Kumpulan cerpen Umar Kayam terakhir, Lebaran di Karet, di Karet … — yang terbit setelah Umar Kayam meninggal — memuat 13 cerpen. 8 dari 13 cerpen itu pernah diterbitkan dalam kumpulan cerpen Umar Kayam, Parta Krama (Yayasan untuk Indonesia, 1997). Dari 5 cerpen yang ditambahkan (“Menjelang Lebaran”, “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “Lebaran di Karet, di Karet …”, “Sardi”, dan “There Goes Tatum”), satu cerpen pernah dimuat dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah, yaitu “There Goes Tatum”.
Daftar Cerpen: 01. Ke Solo, Ke Njati 02. Ziarah Lebaran 03. Menjelang Lebaran 04. Lebaran Ini, Saya Harus Pulang 05. Marti 06. Mbok Jah 07. Lebaran Di Karet, Di Karet… 08. Sardi 09. “There Goes Tatum” 10. Sphinx 11. Raja Midas 12. Parta Krama 13. Drs Citraksi & Drs Citraksa
Many predicate have been given to Umar Kayam. He was a writer, lecturer, bigscreen artist. Most of his time was spended as a lecturer at Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Bibliography: * Sri Sumarah (Pustaka Jaya, 1975) * Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992) * Jalan Menikung/Para Priyayi 2 (Pustaka Jaya, 2002)
buku ini mengingatkan di antara keterbatasan, masih ada keterbatasan yang lebih terbatas lagi. saya jadi ingat isa almasih saat harus memanggul salib itu. ajari saya, dong.
umar kayam dalam 13 cerita pendeknya ini kental sekali dengan unsur realisme. seperti dalam buku-buku fiksi umar kayam yang lain. para priyayi yang legendaris itu. atau pada seribu kunang-kunang di manhattan dan sri sumarah dan bawuk.
cerita sepele yang hampir kita lupakan bagi umar kayam menjadi titik temu proses kreatif. seorang jawa udik yang begitu takjub dengan pemandangan kota manhattan, kisah cinta yang begitu saja terjadi di kedai kopi, diubah umar kayam menjadi cerita yang menyentuh. gelar professor antropologi bisa jadi menjadi senjata bagi umat kayam untuk mengolah cerita. sehingga realisme yang ditampilkan umar kayam bukanlah realisme borjuis ataupun realisme sosialis. tetapi lebih bersifat kultural.
saya menikmati membaca umar kayam. mungkin karena ada sentuhan kultural jawa yang begitu kental. jika ada yang disayangkan saat saya membaca umar kayam adalah suasana hati saya yang cenderung sentimental. keterbatasan yang selalu menjadi cerita umar kayam seperti menggelayuti saya sehari-hari. ya. saya juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan itu. orang butuh 'hidup' untuk hidup. pun saya. jika ternyata 'hidup' tidak mau berkompromi dengan keterbatasan. hanya hampa. kosong yang tersisa. tapi saya tetap harus berprasangka baik dengan hidup. semoga dia baik-baik saja di sana. ilaika mustaka ya alloh. ilaika mustaka. wa antal musta'an ya alloh. wa antal musta'an. semoga.
ps: terimakasih buat roos atas pinjaman bukunya. maaf belum dikembalikan.
Sambil ngedit naskah novel baru, selesai baca "Ziarah Lebaran", kumpulan cerpen Umar Kayam.
Cerpen-cerpen Umar Kayam selalu bersuara dari sudut pandang rakyat bawah, atau perkara rumahan yang sangat mendasar. Hampir seluruh cerpen dalam "Ziarah Lebaran" berkisah tentang problematika rakyat bawah (dan atas) dalam menghadapi hari besar umat Islam itu: tak bisa pulang kampung karena tak ada uang, pembantu yang berat meninggalkan majikan sendirian, orang kaya yang rumah besarnya terasa sepi karena anak-anaknya tak ada yang pulang lebaran, dan seterusnya.
Kisah-kisah masalah menjelang dan pada saat lebaran yang diangkat Umar Kayam dalam bukunya "Ziarah Lebaran" membuat saya mengingat rumah dan kampung halaman saya sendiri. Sekaligus mengingatkan saya akan status saya yang sebagai anak rantau, setahun sekali mengusahakan untuk pulang ke rumah menemui keluarga saat lebaran.
Membaca cerpen-cerpen Umar Kayam di bukunya yang ini, saya tiba-tiba menerawang, apakah kelak saat saya tua saya akan jadi lelaki yang kesepian di rumah sebab anak-anak saya yang sudah berkeluarga tak ada yang bisa pulang saat lebaran?
"Ziarah Lebaran" oleh Umar Kayam, 4 dari 5 bintang.
Libur Lebaran pun usai Cerpen Umar Kayam pun tuntas.
Dalam cerpen ini Umar Kayam yang disebut sebagai penulis dg gaya realis culture menampilkan usaha orang Indonesia tahun 80-90 merayakan momentum Lebaran.
BErjuang meski hasilnya hampa. Tapi Lebaran tetap jalan.
Favorit saya dalam kumpulan cerpen ini pada judul Ke Solo ke Njati.
Tak semua cerita berkaitan dengan suasana Lebaran seperti raja midas, drs citraksa dan citraksi, tak jadi soal karena ceritanya tetap berkwalitas.
Sebagai seorang yang tidak pernah mudik dan selalu merayakan hari raya dengan keluarga besar saya tentunya tidak pernah merasakan perjuangan untuk bisa mudik ke kampung halaman, namun dengan deskripsi yang jelas dan sederhana dari Umar Kayam, saya bisa membayangkan bahwa berkumpul dengan keluarga di hari raya adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus disyukuri. Bisa jadi lebaran esok, kita tidak dapat merasakan kenikmatan yang dirasakan kini.
Ah, Umar Kayam. Aku sedang "kongkow" di kafe yang ada perpustakaannya. Iseng-iseng kucari buku dan melihat kumpulan cerpen ini. Wah, asik nih. Sebenarnya aku penasaran dengan cerpen "Kunang-Kunang di Manhattan"-nya. Kukira ada di dalam buku ini. Ternyata tidak, tapi toh cerita-ceritanya dalam buku ini juga menggugah. :3 I love this book
kalau ga salah, dua tahun sebelum meninggal, Umar Kayam menullis cerpen Lebaran di Karet, di Karet. Isinya tentang kesepian, hari raya, dan kematian. Hmm, atau mungkin dia punya firasat kalo ini bakal jd karya terakhirnya? Yg jelas baca ini bikin gw merinding,cuy