What do you think?
Rate this book


256 pages, Paperback
First published January 25, 2023
❝Lo bisa nikah seratus tahun sama seorang perempuan dan lo tetap nggak ngerti apa maunya.❞
—Page 35-36
❝Yang laki-laki nggak ngerti, perempuan itu lebih dari mampu buat mandiri. Tapi, kita sayang sama keluarga sendiri. Hidup semua kita kasih ke keluarga. Jadi jangan dipikir kita serba ketergantungan sama suami ya. Perempuan itu capable but cari kebahagiaannya sendiri, nggak peduli di usia berapa pun.❞
—Page 41
❝Aku mau bebas, Bra. Aku juga mau kamu bebas dari semua tuntutan aku tentang kebiasaan kamu. Menuntut itu capek loh, Bra. Apalagi kalau dilakukan selama puluhan tahun.❞
—Page 67
❝Tata pun gamang mendapati dirinya berada di antara dua keputusan yang sama beratnya. Saat mamanya bicara tentang tempaan hidup, ia tak menyangka bahwa akan diserang sampai ke partikel kecil dirinya. Begitu dahsyat dampaknya sehingga ia pun paham mengapa para orang tua dulu selalu berkata bahwa hidup adalah perjuangan.
Tempaan hidup saat in membuatnya merasakan perubahan bentuk tanpa ampun. Jiwanya memadat, penyok di sana-sini. Tata berharap tak pernah mendapatkan pilihan seberat ini.❞
—Page 104
❝Seketika Ibra merasa bodoh. Tata tak pernah menuntut macam-macam seperti istri teman-temannya. Tata memaklumi kekurangan sang suami dalam berinisiatif dan melakukan hal romantis. Lalu dengan ringan Ibra jadi menganggap Tata tak perlu perhatian lebih. Ibra jadi tidak pernah memberikan apa pun kepada istrinya. Padahal, perempuan mana yang tak suka diberi perhatian? Perempuan mana yang tak suka jika pasangannya menghadiahi sesuatu atau membelanjakan barang yang ia inginkan?❞
—Page 129
❝Kenapa sih, Bra, harus ada yang salah? Life sucks... it's hard already. Aku cuma butuh teman but berkeluh kesah sesekali. Bukan berarti aku nyerah, atau menyesal, cuma mau ngungkapin isi hati supaya bisa lebih lega, lebih kuat menerima kenyataan. Kenapa kamu malah membuat semuanya jadi makin berat?❞
—Page 136
❝Kalau ditanya kesal sih, aku nggak kesal. Aku lebih ke sedih. Iri. I didn't have that, you know? Space, stress reliever... apalagi waktu anak-anak masih balita, hidupku ditempeli sama dua makhluk kecil yang selalu bersuara setiap saat dan nggak bisa ngapa-ngapain selain ngurus mereka. Mereka benar-benar menggemaskan dan aku sangat menyayangi mereka, tapi 24 jam selama lebih dari lima tahun? Kebayang nggak rasanya?❞
—Page 145
❝Kenyataannya tiap kali aku meminta kebebasanku, kamu mempertanyakan pertanggungjawabanku sebagai istri dan ibu.
Kamu nggak bisa menerima aku melakukan apa yang aku mau, Bra... kamu nggak bisa!
Kenyamanan sebagai laki-laki yang selalu bisa melihat urusan rumah tangga sebagai pilihan, bukan tanggung jawab! Karena menurut kamu, semua urusan rumah itu tanggung jawabnya perempuan, kan? Aku nggak berhak melakukan apa yang aku mau karena aku harus mementingkan tanggung jawabku mengurus rumah, anak, dan kamu! Ya, kan?❞
—Page 190
❝Tata menyadari, tak akan pernah lagi mengutarakan sakitnya baik lahir maupun batin kepada sang suami. Di titik itu Tata yakin, Ibra tak bisa memahami rasa sakitnya, dan menjelaskan sakit itu kepada Ibra rasanya seperti menambah garam pada luka.
Seketika tumbuh tembok-tembok besar dan kokoh di kepala dan hati Tata, membuatnya merasa terpenjara dan putus asa. la tak menyangka bahwa akhirnya pernikahan mereka membawa-nya pada satu pengertian, pria yang dicintainya itu ternyata sanggup membungkam hati dan meruntuhkan impiannya akan rumah tangga yang bahagia.
Perih yang Tata dapatkan dari ucapan suami yang ia percayai sebagai tempat berbagi menjadi perih yang paling tak terta-hankan sepanjang hidupnya.❞
—Page 197
❝Sampai akhirnya aku sadar, kamu nggak akan bisa melihat aku sama seperti aku melihat kamu. I fought my best, too. I lost my job, I lost my time... I lost my freedom. I feel less like a human and marrying you felt worse day by day.
Tapi, kita nggak boleh bicara begitu tentang rumah tangga kita, kan? Life is hard. It is that tough. Jadi aku mencoba untuk coping. Coping dengan keadaanku, keadaan kamu, aku berusaha menjembatani semua.❞
—Page 213
❝Tapi, pasangan yang normal tuh rasanya nggak kayak kita, Bra. I just want my life back. I feel like I deserve it. Aku nggak berharap kamu bisa paham karena aku memang egois banget soal ini. Tapi, aku merasa sekarang lah waktunya giliranku untuk hidup, Bra.
Aku terima kalau aku dikatakan less as a woman. Aku terima kalau aku dikatakan terlalu duniawi. Aku nggak berharap orang lain bisa memahami pilihanku. Aku cuma pengin kembali hidup. Usiaku sudah nggak panjang lagi, aku cuma pengin.... pengin embrace it.❞
—Page 218
❝Katanya, Bunda sayang sama Ayah. Kalau kita sayang, kita nggak akan mempertanyakan balik perasaan yang disayang. Kita akan kasih dan terus percaya mereka merasakan perasaan kita.❞
—Page 243
Tempaan hidup saat ini membuatnya merasakan perubahan bentuk tanpa ampun. Jiwanya memadat, penyok di sana-sini. (hal. 104)
"Kalau kita sayang, kita nggak akan mempertanyakan balik perasaan yang disayang. Kita akan kasih dan terus percaya mereka merasakan perasaan kita." (hal.243)