Dari ujung utara Benua Amerika sampai ke ujung selatan Benua Afrika, Arneta terjebak di antara tiga laki-laki yang sama-sama mengejarnya.
Bekas kekasihnya yang berada di ambang perceraian. Pria tanpa masa lalu yang sedang terpuruk dalam lumpur perasaan bersalah. Dan mantan suaminya, seorang lelaki terhormat yang mengidap deviasi seksual dan mempunyai kepribadian ganda.
Terlahir sebagai Mira Widjaja, seorang dokter lulusan FK Usakti (1979) dan penulis novel yang begitu aktif. Karyanya begitu banyak. Yang terlaris Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi mencapai oplah 10.000, dan mengalami lima kali cetak ulang.
Sejumlah karyanya sudah difilmkan: Kemilau Kemuning Senja, Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi, Ketika Cinta Harus Memilih, Permainan Bulan Desember, Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu, dll. Pemfilman karyanya mungkin karena faktor ayahnya, Othiel Widjaja, yang dulunya produser Cendrawasih Film.
Mira mengakui karyanya tidak mendalam. Karya-karyanya dipengaruhi oleh karya- karya Nh Dini, Marga T., Y.B. Mangunwijaya, Agatha Christie, Pearl S. Buck, dan Harold Robbins. Karena berasal dari lingkungan yang sama, kedokteran, Mira yang bungsu dari lima bersaudara ini merasa karyanya dekat dengan karya Marga T.
Ia mengaku mulai menulis sejak kecil, dan karangan pertamanya, Benteng Kasih, dimuat di majalah Femina, 1975, dengan honor Rp 3.500. Pengarang yang populer di kalangan remaja ini memakai bahasa yang komunikatif, bahkan dalam dialognya banyak menggunakan bahasa prokem.
Mira sudah melanglang di lima benua, dengan honor tulisannya. Praktek dokter dibukanya petang hari, sedangkan pagi ia bertugas sebagai Ketua Balai Pengobatan Universitas Prof. Dr. Moestopo, Jakarta.
Bibliografi: + Dari Jendela SMP, + Bukan Cinta Sesaat, + Segurat Bianglala di Pantai Senggigi, + Cinta Cuma Sepenggal Dusta, + Bilur - Bilur Penyesalan, + Di Bahumu Kubagi Dukaku, + Trauma Masa Lalu, + Seruni Berkubang Duka, + Sampai Maut Memisahkan Kita, + Tersuruk Dalam Lumpur Cinta, + Limbah Dosa, + Kuduslah Cintamu, Dokter, + Semburat Lembayung di Bombay, + Luruh Kuncup Sebelum Berbunga, + Di Ujung Jalan Sunyi, + Semesra Bayanganmu, + Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, + Cinta Diawal Tiga Puluh, + Ketika Cinta Harus Memilih, + Delusi (Deviasi 2), + Deviasi, + Relung - Relung Gelap Hati Sisi, + Cinta Berkalang Noda, + Jangan Renggut Matahariku, + Nirwana Di Balik Petaka, + Perisai Kasih yang Terkoyak, + Mekar Menjelang Malam, + Jangan Pergi, Lara, + Jangan Ucapkan Cinta, + Tak Cukup Hanya Cinta, + Perempuan Kedua, + Firdaus Yang Hilang, + Permainan Bulan Desember, + Satu Cermin Dua Bayang-Bayang, + Galau Remaja di SMA, + Kemilau Kemuning Senja, + Sepolos Cinta Dini, + Cinta Menyapa Dalam Badai 2, + Cinta Menyapa dalam Badai 1, + Mahligai di Atas Pasir, + Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat, + Titian Ke Pintu Hatimu, + Seandainya Aku Boleh Memilih, + Tatkala Mimpi Berakhir, + Cinta Tak Melantunkan Sesal, + Bila Hatimu Terluka, + Cinta Tak Pernah Berhutang, + Di Bibirnya Ada Dusta, + Bukan Istri Pengganti, + Biarkan Kereta Itu Lewat, Arini!, + Dikejar Masa Lalu, + Pintu Mulai Terbuka, + Di Sydney Cintaku Berlabuh - Sydney, Here I Come, + Solandra, + Tembang yang Tertunda, + Obsesi Sang Narsis, + Sentuhan Indah itu Bernama Cinta, + Di Tepi Jeram Kehancuran, + Sisi Merah Jambu, + Dakwaan Dari Alam Baka, + Kumpulan Cerpen: Benteng Kasih, + Seruni Berkubang Duka, + Di Bahumu Kubagi Dukaku, + Sematkan Rinduku di Dadamu, + Dunia Tanpa Warna
Saya sempat membaca sekira 2 novel karya Mira W beberapa tahun silam. Saya cukup terpikat dengan gaya bahasa dan konsistensi jalinan cerita yang dibuat oleh novelis yang kondang sepanjang tahun 90-an ini. Namun, kesan bahwa tulisan beliau cenderung “tante-tante” membuat saya sedikit terintimidasi karena saya lelaki. Picik sekali saya. Untung saja, akhirnya saya mampu melepaskan diri dan bersikap santai saja. Be myself. Bias gender tidak akan menghalangi kecintaan saya membaca buku. Semoga saja.
Adalah sebuah event Obral Buku Murah Gramedia yang digelar di Pusat Perbelanjaan Hero Pancoran yang membuat saya kembali menyukai hasil tulisan novelis perempuan yang sangat produktif ini (gua gak ngitung dah berapa nopel yang dibikin ama beliau, yang pasti dah banyak sekali deh!). Entahlah, kalau harganya tidak dipangkas (kalo gak salah, normalnya nih harganya sekitaran Rp30-an gitu) apakah saya masih berminat membelinya atau tidak (habis… nopel tipis begini, kecil pula size-nya, kok ya mahal banget yak?!?). Lepas dari masalah banderol harga itu, saya sungguh bersyukur saya mencomot novel ini. Astaga, saya benar-benar terpukau dengan novel ini. As good as usual.
Entah kebetulan atau tidak, saya justru merampungkan baca novel ini hampir bersamaan dengan saya selesai menonton serial terbaru karya Stephen Spielberg berjudul United State of Tara (UST) yang bertema hampir mirip. Novel Deviasi dan UST memiliki kesamaan latar belakang tokohnya, yaitu isu gangguan kejiwaan berupa Multiple Identity Disorder (MID) atau Dissociative Identity Disorder (DID), dimana penderitanya dikenal memiliki kepribadian lebih dari satu. Jika di novel karangan Mira tokoh Rivai dideskripsikan memiliki kepribadian lain yaitu Rizal, maka dalam UST, Tara digambarkan memiliki 4 identitas. Dan, baik novel Mira maupun drama seri tersebut sangat lezat untuk dinikmati. Tentu saja dengan level kelezatan masing-masing.
Untuk sementara, mari membahas novelnya Mira. Sinopsisnya saja telah membuat saya langsung tak sabar untuk segera membacanya. Sungguh menggoda. Latar belakang keilmuan Mira yang adalah seorang dokter memang tak bisa dilepaskan hampir di banyak karyanya. Setting rumah sakit, tempat pelayanan kesehatan, hingga profesi maupun keseharian para tokohnya yang tak jauh dari dokter, perawat, bidan, ahli kejiwaan, dan lain sebagainya, menjadi ciri khas yang membedakan tulisan Mira dengan karya novelis lainnya. Bosen? Entahlah, setelah membaca 4 novel beliau, kebosanan tak jua menghampiri saya. Mungkin karena saya yang tidak tahu-menahu soal kesehatan jadi mendapat ilmu baru dengan membaca novel-novel Mira sehingga meskipun beberapa kali diulas, saya masih tetap antusias. (Ah, mo ngaku kalo dulu cita-cita jadi dokter gak kesampean kok ya malu, yakk!?!)
Deviasi hadir dengan kisah yang menawan namun rumit. Kepribadian ganda. Mengejutkan sekaligus membingungkan. Padahal, saya paling benci membaca novel yang ceritanya berputar atau dibuat sedemikian misterius (makanya gua ga seneng baca nopel detektip-detektipan gitu, too complicated for me). Tapi, saya malah mau nambah dan nambah lagi begitu membuka-baca lembar demi lembar novel dengan ketebalannya tak lebih dari 300-an halaman ini. Gaya bahasa serta setting khas Mira yang telah saya ketahui dari 2 novel beliau yang saya baca sebelumnya tidak lagi membuat saya “terkejut” sehingga saya langsung enjoy mengikuti alur cerita yang disusunnya.
Setting, tokoh, gaya bahasa, dan alur cerita telah terangkai sempurna. Tidak ada yang perlu dikritik. Yang membuat saya menyukai novel ini adalah, ada saat-saat dimana saya dibuat gemas karena merasa “dipermainkan” oleh Mira dengan kejadian atau keadaan yang diciptakannya. Saya harus mengacungkan kedua jempol saya karena Mira berhasil membuat saya terhanyut pada kisah dalam novel ini. Tak jarang saya memaki atau juga memuji jika tokohnya melakukan atau tidak melakukan apa yang saya ingin atau tidak inginkan. Gemas. Sungguh!
Saya cenderung malas membaca novel yang kebanyakan menggunakan flashback dalam penceritaannya, namun pada novel ini saya justru mengharapkan adanya kisah-kisah ungkitan masa lalu demi membantu saya memahami jalinan ceritanya. Mira juga piawai kapan harus menampilkan kejadian kilas balik tersebut. Sangat pas untuk tidak membuat kacau aliran plotnya, setidaknya bagi saya.
Kecakapan Mira yang lain adalah kecermatannya untuk mengait-ngaitkan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Hal tersebut juga sempat membuat saya gemas bukan main. Pernah, di seperempat bagian novel saya menggerutu, “loh, ngapain sih si Ini, apa hubungannya ama si Itu…kok tiba-tiba muncul tokoh Ini ya?” Namun, kegemasan saya itu justru menaikkan semangat untuk segera menuntaskan membaca novel ini. Bahkan, gara-gara ending-nya yang dibuat menggantung sebagai koneksi ke novel berikutnya, saya langsung memburu novel lanjutannya itu. Saya kadang juga sering menghujat penulis yang mendadak memberi porsi pada tokoh yang sebelumnya tidak punya “hak-suara” namun tiba-tiba ikut bercerita, sekali lagi, dalam novelnya ini, Mira mengemasnya dengan sangat apik. Caranya memberi ruang pada peran-peran pendukung itu tidak berlebihan dan cukup pas dalam menjaga ritme keseluruhan cerita.
Hmm…kok rasanya gua muji mulu ya? Tapi, sungguh saya sendiri bingung mencari cela dari novel ini, bahkan dari segi penulisan dan edit kata per kata-nya. Nah, jika GPU saja begini teliti untuk karya-karya waktu dulu, mengapa untuk penerbitan novel masa kini sering salah di editan ya? Hayyo…siapa nih yang musti disalahin?
Mungkin gangguan kecil yang muncul adalah hanya pada pengulangan beberapa kalimat yang terdapat dalam beberapa chapter. Termasuk kebiasaan Mira untuk menggantungkan kejadian dari satu adegan ke adegan lainnya, memang menggelitik rasa ingin tahu, tapi kadang agak mudah ditebak sehingga membuat jengah. Semoga saja, pembaca tidak lekas kesal dan tak menghentikan-baca sebelum sampai klimaks.
Overall, saya sangat menyukai novel ini. Jika harus memberikan bintang, dalam skala 1 sampai dengan lima, saya akan memberikan 3,5 bintang. Kalau saja ketebalannya ditambah (gak perlu bersambung gitu, hehehehe) saya tidak ragu memberikan 4 bintang lah. Hmm…
Deviasi • Mira W. • GPU • @ipusnas.id • 1996 • 272 hlm.
Renata terjebak dalam hubungan pernikahan yang tidak sehat. Perceraian tidak dapat dihindari lagi oleh Rivai--suami Renata--setelah ia mempertaruhkan Renata di meja judi saat bulan madu kedua mereka di Sun City. Renata makin yakin bahwa suaminya "sakit".
Renata menyadari dirinya berbadan dua setelah resmi menyandang status sebagai mantan istri Rivai. Anak siapakah itu, anak Rivai atau Taufan--lelaki yang merenggut kehormatan Renata lantaran memenangkan taruhan dengan Rivai? Mampukah Renata mengungkap perilaku menyimpang Rivai ketika sekretaris pribadi Rivai menggugat terkait pelecehan seksual yang dialaminya?
Kehidupan rumah sakit masih menjadi latar cerita ini. Maklum, latar belakang penulis yang seorang dokter tentu akan lebih mudah menguatkan cerita. Bagiku, ini justru merupakan ciri khas dan daya pikat tulisannya. Selain itu, prahara rumah tangga dan perselingkuhan menjadi tema yang sering diambilnya.
Isu penyakit mental yang dialami tokoh cerita membuatku bergidik. Aku tidak hanya dibuat cemas akan nasib para tokoh, tetapi juga penasaran akan lanjutan kisahnya. Di sisi lain, aku meragukan kekuatan yang dimiliki Renata. Bagaimana mungkin ia bisa semudah itu jatuh cinta pada lelaki yang merenggut harga diri dan kehormatannya? Sebegitu mudah dan cepatnyakah rasa jijiknya akan peristiwa di Sun City menguap? Tidak traumakah ia?
Meskipun demikian, rangkaian diksi pilihan Mira memang selalu berhasil menyihirku untuk segera melahap ceritanya. Kisahnya selalu mengalir begitu saja sembari membangkitkan emosi pembaca. Ah, akhir cerita yang (lagi-lagi) membuatku bergidik, mendesakku untuk segera membaca buku selanjutnya.
Okee aku seneng banget sama karya-karya Mira W, tapi rasanya hampir semua ceritanya memiliki tema dan alur yang sama. Jadi yaa rasanya kayak udah biasa. Tapi tetep penasaran sih, karena yang aku suka dari Mira W itu selalu membuka tirai dengan pelan-pelan, satu tirai belum terbuka sudah ada tirai lain yang dibuka sedikit juga, jadi makin penasaran apa yang ada didalamnya, ingin segera menamatkan agar tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Wow... Hahaha... Kalau boleh jujur, ceritanya sinetron sekali (dan memang disinetronkan hahaha) tapi pace nya cepat, nggak seperti satu novel Mira W. yang saya hentikan karena kelewat meleber narasinya.
Di sini, karakternya konsisten dan kalaupun ada perubahan sifat itu karena trigger nya jelas.
Bravo! Buku Mira W yang satu ini memang memiliki nuansa yang sama dengan judul buku lainnya. Namun, Deviasi memiliki magis sendiri.
Secara tidak sadar, saya dibawa iba pada sosok Rivai. Bahkan, dalam kurungannya, ia tidak mau keluar karena mengatahui sosok yang selalu bersamanya meninggal karenanya.
Rivai memang sakit jiwa, tetapi Rana jauh lebih daripada itu!
This entire review has been hidden because of spoilers.
novel ter best that i ever read, suka banget sama ceritanya, bikin penasaran setiap bab nya tapi aku lebih suka arneta sama rivai aja (dark romance bgt ya) wkwkwkwk
Dari dulu masih jamannya cupu, udah tertarik sama dwilogi Deviasi-Delusi--yang kalo saya nanya sama Mama, dia cuma akan bilang: itu seru, tentang orang gila. Kapan-kapan kamu harus baca.
Girang banget begitu nemu novel ini di tumpukan pas Book Fair kemarin. Tapi karena belom kelar baca The Hobbit, akhirnya novel ini nganggur sebentar.
Gak disangka begitu kelar Modul Mental Emosional, keinginan baca novel ini kuat. Seperti yang kita tahu, penulis memang demen banget kan nyisipin unsur kedokterannya, dan kepo aja gimana dunia psikiatri di mata beliau. Akhirnya coba baca dan... berasa baca kasus tutorial! :)))
Novel Mira W, bahasanya memang begitu. Sebenernya kadang jengah, kadang bisa juga bikin sampe senyum-senyum sendiri. Ada beberapa novel beliau yang bahasanya itu bisa terminimalisir dengan manis kompleksnya cerita, yang jadi favorit saya.
Romance dalam novel ini masih kalah dominasinya dari kejiwaan itu sendiri. Lengkap banget, dari mulai faktor genetik, faktor psikososial yang mendampingi, stressornya juga. Aduuuuh~ psikiatri ♥ #salahfokus ada beberapa hal yang ngga bisa disalahkan dari Rivai, karena kayaknya mereka satu keluarga gila semua
Novel Mira W yang paling berkesan sampai sampai saya mengerti tentang kepribadian ganda dari novel ini. Ha-ha-ha. Karena saya baca novel ini ketika masih cupu, jaman SMP. Alih alih baca novel sebagai tugas sekolah untuk dibuat ringkasannya seperti Salah Asuhan karya Abdul Moeis atau novel karya N.H. Dini yang banyak numpuk di perpustakaan sekolah, bahkan Belenggu karya Armijn Pane (yang saya punya bukunya tapi sampai sekarang nggak kelar bacanya), saya memilih novel tante tante walau ringkasannya nggak jadi dibuat.
Novel ini tetap khas Mira W. yang untuk anak SMP belum paham betul masalah rumah tangga bikin saya terkaget kaget dengan ending-nya tidak terduga tapi seharusnya nggak ngagetin. Saya masih ingat ada bab yang bercerita di ruang anatomi sering sekali dijadikan setting tempat sehubungan dengan tokoh utama yang mengambil studi kedokteran.
Coba saja saya yang jaman SD nonton sinetronnya ya...
suka bgt ama ceritanya cuman gw nyesel knapa dulu gw ga ngikutin critanya ksian sih si Dian Nitami dsiksa mulu dsitu.. Adjie Massaid lg ganteng2nya dsitu.. gw inget bgt dy sempurna meranin Rivai sekaligus Rizal dengan okeeee Ari Wibowo ganteng jg jadi dokter yg Cool dan gentleman bgt pengen sinetronnya diulang!!! td kbetulan nemu video klip dari sinetron ini otomatis jadi mupeng seandainyaaa bisa muter waktuuu
wah kaget banget waktu jaman dulu ini novel diangkat ke layar kaca (sinetron) kalo ga salah dulu yg mereninnya itu si dian nitami & ari wibowo...aduuh jaman dulu ni gue bela2in nonton ni film coz secara juga novelnya bagus sekalee..bener2 berkepribadian ganda..
kesan yang dalam tentang kehidupan rumah tangga yang tidak normal dan pergumulannya dalam cinta masa lalu. meskipun tidak mendetail mengingat ceritanya, namun selalu menitikkan air mata bila membacanya, hanya Mira W yang mampu menyusup ke dalam perasaanku.
Beuhh.. nih buku. Top! alur ceritanya ga bkin bosen, bkin penasaran baca dari awal hingga akhir. Kasian si Arnetta, terjebak dengan laki2 yang mempunyai kepribadian ganda dan penyimpangan seksual :/ Aku baca buku ini dulu waktu kelas 3 SMA... baca di perpus sekolah :D
suja banget sama buku ini. akhir dari kisah delusi diceritakan dengan sangat luar biasa. apalagi endingnya, SUKA BANGETTT... Mira W, one of the best author on my author fav. list. ga bisa berhenti kalo baca buku pengarang satu ini