Jump to ratings and reviews
Rate this book

Mantra Pejinak Ular

Rate this book
Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu mewarnai karya-karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari tumbuh dalam suatu proses dialektika dengan zamannya ketika "Bumi Gonjang-Ganjing, Langit Megap-Megap". Sebagai pegawai di sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, Abu berkesempatan tampil sebagai saksi sejarah menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk: Orde Baru! Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu muncucl, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk. Lalu, pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat-oleh masyarakat dinamakan hujan salah musim-itu datang disertai angin ribut.
"Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! Pohon yang selama ini tegak menghadapi musim hujan dan angin itu terbujur, akar-akarnya mencuat di atas tanah...."

243 pages, Paperback

First published January 1, 2000

7 people are currently reading
206 people want to read

About the author

Kuntowijoyo

51 books132 followers
Kuntowijoyo was born at Sanden, Bantul, Yogyakarta. He graduated from UGM as historian and received his post-graduated at American History by The University of Connecticut in year 1974, and gained his Ph.D. of history from Columbia University in year 1980.

His father was a puppet master (dalang) and he lived under deep religious and art circumstances. He easily fond of art and writings and became a good friend of Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, and Salim Said.

His first work was "Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari".

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
95 (33%)
4 stars
86 (30%)
3 stars
80 (28%)
2 stars
13 (4%)
1 star
7 (2%)
Displaying 1 - 30 of 37 reviews
Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
October 27, 2016
Buku yg bisa dibilang cukup unik dan ada bagian-bagian yg lucu. Berkisah tentang Abu Kasan Sapari (AKS), seorang pemuda dari desa Kemuning yg diramalkan akan menjadi pujangga gegara pas dibawa ke kuburan Ki Ronggowarsito ternyata khusuk mendengarkan rombongan sinden yg sedang melaksanakan nazar. Di sini digambarkan kalo AKS ini keberuntungannya gak habis-habis. Dia diangkat anak oleh dalang terkenal, hingga pada suatu hari dia bertemu seorang kakek yang menurunkan Mantra Pejinak Ular kepadanya. Nantinya AKS harus melakukan beberapa wewaler atau pantangan, yaitu tidak boleh melangkahi ular meski sudah jadi bangkai, kalo ada ular mati harus dikubur dan harus memperlakukan ular dengan kasih sayang. Gegara mantra ini, AKS jadi terkenal karena dia bisa mengusir ular tanpa harus membunuh sehingga dikenal sebagai Dukun Ular.

Kemudian, kisahnya mulai diwarnai dengan sedikit roman dan banyak politik. Di sinilah banyak celetukan-celetukan lucu dari para tokohnya. Misalnya di bab II waktu AKS agak sedikit berfilsafat tentang alam gegara patah hati ditinggal cinta pertamanya, Sumiati:
Utang budi orang pada batu sangat besar. Tetapi orang sungguh tidak berterima kasih. Apa-apa yg jelek dijatuhkan kepada batu. Orang kena halangan dibilang “kesandung batu”, orang yg apes dibilang “kena batunya”, orang yg keras kepala dibilang “kepala batu”. Coba batu tiba-tiba menghilang! Baru semen menghilan dari pasaran saja, orang sudah bingung. [hal. 34]

Manusia memang makhluk istimewa. Waktu masih bayi ia lemah, tapi waktu sudah dewasa ia kuat bukan main, penuh kemungkinan. Anak manusia harus serba dibantu. Untuk makan saja ia perlu disuapi. Ia harus juga sekolah, saya belum pernah melihat ada anak sapi kuliah. Pada umur 10 ia bisa minta sepeda, pada umur 15 minta sepeda motor dan pada umur 25 minta kawin. Oh, Sumiati. I love you! Tenan, banget lho. [hal. 38-39]

Dan masih banyak lagi celetukan semacam itu di buku ini.

Gak melulu prosa, bab di buku ini beberapa adalah lelakon wayang, seperti bab V yg isinya lelakon wayang dengan judul ”Bambang Indra Gentolet Takon Bapa” dimana lelakon ini didalangi AKS sendiri. Dan ada pula bab yang isinya puisi. Benang merah kisah ini adalah politik, dimana wayang pada masanya masih dianggap sebagai pelengkap pesta politik (kalo jaman sekarang kayak panggung dangdut gitu) dan membawa kepentingan golongan tertentu sebagai mesin penghimpun suara. Padahal kesenian dan politik itu adalah dua hal yang berseberangan. Bisa dibilang, buku ini adalah ungkapan kemarahan Kuntowijoyo terhadap Orde Baru. Nah, si Mantra Pejinak Ular ini sebagai perlambangan bahwa bangsa ini masih belum lepas dengan klenik. Di sinilah peran AKS sebagai tokoh yg baik secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam tiga hal tersebut. Buku ini berpotensi menarik di awal, namun bagi gw pribadi, makin ke belakang, ceritanya agak membosankan. Mungkin gw-nya yg nggak terlalu paham dengan politik (dan celetukan lucunya juga makin berkurang).
Profile Image for N.  Jay.
241 reviews9 followers
June 3, 2020
Buku pertama pak Kuntowijoyo yg saya baca, meski sebetulnya antusiasme utama saya jatuh pada kumcer yg berjudul Dilarang Mencintai Bunga-bunga: Kumpulan Cerpen, tapi buku ini sama menariknya, malah sangat menarik. Bahkan ada rasa sufistik di sini seperti halnya yg dilakukan pak Danarto, tapi ini kesan filosofis Jawa-lah yg lebih kental berpadu dgn ajaran islam.

Buku ini, dari awal pembacaannya terasa dekat sekali, seolah melihat situasi desa sendiri dalam gegap gempita pemilihan pemimpin tingkat desa atau kecamatan yg banyak melibatkan perpolitikan yg kotor bercampur klenik, dan menyinggung bagian sejarah lama kita pada pemimpin sebuah partai yg stiker wajahnya beserta kutipan 'penak jamanku' bertebaran beberapa waktu lalu dan kini telah bermuncullan juga meme-nya.

Tokoh utama kita bisa dibilang mujur sekali hidupnya meski bukan tipe orang yg bebal, dilahirkan sebagai keturunan Ranggawarsita sang pujangga, bahkan mewarisi kemampuan mendalang. Orang yg juga mengerti ajaran luhur leluhurnya tanpa terlihat kolot. Meski sikap polosnya kadang membuatnya terjebak dalam situasi rumit ketika melibatkan kesenian dan politik kekuasaan.

Kesenian itu berbeda kekuasaan. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya.


Tapi memang kesenian tidak boleh dicampurkan dgn urusan politik, karena mengotori tujuan aslinya dan hal-hal positif yg mungkin terdapat di dalamnya. Dan itu juga karena kesenian itu otonom. Namun sayangnya, saya menyaksikan hal ini dalam pesta pemilihan gubernur Jatim dan bupati dua tahun lalu, dan memang rasanya jadi aneh, entah siapa yg membujuk mereka, apakah karena uang ya atau permainan politik.

kesenian adalah keindahan, sedangkan politik adalah kekuasaan. biarlah orang lain mengotori politik, asal bukan kesenian
Profile Image for Ika Marutha.
3 reviews1 follower
January 25, 2020
Isu politik jaman orde baru yang digambarkan dengan haluuus dan cuilan romantisme yang bikin gemes. Meski ada yang bilang buku ini mewakili "kemarahan" author terhadap dominasi kekuasaan saat itu, tapi terasa sangat adem dibaca.
20 reviews
December 22, 2024
Aku bingung gimana cara menggambarkan pengalaman membaca novel ini. "Mantra Pejinak Ular" adalah buku yang enggak meninggalkan kesan jelas di pikiranku, seolah semua yang aku baca menguap begitu saja. Kalau ada orang yang tanya aku tentang apa isi buku ini, aku mungkin hanya bisa menjawab dengan kebingungan.

Dari awal, aku merasa cerita ini bergerak secara acak. Perkembangan plotnya enggak punya alur yang solid. Ada bagian-bagian yang harusnya emosional dan bermakna, tapi aku enggak merasakan apa-apa. Humornya pun terasa murahan, dan sering kali malah bikin aku merasa malu untuk para karakternya.

Salah satu contohnya adalah dinamika antara Abu Kasan Sapari dan Lastri. Hubungan mereka punya potensi untuk jadi menarik, bahkan sedikit lucu, dengan gaya "will they, won’t they." Tapi konflik nyata enggak pernah muncul di antara mereka. Rasanya terlalu mudah, terlalu "aman." Bahkan dalam bab keenam belas, saat Abu menjadi dalang dan memainkan skenario wayang Cangik Bertanya pada Limbuk, yang jelas-jelas adalah metafora hubungan mereka, aku merasa bagian ini terlalu penuh dengan lelucon murahan dan kurang subtil.

Hal yang mungkin menarik adalah kritik sosial yang muncul di dalam novel. Kuntowijoyo membawa metafora politik, seperti pohon beringin yang tumbang—jelas menggambarkan runtuhnya Orde Baru. Di bab keempat belas, seorang peramal tua dengan lantang mengkritik pemerintahan Suharto, menyebutnya sebagai maling berdasi yang menjadikan negara ini bukan negara Pancasila, tapi negara perampok. Tapi masalahnya, kritik ini muncul setelah Orde Baru berakhir, jadi rasanya enggak ada keberanian di sana. Di mana Kuntowijoyo ketika korupsi masih berkuasa?

Abu sendiri sebagai karakter sulit aku pahami. Dia menjadi terkenal di desanya, tapi aku enggak merasa alasan ketenarannya dijelaskan dengan baik (atau, setidaknya, diceritakan dengan terlalu singkat sehingga nggak terasa memadai). Transformasinya dari seseorang yang bergantung pada mantra ke seseorang yang akhirnya menolak dunia mistis itu sebenarnya menarik secara tematik, tapi eksekusinya enggak cukup kuat. Hubungan antara ular peliharaan Abu dan mantra pejinak ular pun terasa terlalu abstrak. Kenapa Lastri meminta Abu membuang ularnya, dan kenapa itu berarti dia harus menyerahkan mantra juga? Logikanya enggak jelas, sehingga aku sulit memahami motivasi Abu.

Meski begitu, aku menghargai cara Kuntowijoyo berbicara tentang dunia kecil. Masalah yang diangkat adalah masalah sehari-hari, sederhana, tanpa pretensi besar. Kalau ada yang terasa mendalam, kedalaman itu enggak diumumkan secara eksplisit, tapi dibiarkan mengalir begitu saja. Namun, pendekatan ini juga jadi kelemahan. Ceritanya terlalu datar, dan aku kesulitan terhubung dengan karakternya dan enggak merasa terpengaruh oleh konfliknya.

Pada akhirnya, novel ini berakhir dengan resolusi yang damai. Abu memilih untuk menjadi dalang, meninggalkan dunia mistis, dan menutup manta rantai mantra pejinak ular sampai pada dirinya saja. Sebuah akhir yang simbolis dan menyentuh, tapi sayangnya perjalanan menuju akhir itu terlalu banyak melompat-lompat untuk benar-benar meninggalkan dampak. Padahal aku sangat suka cerpen-cerpen Kuntowijoyo, tapi sayangnya aku enggak pernah suka dengan novel-novelnya.
Profile Image for Sunarko KasmiRa.
293 reviews6 followers
February 27, 2023
Mantra Pejinak Ular merupakan sebuah novel karya Kuntowijoyo yang awalnya merupakan CerBung(Cerita Bersambung) di koran Kompas, kemudian dijadikan buku sehingga mudah dinikmati dan diakses oleh lebih banyak pembaca. Novel ini bercerita tentang Abu Kasan Sapari (AKS) yang notabene masih mempunyai garis keturunan ningrat dari eyang pendahulunya yang pada masanya dikenal sakti mandraguna. Suatu ketika, pada sebuah festival rakyat di kecamatan tempat ia bekerja, ia didatangi oleh seorang kakek yang kemudian membisikinya dengan sebuah mantra penjinak ular. Sejak saat itu, dirinya menjadi pemuda yang punya kepekaan terhadap ular.

Menurut sy cerita tentang "mantra penjinak ular" itu sendiri hanyalah kiasan atau bahkan bisa jadi upaya dari penulis untuk menyamarkan isi dalam cerita. Karena, cerita yang ada dalam novel tersebut justru sangat kental dengan pewayangan, intrik politik dan gambaran sistem birokrasi dalam suatu organisasi yang sangat bobrok.

Dimana dalang ketika sedang melakukan pagelaran selalu dikaitkan dengan kampanye politik dan dijadikan sarana/media untuk menyampaikan aspirasi calon dan untuk meraup angka dalam suatu pemilihan. Intrik politik juga sangat kentara dimana beberapa situasi digambarkan penuh dengan "settingan" dan oknum-oknum yang merugikan banyak pihak.

Hal yang sangat saya sukai adalah novel ini banyak sekali menggunakan "paribasan" yang banyak mengandung makna bijak. Beberapa kali sy merasa sedang dinasehati oleh orang tua saya, karena paribasan yang digunakan sangat dekat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Satu hal yang sangat disayangkan adalah typo di novel ini sangat banyak sekali. Beberapa kali perlu diulang membaca paragraf yang sama untuk mengerti maksud dari kalimat tersebut.

Profile Image for Anton.
157 reviews10 followers
January 28, 2024
Dalam novel ini, Kuntowijaya menceritakan seorang anak muda berusia di bawah 30 tahun bernama Abu Kasan Sapari. Dari namanya saja, tokoh ini sudah terlihat mewakili dua identitas yang kadang saling melengkapi, tetapi kadang juga seolah saling menegasikan: Jawa dan Islam.

Identitas itu mempengaruhi Kasan, yang pada suatu hari tiba-tiba mendapatkan ilmu menjinakkan ular, lengkap dengan mantra dan pantangannya. Berbekal kemampuan langka itu, Abu Kasan menjadi penyaksi dan pelaku banyak perubahan: melestarikan lingkungan, konflik politik, juga romantika.

Setting waktu pertengahan 1990-an membuat Abu Kasan juga mau tak mau menjadi korban intrik politik. Sebagai guru karawitan, pegawai kecamatan, dalang, juga aktivis pelestarian lingkungan. Dia sekaligus menyaksikan runtuhnya Beringin yang sebelumnya kokoh menjulang.

Buku ini cocoklah buat menikmati cerita tahun-tahun terakhir Orde Baru meski dari gaya yang amat subtil lewat tokoh Abu Kasan.
Profile Image for Fadhilatul.
Author 1 book23 followers
May 26, 2017
Alhamdulillah... Selesai juga. Novel ini punya latar belakang yang sama dengan "Wasripin & Satinah", hanya saja kisah Abu Kasan Sapari lebih gamblang menyebut nama mantan presiden Indonesia kedua, dan punya nasib yang lebih baik daripada nasib Wasripin.

Tunggu review lengkapnya di blog Saya. [Update] http://buku.dibaca.in/2017/05/kilas-b...
Profile Image for Arfan Putra.
139 reviews3 followers
September 3, 2018
"Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis"

Hl. 238
Profile Image for nawir nawir.
58 reviews55 followers
May 18, 2020
Cukup memberikan gambaran seperti apa pola berpolitik dulu di pedesaan ketika beringin masih kuat bercokol.
Profile Image for Literasi Gaharu.
14 reviews
June 2, 2021
Selalu menarik membaca karya Kuntowijoyo, kisahnya sederhana tapi sarat akan sebuah permasalahan yang kadang semu tapi merusak dalam kehidupan.
2 reviews
March 27, 2024
Selalu menarik membaca karya pak Kuntowijoyo, selalu menawarkan pendekatan dari segi budaya
Profile Image for psdm.
65 reviews
October 21, 2024
no one does dakwah dengan bersastra seperti kuntowijoyo🥹
Profile Image for Arfanlel.
90 reviews
January 19, 2024
"Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis"

Hl. 238
Profile Image for Eva Novia Fitri.
163 reviews1 follower
March 23, 2023
Bahwa tulisan tulisan sejarah mendiang Prof. Kunto sukar disamai, hampir semua sependapat. Tapi baru kali ini membaca karya fiksi beliau. Jatuh cinta sungguhan sejak kalimat pertama. Sensasi membaca novel Prof. Kunto itu persis seperti didongengi si mbah, corak lokalnya pekat dan tidak terasa "tempelan", mengalir tenang, rapi, halus, runut, khas budayawan.  Diksinya membumi, maknanya melangit, khas filsuf. Intim. Nyaman. Indah.

Profil kredibilitas dan kejernihan nurani diejawantahkan Prof. Kunto sebagai tokoh utama Abu Kasan Sapari. Seorang pegawai kecamatan di kaki Gunung Lawu yang mencintai kesenian tradisional wayang. Beberapa bab awal dikhususkan menceritakan asal usul Abu, lagi lagi, dengan sangat ciamik.
Suasana politik orde baru berhasil  tersuguh real dan utuh. Nilai-nilai religius dan tauhid diselipkan cantik. Tanpa konflik konflik  dramatis, fiksi ini mampu menyulut brebes mili, tertawa, kaget, dan ikut gemas di banyak titik. Suka. Suka. Suka.
Profile Image for Michiyo 'jia' Fujiwara.
428 reviews
June 12, 2012
Kejadian bermula di sebuah desa dikaki Gunung Lawu, seorang pemuda yang bernama Abu Kasan Sapari (seorang dalang dan pegawai pemerintahan), tiba-tiba diberikan sebuah ilmu (Mantra Pejinak Ular) oleh seorang kakek yang tidak dikenal, sang kakek menilai Abu pantas untuk memegang ilmu tersebut, ilmu tersebut membuatnya bisa menjinakkan ular dan Abu tidak akan mati sebelum ia mewariskan ilmu tersebut keorang lain, syaratnya: ia tidak boleh melangkahi ular sekalipun ular itu sudah jadi bangkai. Ia juga tidak boleh membiarkan ada ular mati tanpa dikuburkan. Kalau tercium bau bangkai ular di mana pun, ia harus menguburkannya. Tuhan akan menunjukkan beda bangkai ular dengan bangkai lain,begitu kata kakek misterius ini.

Dan mulai hari itu Abu resmi memegang mantra penjinak ular, singkat cerita setiap orang didesanya berteriak: ada ular!!! Ambil batu, bata, parang, tongkat, kayu, bunuh ular itu!!! Datanglah Abu tergopoh-gopoh menyelamatkan ular yang malang itu, termasuk ketika Abu menemukan bangkai ular mati maka ia juga menguburkan ular itu, dibuku ini diceritakan Abu beberapa kali menyelamatkan ular termasuk ia juga bisa berkomunikasi dengan ular, dan pada akhirnya ia memelihara seekor ular!

..pertama-tama agak takut-takut baca buku ini..pasti berhubungan dengan hal mistik atau klenik nih, ternyata...

Ini semua tentang politik..dalam lingkup kecil..tetapi bukankah yang kecil merupakan cermin yang besar, cermin dari politik yang terjadi pada masa itu (orde baru akhir: 1997-an)..tentang Abu yang dipindahkan dari desa Kemuning ke desa Tegalpandan, tentang penahananya karena tuduhan makar,dan tentang warga desa yang diprovokasi untuk mengusir Abu karena kegemarannya memelihara ular..

My favourites quotes:
Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati, artinya yang kecil berkuasa, yang besar kehilangan kekuasaan. Raja tidak lagi berkuasa. Kekuasaan harus ditopang oleh orang banyak. Kekuasaan itu tidak di tangan raja, tidak di tangan orang-orang besar, tapi di tangan mereka yang ada di bawah, mereka yang sekarang kita sebut wong cilik, yang disebut rakyat. Kekuasaan itu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyatlah yang berhak mengawasi kekuasaan, tidak sebaliknya.

Pertama, Karena itu berkuasa tidak boleh seenaknya sendiri, ojo dumeh.

Kedua, kita harus menghormati rakyat. Karena, mereka punya hak-hak asasi, yang dianugerahkan Tuhan. Seorang penguasa adalah pelaksana, pengemban amanat Tuhan. Adapun hak-hak itu di antaranya adalah hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak memiliki.
.
Ketiga, penguasa itu harus adil. Artinya, adil kepada sesama tanpa pandang bulu. Meskipun seseorang itu kerabat, teman, atau sekeyakinan, yang hitam harus dikatakan hitam, yang putih harus dikatakan putih. Jadi, paugerannya ialah rakyat, hak, dan adil. Itu yang harus menjadi landasan dalam memerintah.

Profile Image for Basma Hashem.
48 reviews3 followers
February 19, 2015
awalnya saya skeptikal. ular dan dunia yang berkaitan merupakan suatu ruang lingkup yang tidak saya dekati. dunia yang mistik, penuh rahsia dan kejutan.
konon saja don't judge a book by it's cover, saat mendengar judulnya saya malah menjauh. tetapi entah bagaimana hati bagai dipanggil-panggil untuk mendekati karya Pak Kuntowijoyo.

naskhah ini bukan kisah tentang ular dan lingkungannya! naskhah ini tentang riwayat hidup Abu Kasan Sapari (AKS). Naskhah yang mengangkat budaya setempat yang masyarakatnya prihatin dengan perubahan dan malah bersatu memajukan diri mereka. ini naskhah yang mengajak kita menyelami sejarah lalu seorang perubah masyarakat yang kental jiwa, tinggi pengorbanan dan baik akhlak.

Baginda Nabi SAW telah terdahulu datang memperkenal makarimal akhlak, yang tanpa paksaan telah dengan aman dapat menarik ramai cenderung memilih syariat baru yang dibawa. dan nyatanya seorang daie dengan pakej akhlak indah akan selalu dapat menawan hati sesiapa.
Profile Image for Mandewi.
570 reviews10 followers
July 19, 2015
Gaya bahasanya saya suka. Jadul. x))

Isu-isu yang diangkat juga bagus. Politik di tingkat kecamatan dan kampanye yang menggunakan cara-cara tradisional.

Yang aneh pertama, adalah kesesuaian judul dengan isi cerita. Judulnya Mantra Pejinak Ular, padahal isinya tentang perjalanan hidup tokoh Abu, yang tidak hanya tentang ia jadi dukun ular tetapi juga jadi pegawai kecamatan juga dalang. Nah, berhubung Abu ini adalah dalang, tentunya ada selipan cerita-cerita wayang.

Yang aneh kedua, adalah ada selipan puisi. Puisi cinta dari Abu kepada perempuan yang ia suka. Saya bilang aneh, karena dari awal saya pikir novel ini bukan novel roman. Kalaupun ada kisah cinta, hanya sedikit saja. Sedikiiit saja dan tidak eksplisit. Jadi keberadaan beberapa puisi ini jadi semacam nggak nyambung.

Tapi, 3,5 bintang boleh lah.
Profile Image for Rangga Fadhillah.
29 reviews7 followers
October 20, 2007
kalo novel sekarang banyak ngomong gmn si tokoh yang tadinya miskin jadi kaya, setting di hingar bingar kota besar lengkap dengan gaya hidup kosmopolitannya atau novel-novel anak muda yang isinya cinta-cinta basi dan banyak yang jorok...

buku (alm) kuntowijoyo ini harus jadi referensi bagi semua penulis bagaimana menjadikan cerita sebagai usaha merepresentasikan realitas sosial yang tidak adil, jangan gedung terus diliatin tapi masyarakat di desa jg butuh perhatian dan digarap kehidupannya menjadi jalinan cerita yang apik dan memberi inspirasi serta ajaran moral dan etika bukan malah menghancurkannya...
Profile Image for Arqom Maksalmina.
5 reviews5 followers
December 23, 2008
khas pak kunto dengan plot yang halus namun tetap kadang mengejutkan...selalu bisa merepresentasikan karakter khas masyarakat indonesia yang di besarkan oleh mitos-mitos...

betul-betul kearifan dalam menyikapi hal metafisik yang disadari tidak terpisahkan dari masyarakat indonesia betapapun perubahan jaman terus berlanjut...

sarat pesan namun tetap mengalir enak dibaca...walau bahasa dan diksi yang untuk orang muda seperti saya cenderung jadul namun tetap menghanyutkan seperti dibawa ke dalam bahasa khasnya sehingga kemudian secara tidak sadar saya mencerna kejadulan secara ikhlas...
Profile Image for Onoskal.
23 reviews
February 27, 2014
The book was great, offering many insights on social conditions at the time the story took place, which is around 1998 in Indonesia. Unfortunately, for those who are not familiar with the symbolism and current situations, the story might pass away as not really understandable. All in all, it offers a historic past of Indonesia, taken from a point of view of a normal government worker, recorded in a wonderful manner.

Good read.
Profile Image for Ipung.
31 reviews4 followers
October 8, 2008
Seluruh karya Kuntowijoyo saya suka. Gaya bertuturnya yang "ndesani" dan "polos" tanpa banyak "bunga-bunga" sangat cocok dengan gaya penulis yang saya suka.

Ada cerita lucu, waktu kecil saya kira Kuntowijoyo ini merupakan pimpinan DI/TII. "kok pimpinan pemberontak bisa bikin buku sebagus ini ya..??" batin saya.
Profile Image for Luqman Hae.
2 reviews
June 1, 2016
Kisahnya cukup menarik, Abu Kasan Sapari dan perjuangannya dalam politik kelas bawah yang kadang sering kita alami juga di lingkungan kita. Dan perjuangannya terhadap Lastri yang memancing gelak tawa, Lastri perempuan yang tangguh dengan hidup sendiri namun lembut dan terkesan malu-malu kucing pada AKS.
Profile Image for Indigo Deville.
38 reviews3 followers
September 20, 2007
Cerita di buku ini sebenarnya pernah di muat di Harian Kompas.
Enteng, tapi tetap menarik. Nuansa kehidupan masyarakat bawah jaman Orde-Baru.

Sesudah baca buku ini saya mulai mencari karya-karya Kuntowijoyo lainnya, tapi kok tetap ga ada yg sebagus buku ini yah.
Profile Image for A. Dzulfikar Adi Putra.
13 reviews1 follower
August 29, 2014
Kisah Abu Kasan Sapari dan Lastri, setting pedesaan beserta kondisi politik saat itu yang masih dikuasai Partai Randu (Partai Beringin). Gaya bahasanya yang sangat khas "njawani", menjadikan cerita ini selalu terngiang di kepala.
Profile Image for Sigit Utomo.
11 reviews4 followers
Read
June 5, 2016
Novel ini kayak pasar tradisional. Komplit, bersahaja, tapi begitu akrab. Mulai menu narasi, puisi, sampai naskah ada disini. Siapa saja, dengan kemampuan pemahaman level berapa saja bolehlah ber akrab-akrab dengan karya Kuntowijoyo ini.
Profile Image for Sri.
897 reviews38 followers
May 25, 2007
Somehow I like it so much!! Kuntowijoyo is one of my favorite writers.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
September 22, 2013
Tafsirku, Randu adalah GOLKAR. Randu roboh!
Profile Image for Edlin.
36 reviews4 followers
February 22, 2014
Yeah, kisah pegawai rendahan dengan setting wilayah di Kecamatan Kemuning (Karanganyar) dan sekitar Palur.
Displaying 1 - 30 of 37 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.