"Ah manusia! Selalu tergiur oleh 'seandainya'. Seolah-olah dengan perkataan itu kita bisa membentuk dunia baru atau kehidupan lain yang sesuai dengan idaman masing-masing." Demikian kata hati Muryati ketika menerima berita bahwa tawanan Pulau Buru akan dibebaskan. Berita ini dia terima dari Winar, sahabatnya.
Muryati adalah seorang dari ribuan wanita yang tidak pernah tahu ke mana pasangan hidupnya pergi sesudah waktu kantor selesai. Kalau suami berkata "akan rapat", atau "menengok rekan yang sakit", atau "ke Pak RT merundingkan soal warga kampung", istri tentu akan percaya saja. Lelaki begitu leluasa meninggalkan rumah jika kesal mendengar rengekan anak, kalau pusing memikirkan serba tanggung jawab keuangan rumahtangga, bahkan pergi ke tempat tertentu bertemu dengan orang-orang tertentu guna membicarakan hal yang berlawanan dengan politik Pemerintah. Sedangkan para istri 24 jam terikat di rumah bersama kerepotan kehidupannya yang itu-itu melulu.
Lalu pada suatu hari, Muryati diberitahu bahwa suaminya terlibat. Mulai saat itu, perkataan "terlibat" akan menyertainya dalam seluruh kelanjutan hidupnya yang tiba-tiba menjadi jungkir balik. Bagaikan dijangkiti penyakit menular, tetnagga dan lingkungannya mengucilkan dia. Bahkan saudara kandung dan kerabat dekatnya sekalipun. Dalam usahanya untuk meraih kembali pekerjaan yang telah dia tinggalkan lebih dari sepuluh tahun, di mana-mana pintu tertutup. Muka masam, kalimat sindiran atau mentah-mentah tolakan: khawatir dicurigai, takut terlibat!
Namun dalam kegelapan masa depan itu, lengan ibunya terbuka lebar merengkuhnya: Muryati kembali ke rumah orangtua bersama anak-anaknya. Dan ketegaran Ibu, si pedagang kecil inilah yang mengilhami kegigihan perjuangan Muryati untuk berjuang, mecnari selinapan peluang di sana-sini, demi harga diri sebagai perempuan dan kemampuan orangtua tunggal yang membesarkan anak. Beruntun akan dia alami berbagai "bumbu" kehidupan. Malahan dia terpilih di antara sedikit orang yang di masa itu berkesempatan belajar ke luar negeri. Bahkan kebahagiaan yang sangat mewah: pengalaman mencintai dan dicintai laki-laki yang dia kira akan merupakan puncak jalan kehidupannya ....
Nh. Dini (Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin) started writing since 1951. In 1953, her short stories can be found in most of national magazines like Kisah, Mimbar Indonesia, and Siasat. She also writes poems, radio play, and novel.
Bibliography: * Padang Ilalang di Belakang Rumah * Dari Parangakik ke Kampuchea * Sebuah Lorong di Kotaku * Jepun Negerinya Hiroko * Langit dan Bumi Sahabat Kami * Namaku Hiroko * Tirai Menurun * Pertemuan Dua Hati * Sekayu * Pada Sebuah Kapal * Kemayoran * Keberangkatan * Kuncup Berseri * Dari Fontenay Ke Magallianes * La Grande Borne
Muryati tumbuh besar pada masa revolusi dalam didikan bapak dan ibu yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai luhur kehidupan. Menjelang usia 17 tahun, ia dilamar oleh Widodo, salah seorang pejuang yang juga bekerja bersama bapaknya. Di mata orang tua Muryati, Widodo pemuda yang sopan, menyenangkan, pandai bergaul. Kendati tak merasakan cinta yang menggetarkan hati, Muryati menerima lamaran tersebut karena mempercayai penilaian orang tuanya. Sikap Widodo berubah drastis seketika setelah menikah. Ia ternyata pelit, bermasa bodoh dengan urusan rumah tangga dan anak-anak, dan tak pernah bersikap mesra. Semua itu ditambah dengan tertangkapnya ia karena keterlibatannya dengan gerakan komunis. Muryati dengan cepat melupakan Widodo yang sejak awal sudah dianggapnya suami tak berguna. Dengan bantuan dan dukungan ibu dan sahabat-sahabatnya ia bekerja keras menopang anak-anaknya, mengejar kembali cita-citanya menjadi guru. Ia bahkan mendapat beasiswa untuk belajar ke Belanda dan akhirnya bertemu dengan lelaki yang berhasil membuatnya merasakan getaran-getaran cinta, hanya saja lelaki itu Handoko, adik suaminya sendiri. Sekali lagi kukatakan, setiap kali membaca karya Bu Dini, selalu terasa lebih bagus lagi dari yang sebelumnya. Seperti biasa dengan gaya penuturan yang halus dan padanan kata yang elok, Bu Dini menciptakan karakter-karakter perempuan yang kuat, tegar, dan mandiri. Buku ini bercerita tentang berbagai bentuk cinta dan kesetiaan; orang tua, anak, sahabat, dan kekasih.
Jujur, saya sangat senang, akhirnya dapat membaca buku yang berlatar kota Semarang. Dari stasiun Tawang, Lamper, Toko Oen, sampai jembatan di Pudakpayung. Gara-gara setting itu, rasanya tokoh dalam novel ini nyata benar, dekat sekali dengan saya yang sampai sekarang hidup di Semarang terus.
Alur cerita yang dibawakan NH Dini tidak istimewa. Tapi saya sangat menggandrungi gaya bahasanya. Sayup-sayup, tulisan NH Dini merasuk ke alam bawah sadar saya, apalagi kalau membacanya sambil mengantuk. Beberapa kejadian, hanya disinggung sebentar, tapi peristiwa yang mengusik hati Mur, si protagonis, benar-benar di"zoom" menggunakan mikroskop, untuk menggambarkan dengan rinci bagaimana perasaannya. Apalagi dilemma yang dihadapi Mur, saya rasa semua ibu dan istri, pernah merasakannya. NH Dini hanya menceritakan ulang dengan sangat rapi.
Membaca Jalan Bandungan, seperti membaca buku harian Mur sendiri. Wanita cerdas, mandiri, tahan banting, tetapi tetap sensitif terhadap lingkungan sekitar. Terasa sekali proses pendewasaan Mur, dari dia kecil tak tahu apa-apa, mengenal cinta, berkeluarga, kerja dan lebih dari itu. Mur meluapkan curhatnya dalam buku ini. Meskipun topik yang diusung hanya masalah keluarga, perang dan sejarah hanya latar yang tipis, tapi saya tetap merasa puas. Karena, yang dipikirkan Mur, dan kebanyakan orang pada umumnya, bukan politik, tapi bagaimana mereka bisa terus hidup, bahagia, harmonis, dan penuh cinta. Kisah sederhana, dikemas penuh perasaan, dan disajikan secara runtut. 4/5 dari saya.
Ditulis dengan gaya Nh Dini yg sederhana,lugas dan menyangkut kehidupan tokohnya yang tentu saja seorang wanita. Dalam salah satu bukunya, Nh Dini menyatakan kisah salah satu saudara nya ditulis dalam buku yg berjudul Jalan Bandungan tapi karakter yang ada pada buku ini mirip-mirip maman pada buku Nh Dini. Akhir ceritanya juga khas Nh Dini.
Kisah seorang perempuan dengan pernikahan yang tidak bahagia. Dengan suami yg terlibat dengan organisasi komunis yang memberontak terhadap pemerintah. Sang suami dipenjara di sebuah pulau pengasingan, namun bukan hanya semasa bebas, dipenjara pun sang suami tetap menimbulkan kesulitan baginya. Perjuangan membesarkan anak sendirian sampai menerima stigma sebagai isteri komunis menjadi perjuangan yg harus dimenangkannya.
Setelah bercerai, dia menikah dengan adik suaminya sendiri. Cerita bermula saat mendapat berita selesainya masa hukuman sang suami,konflik dengan mantan suami masih berlanjut setelah keluar dari penjara. Hal ini berpengaruh buruk terhadap anak-anak mereka maupun hubungan dengan mantan adik ipar yang sekarang berstatus sebagai suami. Pada akhirnya, cinta dan gairah yang menurun dan perbedaan dalam menyikapi segala sesuatu yang memisahkan mereka.
Agak bersusah payah menyelesaikan buku ini,karena sedikit bosan dengan alur ceritanya. Menurut saya masih kalah bagus dengan Buku Nh Dini favorit saya Pada Sebuah Kapal dan Keberangkatan. Tapi deretan karya2 Nh Dini lainnya masih menarik minat saya untuk membacanya.
Dari empat buku Nh. Dini yang sudah pernah aku baca, "Jalan Bandungan" lah yang jadi favoritku!! Bukunya tergolong tebal karena 400+ halaman, tapi aku benar-benar bisa menikmati setiap halamannya dan sangat menikmati perubahan perasaan yang disebabkan oleh alur ceritanya!
Aku juga suka buku ini karena bisa melihat sudut pandang yang berbeda dibandingkan dengan novel-novel yang berlatar serupa, yaitu pasca '65. Novel ini menggambarkan kisah Muryati yang gagal dengan pernikahan pertamanya karena ternyata suaminya adalah anggota PKI.
Jika biasanya digambarkan bagaimana keadaan di penjara, atau orang-orang tak bersalah yang ikut menjadi tahanan politik, buku ini menggambarkan bagaimana kehidupan keluarga tapol yang tidak tahu bahwa keluarganya terlibat partai tersebut.
Dari buku ini digambarkan bahwa setelah menikah, perempuan cenderung harus melepaskan banyak hal yang sebelumnya mereka sukai (dirugikan). Dan dari buku ini juga digambarkan kalau perempuan harus berpendidikan dan berdaya, karena kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi di depan nanti.
Aku juga suka buku ini karena hangatnya keluarga Muryati terutama ibunya dan hubungannya dengan sahabat-sahabat perempuannya yang super keren!
Overall, it's a good book to read! Buku pertama yang kubaca dari karyanya N. H. Dini. Dari buku ini ngebuka banget sudut pandang tentang kemungkinan-kemungkinan kehidupan di masa depan, terlebih dalam dunia pernikahan. Hal-hal apa aja yang memungkinkan terjadi dalam kehidupan rumah tangga, bahwa pernikahan itu ga melulu soal cinta, pentingnya memilih pasangan yang sefrekuensi dan tetap menjaga komunikasi. Banyak konflik-konflik yang mungkin akan datang dalam berumah tangga. Selepas dari itu, dari yang aku baca, N. H. Dini menegaskan sekali mengenai perempuan yang mandiri, perempuan yang kuat, perempuan yang teguh berpendirian dan bermartabat, perempuan yang walaupun tidak ada laki-laki di sisinya masih bisa berdiri tegak di atas kakinya sendiri. Di sini banyak banget tokoh yang menunjukan 'perempuan mandiri' itu, contohnya si Tokoh Utama sendiri, Muryati. Kemudian Ibunda Muryati dan juga sahabat-sahabat Muryati.
Selama aku baca buku ini, memang sempat didatangi rasa bosan ketika membacanya. Terlebih pada bagian-bagian awal.
Jalan Bandungan adalah buku pertama dari Oma Nh Dini yang aku baca. Meskipun awalnya sempat gamang mesti milih mana yang mesti dibaca terlebih dahulu antara Tirai Menurun atau Jalan Bandungan, tapi akhirnya pilihanku jatuh pada buku yang kedua, Jalan Bandungan. Bisa tahu karya-karya Nh Dini sebenarnya gak sengaja karena keseringanku baca koleksi novel dan biografi Mira W. Disitu ditulis kalau tulisan-tulisan Mira W banyak dipengaruhi oleh Nh Dini dan karena itu deh aku jadi penasaran sama penulis ini.
Sebagai pemula, aku gak nyesel baca buku ini. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Djembatan, 1989.(Aku belum lahir hahaha) kemudian diterbitkan kembali oleh penerbit GPU tahun 2009. Bagiku pribadi, buku ini menceritakan tentang keluarga, sahabat dan cinta. Hubungan baik si tokoh utama (Muryati) dengan ibu, bapak dan adik-adiknya sangat tergambar di buku ini. Pun dengan nilai-nilai luhur serta didikan ayah Muryati yang diajarkannya serta pengorbanan seorang ibu yang tiada batas. Muryati juga digambarkan sebagai sosok mbakyu yang cocok dijadikan panutan. Terharu banget setiap kali baca cerita perjuangan ibunya Muryati di buku ini. Aku jadi inget sama perjuangan Mama.
Seiring dengan itu, Muryati dikisahkan mempunyai 4 sahabat bernama Siswi, Winar, Ganik, dan Sri. Mereka sudah berteman sejak di bangku SMA dan pertemenan mereka gak lekang sama waktu. Ini terbukti waktu Muryati, Siswi, Winar dan Sri menemani Ganik menghabiskan waktu terakhirnya di rumah sakit karena Ganik menderita penyakit kanker rahim. Si Ganik ini bisa dibilang wanita hebat karena selepas sembuh dari kanker payudara, ia dilanda kanker rahim. Tapi biarpun begitu, Ganik ini pintar, tajir, hidup di keluarga yang mapan dan beruntungnya lagi kedua orangtuanya sangat baik dan menyanyangi dia. Persahabatan mereka murni karena saling mengasihi. Disaat yang satu dilanda kesusahaan yang lain selalu siap membantu. Begitu juga saat Muryati tengah dilanda kesusahan akibat suami pertamanya itu yang GAK BANGET. HOEKKK. Saat Muryati bergulat dengan kehidupan ekonominya yang morat-marit selepas sang suami (Widodo) diasingkan di Pulau Buru karena keterlibatannya dengan partai komunis, sahabat-sahabat Mur bersedia membantu Mur, bahkan hingga Mur bertemu dengan Handoko dan pergi menimba ilmu di Belanda, keempat sahabat itu yang membantu menopang kehidupan ekonomi keluarga Mur dan anak-anaknya. Bisa dibilang Ganik dan Sri lah yang paling mendapat porsi cerita cukup banyak di bagian ini. Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa Mur sedih banget waktu tau Ganik mengidap penyakit kanker dan begitu juga dengan Sri saat ia mengetahui bahwa suami Sri ternyata memiliki simpanan lain dan mempersilahkan rumahnya sebagai tempat singgah Sri sementara karena kejadian itu.
"Kata ibuku, tidak ada gunanya berkawan jika tidak ada timbal baliknya. Pemberian atau pengisian tidak selalu berupa harta. Bantuan moril, dukungan gagasan juga sangat berharga dalam hidup bersama. Ibuku juga mengingatkan bahwa persahabatan dimasa muda belum tentu akan langgeng. Lingkungan kami berubah. Masing-masing akan berkeluarga. Semua itu akan mempengaruhi. Apakah kami berlima akan erat, belum bisa dipastikan. Pada waktu itu kami serempak menjawab bahwa kami akan berusaha mempertahankan keeratan hubungan kami." (h.63)
"Kita dulu sudah bersumpah, bahwa meskipun kemudian berkeluarga dan masing-masing mempunyai tanggung jawab, hubungan kita berlima harus tetap sama eratnya." (h.337)
"Bagiku dan bagi kami lima bersahabat, itu adalah hal yang biasa. Tidak perlu ditunjukan dengan cara yang berlebihan, tidak ada gunanya dibesar-besarkan. Itulah artinya teman dan saudara, bersama dalam duka serta kegembiraan." (h.337)
Well, mereka membuktikannya. Mempertahankan keeratan hubungan persahabatan mereka.
Untuk cerita hubungan Mur dengan suami pertamanya, Widodo, ini bener2 bikin aku pengen nonjok mukanya. Kueseeellll banget! Ih amit-amit deh punya laki kaya gitu. Tapi justru kisah antara Mur-Widodo memang mampu mengaduk-aduk perasaanku. Dari awal aku gak suka sama tokoh Widodo ini. Aku justru lebih suka karakter Mas Gun, si bekas anak buah ayah Mur waktu penjajahan Belanda dulu. Mas Gun ini ibarat tokoh penengah dan sang informan yang baik di cerita kehidupan Muryati. Pandangan tentang sosok Widodo yang diutarakan Mas Gun ke ayah Mur waktu itu mutlak sama dengan pandanganku. GAK SREG BANGET! Tapi... Ya, Oma Nh Dini berhasil mengaduk-aduk perasaanku.
Widodo itu sosok suami yang gak bertanggung jawab. Gak menafkahi keluarga, mengabaikan anak dan isteri, bersikap cuek dan semaunya, bener-bener bukan tipikal suami idaman. Tapi justru diawal-awal pertemuan Widodo dengan Mur, sikapnya BEDA BANGET. Ya, lingkungan dan dengan siapa kita bergaul memang sangat menuntukan akan seperti apa kita nanti. Pendek kata, Mur dan Widodo bercerai dan ia bertemu dengan Handoko yang adalah adik kandung Widodo sendiri. Namun Handoko dan Widodo gak punya hubungan saudara yang baik. Mereka semakin dekat ketika keduanya menjalani pendekatan di Eropa dan lalu memutuskan untuk menikah. Setelah menikah selama 5 tahun keduanya tidak mempunyai keturunan karena si Handoko mengaku sebelumnya dia telah melakukan vaksetomi. Tapi itu bukan masalah buat keduanya. Hingga pada akhrinya, Widodo yang saat itu di asingkan ke Pulau Buru selama 14 tahun akhirnya kembali dan mempengaruhi anak-anak Mur serta adiknya, Handoko. Disinilah prahara rumah tangga Mur-Handoko terguncang akibat kembalinya Widodo. Padahal saat itu Muryati benar-benar tulus mencintai suami mudanya itu.
Bagaimana akhirnya? Ya silahkan baca langsung saja bukunya. Hehehehe Oya, dibuka ini juga diceritakan betapa pentingnya sebuah pendidikan bagi setiap orang. Pendidikan dan ilmu itu ibarat harta yang tak ternilai dan gak lekang sama waktu. Berguna untuk siapa aja dan kapan aja. Dan Oma Nh Dini juga mendeskripsikan kota-kota di Belanda secara mendetail hingga aku bisa mengimajinasikannya. Salut. Three stars for you, Grandma. :)
Novel ini adalah novel Nh. Dini yang pertama kali aku baca. Walaupun tebal, 500 halaman, tapi tetap enak dibaca. Memang, ada beberapa bagian rasanya membosankan karena terlalu banyak narasi, tetapi semakin lama makin enak dibaca. Alur novel ini maju, tetapi flashback (?), yang dimulai dari kehidupan Mur di masa kecil dan mengarah ke alur maju ke masa sekarang. Di bagian awal novel sangat menarik dan menggugah minat pembaca, tetapi di bagian tengah rasanya cukup membosankan karena seperti membaca diary seseorang yang terkadang permasalahanya ‘itu-itu’ saja. Ketika sudah 250-an halaman, rasanya ingin menamatkan cepat-cepat. Anehnya, ketika sudah mencapai di halaman akhir, rasanya, “Loh, sudah selesai? Jangan selesai dulu dong!”
Novel ini berlatarbelakang kehidupan 1980an, tetapi apa yang ada di novel ini masih sangat relate dengan kehidupan sekarang. Misalnya, di novel ini rupanya agak menyorot kehidupan ‘perempuan’ yang di bawah tingkat daripada laki-laki. Misalnya perempuan yang sudah menikah harus menghargai suami, mencari nafkah, melayani suami, memasak, dan urusan dapur. Sedangkan sang suami hanya bekerja sama. Nah, kasus ini masih sangat relate di kehidupan sekarang. Jadi, walaupun mengisahkan latar 1980-an, tapi tidak kuno. Gaya bercerita Nh. Dini juga enak dibaca dan novel ini seperti membaca diary teman yang mengisahkan masa hidupnya.
Novel ini mengisahkan kehidupan Mur dari masa anak-anak hingga masa dewasa (berumur kira-kira 40-50an). Mur adalah anak dari seorang tentara. Suatu ketika, Mur menikah dengan X yang ternyata adalah bekas PK1. Masalah utama yang disorot adalah kehidupan Mur selepas suaminya ditangkap akibat terlibat PK1.
Secara garis besar, novel ini mengisahkan kehidupan Mur dalam menghadapi berbagai masalah yang menimpa dirinya: 1. Dimulai dari rumah tangganya yang 'gonjang ganjing' akibat dia dijodohkan oleh orangtuanya. Sedangkan dia di awal sudah berperasaan 'tidak cocok', tetapi tetap dipaksakan. Kelak, suami Mur ternyata memiliki kepribadian yang sangat berbeda ketika mereka berpacaran: sangat mendikte Mur. Terlebih, ternyata mantan suami Mur adalah seorang PK1.
”Belum menjadi istrinya saja dia sudah mau mendiktekan keinginannya. Nanti bagaimana nasibku kalau sudah kawin?”
”Apakah kamu mencintainya? Cukup besar cinta itu sehingga kepribadianmu rela lebur menjadi kepribadian suamimu?”
”Hidup sehari-hari dengan orang yang sama, kalau tidak didasari pengertian dan cinta kasih, tidak akan mungkin nyaman bagi kedua pihak."
2. Kesulitan Mur saat suaminya ditangkap sebagai PK1. Dari kesulitan ekonomi, penangkapan mantan suami yang membawa pengaruh bagi namanya, karirnya, dan apapun seakan dipersulit.
"Bagiku sendiri, suamiku telah berkhianat kepadaku, anak-anakku, bahkan orangtuaku yang dulu menerima lamarannya. Masalah kelakuannya yang bagaimana terhadap negara, itu soal lain lagi. Pokoknya, sementara itu, korban terdekat dan langsung adalah keluarganya."
3. Kesulitan Mur terkait ekonomi: ketika harga semakin naik, tetapi gaji suaminya tidak naik pula. Juga kesulitan Mur saat menghidupi anak-anaknya sembari ia bekerja selepas suaminya ditahan bertahun-tahun. Sedangkan Mur tidak bekerja (menjadi guru) karena harus mengurus anak-anaknya.
"Kesimpulan dari itu semua, meskipun aku tidak menyesali perkawinanku, yang paling menekan dalam hidupku berumah tangga ialah kenyataan bahwa aku tidak mempunyai penghasilan sendiri."
4. Kisah Mur dan sahabat-sahabatnya sampai salah satu sahabatnya meninggal dunia. Dari kisah ini ternyata menjadi titik mengapa novel ini dinamakan Jalan Bandungan. Yaitu rumah Mur yang diberikan oleh Ganik di Jalan Bandungan.
5. Kesulitan Mur menghadapi suaminya (yang mantan PK1) yang banyak berbeda prinsip dengannya. Suaminya sangat otoriter dan sangat tertutup. Saya yang membacanya berasa tidak tahan juga. 6. Highlight jika novel ini menyorot perbedaan kehidupan lelaki dan perempuan.
"Ah, alasannya ada saja kalau memang mau menunjukkan kekuasaan. Ini memang negara lelaki. ... Pendek kata, segala alasan dianggap baik kalau memang lelaki tidak percaya bahwa kita kaum perempuan juga bisa berpikir mana yang baik mana yang tidak, mana yang selamat mana yang membahayakan. Kita dikira seperti anak-anak saja, masih terus harus dikekep, dikerudungi. Ini tidak boleh, itu dilarang."
"Tapi dalam sikap di rumah dan perbuatan di tempat tidur, istri-istri itu menjadi budak. Hanya kesenangan dan kepuasan lelaki atau suami yang dipentingkan. Jarang suami-suami yang menaruh perhatian apakah istri atau pasangan mereka benar-benar bahagia dalam cumbuan asmara."
7. Mengisahkan kisah saat Mur menjalin pernikahan dengan adik bekas suaminya. Dan akhirnya berpisah karena perbedaan prinsip.
"Kami berpisah, namun kami tidak bercerai. Terlalu banyak kejadian dan pengalaman yang telah kami jalani bersama-sama. Masa kebersamaan yang padat itu tidak akan mudah menguap begitu saja dari kenangan."
Kelebihan novel ini adalah mengisahkan dengan detail dampak kehidupan seorang yang 'diduga PK1' terhadap istri, keluarga, dan anak-anak. Membaca kisah Mur seperti melihat ketabahan dan kegigihannya. Ia yang mampu bangkit hingga dapat bersekolah di luar negeri adalah suatu hal yang hebat. Ia mampu bangkit dari keterpurukan. Namun, novel ini sangat tebal dan seperti membaca diary teman: terkadang persoalan yang dijelaskan kurang 'greget', agak datar, dan agak membosankan.
Kutipan favorit: "Bagaimanapun juga, rasa hormat harus dimulai dari diri kami lebih dahulu jika kami ingin disegani orang."
"Puas-puaskan kesenanganmu bergaul dan berkumpul dengan kawan-kawanmu. Kelak kalau sudah kawin, akan kaulihat sendiri semua berubah."
"Bapak kami dulu seringkali bilang, rasa humor dapat menolong manusia melewati saat-saat pedih dan kehidupan yang sukar. Humor itu seimbang dengan keimanan layaknya, begitu kata Bapak."
"Liburan yang paling murah adalah pulang."
"Bisa saja, kan? Tidak perlu punya pacar untuk hidup bahagia seperti aku. Seperti kau juga. Apakah kau punya pacar?"
"Karena kecerdasan dan kesarjanaan sebagai bukti keintelekan menjadi hampa jika tidak dikuatkan oleh amal keimanan dan kemanusiaan."
"Semua orang berubah. Aku tahu, karena itu memang perkembangan jiwa yang dipengaruhi pengalaman serta lingkungan."
This entire review has been hidden because of spoilers.
written by one of legendary indonesian woman author NH Dini. this book is a litle bit boring, but full of history. easy to understand. back at PKI rebellion, how this woman survive in the very difficult situation while her husband incarcerated due to his involvement in the comunist organisation. and she never knew it, her husband was never discuss anything with her. she faced very different marriage at the end. when finally she has to choose between her happiness and her trauma.
“Apakah kamu percaya dengan datangnya kesempatan kedua? Apakah kita boleh menggantungkan kebahagiaan dari orang lain?” Perasaan saya campur aduk ketika membaca buku ini mulai dari awal sampai akhir bahkan ditutup dengan realitas yang harus diterima lapang dada. Berlatar belakang masa revolusi, Muryati yang tinggal bersama bapak dan ibunya mengalami masa kecil yang sulit harus berpindah-pindah satu tempat ke tempat lain bersama adik-adiknya yang masih sangat kecil. Sampai menjelang usia remaja 17 tahun Muryati yang memiliki cita-cita sekolah dan menjadi guru dikenalkan dengan Widodo. Kata bapaknya Widodo adalah pria baik dan berbudi luhur. Pada kala itu Muryati tak punya pemikiran apapun tentang pernikahan dan cinta hanya ikut arus saja. Pernikahan hanya berdasarkan arus tanpa pengenalan terlalu dalam membawanya dalam neraka. Kisah manis itu hanya di awal saja selebihnya hanya pahit dan penderitaan. Puncaknya setelah tak mendapatkan nafkah sepantasnya, Muryati justru harus menerima kenyataan suaminya tergabung dalam PKI dan mendekam di penjara. Hidup sebagai ibu dengan tiga anak kecil-kecil tentu tidak mudah untuk saja Ibunya Muryati menerimanya dengan lapang dada. Mereka kembali pulang dan hidup bergantung pada warung milik Ibu Muryati. Begitulah mungkin yang namanya mimpi sempat terkubur mulai ada titik terang. Muryati meneruskan mimpinya untuk menjadi guru dan sekolah lagi ke luar negeri. Atas dukungan ibu dan teman-teman baiknya Muryati berhasil meraih impiannya tersebut meskipun sudah memiliki 3 anak. Sampai akhirnya dia mulai akrab dengan Handoko, adik Widodo suaminya. Tanpa sadar tumbuhlah benih cinta antara mereka berdua. Kali ini Muryati sudah menjadi perempuan lebih cerdas dan mampu dibandingkan dia yang dulu. Kehidupan cinta itu terasa lebih setara meskipun Wid kembali hadir menghancurkan semuanya. Kunci terpenting dalam sebuah hubungan adalah kepercayaan namun Handoko tak mampu bertahan atas ujian tersebut. Muryati mendapatkan kesempatan keduanya meski tak semua berjalan mulus. Muryati tetap bahagia meskipun merelakan sesuatu yang memang mengganjal di hatinya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Muryati dengan tegar, bijak dan mengantarkan sendiri perpisahan tersebut. Betapa pentingnya pemikiran jangka panjang atas konsekuensi keputusan yang sudah kita ambil begitu juga peran pendidikan dan lingkungan dalam kehidupan kita. Muryati adalah sosok perempuan yang memperjuangkan hak atas dirinya sendiri. Mur sangat mementingkan pendidikan dan masa depan anaknya. Meskipun dirinya dulu sempat hancur namun anak-anak dan adiknya harus mendapatkan apa yang mereka perjuangkan. Aku harap akan lebih banyak perempuan yang berani memperjuangkan haknya. Pernikahan bukanlah hal remeh, bukan hanya menggugurkan kewajiban karena usia yang sudah matang maupun mengikuti kemauan orang tua. Pernikahan harus dilakukan atas kesadaran dan saling mengenal bukan karena paksaan. Apapun itu yang diawali dengan terpaksa kedepannya tak akan berjalan baik. Banyak manusia berkedok baik dan manis di awal, OH bukan! Memang itu sifat aslinya yang belum terlihat oleh kita.
Pertama kali baca karya Ibu NH Dini. Dan surprisingly, saya suka dengan caranya bercerita. Sangat detail, meskipun di buku ini lebih panjang narasi daripada percakapan, tapi justru bisa menggambarkan segala keadaan, situasi di jaman itu, benar-benar ikut merasakan. Story telling nya bagus, tidak terlalu membosankan. Mungkin setelah ini akan coba baca judul yang lain. Ahh, kebiasaan ~
Menceritakan Muryati, detail dari masa kecil, remaja, sampai menikah dan punya anak. Yang konon di masa itu, di usia 17 sudah dianggap mampu menikah. Hingga dia dilamar oleh Widodo, seorang pemuda yang dikenal baik oleh Bapak Muryati, dianggap sosok yang sopan, menyenangkan serta pandai bergaul. Meski belum terlalu merasakan cinta, namun dengan meyakini penilaian orang tuanya, diterimalah lamaran tersebut dan akhirnya mereka menikah setelah Muryati selesai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan bekerja menjadi guru selama kurang lebih satu tahun.
Sikap Widodo perlahan mulai terlihat aslinya setelah mereka menikah. Sosok yang pelit, masa bodoh dengan urusan rumah tangga, tidak bisa bersikap mesra, juga tidak memperbolehkan Muryati bekerja. Intinya sangat berbeda dengan saat perkenalan di awal. Hingga puncaknya, Widodo tertangkap karena terlibat dengan partai komunis.
Akhirnya, saat Widodo di penjara, dengan bantuan ibu dan sahabat-sahabatnya, Muryati bekerja keras untuk menopang kehidupan anak-anaknya, mengejar cita-citanya kembali menjadi guru, yang semuanya itu tidak mudah karena mendapat predikat "suaminya terlibat". Namun pada akhirnya, dengan berbagai bantuan, ia berhasil mendapat beasiswa untuk belajar ke Belanda. Menjalani kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan di tanah air selama beberapa bulan, hingga mempertemukan Muryati dengan laki-laki yang mampu menggetarkan hatinya kembali. Yang sayangnya, laki-laki tersebut adalah Handoko, adik iparnya. Adik suaminya sendiri. Pernikahan dengan Handoko akhirnya terjadi saat Muryati sudah resmi menyandang status sebagai janda. Janda tahanan Pulau Buru. Awalnya semua baik-baik saja hingga satu ketika, masa tahanan Widodo berakhir dan Widodo sudah keluar dari tahanan. Hidup penuh dengan teror dari mantan suami, perubahan sikap anak bungsu, hingga perubahan suaminya, semua dirasakan oleh Muryati.
Membaca buku ini seperti membaca buku harian Muryati. Bu Dini ingin menggambarkan karakter perempuan yang cerdas, mandiri, tahan banting. Juga ingin memberikan gambaran bahwa setelah perempuan menikah, beberapa dari mereka akhirnya harus melepaskan banyak hal yang awalnya mereka sukai dan tekuni. Dan bahwa menjadi perempuan harus berdaya dan berpendidikan, sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan. Alur yang sederhana tapi mampu membuat saya sebagai pembaca bisa turut merasakan apapun yang sedang dialami Muryati. Bahagia, kesulitan, hingga kegetiran. Saya juga menyukai persahabatan Muryati. Benar-benar digambarkan kedekatan dan betapa tulusnya mereka saling menyayangi antar sahabat, orang tua sahabat, juga anak para sahabat.
Jalan Bandungan terdiri dari empat bagian. Bagian pertama, merupakan present days, sejenis Prolog; di mana kita diajak untuk bertemu dengan Muryati ketika dia menerima kabar mengenai pembebasan tahanan Pulau Buru, di saat kehidupannya mulai jauh lebih stabil dan dia juga sudah bertemu dengan orang yang membuatnya menemukan makna baru tentang cinta. Bagian kedua merupakan flashback dan memiliki porsi terbanyak dibandingkna dengan bagian-bagian lainnya. Bagian ini membawa kita untuk bertemu dengan Muryati yang masih muda dengan segala aktivitasnya, dan berkenalan dengan laki-laki yang kelak menjadi suaminya. Konflik-konflik awal dari kehidupan pernikahan hingga bagaimana kemudian suaminya dianggap terlibat dan "menghilang", serta bagaimana Muryati menata kembali hidupnya dengan melakukan hal-hal baru, semuanya ada di sini. Bagian ketiga merupakan cerita mengenai kehidupan Muryati dengan cintanya yang baru, serta menjadi benang merah dari judul buku. Kemudian, di bagian keempat, kita kembali ke present days dan bagian ini merupakan klimaks dari bagaimana Muryati yang bertahun-tahun berjuang sendiri dan menemukan cinta yang baru, lalu harus berhadapan dengan kehadiran cintanya yang lama, serta bagaimana dia mengambil penyelesaian dari kekisruhan yang muncul.
Karakter Muryati di dalam buku Jalan Bandungan juga mengisahkan tentang perempuan yang sebelumnya terkesan harus "tunduk" pada kekuasaan laki-laki -- dalam hal ini suaminya -- yang tidak memperbolehkan Muryati untuk mencapai mimpi. Hingga akhirnya sesuatu terjadi pada suaminya, dan selama proses berjuang itulah akhirnya Muryati menemukan kembali impian-impian dan gairah hidup yang baru dengan berdiri di atas kakinya sendiri, serta dibantu oleh orang-orang yang sangat memahami dirinya.
Jika dibandingkan dengan Namaku Hiroko, maka Jalan Bandungan terasa lebih datar bagi saya. Emosi para tokohnya tidak begitu tergali mendalam seperti yang saya rasakan ketika membaca Namaku Hiroko. Maaf, ya, jika saya seringnya membandingkan dengan Namaku Hiroko. Dari sekian buku Nh Dini yang pernah saya baca, hanya Namaku Hiroko yang paling berkesan dan memorable, sehingga apapun judul buku Nh Dini yang sedang saya baca pasti akan saya bandingkan dengan Namaku Hiroko, huehehe~
Selain itu, penyelesaian akhir dari novel juga agak nganu bagi saya, terasa sedikit ada inkonsistensi dengan bagaimana karakter yang terlibat menjalin hubungan sebelumnya. Tetapi, yasyudalaya~
Oh iya, karena ini aslinya merupakan buku yang dicetak pertama kali sejak sangat lama, beberapa kata juga ditulis sesuai kaidah pada masanya. Misalnya, penulisan "Eropa" dengan "Eropah".
📚 Judul : Jalan Bandungan ✒️ Penulis : Nh. Dini 🖨️ Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama 📆 Tahun : 2019 📖 Tebal : 456 halaman 🧕🏻Reviewer : Ummu Ainun 🔢 Buku ke : 33 of 100 🗓️ Total Hlm : 11.672 📝 Finish : 27 Mei 2023 ⌛ F / NF : F
♾️♾️♾️♾️♾️♾️♾️♾️♾️
Sudah lama saya tidak membaca karya sastra. Kali ini buku yang saya baca karya Nh. Dini dengan judul Jalan Babdungan.
Jalan Bandungan sendiri merupakan sebuah sebutan untuk rumah yang ditinggali Muryati tokoh utama dalam cerita.
Diawal kisah bermula, bahwa mantan suami Muryati akan di bebaskan dari pulau buru.
Kisah bergulir mundur keawal pertemuan, pernikahan Muryati dengan Widodo. Di awal pernikahan sudah banyak masalah sosok Widodo jauh dari gambaran lelaki ideal. Puncaknya Widodo ditahan karna ikut bergabung partai komunis.
Dengan membawa ke 3 anaknya, Muryati pindah ke rumah ibunya, berjuang mencari nafkah sambil mengajar di bantu dengan sahabat-sahabatnya dengan dukungan moral dan finansial.
Hingga mendapat kesempatan sekolah diluar negeri. Disana bertemu dengan Handoko yang tak lain adik Widodo. Sepulang dari luar Muryati mengajukan surat cerai. Dan akhirnya mereka menikah. Hidup dengan penuh cinta. Sampai berita kepulangan Widodo.
Dan memang kepulangan Widodo dari pulau buru. Membawa masalah pertama mengenai anak bungsu yang hampir saya ikut idiologi ayahnya dan tidak naik kelas, yang akhirnya di bawa kepadang agar menjauh dari ayahnya. Setelah kepergian anaknya berganti dengan diam-diam menanamkan fitnah diantara hubungan suami istri Muryati dan Handoko.
Sampai akhirnya hilang sara percaya diantara mereka, hilang pula rasa cinta itu. Handoko memutuskan menerima tawaran bekerja keluar negeri dan Muryati tetap di Indonesia.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini, banyak sifat-sifat dasar manusia. Yang baik yang benar, yang jahat yang salah, dan mereka bisa berubah seiring waktu.
"Siapa yang akan dikeluarkan?", " Bagaimana memberitahu suamimu?", disusul pertanyaan lain yang belum kutahu duduk perkaranya bukanlah sesuatu yang mudah dicerna. Halaman 6, "Aku bekas istrinya yang kawin dengan adiknya" menaruh harap untuk mencari tahu lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi.
Bagian pertama barangkali sengaja dibuat sangat tipis. Berbeda dengan ketiga bagian setelahnya yang memenuhi jilid buku ini. Cerita yang diusung pun sangatlah lokal. Aku seperti membaca potongan kecil kehidupan orang-orang terdahulu di zaman penjajahan hingga mencapai kemerdekaan.
Nuansa yang dibangun di rumah Mur (tokoh utama) juga demikian kuat sebagai orang Jawa. Hubungan persahabatan mereka juga demikian erat. Ikatan kekeluargaan yang kian langka semacam itu jadi keunggulan dalam novel ini.
Bagian tiga masih menjadi cerita favorit. Kunjungan Mur ke Belanda memberi wawasan baru bagi pembaca sepertiku. Misalnya, di pasar luar negeri, seorang pembeli tidak diharapkan menyentuh barang yang dijajakan (hal. 210). Ada lagi. Di negeri Barat, orang tidak berganti pakaian terus-terusan seperti di Indonesia (hal. 231).
Fokus kepada hubungan Mur dengan Handoko dan Widodo, aku sungguh menyayangkan jika Mur bernasib sial untuk kesekian kalinya. Dalam penghujung cerita, pembaca masih dibuat penasaran tentang apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga Mur selanjutnya. Ini sungguh menjengkelkan, apalagi ketebalan buku ini belum mampu menjawabnya.
O iya, feminisme juga beberapa kali disenggol dalam novel. Terutama saat obrolan Ganik dengan Mur. Selain itu, aku juga menyukai setting yang riil diambil dari nama yang sungguh ada di Jawa Tengah. Ini menambah keyakinan serta pengetahuan tentang sejarah masa lalu dan seisinya.
Selebihnya, peristiwa dan kalimat dalam buku mudah beradaptasi dengan pembaca, sehingga mudah pula untukku menuntaskannya.
Setiap orang memiliki harapan yang besar dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, kehidupan rumah tangga yang dijalani Muryati dan Widodo tidak seperti apa yang dibayangkan orang-orang di sekitarnya, juga tidak seperti kehidupan kedua orang tuanya. Muryati dibesarkan oleh orang tua yang begitu mengedepankan kebahagiaan anggota keluarganya dengan melakukan berbagai hal, seperti menonton film bersama hingga mengunjungi tempat liburan setiap akhir pekan. Setelah menikah dengan Widodo—anak buah ayahnya pada masa revolusi—Muryati merasakan banyak hal yang salah pada kehidupan rumah tangganya.
Kisah ini dimulai dengan penggambaran kondisi di akhir novel—masa ketika Muryati sudah menikah dengan adik Widodo, Handoko—sebelum melakukan kilas balik yang menceritakan kronologi mulai dari masa kecil Muryati hingga kompleksnya kehidupannya ketika dewasa dan berumah tangga. Seluruh cerita dalam novel ini berdasarkan sudut pandang Muryati. Akan berbeda atmosfer sudut pandang Muryati ketika masih duduk di bangku Sekolah Rakyat dan ketika ia telah berumah tangga. Tentang kehidupan masa revolusi, pergaulan dan persahabatan di sekolah, hingga rasa penasaran para remaja mengenai pergaulan lawan jenis diungkapkan di masa-masa muda Muryati. Hal kompleks mulai muncul ketika ia dekat dengan Widodo yang cukup dingin untuk dirinya yang terbiasa hidup dalam keluarga yang bahagia hingga Muryati menjadi seorang yang begitu pasif setelah menikah dengan Widodo.
Tentang kehidupan masa revolusi, pergaulan dan persahabatan di sekolah, hingga rasa penasaran para remaja mengenai pergaulan lawan jenis diungkapkan di masa-masa muda Muryati. Persahabatan Muryati, Murniyah, Ganik, Sri, dan Siswi—dari masa sekolah hingga dewasa dan berumah tangga. Dimana memberitahukan bahwa pertemanan yaitu tentang saling memberikan manfaat dan saling menolong. Tentang rumah tangga Muryati, dimana dia harus membesarkan anak-anak nya sendiri dengan dukungan ibunya, sahabatnya tetapi tanpa suami yang kurang bertanggung jawab. Disini Widodo emang menyebalkan dimana dia hanya menuntut kebutuhan kasur dan memberikan uang bulanan sampai akhirnya dia ditangkap karena termasuk komunis yang menentang pemerintah. Tokoh2 di dalam buku ini (20-30 tahun sesudah kemerdekaan) sudah mulai maju pemikirannya mengenai hak-hak perempuan—bahwa perempuan tidak hanya sekadar bekerja di sumur, dapur, dan kasur.
Hal kecil yang bisa diambil : 1. Memberikan hadiah sekecil apapun akan sangat diingat orang lain. 2. Perempuan harus terus maju walaupun dalam tekanan sekalipun. Dilihat dari Muryati yang tetap melanjutkan studi ke Belanda walaupun sebelumnya dapat nyinyiran mengenai istri seorang komunis. 3. Liburan paling murah adalah pulang
Ini buku Nh. Dini yang aku baca pertama kalinya. Aku baru tau betapa beliau memiliki gaya bahasa yang sederhana, lugas, namun tetap sampai pada pesan yang ingin disampaikan.
Buku ini mengangkat perjuangan perempuan dalam kehidupan penuh impian, pekerjaan, persahabatan, pernikahan, dan hal-hal lain yang perlu dijadikan perenungan panjang.
Aku suka sekali dengan kisah persahabatan perempuan-perempuan ini, karena tidak berpisah meski sudah tidak di satu pendidikan yang sama. Jalinan erat yang dibutuhkan dalam kehidupan ini.
Banyak banget gregetan sama dua tokoh laki-laki yang merupakan saudara kandung ini. Huft, tapi memang pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna, sih. Dan ini menjadi hal yang perlu kita pikirkan dari sekarang, terutama perihal sikap kita untuk menanggapi perubahan dari orang terdekat.
Nh. Dini menggambarkan realita dalam pernikahan dan rumah tangga dengan apa adanya. juga bertitik pada satu kesimpulan bahwasanya pernikahan bukan tentang bercumbu dan bercinta terus-terusan, tapi hubungan di mana kedua pasangan harus saling jaga keseimbangan. kalau hanya satu pihak yang berjuang menjaga keseimbangan, contohnya akan seperti kisah pernikahan Mur di buku ini.
yang saya harapkan sebenarnya character development dari setiap tokoh cerita. tapi yang ditampilkan justru sebuah kemunduran dan perubahan karakter ke arah yang lebih buruk. hal ini ngga mengurangi penilaian terhadap gaya cerita dan keseluruhan isi buku. seperti biasa, Nh. Dini berhasil mengemas cerita dengan alur panjang yang teratur dan tidak membosankan. serta bahasanya yang memikat memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan dan membekas.
Akhirnya ku temukan jawaban, mengapa Jalan Bandungan dipilih jd judul buku ini.
Pada 2 bab awal, tak ada hubungannya Jalan Bandungan dengan hidupnya Mur namun pada akhirnya justru disana lah kehidupan Mur menghadapi krisis yang menguji.
Selama ini, buku bu Dini ku posisikan sebagai caraku melihat kehidupan berumahtangga. Ciri khas roman Indonesia angkatan bu Dini sangat terasa sekali di tiap detail persoalan dan suara hati. Setidaknya buku ini turut menambah kesadaran ku soal bagaimana perempuan melewati berbagai krisis tak terelakkan.
Orang-orang akan terus berubah, bahkan diri kita sendiri. Namun bukan berlari menghindari jawabannya, tetapi memberi jeda sejenak lalu menghadapi dgn kekuatan yang tersisa.
Buku Nh. Dini pertama yang saya baca, cerita dan tema yang dituliskan menarik, bagaimana perjuangan seorang perempuan menghadapi rintangan kehidupan untuk menggapai impian nya dan juga memperjuangkan hak-hak seorang perempuan.
Melihat sang karakter utama (Muryati) berjuang melawan nilai-nilai patriarkis yang lekat dengan kehidupan bangsa Indonesia pada waktu itu, dan juga realita kehidupan berumah tangga yang tidak selalu berjalan seusai dengan impian, agak sedikit berat memang tapi Nh. Dini mampu menulisakan tema yang cukup berat ini dengan penulisan yang ringan dan enak dibaca. (Sprinkled with a little a bit of anti communism propaganda but it is what it is, still an interesting book for me)
keadaan hidup yang jalan mulus terus itu nggak akan ada. tapi, apapun yang terjadi mau itu jatuh cinta, patah hati, pertemuan, perpisahan, kemalangan, dan peristiwa-peristiwa lain itu bagian dari perjalanan hidup. semua itu perlu dihadapi dan selalu disyukuri aja.
dan juga seorang perempuan itu harus selalu memiliki gairah, mau hidup seperti apa, mau berkarir seperti apa dan memilih pasangan yang bagaimana. pokoknya perempuan itu harus berani.
Penceritaannya cepat mengalir. Muryati, mengambil tanggung jawab keluarga kuat dengan mengambil konteks masa Orde Baru sebagai istri (dan, mantan) seorang Tahanan Politik. Melawan arus norma. cerita kuat terasa dengan rutinnya perincian kehidupan tokoh dan lingkungan/negara tokoh berada, cukup menyenangkan.
Perjalanan seorang perempuan yang kelak menjadi wanita, lagi-lagi Nh. Dini mengambil sudut pandang perempuan (saya baru baca beberapa bukunya) dan saya merasa dibawa ke masa depan sekaligus masa lalu. Setiap pilhan hidup dan keresahan sebagai seorang wanita adalah hal yang akan terus melilit hati kita masing-masing. Entahkah itu akan memberikan tekanan atau penyesalan.
Bukunya menarik, sebenarnya untuk latar tahun 50-70an buku ini cukup menarik. Konflik dan cerita yang dibawakan tidak terlalu berlebihan dan mengalir saja. Pembawaannya pun cukup dengan bahasa sehari-hari sehingga tidak terlalu menguras pikiran saat membaca.
Ceritanya sangat apik sekali, penggambaran Mur di dalam novel ini sangat kuat juga konfliknya dengan Widodo dan juga kisah cintanya dengan Handoko. Konflik lebih ditekankan di dalam novel ini, terlihat sangat kuat senada dengan latar suasana dan karakterisasinya.