“Kota Daging”, begitulah kaum iblis menyebut tempat laknat yang aslinya bernama Jakarta. Dari 10 juta penduduknya, ada sangat banyak yang bisa dilahap lalu dibuang begitu saja sebagai korban tenggelam, korban mutilasi, korban tabrak lari, atau orang hilang jika yang bersangkutan dimakan hingga tak bersisa. Belum lagi para gelandangan, anak jalanan, pemulung dan orang-orang kelas bawah lain yang takkan dipedulikan keselamatannya. Jika mereka mati, toh takkan ada yang ambil pusing, kan?
Tak heran kaum iblis menyukai kota ini. Mulai dari sistem keamanan, sistem administrasi kependudukan, hingga sistem kesehatan, semuanya memberikan celah bagi mereka untuk memangsa sesuka hati tanpa takut terekspos oleh publik. Dalam kondisi seperti demikian, pemukiman kumuh adalah hidangan prasmanan, sedangkan rumah sakit bak meja penuh sajian menggiurkan.
Mungkin itu sebabnya kami berlima memburu iblis, karena tahu hidup orang-orang di sini sudah cukup susah tanpa harus menjadi santapan spesies predator. Atau bisa jadi karena kami memang membenci iblis dan senang membunuh mereka.
Terlepas dari semua itu, satu perburuan akan mengubah hidup kami untuk selama-lamanya. Satu perburuan, dan semuanya menjadi lepas kendali seperti bola salju yang meluncur liar, menelan siapa saja yang ada di hadapannya. Dan kami adalah penyebab utamanya.
Oke, aku sudah lama ngutang review sama penulisnya. Dan kayanya sudah seharusnya hutang itu dilunasi.
Forever Wicked adalah karya salah satu teman yang juga bersama2 sharing hasil karya tulisan dan saling belajar di komunitas penulis VGI. Aku juga pertama kali dapet link ke buku ini juga dari penulisnya langsung. Tapi jangan kuatir, review ini dijamin bebas rasa kasihan sesama teman. Hehehehe.
Langsung aja, kesan pertamaku dari buku ini adalah this book deliver what it promise. Sebelum masuk ke bab pertama ada semacam warning dari penulisnya bahwa buku ini akan penuh berisi istilah2 kasar, umpatan, dan adegan2 gore super kejam. Dan pada halaman pertama buku ini saja sudah ada kalimat seperti ini. "Hei, Njing, sini lu!" Yang tentu saja bukan dimaksudkan untuk memanggil hewan berkaki empat itu. Dilanjutkan dengan sedikit adegan dan dialog khas mahasiswa Jakarta(?) yang kayanya lebih banyak mikirin kehidupan pribadinya dibanding kehidupan kuliahnya.
Salah satu yang aku suka dari buku ini adalah temponya yang bisa dibilang cukup cepat. Bab pertama tidak bertele-tele menceritakan latar belakang tiap tokoh ataupun musuh utamanya. Misi para karakter utama dijelaskan secara sederhana: Memburu iblis, dan mereka tidak akan segan2 membantai sang iblis dimanapun mereka berada. Walaupun iblis itu sedang menyamar jadi penyanyi rocker dan sedang konser besar yang ditonton ribuan rang, misalnya.
Dan sekali lagi, adegan pertempuran di novel ini memang ganas. Jauh berbeda dari novel2 fantasi karangan dalam negeri yang biasa aku baca, yang biasanya adegan pertempurannya terasa nanggung. Maksudnya nanggung, biasanya karakter dalam novel2 itu cum berani nebas bahu, paha, punggung, atau bagian2 non vital lain walaupun mereka dalam pertempuran hidup-mati. Forever Wicked jauh berbeda. Leher dipenggal, usus terburai, mata ditusuk pedang, iblis dimutilasi habis2an sebelum benar2 dibunuh. Benar2 bukan buku buat mereka yang lemah kalo ngeliat adegan pembantaian. Dan lumayan memuaskan seleraku yang memang ga keberatan sama adegan hardcore kaya gitu.
Selesai pembantaian di bab pertama, cerita beralih mengisahkan hubungan para karakter dengan organisasi tempat mereka bernaung, ditambah dengan orang2 sipil di sekitar mereka. Disini aku mulai nemu satu bagian yang aku ga suka dari novel ini, sudut pandangnya konsisten pake sudut pandang orang pertama.
Emang jelek ya kalo novel pake sudut pandang orang pertama? Ga juga sih, kalo misalnya penulis konsisten dengan karakter yang dipakai tiap bab. Masalahnya adalah tiap kali ganti bab, karakter "aku" yang dijadikan "mata" bagi pembaca selalu berubah-ubah. Dari satu tokoh utama ke tokoh utama yang lain, dan beberapa bab malah memakai sudut pandang dari tokoh sampingan. Memang kita bisa liat cerita dari berbagai sudut yang berbeda kalo pake cara ini, tapi kalo pertama kali kita dimasukin dalam kepala tokoh yang kita ga kenal, dan belum pernah muncul di cerita sebelumnya, fokus cerita dan kenikmatan membaca jadi berkurang jauh.
Tapi, selain pemberian sudut pandang yang bikin nilai buku ini agak berkurang, aku bisa cukup menikmati ceritanya. Dari teknik penulisan danpembawaan cerita ga ada masalah yang terlalu berarti, aku bisa mbayangin ceritanya berjalan sementara tiap karakternya membantai iblis dengan pedang, pistol, dan sarung tangan. Persis game RPG yang sudah banyak beredar, tapi dengan setting Jakarta masa kini.
Dan bicara soal karakter, aku cukup bisa membedakan tiap karakter dalam novel ini. Mereka semua punya kepribadian dan sifat masing2 yang begitu jelas dan kentara perbedaannya dengan karakter lain, walaupun tipe karakter yang dipakai kadang berbeda jauh dengan karakter yang biasa muncul di cerita fantasi lainnya. Bahkan mungkin bakal bikin beberapa pembeca mengernyit kesal atau benci karena sifat dan pilihan kalimat mereka dalam berbicara. Yup, kevulgaran kisah ini ga cuma di adegan berantem, tapi juga di cara bicara dan pemilihan nama senjata mereka.
Aku sendiri agak ga setuju dengan jalan yang dipilih si "Regulus Supremus" walopun dia memang berniat banget membantai semua iblis yang ada. Dan sayangnya sampai akhir aku ga bisa ngerti kenapa dia sebegitu getolnya mau membantai iblis sampai melawan ayah dan saudaranya sendiri. Melawan ayahnya, aku bisa sedikit ngerti ngeliat gimana dinamika politik kaum iblis dan sifat ayahnya selama ini. Tapi berniat ngebunuh saudara sendiri? Dan ga ada penjelasan yang memuaskan lagi dari si pengarang.
Aku bisa aja ngereview buku ini pelan2, bab demi bab, tapi kayanya bakal kepanjangan dan terlalu banyak spoiler (ini juga aku udah berusaha ga ngumbar spoiler terlalu banyak) jadi, pembahasan ini langsung lanjut ke satu bagian lagi yang aku ga suka: The Ending.
Seperti yang sudah aku bilang di atas tadi, aku udah sering berbagi cerita dan saling belajar sama si penulis, dan kebetulan penulis pernah membuat satu cerita dengan tema battle royal seperti novel ini juga. Satu kebiasaan penulis yang aku sadari dari cerita lamanya dan novel ini, dan terus terang bikin aku agak gemes pas ngeliat karakter2nya berantem, adalah si penulis ga pernah membunuh satupun karakter utamanya! Walopun mata mereka udah ditanduk, perut dihantam sampai tembus, jantung dihancurkan, tapi selalu ada cara buat mereka hidup lagi dan selamat lagi dari yang supposed to be fatal wounds. Ditambah lagi dengan deus ex machina pas di bagian ending jadi pengurang nilai utama buat novel ini.
Tapi, kalo boleh jujur, aku lebih menikmati novel ini dari novel fantasi dalam negeri lainnya. Penuturan bagus dan mudah diterima, kalau kita udah terbiasa sama sudut pandang orang pertamanya. Teknik penulisan yang bagus dan cukup lancar dibaca. Ditambah lagi sama teknik penyampaian emosi yang cukup "ngena" buat aku. Sampai saat ini, adegan favoritku dari novel ini adalah waktu kedua saudari kembar saling bertarung di atas gereja pulau terpencil. It put me to tears once, years ago, and it still make me cry after I read it.
Pertama-tama, Gw bukan pencinta adegan action dalam tulisan (beda kalau visual). Mungkin itu sebabnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan membaca e-book ini...?? *cari2 alasan* :p
Bagaimanapun, harus jujur juga... banyak adegan pertarungan yang akhirnya kena tombol fast forward, heuheuheu.
Oke lah, gw tau si penulis udah bersusah payah mereka adegan2 pertarungan dahsyat bin sadis yang detil sampai ke tetesan-tetesan darahnya segala. Tapi ya... buat gw itu semua terlalu banyak. Adegan pertarungan pertama begitu berkesan di hati, tapi setelah itu... efeknya makin gak kerasa (kek hukum ekonomi itu lho), belum lagi isinya pada intinya sama, tokoh utama lawan demon, tokoh utama lawan demon, tokoh utama lawan demon, dst. Tambahan preferensi gw yang sedari awal kurang tertarik sama adegan aksi, jadinya ya sudah lah ya, adegan2 pertarungan di akhir udah kayak skimming super cepat aje. ^^' (maap)
Kedua(-dua), Repiu ini ditulis pakai bahasa gaul dengan sengaja. --> ngg... info gak penting, xD
Jadi sebenernya apa sih isi e-book ini?
Sinopsisnya kurang lebih begini: Jakarta (yeah, Jakarta; bosen kan ngebaca hal-hal "menarik" terjadi di suatu tempat di Eropa atau Amrik melulu? Nah, sekarang mereka dah imigrasi ke Jakarta...) ternyata adalah sarang iblis (demon). Kenapa para demon suka mangkal di Jakarta? Well, selain karena penduduknya banyak dan sebagian besar bisa dianggap gak penting (jadi, bisa dimakan/dibantai sesuka-suka loe), mungkin juga karena isinya banyak yang tolol yang gampang aja dibego-begoin, termasuk soal keberadaan iblis yang berkeliaran di sekitar mereka.
Jadi alkisah, ada lima bersaudara (dua di antaranya inses dan lesbi) yang entah kenapa benci banget sama iblis, termasuk yang udah "bertobat" sekalipun. Maka sebagian besar waktu mereka dipakai untuk ngomong jorok, sok keren, dan ya... bantai-bantai iblis gitu deh.
Sampai suatu ketika, terkuaklah kenyataan bahwa ternyata mereka Bukan Bintang Biasa (tidak termasuk teteh Melly). Mereka rupanya dikejar-kejar masa lalu. Dari the long-lost sisters, ayah super iblis (literally), sampai sekelompok PReMaN-SuKaPIpIS (Pasukan Rahasia Milik Negara - Seksi Khusus PembasmI IbliS). Maka, kisah ini pun berkelumit dalam rangkaian plot pertikaian saudara kandung (+ saudara tiri), penghianatan, balas dendam, cinta terlarang, perebutan warisan, dan Putri yang Ditukar... Semua bertumpuk sampai mencapai suatu titik (non-)klimaks di akhir.
Ini bukan cerita biasa! Serius.
(Sepertinya) Ada banyak referensi tentang iblis di cerita ini. Maaf, belum sempat cek. xD Malahan sempat masuk sejumput ide ke ranah evolusi pula. *roll eyes*
Tingkat gore yang disajikan termasuk sangat luar biasa untuk sebuah karya lokal. Dan ini jadi poin tambah banget. Karya ini keren.
Gw juga suka kenyataan bahwa karya ini berani untuk menjadi unik dan lain. Karya ini dengan asiknya memasukkan unsur-unsur gak aman ke dalam suatu cerita fiksi fantasi. Mantap. Meski belum keliatan niatnya apa (kalaupun ada). Mel dan Dien adalah karakter favorit gw, eniwei. Sebagai penyimak serial "Kata-kata L", karakterisasi kedua karakter itu menurut gw pas. *jempol*
Karakter-karakter utama yang lain juga oke. Namun naming yang terlalu banyak bener-bener bikin kepala cenat-cenut. Belum lagi namanya susah-susah. Lalu, you know me so well lah kalau gw itu suka drama, sesuatu yang membangkitkan emosi, membuat ketar-ketir. Nah, ini yang enggak banyak bisa ditemukan dalam FW:EN. Belum banyak pengembangan karakter. Gw lebih banyak mengenal sifat-sifat para karakter semata-mata karena penulisnya atau karakter lain (baca: si penulis juga) mendeskripsikan sifat mereka begini dan begitu. NAMUN... cara penulis membedakan sifat karakter lewat narasi mereka ketika mereka menjadi POV cerita patut diacungi jempol. Memang gak gampang 'tuk langsung tau ini siapa yang lagi jadi narator, tapi setelah maksimal 10 baris bisa ketauan kok.
Kelompok pembasmi iblis buat gw juga agak janggal kemunculannya (apalagi sampai dapat jatah narasi). Oke lah, kehadiran mereka mungkin punya misi penting banget nanti (di buku berikutnya?); tapi toh mereka gak penting kan sekarang? Kenapa gak disimpen aja buat nanti? Atau kalau mereka memang harus muncul dari awal, ya bisa lah coba dibuatkan suatu plot titipan yang minimal bisa meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Satu hal terakhir, penggunaan dialog bahasa asing dengan tanpa penjelasan sama sekali buat gw keputusan yang kurang bijak. Alasan penulis(?): Terlalu banyak, jadi gak bisa semuanya dijelaskan atau dikasih subtitle. Hmm... mungkin para orang asing ini gak harus banyak ngomong, dialog mereka bisa dinarasikan. Toh, kan gak semua hal harus dinyatakan dengan kata-kata (halah). Positifnya, untunglah penulisan kalimat-kalimat asingnya bener, jadi minimal gak keganggu karena ngeliat grammar salah atau apa (sotoy). Hehehe.
Kesimpulan akhir, ini karya yang oke. Layak dibaca dan dinikmati, khususnya bagi pencinta kisah sadis nan eksotis. Cuma sayang (masih aja?!), karya ini hanya muncul sebagai e-book, dan keliatannya keputusan ini pada akhirnya juga memaksa penulis memotong kisahnya dengan porsi yang kurang begitu pas. Mungkin masih ada harapan untuk melihatnya terbit dalam bentuk cetakan??? Ya... kita liat aja deh perkembangannya... :) Lanjut!
Kalau bukan karena tokoh-tokohnya yang super-duper bad-ass, gaya bercerita yang enak dan mengalir, plus mengajari beberapa kosa kata makian baru, aku sudah siap memberikan novel ini dua bintang saja.
Love: - gaya penulisannya. I see this guy got some talent in weaving words. - karakter-karakternya yang bervariasi dan berkepribadian lumayan kuat. - secret organization and demon hunters, who doesn't love them? XD - tingkat kedetilan deskripsi yang lumayan - their true devil form, oh yeah. - karena cerita ini mirip-mirip sama proyek novel yang sedang kugarap juga. bahkan karakter yang kubuat bermulut sampahnya juga bernama sama, Edward. kok bisa ya 8I?
Hate: - karakter2nya...terkesan tidak waras. setengah sinting mungkin. tingkat ketahanan perut mereka pada kesadisan mereka amat tinggi, apa itu karena pengaruh darah iblis dalam tubuh mereka? - karakter2nya selalu bermandikan darah (dan daging serta isi perut mungkin) tiap kali selesai menghabisi iblis...dan melenggang masuk mobil dengan santainya tanpa mandi atau ganti baju dulu. kasihan Edward, selaku si pemilik mobil XD. - beberapa alasan yang diberikan terkesan mengada-ada dan kurang kuat... - misalnya, si Anjas (tampaknya) pemimpin kelompok pemburu mereka 'kan? kenapa dia membiarkan (demi ego kakaknya semata) kelompoknya menghabisi seluruh iblis yang datang berkonser itu, kalau sudah tahu resikonya seperti apa nanti. apa dia memang enggak? entahlah, tapi kesan itulah yang kudapat. - (2) kenapa Edward meminjamkan mobil kebanggaannya kepada adiknya yang telah berubah, dan nantinya juga bakalan dikejar-kejar dan dibunuh? kesannya sengaja supaya bisa ada adegan kejar-kejaran antara wujud iblis dan mobil... - Edward kuliah hukum, dan Anjas 'mencari nafkah dari pena dan tinta'. tapi tak sekalipun kehidupan mereka yang itu disinggung-singgung. kecuali sekali, ketika Edward mengunjungi sebuah diskusi tentang hukum. itu saja kurang cukup, menurutku. semanjak kuliah, obrolanku dengan adikku diisi dengan 85% tentang tugas kuliahnya yang membludak. jadi...kemana tugas-tugas itu pergi selama Edward berburu iblis? dan profesi Anjas itu sebenarnya apa? mungkin tidak penting sih, tapi rasanya seperti sudah diberitahu bahwa sejak awal 'Anjas nantinya akan menulis artikel atau novel', atau 'Edward nantinya akan memperlihatkan kehidupan anak kuliahan yang juga adalah demon-hunter seperti apa', tapi enggak disodor-sodorin juga :I. - ending. jiah, ending yang diputus gaya gini yang paling bikin bete :( bahkan penutup ceritanya bukan dari salah satu karakter utama, tapi dari si...cewek hunter :I. - semoga si penulis tidak memaksudkan 'My Chemical Wedding' sebagai 'My Chemical Romance'. kalau itu benar, aku siap menurunkan bintang buku ini jadi satu bintang saja *menyeringai iblis*
sekian review dariku, kalau ada beberapa ketidak-cocokan, silakan beritahukan yang mana saja, akan kuubah dan kuganti nantinya bila sudah sepakat. btw, mau dibuat komik ya? semoga jadinya keren, kayaknya cocok sih ini cerita dijadiin komik :).
This entire review has been hidden because of spoilers.
Jariku saat ini (selain mengetik) sedang mengusap keningku yang berkedut-kedut karena membaca story ini. 130 halaman saja, tidak kuat membaca sampai habis. Lalu sekarang lagi mikir, ceritanya sebenernya apa sih? Bahasa berantakan. POV yang berganti-ganti (aduh bikin pusing beneran deh). Tokoh-tokoh yang tidak ada kedalaman pribadinya sama sekali. NONE AT ALL. Saya bisa saja mengganti kalimat yang diucapkan Dien menjadi Mel dan tidak akan menemukan perbedaannya. Perbedaan antara Edward dan yang lain-lain pun hanya dibedakan dari sumpah serapahnya yang "oh god please stop...". Saya tidak bermasalah dengan aksi berdarah-darahnya, dan adegan action-nya sebenernya lumayan juga. Plotnya juga kacau. yang paling bearable itu pas adegan "humans" lagi menganalisa kekacauan di Demon Dance. Tapi sungguh, POV yang berganti-ganti itu bikin kepala berkedut-kedut nggak keruan. Rasanya ingin berteriak (sama penulisnya) WHY??????
Sebuah cerita yang baik itu bukankah agar kita bisa ikut 'terjun' dalam dunia mereka? Agar kita bisa memahami dan menyelami apapun penderitaan atau kebahagiaan yang mempengaruhi setiap pengambilan keputusan yang para tokoh ini lakukan? BUkankah demikian Erwin Ardiansyah? Lalu kenapa kamu nggak melakukan satupun hal itu pada tokoh-tokohmu. Tidak adakah tokoh yang kau cintai di cerita karanganmu ini? Apakah kau tidak ingin melihat tokoh-tokohmu 'hidup' dengan masing-masing karakter yang gemilang? Yang bisa membuat pembacanya menarik nafas, atau meneteskan air mata untuk mereka.
*sigh*
"aduuhh" mijit kepala yang nyut2an.... udah deh, jadi nggak napsu baca buku yang lain... harus dilakukan penyegaran otak. Segera!
Ada bagian-bagian yang saya sukai di sini. Misalnya detail adegan. tapi ada yang saya lewat juga sih. Lalu, penggambaran karakter juga ok. Terlepas dari saya suka atau tidaknya pada karakter2 tersebut. Penggambaran cerita bagus. Walau banyak karakter dan masalah cukup rumit, sy bisa menangkap cerita besarnya.
Kekecewaan saya adalah ketidak-jelasan inti cerita. Sejak awal tidak jelas apa tujuan dari tokoh-tokohnya. terutama tokoh utama. Apa yang melandasi pembantaian iblis secara sadis itu? Melindungi manusia? Kalau itu sangat penting, kenapa mereka 'mengorbankan' manusia juga ketika ada cara2 untuk menghindarinya. Dialog Martha dan Anjas di awal, saya kira di akhir akan mendapat penjelasan yang memuaskan. Nyatanya akhirnya juga tidak jelas.
Walaupun karakternya jelas tapi tujuan dari karakter tidak jelas. Pada setiap mereka melakukan tindakan tidak dilandaskan pada alasan cukup kuat (logis). Tidak semua tapi sebagian besar.
Pada saat cerita berakhir komentar saya hanya: 'Apaan nih?' 'Apa maksudnya?' Walaupun cerita ada sambungannya, tadinya saya harap menemukan satu kesimpulan di buku ini. Sayang sekali, padahal cara berceritanya bagus. Kecuali saya tidak terlalu suka pov 1 yg terus berganti.
Novel ini mengisahkan tentang lima orang pemburu iblis bernama Ed, Anjas, Mel, Dien, Lee. Mereka tanpa ampun memburu iblis, mulai dari iblis itu sendiri sampai ke keluarganya, bahkan anak yang masih dalam rahim kandungan sekalipun. Ternyata diketahui di tengah cerita kalau mereka berlima ternyata juga merupakan iblis.
Well, well. Let's review.
Pertama buka novel ini, udah ada peringatan kalau novel ini mengandung sesuatu yang vulgar, kasar, dan blabla lainnya yang hanya bisa dibaca 18+. Oh okay. Berhubung aku sendiri udah melewati umur itu, then I agreed.
Dialog pertama dimulai dengan bahasa kasar. Olalala~ but well, I agreed to continue read it, right?
Aku pikir dialog berbahasa kasar akan mewarnai keseluruhan cerita sampai akhir. Ternyata... nggak tuh.
Dialog kasar kebanyakan hanya digunakan oleh Ed, yang menurutku memang wataknya keras. Kalau Anjas dan Lee, hanya sedikit. Itu pun tidak pada semua orang mereka berbahasa kasar. Dialog Mel, Dien, dan Ririn malah menggunakan bahasa dengan EYD yang pas.
Yes, it's about character. Aku suka karakter para tokoh di novel ini. Dialognya memang kasar, tapi ada sesuatu yang membuat masing-masing kepribadian punya akar yang kuat. Meskipun aku membuat pengecualian untuk Mel dan Dien yang kadang ngga bisa dibedain yang mana. Tapi untuk yang lain, kurasa meskipun POV-nya sering beralih satu dan lainnya, ga membuatku merasa sangat lost. Tapi, pengecualian untuk POV yang dilakukan karakter-karakter cewek. Kadang membuat aku lost karena ga ada bedanya. Apa karena penulisnya cowok ya?
Abu-abu. Aku nemu sisi abu-abu pada karakter-karakter di sini, satu hal yang aku suka. Yah, banyak situasi dilema yang melibatkan mereka di novel ini. Jadi ngerasa tegang juga saat ngebacanya.
Gaya bercerita dan plot sangat mengalir. Bahasa kasar hanya ditemukan dalam dialog karakter tertentu, tapi narasinya cukup rapi.
Oh, adegan actionnya! Cukup mendetail. Aku suka. Lumayan jadi inspirasi juga buat aku yang memang lagi menulis naskah dengan adegan action, hahaha! xD
Yang aku ga suka dari novel ini seperti yang aku bilang sebelumnya sih: - Untuk karakter2 cewek ga bisa dibedakan. Baik dari POV maupun dialog. - Sampai terakhir, aku masih ga ngerti mahkota iblis itu seperti apa bentuknya.
Overall. 3.5 stars. I liked it, but not quite enough for me to say 'very'.
Gw belom pernah baca karya se....se.....se......apa ya? Beneran kepala gw nyut-nyutan, dada gw sesek, gw sampe nangis baca ini. Iya, gw nangisin iblis-iblis yang mati.
Sampe halaman 38 gw udah gak kuat lagi. Tokoh utamanya gak ada yang waras. Gw BENCI semua tokoh utamanya. Gw benci sebenci-bencinya. Oke, si penulis emang udah ngasih tau kalo novel ini bakalan penuh makian dan kekerasan, I don't mind that asalkan mereka punya alasan cukup bagus buat melakukan hal-hal sinting itu. Tapi, yang terjadi di sini adalah, gw sama sekali gak dapet apa alasan mereka. Semuanya pembantaian tanpa penjelasan. Dan mereka santai-santai aja melakukannya.
Satu hal yang paling gw benci adalah waktu si Edward bunuh istri Brata yang hamil. Sumpah itu sama sekali gak pake otak. Yang gw tau, sekejam-kejamnya seseorang, dia gak bakal sampe bunuh bayi gak berdosa. Nah ini. Bayinya belom lahir, eh rahim ibunya udah ditusuk. Gila. Bener-bener gila.
Soal gaya penulisan. Biasa aja. Ada beberapa kata yang gw rasa gak enak banget penempatannya, misalnya sanubari. Lucu juga si Edward yang kayak begitu bisa ngomong sanubari. Terus akuan yang lompat-lompat juga bikin sakit kepala.
Awalnya gw sempet mikir kenapa si penulis gak kirim aja karyanya ke penerbit mayor. (Gw baca beberapa review yang dia tulis dan gw terkesima.) Sekarang gw tau cuma penerbit retarded yang mau nerbitin ini. Bukan karena genre cerita ini gak menjual dan juga bukan karena hal-hal vulgar/sadis di dalamnya, tapi lebih karena karya ini memuakkan bahkan sejak bab pertama.
Jujur aja gw mengharapkan sesuatu yang lebih, jauh dan jauh lebih baik, dari seorang Erwin Adriansyah. Sorry to say, kayaknya e-book ini bakal gw apus dari tablet gw.
Ini kejam, tapi... Seumur hidup gw belom pernah baca karya sesampah ini. Kalo bisa gw mau kasih bintang minus. Minus 3000 kalo perlu.
Hal yang kurang aku suka >> kecuali Martha, aku tidak suka dengan semua karakter utamanya >> Bab 2 >> Pertempuran antara Christabel dan Annabel, dan pertempuran di Menara Semesta (entahlah, aku merasa, selain bab 1 dan pertempuran setelah di Daemon Dance, seolah kehilangan keseruan pertempurannya yang coba disajikan oleh penulis) >> kata "membokong", mungkin karena aku belum pernah menemukannya di novel lain >> Kurang kuatnya hubungan percintaan Mel dan Dien. Dien yang tampak seolah ogah dijadiin kekasih, dan Mel yang melarang Dien memanggilnya kakak, suatu ketika menyebutnya adik.
Hal yang paling aku suka >> Bab 1! >> Perbincangan Ririn, Mel dan Dien mengenai Kromosom. Meski menyisakan sedikit ganjalan, berarti tinggal ilangin sepasang kromosom dan iblis pun jadi makanan iblis lain :)) >> Settingnya di Indonesia!
Overall, novel yang dikemas dalam bentuk ebook ini bagus kok. Agak gore, tapi hanya terasa di bab 1. selebihnya hambar (bukan berarti aku penggemar gore, hahah).
Untuk ide dan jalan ceritanya saya suka. Penuh action yang cukup mendebarkan.. hanya sebatas cukup, gak ada klimaks yang bisa bikin saya menggila atau berseru "wow, gilaaak!". Kecewa, padahal ini cerita tentang peperangan iblis, seharusnya bisa lebih nendang dengan kesadisannya.
Saya merasa kekurangan emosi.. datar-datar aja, padahal saya sudah menantikan bagian mana yang akan segera mencengkeram dan menarik diri saya untuk ikut terlibat di dalam ceritanya.
Di beberapa bagian, saya bertanya "kenapa?" - "kok, Anjas begitu?" - "ada apa sih? itu alasannya apa? kok, gak dijelasin?" Sepertinya si penulis keasikan menjelaskan pengetahuan ini dan itu sehingga bagian penting lainnya malah luput.
Karakter para tokoh rata-rata sama, bengis dan senang kekerasan, ada sisi baiknya juga walaupun hanya sepuluh atau sebelas dari seratus persen. Yah, namanya juga iblis.
Kesimpulannya, tiga bintang ini (3/5) saya berikan untuk Forever Wicked karena konsep ceritanya :) menarik!