“Yang diteriakkan oleh penulis kerap menjadi apa yang dipercayai orang-orang. Mene adalah orang sakti, tukang sihir, yang membunuh dua ksatria dalam satu loncatan, begitu orang-orang berpikir. Orang-orang berdatangan. Menemukan Mene berdiri di antara dua mayat orang terhormat.
Mene menendang leher si ksatria: hampir saja ia kena cambuk. Ditengoknya wajah si kulit putih dan diludahinya. Wajah orang dungu tak bermoral yang tak henti menatap dadanya dan mencoba menyentuh tubuhnya. Ia yakin, tak lama lagi perempuan-perempuan Timor harus menutup dadanya hanya untuk melindungi diri dari laki-laki yang cepat bernafsu seperti orang kulit putih itu.”
Kisah-kisah di buku ini memperlihatkan kepada kita bagaimana kuasa bekerja dan bagaimana kekerasan dan kuasa dengan K besar bisa menjangkau sudut-sudut kehidupan paling pribadi. Pembaca bisa melihatnya bercerita tentang penjajahan, perang, kekerasan seksual, adat dan norma sosial, tapi ia juga bisa dibaca sebagai orang-orang menjalani kesehariannya, memiliki cinta dan mimpi, bersiasat dengan hal-hal yang menimpa mereka. Seperti biasa, Felix K. Nesi memberikan kita gambaran mengenai Timor tanpa pretensi romantik dan mengeksotikkan diri.
Tulisan Felix masih sama tajam dan membekasnya seperti dalam Orang-Orang Oetimu. Cuma menurut saya kumpulan cerpen ini mengangkat isu yang terlalu beragam. Tidak masalah sebenarnya, hanya saya saja yang sejak awal terlampau berharap buku ini akan lebih berfokus pada isu adat, budaya dan sejarah di Timor. Felix bercerita tentang penjajahan, kekerasan, gender, hingga anak-anak timor yang diculik paksa oleh tentara republik (sayang kurang diangkat lebih dalam). Cerita-cerita dalam buku ini terasa personal dan mungkin begitu adanya, seperti dalam cerpen Ranus. Saya ikut tercekat dan berduka bersama Felix ketika membaca akhir kisah Ranus. Saya juga bertanya-tanya berapa banyak dari cerpen-cerpen ini yang merupakan kisah hidup Felix sendiri?
Dari 10 cerpen yang ada, agak ketusuk sama cerpen Gabriella dan Rumah-Rumah. "Aku hanya lulusan Fakultas Ekonomi yang mencoba bertahan hidup di dunia yang penuh tagihan. Sudah cukup jika bisa makan, bisa tidur nyenyak, bisa berobat ketika sakit, bisa jalan-jalan sebentar untuk melupakan pekerjaan yang melelahkan."
"Pengarang sekarang lebih suka bertikai daripada menulis cerita. Mereka saling berebut proyek-proyek kebudayaan, memperkaya diri, saling menghina, tetapi hanya menghasilkan sampah yang akan bikin kalian mengorok sebelum membuka halaman berikut." (Menulis Wajah Rinus, Halaman 38)
"Mereka bilang itu artinya, jika tidak ada perempuan hidup, kami boleh menyetubuhi mayat. Saya lebih memilih pisang daripada mayat."
Aku sengaja mencari buku tipis yang bisa diselesaikan dalam waktu sehari untuk menggenapi reading challenge 2023. Kumpulan cerpen Kapten Hanya Ingin ke Dili, kebetulan sedang nganggur di lemari bukuku, akhirnya menjadi buku ke-65 yang kutamatkan di akhir tahun.
Ini pertama kalinya aku baca tulisan Felix K. Nesi. Rasanya seperti mencoba suatu karya yang otentik dan unik. Kalau boleh jujur, sebagian besar cerpen di sini bukanlah seleraku. Beberapa cerpen membuatku bertanya-tanya mengenai pesan moral apa yang hendak disampaikan penulis, beberapa malah membuatku menyumpah sinting (contoh: cerpen berjudul "Iblis Padang Sabana").
Meski begitu, ada beberapa cerpen yang cukup meninggalkan kesan, mengetuk pemikiran, dan membuatku berpendapat bahwa Felix K. Nesi punya sihir tersendiri yang membuatku tidak bisa berhenti membaca tulisannya sampai halaman terakhir. Membaca Kapten Hanya Ingin ke Dili menurutku seperti makan gado-gado. Berbagai topik, seperti tabiat buruk manusia, isu sosial, dan hal-hal tabu, dicampuradukkan dengan keunikan adat dan budaya masyarakat Timor.
Akhir kata, sebagai penutup tahun 2023, aku menikmati seluruh kerutan dahi, ringisan, dan sumpah serapah yang ditimbulkan oleh kumpulan cerpen ini.
Beberapa cerpen yang menjadi favoritku: 1. Mayat-Mayat yang Hilang 2. Gabriella dan Rumah-Rumah 3. Tanta Lalus
Terdiri 11 cerita pendek dengan tema yang beranekaragam. Mulai dari mengangkat budaya dan polemik di Timor—khas sang penulis, ritual, mitos, sarkasme terhadap orde baru, kekerasan seksual, dan stigma orientasi seksual.
Peringatan pemicu: mengandung adegan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan.
Awalnya ku kira semua cerpen-cerpen di sini hanya akan mengangkat tentang kebudayaan dan intrik di Timor—seperti di Orang-Orang Oetimu, sebab karya tersebut begitu membekas untukku—namun ternyata ada juga cerpen-cerpen yang mengangkat isu-isu saat ini dan di rasa lebih modern. Diversity-nya cukup luas.
Cerpen yang favoritku, yaitu
1. Mayat-Mayat yang Hilang
"... jika tidak ada perempuan yang hidup, kami boleh menyetubuhi mayat. Saya lebih memilih pisang daripada mayat." -p. 54
bro neno, bro ... anda sungguh berani!
2. Iblis Padang Sabana
Mindblowing dan plot twist-nya 🤯 [ada peringatan pemicu pada cerpen ini].
3. Gabriella dan Rumah-Rumah
Plot-twist dan membuatku tercenung. Definisi "rumah" di sini pun begitu apik dituliskan.
Akhir kata, sebuah kumpulan cerita yang sarat akan isu sosial. Bukunya tipis dan dapat dibaca sekali duduk.
Aku sudah pernah bilang bahwa Felix K. Nesi adalah pencerita/pendongeng andal. Dia kembali dengan kumcer di awal tahun 2023. Dalam beberapa cerpen, aku seakan disambungkan kembali ke Orang-Orang Oetimu (OOO), bahkan salah satu cerpen merupakan penggalan yang dihapus dari naskah pemenang Sayembara Novel DKJ 2018 itu.
Felix mengeksplor banyak tema, beberapa seperti di novel OOO. Kekerasan, pemerkosaan, relasi kuasa, penyelewengan oleh oknum institusi agama dan negara, hingga sindiran terhadap orang kota (terutama Jakarta) masih jadi tema yang Felix sukai tampaknya.
Yang cukup "baru" dari Felix adalah tema LGBTQ+. CMIIW. Oke, di sini baru LG saja. Dua cerpen dengan nama karakternya: Renaldi (G) dan "Gabriella dan Rumah-Rumah" (L). Kedua-duanya masih memuat karakter queer yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari pihak lain yang jijik terhadap kelompok minoritas dan marginal ini. Memang bisa saja Felix menyampaikan realita belaka, tapi kita tidak bisa pungkiri masih ada nada homofobik dalam pilihan plot ceritanya.
Cerpen yang paling aku suka adalah "Menulis Wajah Rinus". Di samping itu, "Dan Ia Mulai Menangis" merupakan kisah singkat tapi mengena. Aku berharap bisa membaca lagi cerita-cerita baru dari Felix.
Buku kumcer ini menjadi karya kedua Felix yang saya baca, yang entah kenapa bayangan Orang-Orang Oetimu masih melekat terus di kepala saya setiap mendengar nama Felix. Maka ekspektasi yang saya sematkan atas Kapten Hanya Ingin ke Dili itu menjadi tidak berbeda jauh dengan harapan bahwa saya akan menemukan keseruan dan potongan-potongan yang sama seperti halnya ketika menyelesaikan Oetimu. Dan saya kira, di buku ini Felix hampir berhasil melakukan sepenuhnya. Sebagai pembaca karya fiksi yang selalu lebih menyenangi karya-karya yang memiliki latar belakang historis dan realis, maka beberapa cerpen di sini ada yang cukup saya favoritkan. Salah duanya adalah "Tanta Lalus" dan "Kapten Hanya Ingin ke Dili". Latar belakang sosial-politik Timor yang kental, pun dengan kondisi masa lalunya yang ditangkap dengan baik dalam penggambaran cerita ini, rasanya betul-betul berhasil ditampilkan oleh Felix. Saya kira, inilah karakter kuat yang dimiliki olehnya, sehingga saya mengharapkan di tiap-tiap karyanya yang berikutnya, penggambaran mengenai latar sosio-historisnya ini akan selalu ada, dan bila perlu terus menguat.
Kapten Hanya Ingin ke Dili: Kumpulan Cerita adalah sebuah buku karya Felix K. Nesi, seorang penulis dan aktivis dari Timor. Buku ini berisi 11 cerita pendek yang mengangkat tema tentang relasi kuasa, penjajahan, kekerasan, adat, cinta, dan mimpi. Sebagian besar cerpennya berlatar belakang kebudayaan di masyarakat Timor.
Pada awal cerpen Mene, pembaca akan dibawa ke aksi tidak sengaja Mene yang berujung heroik untuk sukunya. Awalan yang bagus untuk sebuah cerpen. Empowering banget lah. Pada Mayat-Mayat Hilang aku sebagai pembaca yang awam dengan adat Timor cukup ngeri dibuatnya, apakah praktek dilapangan seperti itu?. Pada beberapa cerpen entah kenapa aku seperti butuh versi panjang, karena pada layaknya cerpen ada ambiguitas pada akhir cerita.
Overall, kesemua cerpen yg membekas untukku. Jadi pengen baca Orang-Orang Oetimu yang sedang nangkring di rak TBR, hehe
Kesemua cerpennya menggunakan gaya bahasa yang sederhana, lugas, dan kritis. Cocok buat memperkaya bacaan fiksi etnografimu selanjutnya!
aku baca buku ini dalam sehari, karena memang hanya sedikit jumlah halamannya, 116 halaman. isinya terdiri dari cerita-cerita pendek dengan berbagai tema. menurutku, cerita ini banyak didominasi oleh kekerasan.
latar dari cerita ini jelas banyak didominasi oleh pulau timor. aku melihat ada isu-isu sosial yang dibawa dalam buku ini. ada isu gender, aku melihat bahwa di cerita pendek terakhir dalam buku ini, terdapat cerita bagaimana perempuan dapat mengambil alih kuasa. selain itu ada isu kelompok queer yakni lesbian yang tidak dapat hidup dengan tenang karena caci maki masyarakat. kisah-kisah yang lain banyak melibatkan perkelahian, pembunuhan, perkosaan, dan penderitaan seseorang.
meski tidak ada ending yang menyenangkan dalam buku ini, tapi ceritanya tetap bagus dan menarik untuk dibaca. banyak refleksi sejarah yang diangkat dalam buku ini dan menambah wawasan kita mengenai pulau timor.
seperti buku "orang-orang oetimu", Felix K Nesi berhasil menulis buku ini dengan baik.
Antologi cerpen kedua yang mengguncang jiwa dan perasaan gua setelah sekian lama membaca antologi cerpen. Terdiri dari 11 cerpen, awalnya gua kira semuanya berlatar di daerah Timor. Karena yaa, di sinopsis si buku, Felix K. Nesi diceritakan sebagai seorang penulis yang biasanya menuliskan cerita secara blak-blakan mengenai Timor. Tapi, ada sebuah cerita yang tidak berlatar di Timor dan hal tersebut tidak merusak keseluruhan cerita, sama sekali. Gua sangat menikmati "kengerian" dari cerita apa adanya yang ditawarkan di dalam buku ini. Sayangnya, banyak kosakata dan istilah yang tidak gua mengerti. Alih-alih memberi penjelasan secara mendetil, penjelasan mengenai kosakata tersebut hanya tersedia barang 1 atau 2 istilah saja dalam jumlah yang sangat terbatas. Ditambah, kosakata atau tempat yang ada di dalam buku ini, ketika dicari di internet, justru informasinya tidak tersedia. Entah karena apa.
Sebagai orang yang pernah menetap di NTT, beta son perlu berpikir panjang untuk membeli buku sastra dengan latar belakang NTT. Sebelas Cerpen dalam kumpulan ini menggambarkan kekelaman dan kekerasan dalam sebagian besar cerita.
Dua cerpen Favorit saya adalah “Dan Ia Mulai Menangis” ; serta “Tanta Lalus”. Dan Ia Mulai Menangis melihat peristiwa pengeboman dari sudut pandang hubungan ibu-anak-dan pacarnya. ..Kalimat di akhir cerpen ini cukup membekas , ”Ibu Melambai dan bom meledak…”
Tanta Lalus seakan mengingatkan bahwa pembantaian orang-orang kiri paska 1965 juga terjadi di ujung NTT. Sesuatu yang tidak banyak disinggung dibanding pembantaian yang sama di belahan lain dalam karya sastra Indonesia.
Ini jenis buku kumpulan yang bisa diselesaikan secara cepat dalam satu kali duduk, Worth It.
Kapten Hanya Ingin ke Dili adalah sebuah kumpulan cerita pendek yang berisi tentang suara Felix K Nesi mengenai berbagai macam isu di Nusa Tenggara Timur. Mulai dari isu LGBT yang ditampilkan secara eksplisit di cerita berjudul Renaldi dan Gabriela dan Rumah-Rumah. Isu tentang pelecehan seksual berjudul Iblis Padang Sabana yang membuat saya jijik sampai ketulang=tulang. Isu tentang bagaimana negara dan agama merepresi sebuah kultur budaya. Serta masih banyak lagi isu-isu yang membuat saya berpikir bahwa gagasan cerita yang dibawa dalam buku ini, cukup penting untuk kita baca.
Tentunya dengan lanskap setting di Nusa Tenggara Timur yang konsisten, membawa kita lebih dekat dengan budaya dan sejarah latar tempat di mana cerita ini berfokus.
Membaca kumcer ini bikin saya berkelut dengan kesedihan, kemarahan, dan kekesalan. Ada Mene dengan label tukang sihir, pastor muda dan Ni Kekuh yang berdebat soal spiritualitas, Rinus yang dendam kepada Danker dan persoalan militer yang eksploitatif, hingga pro dan kontra tradisi Sifon dan pasangan lesbi yang dapat perundungan. Saya paling tertarik dengan cerita Iblis Padang Sabana. Tidak akan spoiler ini bahas tentang apa. Silakan baca sendiri ketika mental sedang stabil.
Cerita-cerita yang tertuang dalam bukunya, secara khusus, mengenalkan kita kepada tradisi di Timur sana yang perlu kita selidiki lebih lanjut muatan nilainya. Apakah tradisi tersebut merupakan bukti peradaban atau justru menihilkan kemanusiaan? Terima kasih, Felix K. Nesi. Saya akan baca karya beliau yang lain.
Membaca cerita-cerita Felix terasa seperti menyelam ke dalam laut yang dalam dan jernih, kadang tenang, kadang mencekam, tapi selalu menyisakan keindahan yang tak mudah dilepas dari ingatan. Ia bercerita tentang Indonesia Timur bukan sekadar sebagai tempat, melainkan sebagai denyut hidup yang ia bawa dalam dirinya. Seakan setiap kata adalah jalan menuju jiwanya. Felix tidak sekadar menulis; ia menghadirkan manusia dengan segala luka, cinta, dan perlawanan mereka. Dan justru di situlah terasa napas feminisnya, bukan dari label, tapi dari keberanian dan kelembutan yang menyatu dalam narasi. Ia menulis dengan kejujuran yang membuat kita percaya: kisah ini milik bersama, tapi suaranya lahir dari dalam dirinya yang paling otentik.
Cerita-cerita dalam buku ini sanggup buat pembaca menapak pada realita di mana penindasan dan ketidakadilan tidak dapat lebih kejam lagi bagi masyarakat yang tertindas, dalam konteks ini penulis menceritakan masyarakat Timor Timur. Bahkan dalam beberapa cerita, kita dapat menemukan bahwa mitos-mitos yang dipercaya masyarakat tidak turun dari langit atau berasal dari ruang hampa. Mitos hadir sebagai kabut yang menyelimuti kultur kekerasan dan ketakutan akan hal yang sulit dimengerti oleh akal sehat.
Salah satu kumpulan cerpen terbagus yang pernah kubaca! Settingannya bisa bermacam-macam mulai dari pedalaman Timor hingga kehidupan kota modern. Saat ia menulis dengan setting pedalaman, ia banyak gunakan istilah dan konteks lokal, dan dengan cara yang passionate tapi tetap down to earth. Tidak meng-eksotis-kan, tapi juga tidak membuat bingung - mungkin itulah menariknya kalau penulis juga indigenous person? Felix juga sangat jago dalam membuat percakapan, dan range issuenya luas mulai dari penjajahan, seksualitas, hingga kebudayaan.
Orang-orang mati dan cara mereka menemui ajal dituturkan lewat berbagai cerita di buku ini. Seringnya, sih, tewas mengenaskan, meski ada juga yang raganya hidup tapi jiwa dan pikiran mereka lebih dulu 'sekarat' karena menanggung aib.
Pengalaman membacanya enak, pembabakannya bagus. Dibuka dengan cerita "Mene" yang menggugah, dan ditutup dengan "Kapten Hanya Ingin ke Dili" yang berakhir nahas begitu.
Published by Marjin Kiri, which might be translated as "Left Margin", this is a very interesting collection of short stories from author Felix Nesi that gives a brief glimpse into the traditions and life of the peoples of Timor through stories which are emotional, humorous and intriguing. I have been working on a translation to English. If you work in publishing or are interested please feel free to contact me.
kagum sama cara Felix bertutur dengan menonjolkan sisi Timur-nya. mereka yang bergelut atas banyak kesulitan--ekonomi, cara berbahasa, dll. akan selalu jadi marjinal dibandingkan mereka yang dari sisi Barat Indonesia. tapi, bener, emang buku ini banyak isu yang digarap dan ga fokus tentang orang Timur aja. tapi, tetap kusuka!
Sepuluh cerita pendek yang seru dengan setting khas Indonesia Timur dan karakter yang kuat. Beberapa cerita ada plot twist yang bikin kaget dikit, kayak Iblis di Padang Sabana misalnya. Gabriela dan Rumah-rumah juga cukup menyentuh ceritanya.
Seperti biasa buku Felix K. Nesie selalu penuh kejutan dan kental adat ketimuran. Hanya yg ini lebih edan dan tidak terduga. Sekali lagi saya menyadari masih banyak budaya Indonesia yg sama sekali tidak saya kenal dan mengejutkan.
Sebuah introduksi yang cukup menarik untuk mengawali petualanganmu di belahan bumi Timor lewar goresan imajinasi Felix K. Nessi. Setelah ini, akan membaca Orang-Orang Oetimu tentunya 👍
Cerpen favoritku? - Menulia Wajah Rinus - Mayat-Mayat yang Hilang - Gabriella dan Rumah-Rumah
Stellar, as expected from Kak Felix. This book can surely bite! Each one feels like punches straight to your gut. Amazing exploration of social issues, themes, cultures, and people.