Melalui pergolakan nasib seorang perempuan dan huru-hara kecemburuan, Andrea Hirata kembali memilih sudut yang tidak terduga untuk menampilkan kisah yang inspiratif tentang kegigihan karakter-karakter di dalam novelnya. Novel Padang Bulan bermula dari kisah seorang gadis kecil berusia 14 tahun, Enong namanya, yang sangat gemar pada pelajaran bahasa Inggris, namun secara mendadak terpaksa harus berhenti sekolah dan mengambil alih seluruh tanggung jawab keluarga. Tersambung pada sekuel novel ini, Cinta di Dalam Gelas, perjalanan nasib anak perempuan kecil itu, melalui gaya khasnya: menertawakan kepedihan, memarodikan tragedi, mengkritik tanpa menjadi sarkastik, kisah Enong menjadi seperti panggung di dalam lembaran-lembaran kertas. Membaca novel ini seperti melihat sebuah gambar.
Dengan menceritakan kisah Enong seperti sebuah epos, Andrea berhasil memperlihatkan kepada pembaca kekuatan-kekuatan besar yang tersembunyi di dalam diri manusia, kekuatan yang sering tidak disadari seseorang berada di dalam dirinya. Enong jatuh, bangun, jatuh lagi, dan bangun lagi. Kisah Enong tidak sekadar kisah sebuah keluarga yang sederhana, namun tentang impian seorang anak kecil, tentang keberanian menjalani hidup, dan tentang seorang lelaki yang menjadi berantakan karena tragedi cinta pertama.
"Cemburu adalah perahu Nabi Nuh yang tergenang di dalam hati yang karam. Lalu, naiklah ke geladak perahu itu, binatang yang berpasang-pasangan: perasaan tak berdaya-ingin mengalahkan, rencana jahat-penyesalan, kesedihan-gengsi....," kata lelaki itu.
Under a bright sunny sky, the three-day Byron Bay Writers’ Festival welcomed Andrea Hirata who charmed audiences with his modesty and gracious behavior during two sessions.
Andrea also attended a special event where he and Tim Baker, an Australian surfing writer, spoke to a gathering of several hundred school children. During one session, Andrea was on a panel with Pulitzer Prize winning journalist from Washington, DC, Katharine Boo, which he said was a great honor.
The August event for the school children was very meaningful to Andrea, the barefooted boy from Belitung, as he made mental comparisons with the educational opportunities of these children, compared to what he experienced.
And now his own life story is about to become even more amazing, as his book Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) is being published around the world in no less than twenty-four countries and in 12 languages. It has caught the eye of some of the world’s top publishing houses, such as Penguin, Random House, Farrar, Straus and Giroux, (New York, US) and many others. Translations are already on sale in Brazil, Taiwan, South Korea and Malaysia.
All this has come about because of the feeling of appreciation that the young Andrea felt for his teacher, Muslimah. He promised her that he’d write a book for her someday. This was because for him and his school friends, a book was the most valuable thing they could think of.
Andrea told a story that illustrated this fact. When royalties flowed in for him he decided to give his community a library. He spent a lot of money on books. He left the village headman in charge of administering the library. However, when he came back several months later, all the books were gone. People loved the books, but they had no concept of how a lending library functioned.
“Some of them could not even read, but they just loved to have a book, an object of great value and importance, in their homes. We will restock the library with books and this time it will be run by our own administration,” he laughed.
Andrea told this story as we sat in the coffee shop adjoining a Gold Coast City Library, one of 12 scattered around the city. One of the librarians, Jenneth Duque, showed him around the library, including the new state-of-the-art book sorting machine, for processing returns located in the staff area. As he saw the books being returned through pigeonholes by the borrowers and the computerized conveyor belt sorting them into the correct bin for reshelving, the sight made him laugh and prompted the telling of that story.
Andrea wrote the book for his teacher while in the employ of Telkom, but the completed manuscript was taken from his room, which was located in a Bandung student accommodation community. Whoever took the manuscript knew enough to send it to a publisher and that’s how Andrea, an unhappy postal service worker who had studied economics in Europe and the UK, became the accidental author of the biggest selling novel in Indonesia’s history.
He has since written seven more books.
Fast forward to 2011 and Andrea was in Iowa, the US, where he did a reading of his short story, The Dry Season. He was approached by an independent literary agent, Kathleen Anderson. They talked, but for six months there was no news until an email arrived telling him that one of the best publishers in the US, Farrar, Straus and Giroux, had accepted his book.
Then every week, more publishers said “yes” and now he has 24 contracts from the world’s leading publishers.
Andrea worked with Angie Kilbane of the US on the English translations of Laskar Pelangi and its sequel Sang Pemimpi (The Dreamer). Translators from several other countries have visited his home village in Belitung to do research.
“For a long time I wondered what was the key to the enormous success of my book,” Andrea said.
“I think there’s no single right answer. Perhaps people are fed up with writing focused on urban issues or esca
Konsep kovernya cerdas. Tidak ada blurb, sinopsis, atau apa pun sehingga saat membaca tidak ada ekspektasi berlebihan. Kover juga ditata artistik, sehingga sejuk mata ini memandangnya.
Andrea Hirata kembali mengetengahkan perjuangan orang miskin di Belitong. Kisah keluarga Enong yang tragis, miris, namun juga bisa membuat pembaca tersenyum. Beberapa perumpamaan yang terlalu berlebihan (misal, vacuum cleaner yang saking kuatnya mampu menyedot rambut balita/bayi hingga botak?) barangkali adalah ciri khas Andrea dalam merenda kata untuk menambahkan nuansa segar dalam karyanya.
Tapi yang dirasa mengganggu, lha, kok masih ada tokoh "aku"? Sempat bertanya-tanya siapakah gerangan "aku" ini? Amboi, ternyata Ikal masih bernarasi di sini, masih merindukan A Ling. Sayangnya penokohan A Ling terasa hanya numpang lewat. Seakan A Ling itu "ada" hanya untuk menjadi obsesi cinta Ikal. Penokohan A Ling di sini seakan asal ada, tidak begitu jelas selama ia berpisah dengan Ikal, apa saja yang terjadi padanya, bagaimana perasaannya, sifatnya. Hanya diceritakan sekilas A Ling sangat mengagumi burung punai, dan beberapa penggalan cerita lebih banyak dari sudut pandang Ikal, bagaimana A Ling di matanya. Dari pandangan mata orang lain, A Ling sepertinya hanyalah love interest Ikal. Mungkin kalau Andrea mau lebih banyak menceritakan bagaimana A Ling itu sebenarnya, pembaca bisa lebih berempati pada sosok ini.
Kalau pada awalnya seakan Enong mendapatkan porsi lebih, menjelang akhir lebih banyak diisi oleh segala macam perbuatan Ikal yang ajaib dan berlebihan, semua atas nama cinta. Banyak sekali perbuatan Ikal yang tidak masuk akal di sini--tapi Kawan, bukankah Cinta terkadang membuat kita menjadi gila? Itu salah satu poin yang diketengahkan Ikal.
Yang dirasa mengganggu adalah, Padang Bulan ini tidak sinkron dengan buku-buku sebelumnya. Seakan ini adalah fanfic dari kehidupan Ikal. Juga, terlalu banyak repetisi yang mengganggu. Saya sempat iseng menghitung, dalam tujuh paragraf, ada tujuh belas kata "jinjit". Barangkali akan lebih indah kalau divariasikan? Dengan diksi Melayu yang kental dalam buku ini, saya yakin Andrea dapat melakukannya dengan memesona.
Namun karena buku ini dilabeli novel, anggap sajalah sebagai fiksi. Mungkin kesalahan ada di saya, dalam benak sudah tertanam Laskar Pelangi itu kisah nyata (minimal terinspirasi oleh kisah nyata) sehingga penokohan Ikal di dua buku terakhir Andrea yang kubaca (MK dan PB) jadi berbeda.
Enong, sayangnya, hanya dikisahkan sambil lalu, mengambil posisi sebagai semacam kakak bagi Ikal. Menurut saya pribadi, mungkin akan lebih menggugah kalau buku ini khusus untuk Enong saja. Kisah Ikal dan A Ling, detektif Melayu M. Nur, dan sebagainya ini dirasa sebagai pengisi novel yang tidak terlalu penting. Apa sepertinya penulis kehilangan fokus, dan hanya bisa bercerita dari sudut pandang Ikal, dan lagi-lagi ujung konfliknya adalah A Ling? Entah menurut pembaca lain, tapi menurut saya sudah saatnya berhenti membicarakan A Ling dan konflik yang itu-itu saja.
Secara keseluruhan, saya lebih suka PB dibandingkan MK yang amat, sangat berlebihan. Tiga bintang, dan saya harap buku satu lagi yang akan saya baca akan lebih indah daripada yang ini.
Pakcik, buat saya sih nggak masalah apabila cerita ini dikasih judul Padang Bulan atau Serunai burung Punai misalnya. Bukannya di buku sebelumnya anda sudah 'menceritakan' Maryamah Karpov yang cuma menjelaskan sekilas lalu dan menuai amat banyak kritik, menghabiskan energi membacanya untuk mencari tahu siapa itu Maryamah, dalam seluruh cerita yang bertema 'Penyelamatan A Ling bukan oleh Maryamah, tapi oleh mimpi-mimpi Lintang'.
Cerita cinta lanjutannya, dengan judul 'Padang Bulan' (yang merupakan novel pertama dari dwilogi ini) seperti sebuah judul 'aman' yang tidak akan menimbulkan banyak perdebatan, seperti halnya akan lebih tidak bermasalah lagi bila anda menjudulinya 'Pelayaran yang Tertunda' atau 'Kepak Sayap Juang Merpati Muda'. Karena itu aku baru membacanya sekarang, Pakcik.
Ceritanya sih cukup menarik dan lucu. Sesudah penyelamatan A Ling yang dramatis di buku sebelumnya, dan bagaimana Ikal masih berusaha mendapatkan A Ling yang tidak semudah itu walau sudah ada di 'genggaman'nya. Cinta itu misteri, Boi! Tidak ada yang bisa mengerti cinta selain cinta itu sendiri. Bahkan seorang master dari lautan seberang pun baru terkena mabuk cinta di kampung halamannya. Sehingga mengembalikan dirinya pada cinta daripada mengejar kesuksesan yang menjadi cita-cita orang2 di sekitarnya, bukan keinginannya sendiri. Yah, cinta itu termasuk mempertaruhkan harga diri, Boi! Jangan kalah dengan seorang Chow Yun Fat! Katanya..
Tekad yang kuat juga ditunjukkan oleh tokoh lain, Enong, perempuan pendulang timah pertama di situ. Gadis kecil yang berubah menjadi perkasa akibat tekanan di sekelilingnya. Yang hingga dewasa masih memiliki keinginan untuk belajar Bahasa Inggris. Sangat kontras dengan Ikal, yang mendapatkan banyak kesempatan untuk belajar, tapi malah tidak mengamalkan ilmunya, karena diperdaya cinta. Cinta, Boi!
Wow, lihat Pakcik, siapa yang anda bikin waras di sini? Rupanya paham umum bahwa laki-laki bertindak berdasarkan logika dan perempuan berdasarkan emosi atau perasaan dijungkirkan di sini Lihat si Ikal yang berulang kali kena omel ibunya karena terlalu memenangkan perasaannya pada A Ling, dan Enong yang bersikap realistis, berjuang demi hidupnya, keluarga dan mimpi2nya sendiri dan menimbulkan simpati. Atau memang perjuangan hidup yang semata-mata termotivasikan oleh apa yang dicita-citakan? Kurasa, itu agak benar adanya. Tabik, Pakcik!
Enong, 14 tahun, menggemparkan kampung halamannya oleh sebab keputusannya untuk menjadi pendulang timah perempuan pertama di Belitong. Adalah kematian tragis ayahnya yang memaksa gadis itu drop out dari kelas lima SD dan memikul sebagian tanggung jawab keluarganya selaku anak sulung. Berkat kata-kata penyemangat yang ditulis oleh ayahnya dalam Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata yang dihadiahkan kepadanya, Enong menerjang segala rintangan untuk merengkuh kebahagiaannya.
Ikal menceritakan kisah Enong itu disela-sela petualangannya sendiri dalam perjuangan meraih perhatian gadis impiannya, A Ling. Rupa-rupa kisah konyol, haru, sedih, dan tengil, mewarnai hari-hari Ikal yang makin tak dapat menahankan penyakit malarindunya pada A Ling.
Aku sempat ikut tergulung fenomena Laskar Pelangi, meskipun terlambat. Ketika semua orang sudah berbusa-busa menyuarakan testimoni positif pada tetralogi bocah Belitong yang mahadahsyat itu, aku baru terayun-ayun keindahan tata bahasa Andrea Hirata (AH) yang menyulut semangat untuk tak patah arang meski terantuk beragam keterbatasan dan berani menantang segala belenggu yang melumpuhkan. Sayang, bertumpuk-tumpuk keindahan bahasa AH perlahan menyiramkan semangkuk kebosanan yang akhirnya memadamkan api kenikmatan membacanya sampai tuntas. Dan, aku tersendat di separuh buku pertamanya saja.
Membaca beragam opini pada resensi teman tentang buku keempat tetralogi tersebut, Maryamah Karpov, yang lebih banyak bernada negatif, aku memutuskan untuk tak menyentuh dulu tetralogi mega best seller itu. Namun demikian, letupan pesona AH masih menginspirasiku untuk tak melewatkan mencomot novel dwilogi terbaru karangannya. Dan, seperti yang sudah kusangka, unsur magis dari kalimat rangkaiannya masih mampu menyihirku sehingga bagian pertama dari dwilogi itu, Padang Bulan, aku rampungkan dengan cepat. Aku terhipnotis. Cekikikan sendiri. Tertohok. Terpikat. Terlena. Hingga lima huruf pamungkas di halaman belakang menyudahi penyakit gila nomor 20 yang melandaku. TAMAT.
Yang sedikit agak menggangguku hanyalah Point of View (PoV) yang digunakan AH, karena dalam satu plot, dua cerita bertolak belakang dikisahkan secara bersama. Enong dari sudut pandang “orang ketiga” (yang baru terungkap di tengah novel bahwa pengisahan itu dibawakan oleh Ikal setelah ia berkenalan dengan Enong) dan “aku” sebagai Ikal yang membual soalan cinta tak habis-habisnya pada seorang perempuan Tionghoa pemilik kuku jemari paling indah se-Belitong, A Ling.
Ceritanya sendiri yang mulanya sepiring dua porsi sama besar antara cerita Enong dan cerita Ikal, justru lebih banyak menyorot cerita Ikal di separuh ke belakang, padahal aku mulai terhanyut kisah dramatis Enong sehingga akhir cerita yang datar saja tidak mampu melengkapi kepuasan menikmati kalimat-kalimat indah racikan AH. Maka, tercukupkanlah aku terpesona pada kepiawaian AH mengolah kata meskipun tak terhapuskan dahagaku akan sebuah kisah semonumental Laskar Pelangi.
PS: Thanks to Bentang, untuk bagian pertama dwilogi ini, tak banyak typo yang menganggu.
Berikut ada bagian-bagian yang kusuka dari novel ini:
“Kantor bupati –menjadi tenaga suruh-suruh – misalnya tukang seduh kopi atau membeli rokok bagi para ajudan bupati – menolaknya karena sudah ada sarjana yang melakukannya.” (hlm. 33) ======> tragis, tapi memang ada faktanya (aku lupa di mana, tapi di Sumatera juga sepertinya, ada Sarjana yang ‘hanya’ jadi tukang sapu, OMG)
“Trifolia cemburu pada bunga Desember. Capung cemburu pada kumbang. Danau ingin ditinggalkan sendiri. Awan bercerai-berai. Langit curiga pada angin dan angin membenci gunung. Alam penuh angkara murka.” (hlm. 98) =====> perumpamaan akan sebuah kecemburuan, bagus banget.
“Tenaga, hanya tenaga, itulah kualifikasi yang diperlukan di kampung ini. Padahal, aku tak sanggup bekerja mendulang timah, tak sanggup menjadi kuli bangunan, pun tak punya modal dan bakat untuk berdagang. Aku tak pandai pula bertani, melaut, mendempul perahu, atau menggerus pohon karet.” (hlm. 151) =====> wadow…guwe banget nihh…
Wahai kawan para penggemar karya Andrea, dengarlah satu nasihatku: jangan baca buku ini di tempat umum. Utamanya di buku kedua "Cinta di Dalam Gelas", wa bil khusus bagian Mozaik "Buku Besar Peminum Kopi".
Minggu sore, buku ini belum khatam terbaca ketika saya keluar kamar. Ibu menyodorkan sebungkus permen berplastik kuning dan biru. "Nih, buat mengurangi batukmu," ujar beliau.
Huahahaha... Beliau belum tahu saya terbatuk2 setengah jam sebelumnya karena repot menutup mulut dengan bantal untuk mengurangi volume semburan tawa akibat mozaik yang judulnya saya sebutkan di atas.
semalam sambil menemani anak cari percy jackson 5 yg bulan ini terbit, mendapatkan novel terbaru andrea hirata.
membaca 'padang bulan' adalah membaca suatu fenomena. setelah kecewa dng maryamah karpov, saya berharap menemukan pengganti dng buku terbaru.
kesan saya : kocak terkadang terlewat konyol, piawi merangkai kalimat utk membangun kesan-kesan yg tak terduga, imajinatif, dramatis malah terkesan bombastis. penulis benar-benar "terlatih" meramu kisah-kisah tragedi secara parodi. namun sayang, hampir sulit menemukan sesuatu yg baru baik dari gagasan, tema, gaya penulisn dari buku pertama hirata. ini aneh dan mengundamng petanyaan. apakah pembaca bisa terpuaskan menikmati buku yg sekedar pengulangan dari buku sebelumnya. sebuah re-make. tayang ulang. betapapun bagus dan fenomenalnya buku tsb ?
membaca padang bulan seperti melihat potret indah pemandangan indonesia, dng satu foto model tunggal, yi sosok penulis sendiri. betapapun indah latar belakang itu, foregrund-nya tetap, parodi kemiskinan. ibarat foto yg menghabiskan ratusan gambar, namun yg kita saksikan tetap wajah seseorang dng baju, ekspresi, dan gaya yg sama. hanya dilihat dari angle yg berbeda.
sepanjang malam saya mencoba membandingkan dng sejumlah penulis dng beberapa bukunya. apa yg sama dan berbeda dng penulis belitung satu ini.
sempat terlintas sosok Margaret Mitchell yg menolak menulis buku lain setelah karya pertamanya "gone with wind". buku yg fenomenal shg penulis enggan kalau sekedar melakukan pengulangan atau menumpang popularitas buku pertama. [walau kemudian kita bisa menemukan buku lain karya Margaret Mitchell sebelum "gone with wind", sudah diterbitkan edisi indonesia:].
namun demikian, membaca padang bulan adalah membaca fenomena. mungkin sekali buku ini tetap meledak dipasaran dan tetap memberi sesuatu bagi perkembangan literatur indonesia.
Mungkin sudah ditakdirkan,selesai membaca Animal's People (Indra Sinha-this work was shortlisted for 2007 Man Booker Prize) saya membaca buku Dwilogi Padang Bulan (andrea hirata). Saya punya sejarah dengan Andrea HIrata. Sejarah tentang pembaca yang pesimis dengan novelis Indonesia. Dalam musik orang menyebutnya sebagai one hit wonder. Yaitu dengan satu karya yang ngetop abis, bagus abis, lalu hilang. Berkaya tapi keok. Contohnya lagu this love! nggak tahu siapa pengarangnya. Begitu dugaan saya dulu tentang andrea hirata dan laskar pelangi. Namun lalu muncullah sang pemimpi, edensor, dan maryamah karpov, yang membuat anggapan saya menjadi ragu. jangan-jangan andrea ini memang benar-benar bisa menulis.
Dwilogi padang bulan membuktikan andrea bukanlah one hit wonder's writer. Dia stabil bahkan berkembang dalam menambah alternatif angel kisah-kisahnya. Memang dia masih tergesa-gesa (ini kebiasaan penulis baru yang penuh semangat sekaligus bakat)-tapi kisah-kisahnya sangat memikat. Perkembangan yang sangat nyata adalah adalah teknik fore shadowing. Jika membaca padang bulan dan tidak jeli mengamati bagaimana andrea mengolah tokoh Bapak Tionghoa tua pemilik toko yang menjual bahan-bahan untuk umat Kong hu cu sembahyang (Ini berada di bab 6 padang bulan), maka pembaca akan kehilangan sensasi bab 32 pada cinta di dalam gelas. kisah dari bab 6 padang bulan itu terpisah sangat jauh (ratusan halaman) dengan hint yang amat samar. Andrea hirata mengambil resiko yang tidak kecil menyajikan dwilogi padang bulan untuk pembaca yang agak jarang (kurang terlatih) membaca novel.
Saya sangat menyukai indikasi riset yang telah dilakukan andrea pada buku ini. Saya mengikuti ulasan tentang buku ini. Menurut saya salah satu yang terbaik adalah dari milis pasar buku, yang ditulis oleh seorang andreanis bernama Nurul. Namun dwilogi padang bulan baru terbit, mungkin muncul ulasan lain yang tajam dan menarik besok-besok. Tokoh favorit saya adalah paman, yang ditulis andrea dengan gaya gila sekali. saya setuju pendapat Peter Sternagel, seorang penerjemah novel dari Jerman yang mengatakan andrea hirata sebagai the great story teller.
Oh, ya. Hubungannya dengan animal's human adalah. Jika otak andrea hirata dan indra sinha digabungkan, maka akan muncul werewolf yang akan membuat kita ketakutan sekaligus tertawa senang.
"cinta akan membawa pelakunya pada kegilaan dan kesengsaraan yang tidak terbayangkan. Cinta adalah sebuah tempat di mana orang dapat menyakiti dirinya sendiri." - Andrea Hirata, Padang Bulan.
Sebuah cerita yang ringkas namun ditebalkan dengan sisi budaya Belitong dan lelucuan dari Andrea Hirata. Masih tentang Ikal yang salah sangka terhadap A Ling. Diciptakan watak-watak baru seperti Detektif M.Nur, Enong dan Zinar.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Sepertinya saya berharap terlalu tinggi. Setelah tetralogi Laskar Pelangi yang fenomenal, saya menunggu-nunggu karya Andrea Hirata berikutnya yang mampu membangkitkan imajinasi dengan keunikan cerita, kecermatan diksi, keindahan kalimat, dan kelihaian dalam mendeskripsikan karakter, situasi, budaya, semuanya. Yang mampu mengaktifkan tombol kesenangan, membuat saya menari-nari bersama semua tokoh diiringi irama riang, tak henti bahkan ketika saya menghabiskan lembar terakhir.
Sayangnya Padang Bulan, bagi saya, tidak demikian. Cukup dua bintang untuk karya dua dalam satu ini. Aroma Melayu tetap kuat tercium dalam pilihan kata, bentukan kalimat dan saya suka itu. Namun, kali ini Ikal dewasa terlalu naif dan membosankan. Dan kehadiran tokoh baru, Enong, pun terasa hanya tempelan. Tidak banyak kejutan yang disajikan, bahkan saat terungkap bahwa A Ling hanya mak comblang antara Zinar, yang secara kasihan dicemburui Ikal di sepanjang cerita, dan istrinya. Unexpectedly flat. Dari awal hingga akhir, intinya satu: Being desperate of love is exhausting and, unfortunately at the same time, has the highest possibility of making fool of yourself.
Saya baru mulai membaca Cinta di Dalam Gelas. Semoga harapan saya terbayar.
Cover bukunya bagus, simpel dan suka aku. Cerita masih tentang orang-orang Belitong, awalnya adalah kisah Enong dan keluarga nya yang miskin. Enong yang sangat gemar bahasa Inggris. Kematian ayahnya sebagai tulang punggung keluarga membuat Enong sebagai anak sulung memilih menjadi pendulang timah. Pekerjaan kasar untuk laki-laki. Walau begitu, Enong tetap bersemangat belajar bahasa Inggris.
Namun selanjutnya novel ini juga masih terkait dengan cerita di novel Andrea sebelumnya, tentang Ikal dan A Ling pemilik jemari indah.
Aku masih suka, terutama gaya dan cerita-cerita lucu dan konyol ala melayu walaupun di beberapa bagian agak terasa berlebih.
~Enong~ Ayahnya meninggal dunia akibat kemalangan ketika mendulang timah. Dia yang amat mencintai sekolah, terpaksa berhenti kerana kejadian itu.
~Ikal~ Hubungan dengan ayahnya berantakkan gara-gara seorang gadis Tionghua bernama A Ling. Kisah cintanya makin parah bila jejaka serba sempurna bernama Zinar muncul. Lalu bermulalah episod derita dalam hidupnya.
~Detektif M.Nur~ Namanya mula menjadi terkenal bila dia berjaya menyelesaikan kes kehilangan gigi palsu Lim Phok.
Tiga watak ini mempunyai misi hidup yang tersendiri. Enong tidak pernah melupakan cintanya pada bahasa Inggeris. Kamus Satu Miliar Kata, hadiah terakhir arwah ayahnya sentiasa menemani. Enong masih gigih cuba mempelajari bahasa Inggeris.
Ikal tidak pernah putus asa untuk A Ling. Awalnya dia cuba menerima hakikat yang Zinar terlalu sempurna untuk ditewaskan oleh dia yang menggangur dan serba kekurangan. Sahabatnya M.Nur menjadi rakan dalam setiap rancangan yang dirancang.
Andrea bijak menambah humor dalam setiap kisah mereka secara tidak keterlaluan. Andrea juga turut menyelitkan adat budaya masyarakat dalam cerita ini.
"Love walks on two feet just like a human being. It stands up on tiptoes of insanity and misery." - Padang Bulan
Saya menjadikan buku ini sebagai peneman perjalanan ketika berkunjung menziarahi keluarga saya di Bagansiapi-api, Riau, Indonesia. Hajatnya supaya saya lebih memahami akan latar penceritaan (persekitaran) persis tatkala saya membaca Laskar Pelangi; dicampakkan ke Belitong untuk bernafas dalam lumpur kemiskinan, juga kehijauan alam Tuhan.
Namun, jangkaan saya meleset kerana Padang Bulan tidak mengangkat hal sedemikian, sebaliknya lebih menekuni peribadi setiap watak. Perincian ini -walau bersahaja- menjadikan watak-watak ini seolah-olah dekat dengan pembaca.
Sekadar pandangan peribadi: kekuatan pada karya-karya Andrea Hirata ialah penceritaannya yang bersahaja, tapi sarat dengan emosi; air mata duka juga ketawa. Jujurnya, beliau ialah penulis pertama yang begitu terserlah akan sifat 'bersahaja'-nya (saya sendiri kurang membaca buku, maka barangkali agak tidak kukuh pandangan saya).
Satu hal lagi berkenaan novel ini, ia merupakan lanjutan daripada Laskar Pelangi (karya tetralogi). Maka, buat mereka yang tidak pernah mengenali Ikal dan Laskar Pelangi, ada semacam 'ketempangan' dalam menghayati keseluruhan penceritaan. Bahkan, hal ini turut -barangkali- dirasakan buat pembaca yang tidak menamatkan karya tetralogi ini (Maryamah Karpov ialah karya yang terakhir).
Karya Andrea Hirata kali ini, tiada isinya, namun sesuai buat -sekadar- peneman masa.
(Ulasan ini dibuat tergesa-gesa kerana keterhadan masa untuk menulis; saya dalam perjalanan ke Padang usai pulang dari Bagan)
muka pertama, padang bulan berkisahkan tentang syalimah dan zamzami. aku jadi semangat sekali mahu melihat Pak Andrea melukiskan satu lagi magis dalam sebuah cerita yang berlatarbelakangkan keluarga daif tetapi kaya cinta. tapi bila melangkau ke bab-bab yang seterusnya aku jadi kecewa, Pak Andrea masih lagi tidak mahu lepaskan masa kecilnya melalui watak Ikal. mungkin ini kelebihan sekaligus menjadi kelemahan penulis. meskipun penceritaan kisah hidup Ikal adalah sesuatu yang menarik, lucu, energik dan inspire, tapi tidak dapat tidak aku menanam impian melihat Pak Andrea keluar dari ruang lingkup Ikal, bercerita tentang sesuatu yang baru dan segar.
Novel ini dimulakan dengan kisah suami isteri Syalimah dan Zamzami sebelum berkembang dan bertumpu pada anak mereka, Enong, yang sangat meminati Bahasa Inggeris. Saya rasa teruja untuk tahu lebih lanjut tentang perjalanan si Enong, yang sangat gigih menanggung ibu dan adik-adiknya.
Namun novel ini seakan membelok selepas ⅓ ceritanya dengan perkembangan watak si Ikal. Excited juga dapat reunion bersama Ikal (mengenangkan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi). Tetapi rupanya Ikal, masih Ikal yang mabuk cinta si A Ling!
Saya rasa penat membaca ratapan-ratapan Ikal kali ini. Termasuklah cuba meninggikan tubuhnya 4cm demi menawan hati A Ling. Come on Ikal, you can do better than this! Harapnya novel seterusnya, kisah Enong lebih berkembang. Dan Ikal bertumbuh bisa lebih macho!
Jika dikatakan bahwa novel ini (dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas) untuk mejawab rasa penasaran sebagian besar pembaca karena kisah di dalam Maryamah Karpov tidak tuntas memang ada benarnya. Novel kedua yang berjudul Cinta di Dalam Gelas menurutku justeru lebih pantas diberi judul tersebut. Di novel inilah sepak terjang Maryamah digambarkan dengan jelas bukan hanya sekilas seperti dalam Maryamah Karpov
Jika dibandingkan dengan tetralogi sebelumnya, dwilogi ini terasa lebih nakal. Andrea membebaskan dirinya untuk bermain-main dengan bahasa yang lebih berani. Ini bisa dimaklumi mengingat spirit awal penulisan tetralogi Laskar Pelangi adalah sebagi persembahan kepada guru tercinta mereka Bu Muslimah. Sedangkan dwilogi ini sepertinya memanfaakan momentum dan latar Laskar Pelangi sebagai dasar cerita saja sehingga Andrea memiliki sedikit beban moral untuk bersantun dalam bahasa.
Novel ini masih mengusung tema pergulatan seseorang yang tidak kenal menyerah dalam mengatasi kesulitan hidup. Dia yang sudah miskin secara struktural menjadi lebih terhimpit lagi ketika nasib tidak berpihak kepada dirinya. Ketika sandaran hidup mereka justru menginggalkan mereka maka dialah yang harus berjuang untuk melepaskan atau menahan himpitan kemiskinan tersebut.
Hebatnya diantara pergulatan melawan himpitan kemiskinan tersebut dia masih memiliki resolusi hidup atau semacam life list (hal-hal penting yang ingin mereka capai dalam hidup) yang justeru melampaui status/kondisi sosialnya. Bayangkan seorang penambang timah tradisional memiliki keinginan dan kegigihan yang tinggi untuk belajar Bahasa Inggris. Meskipun untuk itu dia harus menempuh jarak sejauh 100 km di akhir pekan ke tempat kursus.
Kesan yang mendalam dan mengaduk-aduk emosi justru kita temukan di awal, Mosaik 1 yang berjudul Lelaki Penyayang. Dari sebuah narasi menggelikan yang membuat kita terkekeh (terutama jika kita pernah menaksir lawan jenis di usia remaja) berakhir dengan tragedi menyedihkan yang mebuat mata kita berkaca-kaca. Kejutan yang seharusnya menjadi saat paling membahagiakan bagi sebuah keluarga sederhana justeru berubah menjadi kejutan akibat malapetaka.
Kisah Enong (nama panggilam Maryamah) saja sebenarnya layak dijadikan tema sentral Padang Bulan. Sementara kisah cinta Ikal dangan A Ling justeru menjadikan novel ini terasa bertele-tele. Nampaknya Andrea hendak memuaskan pembacanya sekaligus. Pertama rasa penasaran pembaca tentang Maryamah. Yang kedua akhir dari kisah cinta Ikal dan A Ling.
Bagi mereka yang belum pernah membaca Laskar Pelangi beberapa bab/mosaik akan terasa membingungkan karena dia memakai alur balik. Beberapa bab/mosaik itu menceritakan saat-saat Ikal masih bersekolah di Sekolah Dasar.
Seperti yang dikatakan Andrea Hirata ini adalah novel kultural yang hendak memotret kehidupan orang Melayu (Belitong). Hal itu tergambar secara sempurna dalam novel kedua Cinta di Dalam Gelas. Orang Melayu yang memiliki budaya lisan sangat tinggi menemukan tempat yang pas untuk “melestarikan” budaya tersebut di warung kopi. Lihatlah bagaimana penasarannya seorang isteri tentang rasa kopi dari warung kopi yang katanya lebih enak dari kopi buatannya. Kemudian diam-diam dia membeli kopi dari warung kopi dan membawanya pulang dengan harapan suaminya tidak ngopi di warung. Tapi apa kata suaminya, kopi tersebut tidak seenak kopi buatan warung kopi.
Di novel kedua inilah Maryamah mendapatkan nama belakang Karpov karena memakai metode pertahanan permainan catur ala Anatoly Karpov. Maryamah memakai permainan catur sebagai medium perlawanan terhadap hegemoni atau kesewenang-wenangan beberapa orang (lelaki) terhadap dirinya di masa lalu. Kesewenang-wenangan yang mengakibatkan trauma berkepanjangan dalam hidupnya. Dengan kemenangan dari permainan catur itulah Maryamah mengusir trauma yang menghantui hidupnya sekian lama.
Dua buah novel yang digabung menjadi satu (bundling) terhitung sebagai hal baru bagi dunia buku Indonesia, setidaknya dalam kurun terakhir ini. Dengan harga 76.500 (toko buku) atau 65.025 (toko buku online) terbilang cukup murah untuk novel yang lumayan tebal ini (lebih tebal dari Laskar Pelangi).
Ada yang bisa mengingatkan saya pada bagian mana dalam buku keempat Andrea Hirata “Maryamah Karpov”, tokoh bernama Maryamah diceritakan.. Duh.. Due to my short term memory.. I completely forgot!! Argh !!
Ketika menunggu buku keempat Andrea Hirata, saya sungguh tidak sabaran. Begitu saya dengar bukunya muncul di toko buku, langsung titip Dino untuk beli (karena waktu itu saya masi di Indramayu). Begitu sampai di tangan langsung dilalap tak bersisa. Dan sudah saya ceritakan di http://annisaanggiana.multiply.com/jo...
Sekarang saya tidak bersikap terburu-buru. Cukup sabar sampai buku Padang Bulan & Cinta Dalam Gelas tiba di tangan saya. Cukup sabar untuk menyelesaikan dulu buku yang tengah saya baca. Cukup sabar untuk membaca sedikit-sedikit, menikmati setiap mozaik.
Dan kesimpulan saya : Wahai Andrea Hirata, teruslah menulis dan menghasilkan karya!. Entah apa yang terjadi pada buku keempat Andrea. Yang jelas di buku kelima ini saya menemukan kembali apa yang saya cari, yang tidak saya temukan di buku keempat. Gaya penulisan, pesan yang dalam tentang cinta dalam pengertian yang luas, semangat dan kisah yang membumi seperti dalam buku laskar pelangi dan sang pemimpi (dua buku kesukaan saya).
Buku ini terbagi ke dalam dua bagian. Yang pertama diberi judul “Padang Bulan”. Sebelumnya sempat beredar info bahwa buku kelima Andrea ini bercerita tentang A ling. Ternyata (menurut saya) lebih banyak bercerita tentang Maryamah. Ya, bagian pertama ini menceritakan tentang muasal Maryamah mendapat tambahan nama “Karpov”. Petualangan seru tentang keteguhan hati dan semangat pantang menyerah untuk membela martabat (read it yourself I don’t want to spoil the fun!!)
“Dulu guru mengajiku pernah mengajarkan, bahwa pertemuan dengan seseorang mengandung rahasia Tuhan. Maka, pertemuan sesungguhnya adalah nasib. Orang tak hanya bertemu begitu saja, pasti ada sesuatu di balik itu.” (Cinta Dalam Gelas – Andrea Hirata)
Bagian kedua diberi judul Cinta Dalam Gelas. Menceritakan kisah hidup Maryamah dari kecil hingga dewasa. Mimpinya, kekuatan hatinya, tangisnya dan suatu pelajaran tnteng ikhlas menerima tanggung jawab, tidak pernah menyerah dan memelihara mimpi.
Diceritakan pula tentang Ikal yang patah hati, putus asa dan dalam suatu jalinan nasib yang unik berkesempatan untuk berpapasan dengan Maryamah dalam suatu episode penting hidupnya.
Kalau dalam tulisan sebelumnya, saya sempat bertanya-tanya akan seperti apa buku Andrea jika tetralogi laskar pelangi sudah selesai ditulis. Buku kelima ini menepiskan keraguan saya.
Saya akan menunggu novel berikutnya.
Membaca buku ini membuat saya tertawa, membuat saya terharu dan membuat saya merenung mempertanyakan diri sendiri. “Secepat apa engkau berlari, kawan?”(Lintang).
Andrea Hirata bukan lagi nama asing bagi pembaca-pembaca novel Melayu, tapi ini merupakan kali pertama saya membaca karyanya. Bukan sedikit karya beliau yang mendapat perhatian, dan dengan satu karyanya diadaptasi ke filem, tentunya beliau bukan calang-calang orangnya. Hari ini baru saya tahu. Ayatnya tidak meleret, cukup untuk menyampaikan makna tapi terkesan dalam hati. "Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.", ironiknya saya tetawa ketika kali pertama membaca kata-kata tersebut kerana penulis menulis sedemikian untuk menggambarkan binatang-binatang yang "menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur." Saya juga tertarik dengan cara beliau mendeskripsikan cemburu, begini tulisnya; "Cemburu adalah Nabi Nuh yang tergenang di dalam hati yang karam. Lalu, naiklah ke geladak perahu itu,binatang yang berpasang-pasangan yakni perasaan tidak berdaya-ingin mengalahkan, rencana-keputusasaan, dan ketidakadilan-mengasihani diri. Kurasa cemburu adalah salah satu perasaan yang paling aneh yang pernah diciptakan Tuhan untuk manusia." Banyak kata-kata yang wajar diingati, dan banyak karakter yang mencuit hati. Si Enong, gadis berjilbab yang menjadi wanita pertama mendulang timah di kampungnya dan begitu suka akan Bahasa Inggeris. Detektif M. Nur yang dari segi fisikal dan mental tidak matang tetapi cukup sayang akan ibunya. Dan si Bujang, yang tidak putus asa memikat A Ling, gadis Tionghua yang menjadi kenalannya semenjak kecil. Banyak senario-senario lucu sepanjang novel tetapi apabila tiba babak sedih, hanya Tuhan tahu, betapa luruh hati saya sebagai pembaca. Benarlah kata Chloe Meslin akan penceritaan Andrea Hirata, dalam artikelnya Andrea Hirata: Novelis Indonesia Yang Menuju Pentas Sastra Dunia, yang diterjemahkan oleh Paulina Tjai, "Keindahan kisah, kedalam intelektualitas, humor dan histeria kadang-kadang, serta kehati-hatian sekaligus kesembronoan yang disengaja telah menjadi ciri gayanya." Bagi saya, ini merupakan jendela saya ke lebih banyak pembacaan karya-karya beliau.
Dalam cerita ini ikal dan teman-temannya melakukan hal-hal konyol yang kadang kala kelihatan sangat bodoh dan ga masuk akal. Karena dibakar cemburu tingkat tinggi, Ikal harus mempertaruhkan segalanya untuk menyatakan bahwa dirinya lebih jago dibandingkan dengan Zinar. Siapa Zinar? Zinar adalah cowok yang digosipkan akan menjadi calon suami untuk Aling. Padahal sebenarnya semua teori-teori Ikal dan rombongannya adalah suatu kesalahan besar.
Buku ini masih mengemas tindakan konyol ala orang melayu pada umumnya. Banyak tokoh-tokoh baru yang diperkenalkan dalam buku ini, seperti Detektif M. Nur, Maryamah, Jose Rizal, Paman Ikal. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat konyol dan tidak masuk akal. Tapi benar-benar lucu sekali.
Dalam bagian ini menggabungkan antara perjuangan, tekat besar dan ambisi. Tetap dengan penggambaran meraih mimi seperti buku Andrea Hirata yang lainnya, buku ini juga masih dengan bumbu-bumbu seperti ini. Hanya dalam buku ini, lebih menjadi cerpen dari masing-masing karakter yang berhubungan. Contohnya penggambaran Maryamah di awal cerita dan bagimana perjuangannya sehingga harus menjadi penambang timah wanita pertama. Tapi yang membuat aku bingung adalah dalam buku keempat lascar pelangi, sosok Maryamah adalah seorang wanita pemain biola, tapi dalam buku ini apalagi dalam buku ‘Cinta di Dalam Gelas’ sosok maryamah tidak ada hubungannya dengan biola.
Usah kau tanya-tanya lagi mana buku favoritku. Pastilah Boi, jawabnya satu tak terperi di Dunia ini. Padang Bulan!
Re-read Padang Bulan, yang salah tiga kalimatnya tak turun dari 2 kata pengantar di tesis-tesisku (amboi betul), dan sekarang ku sadar kebenaran petuah masa lampau itu. Di atas langit masih ada langit. Di atas Have a Little Faith-nya Mitch Albom, masih ada Human Acts-nya Han Kang. Tapi di atas semua itulah bertahta Pak Cik Andrea Hirata punya buku, PADANG BULAN!
Tutur bahasanya jenaka, tak henti buatku tertawa-tersenyum sepanjang membaca. Tapi sarat akan makna dan pelajaran hidup, kurasa ikutlah aku dapat nasihat dari Ibu, Detektif M. Nur, Enong, dan istri Pamandamu itu, Ikal.
Nantilah akan kubuka lagi buku ini ketika pikiran mulai pendek macam kau punya tubuh, agak keluar tawaku barang sejenak. Best of the best lah boi! Kalau bisa kutaruh bintang sepuluh, pastilah sudah kuberikan semua boi. Bintang duapuluh pun jadi untuk kau!
Barangkali kerana sudah lama digigit Laskar Pelangi, maka anggapan saya novel ini biasa-biasa. Untuk menghabiskannya pun, saya memperuntukkan masa yang lama. Sungguh, sebenarnya saya lebih berharap cerita Enong mencari ilmu yang lebih diselongkari, tetapi barangkali elemen mencari cinta A Ling itu jauh lebih kuat menyebabkan ceritanya lebih banyak tertumpu di situ.
Permulaan cerita agak baik, dengan unsur kejutan tentang kematian ayah Enong, namun semakin lama, semakin saya merasakan tiada yang menarik tentang cerita Enong. Menikmati pembacaan pada kali kedua. Kini, saya membacanya dengan kaca mata lain. Pandangan Ikal, graduan bernasib malang. Ada elemen sedih bercampur baur dengan humor
Cerita bermula ketika Syalimah (ibu Enong) sedang diberikan kejutan oleh Zamzami suaminya. Kejutan itu berupa sebuah sepeda yang sebenarnya diminta oleh Syalimah empat tahun lalu. Bahkan Syalimah sendiri sudah lupa dengan permintaan itu. Tapi begitulah, cerita ini kian romantis karena Zamzami masih ingat betul keinginan istrinya itu. Namun nasib bercerita lain. Zamzami tertimpa longsor dengan posisi terlentang. Tak ada seorangpun pendulang yang selamat jika tertimpa longsor dalam posisi itu, maka Zamzami tak mendapat pengecualian. Di hari pemberian hadiah itu, Zamzami meninggal. Jadi Enong, anak pertama mereka, harus mengadu nasib ke Tanjong Pandan demi menghidupi kembali keluarganya menggantikan posisi ayahnya. Namun dia masih kecil. Tak seorangpun yakin dengan dirinya, maka dia pualng dengan tangan hampa tanpa mendapat pekerjaan. Enong harus memikirkan pekerjaan lain. Mendulang timah adalah pilihan terakhir yang menjadi solusi atas persoalan berat yang dihadapinya. Demi mendulang timah, dia harus meninggalkan sekolah. Hebatnya, dia tak meninggalkan minantnya pada bahasa Inggris. Peninggalan ayahnya yang paling berharga Kamus Bahasa Inggris Satu Milyar Kata menjadi peledak semangatnya di kala sulit. Di sisi lain Pulau Belitong, Ikal, sedang didera cemburu karena baru saja mendapat kabar dari detektif kontet yang terkena penyakit gila nomor 31 bernama M. Nur. Beliau berkata bahwa A Ling akan menikah dengan Zinar. Penyakit Gila Nomor 31 : Terobsesi dengan rahasia, spionase, mengintai, menyamar, menyelinap dan mengendap-endap. Detektif M. Nur berkata bahwa Aling (kekasih Ikal) sedang dibawa lari oleh lelaki tinggi tampan bernama Zinar. Padahal, demi A Ling kekasihnya, Ikal harus bermusuhan dengan ayahnya sendiri. Sesuatu yang tidak pernah diajarkan kepadanya. Dia menjadi galau. Segala usaha dilakukan Ikal untuk mengalahkan Zinar dan merebut kembali A Ling. 17 Agustus sebentar lagi datang. Itu artinya, berbagai pertandingan akan diadukan. Apa yang diikuti Zinar, maka Ikal adalah lawannya yang pertama. Ikal akan balas dendam. Pada pertandingan catur, Ikal kalah telak, padahal dibelakangnya, sudah ada teman semasa kuliah yang menyokong. Ajaran teman semasa kuliahnya itu (sang grandmaster wanita) tak berhasil menegakkan kepala Ikal dalam bercatur di hadapan Zinar. (Untuk tahu lebih lanjut tentang masa kuliah Ikal, bacalah Sang Pemimpi dan Edensor) Tak boleh menyerah. Maka Ikal ikut pula pertandingan Voli. Namun dia ditolak untuk bergabung dengan tim karena lompatannya (dengan tangan terangkat) tidak berhasil melewati net voli. Voli dicoret dari daftar. Masih ada pertandingan Pingpong yang membuat Ikal percaya diri, karena ia sudah menggulung banyak sekali orang kampung diatas meja tenis itu. Ternyata yang terjadi lain ceritanya. Ia harus bersembunyi dibawah meja untuk menghindari pukulan Zinar yang cepat dan tajam.Yang tersisa hanyalah sepak bola. Namun sepanjang permainan, dia hanya duduk di bangku cadangan. Maka putuslah harapan Ikal untuk bisa melipat-lipat Zinar di hadapan A Ling. Setiap pertemuan itu memang mengandung misteri dan tujuan. Pertemuan Ikal dan Enong pun demikian. Enong suka sekali mengumpulkan katalog produk. Apalagi yang berbahasa Inggris. Ketika mereka bertemu, Ikal secara tak sengaja melihat katalog peninggi badan milik Enong, maka akhirnya Ikal tahu misteri dan tujuan dia dipertemukan dengan Enong. Tuhan ingin Ikal menjadi tinggi. Lebih tinggi dari Zinar. Dengan cepat Ikal menyelipkan katalog itu, dan pergi. Setelah membaca testimoni dari para pengguna, Ikal segera mengirimkan uang untuk memesan alat bernama peninggi badan bernama Ortoceria! Kesempatan Ikal untuk membalas dendam kepada Zinar tumbuh lagi. Tentu saja dengan bantuan Ortoceria! Dan ketika produk itu sampai, Ikal langsung mencobanya di sebuah gudang pencucian timah yang sudah lama ditinggal orang. Alat itu sangat sederhana, memanfaatkan gravitasi untuk menarik badan pengguna supaya tinggi. Alat itu tak lain adalah serupa dengan korset yang digantung dengan pemberat dibawahnya. Maka ketika Ikal menggunakan alat itu, lehernya terjerat. Hampir putus nyawanya! Untunglah Enong melihat kejadian itu, maka ia menyelamatkan ikal dari maut dan cengkraman alat Ortoceria! itu. Harapan Ikal untuk membalas benar-benar Zinar sudah digulung habis. Pertempuran Ikal dengan ayahnya usai sudah karena Ikal sudah kalah oleh Zinar. Ibunya hanya bisa merepet karena anak itu - yang sudah sarjana itu - tak punya pekerjaan. Ikal sebenarnya sudah beberapa kali berencana pergi ke Jakarta untuk bekerja. Tapi dia tidak jadi pergi demi A Ling. Harapan dengan A Ling sudah sirna. Ikal membulatkan tekad - sekali lagi - untuk meninggalkan Belitong. Tentunya demi sebuah pekerjaan. Dia tak mau setiap hari dimarahi ibunya. Tinggal sesaat sebelum dia pergi, datanglah A Ling, dengan kesal memarahi Ikal karena tidak berpamitan terlebih dahulu sebelum pergi. Dengan babibu Ikal bertanya-tanya, bukankah A Ling akan digendong pergi oleh Zinar? Bingung betul dia! Ternyata ini sebuah salah paham, yang tak lain dan tak bukan, disebabkan oleh detektif kontet bernama M. Nur itu! Zinar hanyalah sekadar sanak saudara dari A Ling! . hubungan anatara judul ddan isi dirrasa kurang selaras. karena, dalam cerita tersebut tidak ada sedikit pun yang menyinggung tentang cerita padang bula. namun, bisa saja pengambilan tersebut bisa terisnpirasi oleh sesuatu hal. . pendekatan yang digunakan dalam analisis ini adlah pendekatan sosiologi. karena Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama (Soekanto, 2003:66). Proses sosial yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah kerjasama, pertikaian, dan akomodasi.
si ikal makin gila,,nampaknya sengaja dibuat seperti itu,tapi karakter enong,,keren abis, membuat saya pengen belajar catur. Banyak aspek budaya melayu yang diangkat, disertai analisis2nya yang kadang serius,,kadang konyol..
satu hal yg masih terkait dengan novel2 andrea hirata sebelumnya, yaitu mengajak pembaca untuk selalu belajar..memecahkan hal-hal yang sulit dan mustahil menjadi sebuah kenyataan..
"Darinya, aku mengambil filosofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut". (Cinta di Dalam Gelas:99)
My first try, despite yearning to read Laskar Pelangi ever since high school.
I'm impressed with the story-telling; humorous and insightful. Some parts just grips at my heart while others made me giggle gleefully. All in all, it's one of my favorites this year.
Now, I cant wait to get my hands on all the author's other works.