Istri simpanan atau gundik adalah masalah klasik yang sudah lazim di Nusantara. Buku ini mengungkap masalah cinta jalur-belakang ini di masa penjajahan Belanda di Nusantara.
Untuk pertama kalinya diungkapkan sejarah mengenai nyai, perempuan Pribumi, Tionghoa, dan Jepang yang hidup bersama lelaki Eropa di masa Hindia-Belanda. Sepenggal kisah pemerasan ekonomi, perbudakan, dan bagaimana seorang ibu dipisahkan dengan berbagai cara dari anak kandungnya.
Di dalam buku ini terkuak sebuah sisi kelam dari penjajahan yang dilakukan Belanda selama hampir tiga setengah abad di Hindia-Belanda; hubungan pernyaian antara tuan putih (Belanda) dengan perempuan pribumi. Di dalam sistem masyarakat feodal pada saat itu, menjalani hubungan pernyaian diibaratkan memakan buah simalakama—baik bagi tuan putih maupun perempuan pribumi. Sebuah pilihan sulit yang menuntut konsekuensi berat dari kedua pihak.
Faktor pendukung, politik maupun intrik yang mendorong lahirnya hubungan tersebut pun diceritakan secara kronologis di dalam buku ini. Kehidupan, duka dan penderitaan perempuan pribumi yang terhimpit keadaan dan menjadi nyai bagi para tuan putih pun tergambar nyata di dalamnya.
Selain itu dipaparkan dengan lugas dampak psikologis, ekonomi, sosial dan budaya dari hubungan pernyaian terhadap kehidupan tuan putih, perempuan dan masyarakat pribumi serta keturunan yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Sebagai pelengkap dan pendukung data, di dalamnya juga disajikan biografi dan foto beberapa perempuan pribumi pelaku pernyaian. Yang menarik dari buku ini adalah fakta bahwa penulis sendiri merupakan keturunan dari salahsatu anak hasil pernyaian tuan putih dengan perempuan pribumi. Meskipun demikian, fakta dan bukti mengenai pernyaian pada masa Hindia-Belanda tetap disajikan secara berimbang di dalam buku ini.
Reggie Baay (Leiden, 1955) studeerde aan de Rijksuniversiteit Leiden, waar hij zich specialiseerde in de koloniale en postkoloniale literatuur en geschiedenis. Van 1985 tot 2005 was hij als redacteur verbonden aan het tijdschrift Indische Letteren en publiceerde hij vele artikelen op het gebied van koloniale geschiedenis en koloniale literatuur.
4,5 sterren. Dit was een boek dat ik al lang wilde lezen, omdat het een belangrijk onderdeel van de Nederlandse koloniale samenleving in Indonesië bespreekt: de njai, de Aziatische vrouw met wie Europese mannen samenleefden.
Het is nu lastig om onderzoek naar deze vrouwen te doen. Ze zijn niet goed in archieven terug te vinden, omdat hun levens het niet echt waard werden gevonden om mee te nemen naar de toekomst. Toch slaagt Baay erin om een goed onderbouwd boek over de njai te schrijven. Hij put uit familieverhalen, politieke discussies en, vooral, uit boeken uit de Nederlands-Indische literatuur. Hij bespreekt de vrouwen die in steden, kazernes en op plantages woonden. Het mooiste was wanneer hij individuele vrouwen besprak in korte hoofstukken. Zo veranderde een figuur waar veel over werd geschreven en gezegd in een echt mens van vlees en bloed. Het zijn vaak tragische, maar soms ook mooie verhalen.
Aan het einde was de informatie me wel een beetje te veel en leek er wat herhaling in te zitten, maar dat krijg je als je een genuanceerd non-fictieboek leest, denk ik.
Ik heb al een aantal andere boeken gelezen die Baays onderzoek gebruiken, waaruit blijkt hoe waardevol zijn boek was. Echt een aanrader voor iedereen die geïnteresseerd is in de geschiedenis van Nederlands-Indië!
***
4.5 stars. This was a book I had wanted to read for a long time, as it discusses an important part of Dutch colonial society in Indonesia: the njai, the Asian woman with whom European men lived.
It is now difficult to conduct research on these women. They are not easy to find in archives, because their lives were not really considered worth taking into the future. Nevertheless, Baay manages to write a well-founded book about the njai. He draws from family stories, political discussions and, above all, from books from Dutch-Indies literature. He discusses the women who lived in cities, barracks and on plantations. The best part was when he discussed individual women in short chapters. This is how a figure that was much written and said about turned into a real person of flesh and blood. They are often tragic, but sometimes also beautiful stories.
I have already read a number of other books that use Baay's research, which show how valuable his book was. Highly recommended for anyone interested in the history of the Dutch East Indies!
I read this at the library (could not take it home cause I do not have the membership card), so it takes several days to finish it. But book like this, I think should be read slowly. Not only because of this book is so well-observed with massive details account of the life of 'Nyai' and 'pergundikan' complete with database from qualified sources, but also because the writer wrote the story with sympathy (and he's Belanda!) and personal insight that can be felt and it did something on my body (truthfully). This was a phenomenon that almost forgotten. Considered as something taboo. But the truth is not always beautiful and this is one of those ugly truth of the colonialism era. Very moving.
Dulu buku ini saya beli dalam rangka riset karakter dan latar sejarah. Tidak salah ternyata keputusan untuk membawa buku ini pulang dari raknya di Kineruku, Bandung. Bahasannya sangat komprehensif dan netral. Banyak sekali keterangan mengenai latar kehidupan di jaman Hindia Belanda, sehingga kita bisa dengan mudah membayangkan dan merasakan kedekatan dengan periode tersebut. Pastinya membuat persaan kita yang membaca menjadi campur aduk.
Reggie Baay membagi catatan mengenai pergundikan di jaman Hindia Belanda ke dalam tiga bagian berdasarkan tempat terjadinya praktik pergundikan tersebut, yaitu: pergundikan dalam masyarakat sipil, dalam tangsi militer, dan perkebunan di Deli. Melalui cara penulisannya yang personal ditambah dengan profil-profil para nyai dan kisah mereka masing-masing, kita diajak untuk menelusuri lorong sejarah dunia Hindia-Belanda, di mana pada waktu itu hanya terdapat dua kelas sosial: Kulit Putih dan Kulit Cokelat, Tuan dan pelayan. Tentang bagaimana pergundikan menjanjikan harapan semu dan kenyataan yang sebenarnya terjadi pada perempuan-perempuan yang dijadikan gundik berserta anak-anak dari hasil pergundikan tersebut. Tentang citra dan stigma yang disematkan pada para Nyai dan anak-anaknya.
Melalui jelajah dokumen legal, buku domestik pedoman wajib dimiliki perempuan Eropa yang hendak tinggal di Hindia Belanda, catatan sejarah, artikel majalah dan jurnal, literatur sastra Hindia Belanda, juga profil para nyai yang berhasil dikumpulkannya, kita seolah menjadi peziarah yang melihat jelas situasi sosial, bahkan kondisi dalam rumah, tangsi dan perkebunan kala itu. Kita diajak untuk mengalami perjumpaan yang personal dengan sejarah nyai pada masa Hindia Belanda, turut merasakan kecewa, ketidakberdayaan, dan kepasrahan para nyai.
Betul lah komentar Het Parool, buku ini adalah monumen bagi para nyai.
A fascinating account of Indo-European culture in colonial Indonesia, and especially the lives of the native concubines of colonials. I am always amazed when I read historical accounts to realize how different the lives, especially of women, were in the past.
Heel interessant boek over een stukje geschiedenis dat onderbelicht is. Erg belangrijk dat erover geschreven wordt zodat we het leven van de njai niet vergeten
Awal ketertarikan topik ini karena sosok Nyai Ontosoroh di Tetralogi Buru. Saya penasaran dengan tokoh Nyai Ontosoroh dan dengan membaca buku ini saya mendapatkan gambaran besar tentang seorang nyai.
Ceritanya sangat menarik dan naratif, apalagi dimulai dengan kisah pribadi penulis yang merupakan keturunan dari hasil pergundikan. Yang sangat disayangkan sepertinya adalah hasil terjemahan, sangat kaku. Bahasa Indonesianya menjadi kurang natural sehingga lumayan aneh membacanya. Yang kedua, mungkin karena saya bukan sejarawan, saya kurang paham apakah novel sebagai sumber referensi valid. Ketika masuk di bab Deli dan seterusnya, penulis menggunakan banyak novel. Mungkin satu atau dua masih bisa ditoleransi namun jika terlalu banyak apakah menjadi valid? Mungkin jika ada sejarawan yang dapat menjawab, akan sangat membantu.
Seandainya ada sepuluh bintang di goodreads, huhuhu
Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda benar-benar seru. Siti Hertini juga telah menerjemahkan buku ini dengan sangat baik. Tak hanya berkutat dengan para nyai, buku ini juga menelanjangi pandangan-pandangan negatif terhadap pribumi dan anak-anak Indo-Eropa. Bonusnya, penulis banyak merujuk karya sastra yang mengangkat kehidupan para Nyai. Saya tidak habis pikir, Reggie Baay, seseorang yang lahir dan besar di Belanda, berani menggali dan menulis soal neneknya yang seorang gundik, dan gundik-gundik lain tentunya. Reggie Baay juga bersikap adil dengan membahas argumen pro-kontra soal pergundikan. Secara keseluruhan, buku ini adalah usaha dalam menghargai para nyai yang terlupakan—lebih tepatnya, sengaja dilupakan.
Buku yang sangat menarik dan sesuatu yang diluar nalar saya sebelumnya bahwa di masa kolonial Belanda tumbuh subur pergundikan di Indonesia. Bahkan ini sesuatu yang terstruktur dan diatur oleh negara!
Masa kolonial —masa perang, tidak hanya melulu tentang kekejaman dan darah tapi juga kebutuhan manusia yang paling dasar.
Beberapa kisah para Nyai ini berakhir tragis dalam kesepian, bahkan berujung di rumah sakit jiwa. Namun ada juga yang berakhir dengan kebahagian bersama anak cucu.
Satu buku yang layak baca, melihat kembali Indonesia periode akhir abad 18 hingga awal 19.i
Reggie Baay omschrijft op een hele mooie wijze het vaak tragische leven de Njai in het concubinaat van koloniaal Nederlands-Indië en benadrukt hierin fraai de versplinterdheid van het land. Persoonlijk vind ik dat dit boek een sterk perspectief op het "tempo doeloe" laat zien, een term vaak gebruikt om te refereren naar "die goede oude tijd." Een periode doordrongen van koloniaal geweld en apartheid.
Wat een goed en mooi boek. Ik kwam er maar steeds niet toe om het te lezen, maar toen ik eenmaal begon heb ik het achter elkaar uitgelezen. Het is vlot en goed geschreven, verveelt geen moment. De afwisslingen met de korte levensbeschrijvingen verrijken het boek enorm. Ik raad iedereen, die wat meer wil weten over het leven in Nderlands-Indië, aan dit boek te lezen. Zonder meer 5 sterren!
Buku nyai dan pergundikan di Hindia-Belanda membuat saya merasa pilu dan teriris sebagai sesama perempuan Nusantara. Kehidupan menyakitkan yg harus rela diterima. Ikut merasa sesak didada ketika membaca setiap diary yg tertulis di sana. Hidup tanpa adanya hak yg diakui, dibuang, dipisahkan dg anak sendiri sungguh tak bisa dibayangkan.
buku ini menggambarkan ketidakadilan yg dirasakan para nyai. Pun begitu dg membaca buku ini kalian akan disadarkan akan karakter turunan penjajahan yg masih bertahan hingga saat ini ketika kita menghadapi wong londo. Simple review has been published on my blog silverestrella.com
Interessant boek dat een heldere kijk geeft op het leven in voormalig Nederlands- Indië. Ik heb heel veel opgestoken over de verhoudingen en rangen en standen. Boeiend en schrijnend stukje geschiedenis van mijn (voor)ouders.
Nederlandse versie gelezen. Het boek gaat over de uitgebreide geschiedenis van Nederlands-Indië en met name hoe de witte Europese man zich gedroeg ten opzichte van de Aziatische vrouw. Vond het heel interessant & vooral opmerkelijk hoe deze geschiedenis verder niet tot weinig wordt belicht.
A well writen and provoking book to deep dive into the history of 'Nyai' the concubine, concubination system, the (second) class of native women from Java, Chinese, and Japanese and their mix off-spring in both the Netherland Indies and in the main land of the Netherlands.
“Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”, buku ini berkisah tentang pergundikan yang terjadi di jaman pemerintahan VOC, pada masa itu, dalam penantian terhadap calon isteri Eropa yang sesuai, para lelaki Eropa pun memuaskan diri bersama para peremupan pribumi muda. Hal tersebut bukanlah hal yang baru di abad ke 17, sang gundik tidak hanya tidur dengan mereka, melainkan juga mengurus rumah tangga hingga pada banyak kasus, juga menjadi ibu dari anak-anaknya. Sebuah fenomena yang telah diketahui banyak orang dan diberantas keras selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, pergundikan tetap bertahan kuat selama masa kolonial.
Pada tahun 1622, demi mengatasi pergundikan yang terjadi di hindia belanda, yang sekarang bernama Indonesia, pemerintahan Belanda yang berkuasa pada masa itu, mengirim wanita-wanita Belanda berasal dari rumah yatim piatu bereputasi baik di sana, hanya untuk sekedar memenuhi hasrat para pegawai VOC, namun ternyata peraturan untuk mengirim para perempuan yatim piatu dari Belanda tersebut tidak terlalu efektif. Jumlah pergundikan di wilayah pendudukan tidak berkurang secara signifikan.
Sementara itu, kata “Nyai” yang digunakan oleh sang penulis “Reggie Bay” berasal dari bahasa Bali. Kemunculan kata tersebut berbarengan dengan kemunculan perempuan Bali yang pada abad ke – 17 menjadi budak dan gundik orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC.
Sepanjang abad ke – 19 banyak orang-orang Eropa yang juga menggunakan julukan-julukan yang kurang cerdas dan secara jelas menghina para gundik atau “Nyai”, seperti contoh Moentji yang merupakan pelesetan dari kata “Mondje” yang berarti mulut kecil, atau Snaar/snoer yang berarti senar atau dawai, bahkan tak jarang mereka menyebutnya dengan meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris), ini seolah menggambarkan bagaimana rendahnya derajat seorang perempuan pribumi pada masa itu. Dalam buku ini, Reggie Bay, juga menggambarkan bagaimana pencitraan para”Nyai” di masa itu, melalui kutipan-kutipan roman atau karya sastra yang menceritakan tentang kehidupan para “Nyai”, sangat beragam ada yang mengangkat tentang kekerasan yang sering diterima oleh para “Nyai” di dalam rumah, ada juga yang memberikan gambaran bagaimana rupa kebanyakan dari para “Nyai”, hingga sifat-sifat “Nyai” yang suka berdandan, perayu, serta pencemburu. Bay mencoba untuk menghadirkan serta mengulas tuntas perdebatan yang terjadi seputar pergundikan di Hindia Belanda, dengan kutipan-kutipan dan analisa yang menarik. Namun tidak selamanya hidup seorang “Nyai” berakhir tragis, di bagian akhir dari buku ini, Bay menceritakan tentang kisah beberapa “Nyai” yang hidup bersama dengan para lelaki Eropa dalam sebuah ikatan perkawinan, mereka hidup bersama hingga maut yang memisahkan. Bay juga menceritakan secara singkat, perjalanan sang Nenek yang juga merupakan seorang “Nyai” pada masa itu, bernama Moeinah, mungkin boleh dikatakan sang neneknya lah salah satu, inspirasinya untuk membuat buku tentang pergundikan ini.
Saya selalu menyukai bacaan tentang zaman hindia belanda. Jadi mungkin bagi sebagian orang, rating saya terasa kurang adil. ^o^
Buku ini dimulai dengan pertanyaan yang bergejolak dalam batin sang penulis, Reggie Baay tentang asal-asulnya sendiri. Tentang siapa neneknya dan mengapa ayahnya selalu menolak membicarakannya. Baru setelah ayahnya meninggal, Reggie mendapatkan sekelumit petunjuk tentang neneknya, yaitu seorang nyai di Jawa.
Dari sana, Reggie mulai menuturkan semua gambaran tentang para nyai di zaman belanda diikuti dengan beberapa kisah nyata para nyai. Ada beberapa yang cukup beruntung mendapatkan pasangan yang sangat peduli hingga si nyai ini bisa hidup makmur hingga akhir hayatnya, namun tak sedikit juga yang tersia-siakan, bahkan dipisahkan dari anaknya seperti nenek Reggie.
Membaca buku ini buat saya malu. Ternyata sebegitu sedikit pengetahuan saya tentang perempuan dalam sejarah perjuangan Indonesia. Buku ini juga menunjukkan secara gamblang bagaimana politik kekuasan mengatur seksualitas rakyat dan jajahannya demi efisiensi manajemen negara koloni.
Bagi penggemar Pramoedya Ananta Toer, apalagi kalau sudah tuntas baca tetraloginya. Buku ini betul-betul memberikan konteks. Saya jadi paham bagaimana Pram terinspirasi melukiskan tokoh Nyai Ontosoroh, terutama Nyai Surati dalam "Anak Semua Bangsa."
Buku sejarah yang sangat mengesankan. Reggie Baay memberi pemahaman lebih jauh tentang sejarah diskriminasi berbasis ras dan jenis kelamin. It is highly recommended untuk pencinta sejarah, hak asasi manusia, feminisme dan seksualitas seperti saya.
Senangnya buku ini kembali..............! Sebenarnya sudah lama dapat hadiah dari Sis Lita, hanya begitu mau dibaca di kantor (saat istirahat tentunya) di lihat penguasa dan seperti biasa... saya pinjam dulu keluar bagaikan sabda hiks...
Waktu itu baru baca sampai halaman sekian puluh. Buat diriku yang tidak menyukai sejarah, buku ini sangat mempesona.
Lanju....................t Moga2 selesai dalam waktu cepat yah
I haven't read this book because it's so hard to find in Australia. Available for purchase in Indonesia, sure, but no postage options outside of Indonesia. Anyone willing to give away or on-sell their copy, preferably in QLD? Will pay postage cost. Please e-mail asthorre@yahoo.com. Thanks.
Salah satu buku yang mengupas secara mendalam tentang pergundikan di Hindia Belanda. Bagi para sejarawan dan mahasiswa sejarah, buku ini sangat-sangat membantu dalam menerangkan kondisi sosial yang terjadi pada masa-masa kolonial tersebut.
This entire review has been hidden because of spoilers.