagal memuaskan saya. —
Kesederhanaan, mungkin hal itulah yang membuat karya-karya Linda membekas diingatan pembacanya. Linda tidak banyak menggunakan kata-kata sulit atau memukau dalam karyanya, namun justru kesederhanaan Linda dalam berkata-kata lah yang membuat saya jatuh cinta pada Rahasia Selma. Seperti dalam cerita "Pohon Kersen". Mengambil sudut pandang seorang anak kecil, Linda sukses menyuarakan dunia anak-anak yang penuh kepolosan dan kesederhanaan dengan tokohnya. Saya justru kejutan yang disampaikan Linda dengan bahasa anak-anak, yakni pada bagian "Ia menuntunku ke kamarnya, membaringkan tubuhku seperti boneka di tilam. Tangan-tangannya membekap mulutku. Keesokan harinya aku sukar buang air kecil. Tubuhku panas, seperti demam. Tiba-tiba Bang Husni kabur dari rumah kami." Dengan kalimat polos tersebut, pembaca justru langsung menangkap ada apa-apa antara tokoh aku dengan Bang Husni. Dalam cerita "Menunggu Ibu", Linda kembali menggunakan sudut pandang anak kecil. Mengisahkan tentang seorang anak yang ibunya menjadi gila sehingga harus dipisahkan dengan saudaranya. Saudara-saudara ibunya menganggap ibunya tak kan mampu mengurus si aku dan Ena, sehingga Ena diharuskan tinggal dengan saudara ibu yang sering menyiksa Ena. Saya suka dengan akhir kisah ini yang disampaikan (lagi-lagi) dengan sederhana tapi penuh makna, "Sekarang aku benar-benar sendirian. Fatma masih selalu datang, tapi ibu tak pernah pulang. Ena cuma sekali menengokku sebelum mati tenggelam di kolam rumah Paman. Kapan itu? Hampir tujuh tahun lalu. Masih bisa dihitung jari." Kisah "Kupu-kupu Merah Jambu" menyimbolkan seorang wanita yang bekerja sebagai pelacur dengan simbol-simbol kepelacuran lainnya. Kisah "Mercusuar" memberikan kejutan dengan ending twistnya yang ternyata mengisahkan tiga orang perempuan lesbian. Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang dijamin akan membuat pembaca menyukai tuturan Linda yang sederhana. Tidak heran jika kumpulan cerita ini menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2005.
Baru saja menyelesaikan buku kumpulan cerita pendek ini. Kata-kata yang muncul secara simbolis sangat indah, penggambaran yang tidak biasa, unik dan sukar dilakukan. Tema yang diangkat juga tema-tema yang tersingkirkan seperti pelecehan anak, lesbian, kegilaan dan sebagainya. Hanya saja saya kurang dapat menangkap atau merangkum makna utama atau akhir dari masing-masing cerita pendek ini.
Dua cerita pertama yang paling saya nikmati adalah pohon kersen dan menunggu ibu. Pohon kersen bercerita tentang pelecehan pada anak-anak. Sedangkan menunggu ibu berkisah tentang sulitnya memiliki anggota keluarga yang menjadi gila. Sayang alasan kegilaannya tidak jelas. Apakah penyakit atau ada peristiwa pemicu. Tetapi semua cerita pendek di buku ini memang tidak memakai alasan apapun, sebab-musabab, hanya pemaparan kata-kata secara simbolis.
kelam membuat saya bergidik setiap cerita menyimpan getir di tiap kisah ada pahit dalam setiap bab menyiratkan cinta tersembunyi dalam deskripsi aku suka walau suram
favorit? Pohon Kersen yang sebatang kara ah, deskripsi yang memabukkan..
Suka sekali sama kumcer ini, cerita-cerita dalam kumcer ini tidak lantas masuk ke dalam jurang pesan sarat moral, kedua, penokohan tokoh-tokohnya itu maksimal...baca habis sekali duduk...
Salah satu buku yang mungkin dalam waktu mendatang akan kembali saya baca ulang...
Linda Christanty memang tidak hanya menunjukkan kiprah yang baik di dunia jurnalis. Ia juga cukup tersohor atas kiprah menulisnya. Di dunia kepenulisan prosa, tahun 2004 silam Linda Christanty hadir dengan Kuda Terbang Maria Pinto, buku yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Kini, Linda hadir kembali menyapa para penikmat sastra Indonesia melalui sebuah buku kumpulan cerpen yang memikat bertajuk Rahasia Selma.
Rahasia Selma merupakan salah satu judul cerita yang termaktub dalam buku ini. Setidaknya dalam buku ini terdapat sebelas judul cerpen, delapan diantaranya telah dipublikasikan di media massa nasional seperti Koran Tempo, Media Indonesia dan Demos. Cerpen-cerpen yang termaktub dalam buku ini yaitu Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Rahasia Selma, Kesedihan, Drama, Para Pencerita, Jazirah di Utara, Ingatan dan Babe.
Dari semua judul itu, hanya empat cerita yang belum dipublikasikan dengan kata lain merupakan karya manuskrip yang sengaja dimasukkan dalam buku ini untuk melengkapi jumlah cerpen. Lima cerita dalam buku ini, telah dipublikasikan di Koran Tempo antara kurun waktu 2005-2010, yakni Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Drama, Jazirah di Utara, dan Kesedihan. Tiga cerita diterbitkan di Media Indonesia dan Demos, serta tiga lainnya, Rahasia Selma, Ingatan, dan Babe, belum pernah diterbitkan di media cetak.
Melihat penampilan fisik buku, barangkali pembaca akan dibuat terkesan. Secara sampul, buku Rahasia Selma terbilang menarik. Pasalnya, ada sebuah komposisi ilustrasi yang dikemas dengan gambar yang menarik. Linda mengusung gambar kaki anak-anak yang mengenakan kaus kaki warna hijau dengan motif bunga-bunga. Anak tersebut tampak memakai sandal warna hitam. Gambar kaki seorang anak-anak tersebut dipadu dengan background warna oranye pudar. Apabila kita cermati, sekilas konsep sampul yang diusung Linda dalam buku ini memang agak mirip dengan konsep yang diketengahkan oleh buku karangan Vladimir Nabokov berjudul Lolita.
Buku Vladimir tersebut juga mengangkat konsep sampul yang agak mirip dengan buku Rahasia Selma ini. Namun, ada hal yang jauh berbeda diantara keduanya. Lolita dibuat dengan kesan menonjolkan kesedihan, terlihat melalui pemilihan warna hitam putih yang mendominasi. Sedangkan Rahasia Selma cenderung terkesan lebih ngejreng, dengan paduan warna-warna hidup. Perbedaan kedua terlihat dari cara berdiri sang tokoh anak-anak. Kalau dalam buku Lolita, pada sampulnya terlihat kaki anak-anak yang berdiri dengan pose kaki kanan yang agak sedikit ditekuk ke depan. Berbeda dengan Rahasa Selma, justru sang anak berdiri lurus tegak, dengan sepasang sepatu menghadap lurus.
Secara implisit, ada maksud yang ingin disampaikan Linda atas pemilihan konsep sampul seperti itu. Apabila kita telusuri lebih jauh, khususnya dalam cerpen Rahasia Selma, kita dibuat melalang buana ke dunia Selma, seorang anak yang ingin banyak tahu tentang dunia luar. Atas rasa keingintahuannya itulah, secara sembunyi-sembunyi Selma melakukan perjalanan tanpa diketahui siapapun. Termasuk Ibu Selma sendiri. Kalau kita sadari, apa yang membuat Selma melakukan semua itu? Ingin tahu dunia luar, melakukan perjalanan itu secara diam-diam? Ya, kesepianlah yang mensugesti dan memberikan stimulus pada Selma sehingga bocah itu diam-diam pergi tanpa sepengetahuan Ibunya. Banyak diantara cerpen-cerpen Linda yang menonjolkan kesepian-kesepian yang mengungkung para tokohnya. Sama halnya pada cerpen Rahasia Selma itu. Maka, apabila dikaitkan pada sampul buku, terlihat sebuah gambaran betapa ingin tahunya anak-anak terhadap dunia luar – sebagai akibat kesepian yang melandanya—dan diekspresikan melalui gambar kaki anak-anak itu. Desain sampul yang menawan itu adalah hasil racikan Mirna Yulistianti dengan mengadopsi foto yang bersumber dari Shutterstock dan pensettingan oleh Malikas.
Masih soal sampul, kali ini sampul bagian belakang, Linda masih menyuguhkan hal yang sama seperti buku yang sebelumnya. Paling kentara terlihat dari tulisan endhorsement yang ditulis oleh endhoserser yang sama. Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Nirwan Dewanto adalah tiga nama sastrawan Indonesia (penyair) yang diminta menjadi endhorser pada buku ini – juga pada buku-buku Linda terdahulu— Salah satunya Sapardi, yang menilai bahwa cerita-cerita yang ditulis Linda membuat ia membayangkan perkembangan cerita pendek Indonesia di masa datang. Sedangkan Nirwan – Redaktur Sastra dan Budaya Koran Tempo yang juga penyair—justru menyebutkan Linda mampu cerita-cerita yang mengusung aliran realisme yang mencekam, justru karena antididaktik.
Lain dengan Sutardji, menilai bahwa Linda menampilkan tema kemanusian tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan. Pertanyaan yang muncul, adakah alasan tersendiri bagi Linda atas pilihannya menayangkan endhorsement dari ketiga sastrawan yang justru punya background penyair alias penulis puisi? Atau apakah hal ini mungkin ini cara tersendiri bagi Linda untuk menarik pembaca atas penilaian ketiga endhorser yang namanya besar di dunia puisi Indonesia tersebut? Diantara banyak cerita, ditilik dari segi latar, Linda cenderung memilih rumah sebagai latar yang paling dominan. Maka itulah, alasan penulis memberi judul resensi ini dengan ‘Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Cristanty yang Mencekam’ dengan alasan rumah adalah latar yang paling sering digunakan Linda dalam bercerita.
Rahasia Selma (hal.51) misalnya. Deskripsi yang kuat di awal, tentang suasana kehidupan Selma di rumahnya. Berikut petikan awal pembuka cerpen “Selma tidak lagi merasa sepi atau sendirian seperti sebelumnya. Ibu mengizinkannya memelihara kura-kura, bukan cuma seekor, tapi ribuan. Kura-kura mengelilinginya, berlapis-lapis seperti benteng di halaman rumahnya sendiri. Ia berbaring di sofa biru yang sengaja diletakkan di bawah pohon mangga itu, sementara ribuan kura-kura menjejak hamparan rumput hijau…”
Selanjutnya, Pohon Kersen (hal.5), Linda masih menggambil setting tempat di sebuah rumah yang ada Pohon Kersem di halamannya. Perhatikanlah cuplikan pembuka cerpen tersebut “Rumah kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang …” dan diantara itu cerpen Kesedihan (hal.65) dan Menunggu Ibu (hal.15) masih juga berlatar rumah, tentu saja dengan kesepian masing-masing tokohnya, kendati pada dua cerpen itu penggambaran rumah tidak begitu ditonjolkan ketimbang cerpen Pohon Kersem dan Rahasia Selma.
Dilihat dari cara penutuan deskripsi, Linda terbilang penulis yang mampu mendeskripsikan sesuatu hal dengan kuat. Meski dengan bahasa sehari-hari, tak membuat deskripsi jauh dari kesan estetika yang apik. Sebab, Linda mampu menghadirkan kelincahan berbahasa deskripsi. Bahkan, ketika hendak memulai cerita baru, Linda memperhatikan penggambaran deskripsi mulai dari suasana, tempat secara merinci atau detail. Hanya deskripsi waktu yang tidak begitu ditonjolkan. Hal tersebut bisa kita lihat pada dua cuplikan pembuka pada cerpen yang penulis kutip, Rahasia Selma dan Pohon Kersen.
Ditinjau dari segmen ide cerita, diantara kesebelas cerpen dalam buku Rahasia Selma ini bisa dibilang berangkat dari cerita keseharian manusia. Linda kerap mengangkat tokoh-tokoh yang dililit oleh kesepian, kekelaman, kemuraman, kedukaan dan sebagainya. Hampir semua cerita, hadir dengan tokoh yang punya problema kesepian masing-masing, tapi dengan versi yang berbeda.
Seperti kita dapati dalam cerpen “Pohon Kersen”—cerpen pembuka dalam kumpulan Rahasia Selma ini—di mana tokoh “aku”, sorang anak perempuan yang hidup dalam sebuah keluarga yang tampaknya berbahagia, penuh keceriaan, pengertian, namun ternyata memendam suatu permasalahan yang sangat personal. Bang Husni, cucu angkat Kakek yang tinggal serumah dengan keluarganya, melecehkan tokoh “aku” secara seksual yang menyebabkan “aku” sukar buang air kecil pada keesokan harinya. Perhatikanlah kutipan cerpen Pohon Kersen tersebut: “Tubuhku panas, sepertinya demam. “Pohon kersen itu jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba dahiku. “Kita lihat nanti,” jawabnya. Sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku menangis. Apakah kakek mengetahuinya? (Hal. 11)
Begitulah Linda menghadirkan sebuah pengalamana penistaan yang kerap dilakukan oleh orang-orang yang berada dilingkungan terdekat. Akan tetapi, tokoh ‘aku’ dalam cerpen Pohon Kersen tersebut punya cara lain agar ia bisa mengalihkan pikirannya terhadap kekelaman itu. ‘Aku’ mengalihkannya pada pohon kersen di halaman rumahnya yang pada musim tertentu melulu dirimbuni ulat dan akan ditebang itu. Pohon kersen yang di atasnya ingin dibangunnya sebuah rumah pohon, agar “aku” tak perlu ke kamar mandi setiap malam ketika kepingin buang air kecil—kebiasaan yang dimanfaatkan Bang Husni untuk merayu dan kemudian “melecehkannya”.
Kekelaman, kemuraman, kedukaan versi lain juga dihadirkan melalui cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu. Pada cerita ini, Linda seperti ingin mengatakan tidak selamanya pula perempuan dijadikan objek pelecehan sebagaimana yang dialami tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen. Pada cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu Linda justru mematahkan anggapan tidak selamanya perempuan yang jadi korban, lelaki pun bisa dijadikan objek pelecahan. Kali ini, bukan seorang Bang Husin (orang yang melecahkan tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen) yang notabenenya adalah orang biasa. Melainkan oleh seorang guru mengaji yang kerap menghukum anak didiknya yang tidak dapat menghafalkan atau salah melafalkan ayat Al-Quran. Pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya adalah sebuah realitas yang juga dapat kita saksikan di layar televisi kita.
Guru mengajinya menghukum murid laki-laki maupun perempuan di kamar gelap tiap kali mereka salah melafalkan ayat. Akibat hukuman itu ia sukar buang air besar berminggu-minggu. Dua teman perempuannya tidak datang mengaji lagi. Orang-orang kampung berbisik-bisik keduanya hamil gara-gara tidak sanggup mengucap ayat-ayat suci dengan benar. “Sebaik-baiknya hukuman lebih baik datang dari manusia sebelum hukuman dari Allah yang lebih dahsyat itu membakar dan memanggang kamu semua di api neraka,” kata sang guru, dengan suara diseram-seramkan..” (Hal. 34)
Begitulah Linda hadir di tengah khasanah sastra Indonesia dengan memunculkan cerita-cerita yang muncul atas fenomena kelam yang hadir di kehidupan kita. Kehidupan masyarakat kita yang di dalamnya terdapat beragam problema sosial sampai problema personal yang mungkin tidak akan diketahui oleh orang lain. Buku Rahasia Selma ini di tahun 2010 lalu juga meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010 untuk kategori buku prosa. Barangkali, buku ini bisa menjadi buku yang akan menambah koleksi buku fiksi Anda. Selamat menjelajahi rumah fiksi Linda Christanty yang mencekam.
----------------------------- Dodi Prananda lahir di Padang, Sumatra Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan Simpang masuk dalam Antologi ‘Sehadapan’ (Rayakultura Press, 2010) Antologi Peraih Anugerah Lipe Ice Selsun Golden Award 2010, Antologi Misteri Tas Merah Jambu (Kompas Gramedia, 2010) dan Negeri Kesunda (Antologi Pemenang Lomba Cerpen IAIN Imam Bonjol Se-Indonesia). Aktif berkegiatan di Yayasan Citra Budaya Indonesia – Sumatra Barat, Sanggar Sastra Pelangi Padang.
Judul: Rahasia Selma Penulis: Linda Christanty Penerbit: GPU Dimensi: 121 hlm, cetakan pertama April 2010 (edisi gramedia digital/ipusnas) ISBN: 9789792256567
Buku ini berisi 11 cerpen yang mengisahkan berbagai konflik yang dialami manusia. Diksinya cukup puitis dan membacanya seperti mengupas bawang. Dalam waktu singkat kita diajak menyelami sudut pandang, latar belakang tokoh yang bercerita lalu di tengah atau akhir diberi twist yang bebas diinterpretasikan oleh pembaca.
Karakternya pun begitu membekas, sehingga setelah selesai membaca membuat saya merenung lagi tentang apa yang dihadapi sang tokoh. Meyakinkan diri, apakah interpretasi saya benar atau keliru. Sayangnya, penulis memang membiarkan endingnya terbuka.
Hanya satu yang kurang saya nikmati dari buku ini, temanya cenderung gelap (dark) dan rumit, meski terasa ringan sebab diksi yang dipilih penulis. Sejujurnya menelusuri alurnya membuat saya merinding dan tak habis pikir.
Karya penulis ini pasti jadi kesukaan kalian yang memiliki minat terhadap sastra. Kalau tidak, bisa jadi kalian tidak akan menangkap pesan tersembunyi yang disampaikan penulis.
Secara keseluruhan semua isi cerita pada buku kumpulan cerpen berjudul “Rahasia Selma” dipenuhi suasana kesedihan yang kental, dengan penggambaran tokoh yang mengenang masalalunya. Isi keseluruhan buku berlawanan dengan sampulnya yang cerah, ceritanya penuh kemuraman dan kegelapan tokoh-tokohnya. Di lain sisi, ia mencoba mengangkat isu-isu sosial sekeliling, seperti perselingkuhan, dunia perpelacuran, pelecehan seksual, trauma, dan beberapa bentuk perlawanan terhadap norma atau ajaran yang seolah paten. Buku ini bisa dibilang cukup baik dan sedikit ringan untuk dibaca, namun kurang kuat dalam penyampaian tuturannya, sehingga ada beberapa bagian yang sangat membingungkan saya. Untuk teknik penceritaan bagus, saya secara tidak sadar berkali-kali membaca satu cerita karena membuat penasaran.
Membaca buku ini di Hari Minggu seperti tengah mempersiapkan hati dan pikiranmu untuk hari selanjutnya. Mungkin karena Linda telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengisahkan fiksi yang tampil apa adanya. Sesaat bisa membuat mata kita basah, atau memang kita sebagai pembaca tidak diberikan beban moral sebagaimana laiknya novel novel yang berkelas memiliki suasana tersebut. Kisah Drama nampaknya paling berkesan buat saya. Linda seperti ingin memperkenalkan konflik Aceh dengan caranya sendiri. Lalu cerita Babe juga tidak kalah absurdnya. Saya pikir sebagai penulis, kelas Linda adalah seperti karya karya ini. Saya pikir saya sudah siap menghadapi hari esok.
Baca kumcer ini awalnya buat aku pusing dan sering menerka serta over thinking. Harus meraba-raba dulu apa maksud cerita, tapi kabar baiknya penulis membuka secara perlahan maksud tersebut dan di akhir baru jelas apa yang dimau. Intinya kalian harus baca dengan sabar dan teliti. Kebanyakan tema membahas tentang manusia dan kemanusiaan.
Ada yang dilontarkan secara gamblang, ada simbolik dan ada juga perpaduan di antara keduanya. Tujuan penulis bercerita tidak mesti A jadi A. Boleh jadi A jadi B, A jadi C, dan seterusnya. Yah, intinya terserah kalian memanen hasil bacaan mau seperti apa. Cerpen favoritku di buku ini antara lain Pohon Karsen, Rahasia Selma dan Para Pencerita.
Dari buku rahasia selma ini saya kira awalnya seperti 1 cerita yang berkelanjutan, tapi ternyata memiliki beberapa cerita pendek yang berbeda dan bahasanya banyak yang terlalu baku atau mempunya makna tertentu jadi saya sendiri kadang kurang memahami isi ceritanya.
Bisa dibilang bahasanya sangat puitis tapi untuk sebuah cerita ini termasuk yang sangat kompleks dalam menjelaskankan beberapa kejadian seperti tempat, baju yang dipakai, bahkan hal hal kecil.
dan alur ceritanya kebanyakan gak bisa tebak bakal mau kemana arahnya. Beberapa cerita mungkin terasa terlalu suram dan berat bagi sebagian pembaca.
jujur dari syair yang tertulis di buku ini tidak terlalu paham, namun dari setiap cerita buku ini menurut saya cukup gelap, tetapi penulis lihai menutupi dengan kata-kata seolah cerita yang bahagia,
tetapi di akhir cerita seolah terhempas akhir cerita yang bahkan tidak terduga..
Linda Christanty itu salah satu cerpenis yang berhasil mengganggu pikiran saya. Karya-karyanya bernas. Seorang sastrawati yang tulisannya perlu kamu baca.
Selain seorang jurnalis, Linda Christanty juga seorang sastrawan. Kuda Terbang Maria Pinto karyanya meraih Khatulistiwa Award 2004 untuk kategori buku fiksi terbaik.
Seperti halnya karya nonfiksinya, cerpen Linda Christanty bersoal cerita keseharian manusia yang melawan ketidakadilan, trauma, dan sebagainya. Potret orang cabul yang berlindung di balik nama agama pun tergambar dalam salah satu cerpen. Potret ketidaknormalan yang kerap kita dapati dalam berita.
Pohon Kersen Cerpen ini diawali oleh deskripsi tempat yang membuatku iri. Sebuah rumah di tebing yang menghadap pantai. Dari rumah tersebut cuma terdengar gemuruh ombak dan peluit kapal karena pantai berada di bawah tebing. Di pinggir tebing, mengakar pohon nangka. Si tokoh aku, seorang bocah yang kerap bermain di pohon kersen yang tumbuh di halaman rumahnya. Ia sangat dekat dengan sang kakek yang sangat rapi dan teratur. Terbukti, sang kakek menyimpan buku belanja, kuitansi pembelian barang, memisahkan uang kertas dan uang logam. Saat membaca cerpen ini kepribadian sang kakek sangat membekas di benak.
Gaya bertutur si tokoh aku sangat lugu dan ceria, khas anak-anak. Terasa bahwa si anak itu sendiri yang bercerita kepadaku. Bukan Linda Christanty, si pengarang. Si tokoh aku sangat menyukai pohon kersen yang tumbuh rindang di depan rumahnya, hingga membuat dirinya berniat membuat rumah pohon. Sebuah penggambaran secara tersirat bahwa rumahnya tak lagi memberi ketenangan. Dalam cerita tersebut, dapat dibayangkan si tokoh aku adalah anak yang bahagia. Namun ternyata memendam masalah. Ia mengalami pelecehan seksual dari orang yang diasuh dan dibesarkan sang kakek.
Menunggu Ibu Si tokoh, Pia, mempunyai ibu yang menderita gangguan jiwa. Cerpen ini menggambarkan bagaimana Pia yang masih remaja menghadapi kenyataan itu. Dia tinggal berdua bersama sang ibu. Adiknya tinggal bersama paman. Beberapa hari sekali pembantu sang nenek, Fatma, datang untuk membersihkan rumah dan mencuci baju. Pia kesepian sehari-hari mengurusi sang ibu yang kerap kali tidak bisa diprediksi tindakannya.
“Aku harus menjaganya. Bagaimanapun ia tidak punya siapa-siapa, selain aku. Kadang-kadang aku ingin dipeluk ibu. Tapi aku takut dicekik. Bebek tetangga sekarat gara-gara dicekik Ibu.” Hlm 24
Kupu-kupu Merah Jambu Cerpen ini penuh dengan metafora. Awalnya aku membaca sambil lalu dan agak bingung. Jadi, aku membacanya dengan perlahan. Tentang pelacur transgender, lokalisasi. Juga tentang laki-laki yang begitu akrab dengan tikus hingga wajahnya jadi serupa tikus.
Mercusuar Cerpen ini mengangkat isu tentang hubungan sesama jenis. Seorang perempuan yang baru saja diputus kekasihnya, bertemu perempuan lain yang lebih tua. Tak hanya berkaitan LGBT, cerpen ini juga menyinggung diskriminasi suku dan ras.
Rahasia Selma Si anak gadis yang kesepian. Sang ibu yang memiliki hubungan tidak harmonis dengan suaminya memberi Selma kura-kura. Selma punya rasa ingin tahu yang tinggi, keinginannya untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia luar dihalangi sang ibu. Maka, diam-diam Selma memberontak dan mencari tahu.
Kesedihan Lelaki dan perempuan telah lama tinggal bersama. Namun, kemudian si lelaki membawa perempuan lain. Si perempuan melihat bagaimana kedatangan si perempuan satunya mengubah interaksi dan kebiasaan yang selama ini terbangun dalam rumah tersebut.
Para Pencerita Tentang sebuah keluarga di Aceh, di mana anak lelaki sulung, Hasril, menempuh pendidikan di luar negeri. Si anak bungsu, Fahmi, yang terpaut dua belas tahun dari sang kakak sulung, mencoba mengenal sang kakak yang sangat jarang dilihatnya. Si bungsu mengurai ingatan tentang kakak-kakak dan ibunya.
Gaya bercerita Linda dalam cerpen-cerpennya sangat dipengaruhi gaya literary journalism. Sebagai jurnalis, tulisan-tulisannya disajikan dengan tidak menghakimi. Dalam literary journalism, si jurnalis bertindak ibarat kamera. Si tokoh yang diwawancarai bukan sekadar nama, pekerjaan. Seorang jurnalis memberikan konteks, latar belakang, dan situasi dialami oleh subjek berita.
Membaca kumpulan cerita “Rahasia Selma” adalah seperti membaca sebuah cerita tuturan. Saya cukup tergelitik dengan judul buku “Rahasia Selma”. Rahasia Selma sendiri adalah merupakan salah satu judul cerita dalam kumpulan cerita. Entah apa yang mendasari penulis memilih judul Rahasia Selma? Saya sendiri kurang paham. Nyata-nyatanya saya tidak menemukan benang merah antara satu cerita dengan cerita yang lain yang mengaitkan dengan judul buku ini. Ya, Rahasia Selma.
Sama seperti ketika saya mencoba mencari tahu sepasang gambar kaki anak-anak, berkaus kaki hijau bergambar bunga-bunga namun bersandal. Berdasar atas sebuah penelusuran, saya menemukan bahwa ada kemiripan konsep dengan cover sebuah buku berjudul Lolita karangan Vladimir Nabokov. Konsep memajang kaki bersepatu memang tidak asing lagi, bedanya Lolita berkesan lebih menyedihkan dengan tampilan hitam-putih daripada Rahasia Selma yang berwarna lebih ‘ngejreng’ dalam kacamata saya. Cover ini saya katakan sesuai dengan kisah Rahasia Selma, yang menggambarkan rasa keingintahuan seorang gadis bernama Selma akan dunia luar, kemudian ia melakukan perjalanan sembunyi-sembunyi, hal ini dikarenakan rasa kesepian yang tengah dialami. Tapi apakah cover ini merepresentasi isi cerita-cerita lain di dalamnya? Saya rasa tidak.
Berikutnya yang ingin saya kemukakan adalah, adakah sebuah alasan khusus dengan memajang endorser dari buku sebelumnya pada buku ini? Kesemua yang diajukan adalah penyair dan lebih dikenal dalam tulisan puisi-puisinya. Saya jadi mengaitkan apakah ada alasan khusus yang dipakai penerbit atau pun penulis dalam menarik para pembacanya untuk lebih menggiring pembaca puisi menikmati karya ini? Berkaitan hal tersebut saya akan ajukan beberapa paparan di bagian berikutnya mengenai isi.
2. Isi
Penulis memakai bahasa penuturan penggambaran yang kuat dalam tulisannya. Setidaknya setiap memulai cerita baru atau sub bab baru penulis selalu menuliskan deskipsi gambaran detail suasana, tempat secara detail, namun saya juga menjadi memahami, tak demikian dengan deskripsi waktu.
Ceritanya menggambarkan kisah sederhana, sehari-hari dengan cara yang unik. Pemilihan kata-kata dalam kalimat-kalimatnya pun kaya. Namun entah bagaimana, saya kurang “akrab” dengan cerita-cerita itu. Layaknya cerita harian, cerita-cerita di sana menjadi milik “sendiri”. Sangat aneh rasanya ketika membaca “Pohon Kersen” misalnya saya harus menemukan “kopi robusta” dan “Ham Lam” di tengah jajaran karakter “Mak Sol” atau “Yu Ani”. Atau seperti membaca Rahasia Selma, ketika menemukan karakter Pak Suhana yang muncul dan kemudian muncul lagi nama Wilhelmus. Saya jadi kebingungan menentukan cerita ini mengambil setting di mana?
Nah, kegalauan saya adalah, meski cara penulisannya yang liris, kaya tema dan memiliki jalinan cerita yang kuat, saya selalu tidak paham dengan ending-ending dari tiap ceritanya. Apakah ini berkaitan dengan cerita catatan hati, saya tidak bisa menangkap maksudnya. Butuh pikiran yang tenang untuk paham satu persatu ceritanya, dan pembaca bukan seseorang yang selalu dalam keadaan serius dan penuh fokus saat membaca. Rahasia Selma tampaknya tidak cocok untuk pembaca cepat. Kehilangan satu paragraph saja maka hilanglah jalinan cerita. Berkaitan dengan endorser seperti yang saya kemukakan sebelumnya, hal ini lah yang saya rasa menjadi penyebab mengapa penulis berusaha menarik perhatian pembaca puisi. Cerita yang disuguhkan sarat dengan bahasa symbol yang lekat dengan tema kemanusiaan yang berat, penyajian bahasanya ini lah yang memungkinkan bahwa penikmat puisi atau bahasa syair diharapkan menikmati karya ini.