Kastil Fantasi discussion

25 views
Diskusi Naskah/Konsep > BAB 1 Jinadharma

Comments Showing 1-3 of 3 (3 new)    post a comment »
dateUp arrow    newest »

message 1: by Hasan (new)

Hasan Irsyad (ha_iy) | 190 comments I. Pelangi Delapan Warna

“Puja Mahajina
Sri Mahajina guru dunia
Suhu Dharma, penyebar ajaran cinta

Sri Mahajina wujudnya mulia
Saat bertiwikrama, tujuh cahaya mensujudinya
Cahaya kedelapan lahir dari wiridnya

Puja Mahajina,”

Sayup-sayup Biksu Soma mendengar suara nyanyian Puja Mahajina yang dilantunkan murid-muridnya, pengikut ajaran Dharma. Kala itu hujan rintik-rintik membasahi bumi. Di tingkat teratas kuil Dharma, dia baru saja menyelesaikan meditasi yang sudah dia lakukan sedari pagi.

Kuil Dharma berdiri anggun di pulau indah Nusadharma. Letaknya yang di puncak bukit sengaja dibuat agar mudah terlihat dari laut. Kapal-kapal yang berlayar di sekitar pulau akan selalu bisa melihat cahaya kuningnya dari kejauhan. Bahkan meski malam hari.

Seluruh bangunan berlapiskan emas, yang membuat warna kuning akan selalu memancar darinya. Logam emas dipilih bukan karena melambangkan kemewahannya. Tapi sebagai lambang dari kemurnian cinta yang menjadi inti ajaran Dharma.

Pada malam hari, ratusan lampu minyak akan dinyalakan mengitari pagar beranda ketujuh lantai. Karenanya, kuil Dharma jauh lebih eksotis bila dipandang pada malam hari ketimbang siangnya. Terutama kalau dari arah laut. Kuil itu akan menyala seperti tonggak kuning di tengah hamparan dunia hitam.

Konon sejarah Kuil Dharma terbentuk sejak era generasi ketiga manusia yang lahir di bumi. Sri Mahajina, pencetus ajaran Dharma, adalah cicit dari manusia pertama yang turun ke dunia fana. Sekarang telah lebih dari 2000 tahun kuil Dharma berdiri. Para biarawan baru kuil Dharma tak pernah berhenti mengajarkan cinta, inti ajaran Dharma.

Biksu Soma adalah kepala biara generasi ke-99. Sedari remaja dia telah mencukur rambutnya untuk mengabdi di sini, mengagungkan ajaran Dharma. Sudah enam puluh tiga tahun berlalu sejak saat itu. Enam belas tahun yang lalu, dia menggantikan gurunya menjadi kepala biara. Tepat hari ini masa enam belas tahun itu terhitung.

Untuk merenungi enam belas tahun masa baktinya, Biksu Soma melakukan perenungan sambil bermeditasi. Dia sudah melakukannya sejak pagi. Duduk bersila di lantai tingkat tujuh bangunan emas tujuh lantai itu, dia merenungkan kembali ajaran Dharma yang telah dia pelajari selama ini.

Tepat ketika Biksu Soma berdiri mengakhiri meditasinya, saat itu awan mendung menyibak memberi ruang pada matahari. Dia melihat pelangi. Lengkungan garis-garis warna itu menghias langit timur saat mahahari sudah mulai condong ke arah barat.
Pelangi memang selalu indah dilihat. Penuh warna yang menyejukkan dan menentramkan. Darinya lahir ratusan, bahkan ribuan, cerita romantis dan puisi-puisi. Dialah inspirasi para pujangga, pelipur para pemuram durja. Tak terkecuali Biksu Soma hari ini.
Biksu Soma merasakan sebuah keindahan yang menentramkan batinnya. Awalnya dia kira ketenteraman yang dia rasakan adalah buah keberhasilannya mencapai derajat lebih tinggi dalam bermeditasi. Tapi segera dia menyadari kekeliruannya. Ini semua karena pelangi. Pelangi yang jika diperhatikan lebih seksama, akan terlihat memiliki perbedaan dari pelangi biasanya.

Untuk lebih memastikan, dari tempatnya berdiri Biksu Soma berjalan menuju serambi. Serambi yang tepiannya dipagari dengan terali berlapis emas setinggi pusar, seperti halnya serambi di semua lantai kuil. Sambil memandang pelangi, Biksu Soma berpegangan pada pagar itu.

Telah lazim diketahui, pelangi memiliki tujuh spektrum warna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Tapi sekali ini, pelangi yang terlihat agak lain. Sekilas memang tak tampak. Tapi jika dilihat lebih seksama, tersisip warna lain di bawah warna ungu. Warna kedelapan.

Warna itu bukan warna dunia. Biksu Soma yakin tidak pernah melihat warna itu seumur hidupnya. Warna yang sangat indah, menentramkan jiwa orang yang melihatnya. Ketenteraman batin yang dirasakan Biksu Soma adalah berkatnya. Rasa tenteram yang bukan ketenteraman biasa. Rasanya seperti telah melakukan meditasi yang sangat lama. Itupun harus dengan tingkat fokus meditasi yang sangat tinggi. Bahkan Biksu Soma tidak yakin bila dia melakukan meditasi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, akan mampu mendapatkan ketenteraman batin seperti ini.

Hari ini seolah tidak ada lagi beban apa-apa dalam dirinya. Pikirannya menjadi sangat jernih untuk mengartikan berbagai hal. Termasuk tentang cahaya kedelapan itu.

Cahaya kedelapan, cahaya Sri Mahajina. Kemunculannya melambangkan kemunculan Sri Mahajina. Guru Dharma tidak akan turun tanpa sebab. Dunia...! Kekacauan apa lagi yang akan terjadi?

“Puja Sri Mahajina...,” bibirnya berucap.
***


message 2: by Hasan (last edited May 29, 2014 05:13PM) (new)

Hasan Irsyad (ha_iy) | 190 comments Nun jauh dari Nusadharma, berada di seberang benua letaknya. Terpisah oleh jutaan mil samudra, istana kerajaan Srinagari sedang bersuka cita. Keramaian dan pesta terjadi di istana. Pusatnya di bangunan cantik di bagian belakang komplek istana, istana Selir Lohdaya. Sang selir baru saya melahirkan putra raja.

Srinagari kerajaan terbesar di Pracimantara. Maka wajar bila punya istana yang sangat megah berdirinya.
Tegak pada petak jumbo hampir tujuh hektar, istana Srinagari berdiri molek laksana sang primadona. Muka kompleks istana dihiasi dengan gerbang tinggi dengan pintu besar bergambar burung merak, lambang kebesaran kerajaan Srinagari. Setelah melewatinya, terhampar sebuah halaman luas yang memakan sepertiga luas keseluruhan tanah. Halaman rumput hijau dibiarkan melompong tanpa hiasan kecuali sebuah tiang bendera yang mengibarkan bendera hitam bergambar ekor burung merak. Dibelakangnya, tiga gedung utama yang saling berhubungan bersinar putih dari putihnya batu marmer. Yang tengah lebih besar dan menjorok ke depan. Ketiganya memiliki kubah setengah lingkaran dengan tambahan stupa lancip di atasnya. Di sana pemerintahan kerajaan dilakukan. Di sana pula tempat keluarga utama raja berdiam.

Dibelakang istana besar, terpisah dengan taman bunga nusaindah yang berbunga merah jambu, berdiri rumah-rumah cantik dari kayu berukir. Keseluruhan ada sepuluh buah. Rumah-rumah itu tidak besar bila dibandingkan besarnya istana utama. Hanya sekitar delapan kali sepuluh meter dan saat ini tidak semuanya dihuni. Mereka biasa disebut istana-istana selir. Istana Selir Lohdaya adalah salah satunya, berdiri di urutan keempat dari sisi timur. Kompleks istana menghadap ke selatan.

Bayi Selir Lohdaya terlahir sempurna. Sehat dan montok. Dia terlihat sangat mirip dengan ayahnya, Prabu Socamurka. Kulitnya kecoklatan seperti ayah dan ibunya. Punya dahi rata dan bentuk berdagu tumpul. Hidungnya berdiri mancung dan agak pipih. Rambut hitamnya lebat. Semuanya mirip ayahnya. Hanya bentuk alisnya saja yang lebih mirip ibunya. Alisnya melengkung seperti busur pelangi. Berbeda dengan ayahnya yang memiliki alis nyaris menyambung memayungi mata bulat yang terlihat seperti melotot, atau mungkin memang melotot. Mata si bayi masih belum bisa membuka sempurna. Tapi kelihatannya akan mirip mata ayahnya yang bulat, meski Selir Lohdaya berharap tidak akan menjadi melotot seperti mata Prabu Socamurka.

Belum lagi puas Selir Lohdaya menggendong, bayinya diminta oleh suaminya. Prabu Socamurka, raja Srinagari. Selir Lohdaya merelakan sejenak anak lelakinya.

“Putraku!” seru Prabu Socamurka dengan tawa gembira.

Sang bayi menggeliat. Dia menangis dengan lantang menandakan keperkasaan yang akan dia miliki dewasa kelak.

“Mari, Yang Mulia Prabu!” suara pelayan laki-laki menyentak Prabu Socamurka. Pelayan itu menunjuk dua buah kereta kuda berlapis emas yang telah terparkir di depan istana selir. Yang di depan lebih mewah dari satunya. Yang satu lebih besar dan ditarik empat ekor kuda. Kereta satunya hanya dua ekor penariknya.

Telah menjadi tradisi di kerajaan Srinagari, tiap bayi lelaki raja yang lahir akan langsung diarak dengan kereta kencana ke kuil Merak. Kuil suci itu terletak di pinggir kota, berbatasan langsung dengan hutan Sriutyana. Sang bayi akan disucikan di sana, dimandikan dengan air suci dari pendeta kuil Merak. Ke sana, sang prabu akan mengendarai kereta yang ada di depan. Bayi bersama ibunya naik kereta yang dibelakang. Terkecuali bila yang lahir putra mahkota. Sang Prabu, bayi, dan ibunya akan duduk dalam satu kereta.

Beberapa orang pejabat menteri akan ikut serta, berjalan kaki mengiringi kereta kencana. Selain untuk membawa bayi ke kuil Merak, arakan akan menjadi tontonan pula bagi rakyat Srinagari. Ribuan rakyat jelata akan menyambut, berebut melihat wajah pangeran baru negara mereka.

Di ibukota Srinagari, waktu menunjukkan belum terlambat untuk sekedar membuat perjalanan ke kuil Merak sekarang juga. Matahari masih berada di tiga per empat perjalanan. Bila bergegas dan tidak ada halangan, rombongan bisa menyelesaikan pergi pulang dari istana ke kuil Merak sebelum matahari terbenam. Sang pangeran baru bisa berjalan-jalan sejenak untuk pertama kalinya merasakan jalanan ibukota.

Keluar dari gerbang istana, pangeran yang sejak belum lahir telah diberi nama Ranggaseta disambut riuh pasar. Mengetahui ada rombongan kereta kencana, orang-orang berdesakan ingin melihat. Mereka membuat kerumunan panjang di sisi jalan. Pasukan pengaman yang berseragam ungu menertibkan mereka, agar tidak sampai ada yang menghalangi jalan. Riuh rendah mereka memuja-muji raja dan Pangeran Ranggaseta.
Sepanjang jalan, hampir semua orang ingin melihat arakan kereta kencana yang membawa raja dan Pangeran Ranggaseta.

Sehabis pasar, terbentang area kosong yang biasanya digunakan untuk arena perlombaan sebagai hiburan rakyat Srinagari. Tempat yang disebut gelanggang Suradiraya. Di sana, setahun sekali raja mengadakan sayembara pedang yang memperebutkan hadiah-hadiah besar. Seringkali pula diadakan pertujukan-pertunjukan lain. Mulai dari pementasan tarian dan nyanyian, hingga pertandingan adu kerbau. Di seberang tanah lapang, sisi utara area tersebut, berdiri sebuah bangunan pendopo yang menghadap ke tanah lapang. Pendopo besar dengan atap tinggi dengan bagian tengah bergambar merak lambang negara. Biasanya, dari sanalah keluarga raja akan turut menyaksikan bila di Suradiraya ada pertunjukan.

Rombongan memasuki perumahan elit pejabat istana. Rumah-rumah bercat warna-warni, berpilar besar, dan beratap genteng merah menyapa mereka. Istri-istri dan anak-anak pejabat melambai-lambai di depan rumah bersama dengan pembantu dan penjaga rumah. Jumlah mereka tidak seramai di pasar tadi.

Deretan rumah megah pejabat istana berakhir beberapa ratus meter sebelum bertemu sungai besar Tirtasih. Sungai deras yang meliuk-liuk dari pegunungan di utara, dan menembus hutan Sriutyana sebelum bertemu ibukota Srinagari. Di musim hujan begini, air sungai mengisi hampir penuh seluruh ceruk sungai. Hanya sedikit saja lereng yang tersisa. Bila kemarau, akan tersisa lereng terjal terpapar luas di sana.

Rombongan berjalan menyisir sungai, mencari jembatan yang akan mereka temui dua ratus meter ke selatan dari sana.

Hembusan angin di tepi sungai terasa lebih kencang daripada di tengah kota. Di titik ini tidak ada lagi keriuhan yang memandang mereka. Hanya ada satu dua lelaki yang kebetulan lewat di jalan. Mereka menunduk memberi hormat ketika berpapasan. Lalu, tentu saja melirik tampan wajah pangeran yang kini digendong dayang Selir Lohdaya.

Jembatan gantung sungai Tirtasih terbentang di depan mata. Mereka harus melaluinya untuk sampai ke kuil Merak. Sebelum mencapai jembatan itu, sudah ada regu prajurit yang memeriksa keamanan jembatan gantung sepanjang lebih dari seratus meter itu.

Prajurit berseragam ungu melapor pada kepala kemananan yang bertanggung jawab atas seluruh arakan raja. Terlihat mereka saling mengangguk tanda semuanya berlangsung aman. Lalu, kepala keamanan segera mempersilahkan kereta Prabu Socamurka untuk melintas. Dengan dikawal sepuluh prajurit di depan, kereta Prabu Socamurka berangkat. Setelah kereta itu melaju sepuluh meter, kereta selanjutnya yang membawa selir dan pangeran kecil berangkat pula. Prajurit pengawal yang lain berjalan di belakang.

Jembatan gantung bergoyang-goyang ketika dilewati beban. Sebuah goyangan yang biasa bila ada beban cukup berat melintasinya. Bahkan meski tanpa beban, angin yang bertiup disungai Tirtasih pun acap kali mampu membuat jembatan itu bergoyang. Tidak ada yang perli dirisaukan mengenai hal itu. Jembatan ini dirancang dengan kuat, bahkan cukup kuat untuk menyeberangkan gajah-gajah bila diperlukan.

Tapi, naluri wanita Selir Lohdaya tetap merasa gelisah. Entah karena goyangannya, atau karena angin Tirtasih yang lumayan kencang sore ini. Meski baru beberapa jam menjadi senjadi ibu, insting keibuannya muncul. Dia meminta putranya dari dayang, ingin menggendong sendiri.

“Tidak perlu khawatir, Selir, jembatan gantung memang selalu bergoyang,” dayang sang Selir coba menenangkan.

Selir Lohdaya hanya mengangguk menanggapinya.

Berbeda dengan wanita yang lebih mengandalkan naluri, laki-laki lebih berpikir secara logika. Sang Prabu sama sekali tidak khawatir dengan goyangan atau angin kencang Tirtasih. Dia malah lebih mencemaskan matahari yang sudah lebih condong ke barat. Prabu Socamurka memerintahkan agar iringan ini bergerak lebih cepat.

Kereta kuda dipacu sedikit lebih cepat. Selir Lohdaya merasa makin cemas. Lagi-lagi Dayangnya menenangkannya, mengatakan bahwa jembatan ini kuat. Selir Lohdaya tahu itu benar. Tapi, nalurinya tetap merasa cemas.

“Aaakh!”

Tiba-tiba terdengar suara jeritan. Pengawal yang berdiri di dekat kereta Prabu Socamurka tertembak anak panah. Anak panah lain segera menyusul.
Sigap, prajurit pengawal mengamankan raja, selir, dan pangeran. Mereka mengangkat tameng-tameng besi mereka melindungi junjungan mereka.

Di saat bersamaan, di seberang jembatan muncul sekelompok orang dengan penutup kepala. Pakaian mereka hijau lumut. Selain penutup kepala, ada semak belukar yang menempel di kepala mereka. Dandanan mereka menunjukkan mereka telah lama mengintai dengan berkamuflase pada semak-semak yang banyak tumbuh di hutan di seberang sungai. Mereka menghunuskan pedang dan mulai menyerang prajurit Prabu Socamurka yang berjaga di seberang sana.

“Keparat! Siapa mereka?! Beraninya menyerang Prabu Socamurka?!” Prabu Socamurka berang bukan main. “Cepat, tangkap mereka! Bawa kehadapanku hidup atau mati!”

Tak ada reaksi lain yang bisa dilakukan kepala keamanan selain mengangguk dan mengiyakan. Segera saja pengalaman dan kesigapan prajurit senior itu berbicara. Dia memerintahkan membawa kedua kereta kencana mundur, kembali ke tepi. Masing-masing kereta dilindungi oleh empat prajurit. Prajurit sisanya tetap berusaha menyeberang untuk meringkus penyerang.

Di seberang, gerombolan penyerang sudah menguasai sisi itu. Mereka telah melumpuhkan semua prajurit Prabu Socamurka berada di sana. Mereka melanjutkan dengan berusaha memotong tali jembatan. Sebagian lagi menyongsong prajurit Prabu Socamurka yang lain yang berlari hendak menghalangi mereka.

Pertarungan sengit terjadi tak terhindarkan. Prajurit-prajurit Prabu Socamurka adalah prajurit terlatih yang pilih tanding. Tapi tidak mudah juga mengalahkan kelompok penyerang. Jumlah mereka hampir seimbang, bahkan para penyerang sedikit lebih unggul jumlah.

Tekanan ada pada prajurit-prajurit Prabu Socamurka. Mereka diburu waktu. Mereka harus segera menghentikan orang-orang yang berusaha memotong tali jembatan, selain harus mengalahkan lawan yang kini ada di hadapan mereka. Tapi, pertolongan datang.

Beberapa anak panah meluncur, tepat mengenai dua orang yang sedang bahu-membahu membabati tali-tali jembatan. Pemanah yang berhasil menembak secara jitu itu bukan lain adalah Prabu Socamurka sendiri. Di belakang sana, dia memegang anak panah, bersiap membidik sasaran selanjutnya.

Tekanan berbalik arah. Sedikit-demi sedikit prajurit Prabu Socamurka menekan para penyerang. Prabu Socamurka pun masih terus membidik di belakang sana. Tembakannya benar-benar luar biasa. Tidak ada satu pun yang tidak tepat. Kinerja pasukan pengawal benar-benar terbantu. Dalam waktu singkat, semua penyerang sudah berhasil diringkus. Puluhan tubuh menjadi mayat. Tersisa empat orang, mereka ditangkap dan di bawa ke hadapan raja.

Di tepi awal, kereta Selir Lohdaya sudah menepi. Kereta Prabu Socamurka mengikuti kemudian. Ketika melompat dari keretanya, terlihat oleh Selir Lohdaya mata Prabu Socamurka yang merah murka. Dia tampak sangat terganggu karena ulah para penyerang yang mengganggu kesukacitaannya. Sudah jelas, Prabu Socamurka tidak akan memaafkan siapa orang yang berani sekurang ajar itu.


message 3: by Hasan (new)

Hasan Irsyad (ha_iy) | 190 comments Teringkusnya para penyerang tidak membuat Selir Lohdaya berhenti ketakutan. Memang hilang satu ketakutan dari perasaannya, tapi muncul ketakutan akan hal lain. Dia takut dengan kemarahan sang Prabu.

Dia ingat betapa menyeramkannya suaminya itu ketika sedang marah. Pernah dia melihat suaminya menebas mati dayangnya yang tiba-tiba masuk ke kamar saat dirinya sedang bercumbu mesra dengan sang Prabu. Padahal, dayang itu tidak bisa disalahkan juga. Biasanya bila sang Prabu berkunjung ke istana selir, beberapa pelayannya akan ikut mengantar dan berjaga di depan. Kala itu sang Prabu datang hanya sendirian. Dan dayang itu baru saja kembali dari luar istana untuk membawakan keperluan yang diminta selir Lohdaya. Tapi, Prabu Socamurka tetap tidak mau tahu alasan apapun. Satu nyawa manusia teregang tepat di depan mata Selir Lohdaya.

Empat orang penyerang yang masih hidup digelandang ke hadapan sang Prabu. Dengan kasar, mereka dipaksa berlutut.

“Buka penutup kepala mereka!” perintah sang Prabu.

Kepala pengawal segera mengikuti perintah. Satu persatu selubung kepala mereka dicabut dan dicampakkan ke tanah. Terlihatlah satu per satu wajah-wajah mereka. Salah satu diantaranya adalah perempuan.

“Siapa mereka?” tanya sang Prabu.

Salah seorang menteri yang menjawab, “Jika hamba tidak salah, Yang Mulia, yang perempuan itu adalah Tuan Putri Irasari, putri Prabu Bajrajaya, raja kerajaan Mertapuri yang baru saja Yang Mulia taklukkan. Laki-laki yang disebelahnya adalah suaminya, Pangeran Tejasuta. Dua lainnya, pasti pembantu mereka.”

Putri Irasari menampakkan wajah tidak senang. Bahkan nyata-nyata dia sengaja menampakkannya. Dia meludah di depan kaki Prabu Socamurka.

Anehnya, Prabu Socamurka malah tertawa keras, terbahak-bahak. Dia tampak senang melihat wajah Irasari yang penuh benci. Bagitu suara tawa sang Prabu berhenti, dia menendang wajah Irasari hingga tubuhnya terjungkal ke belakang.

Pangeran Tejasuta membantu istrinya bangkit. Tapi segera tangan-tangan prajurit Prabu Socamurka mencekalnya. Dengan kasar mereka memaksa Tejasuta tetap pada posisi berlutut pada sang Prabu. Irasari juga dipaksa kembali berlutut.

“Irasari...,” sang Prabu memanggil nama penyerangnya, “kau pasti ingin menuntut balas kematian ayahmu, kan?”

Irasari tidak menjawab. Sang Prabu menertawakannya.

“Itu bukan salahku. Ayahmu sendiri yang goblok!” Kata ‘goblok’ diucapkan sang Prabu dengan tekanan. Dia tertawa kasar setelah itu.

Puas tertawa, sang Prabu melanjutkan. “Aku sudah menawarkan pada Bajrajaya agar menyerahkan Mertapuri baik-baik padaku. Tapi dia menolak. Dia memilih perang. Padahal dia tahu sendiri seberapa lemah pasukannya, dan seberapa kuat pasukanku.”

Sang Prabu kembali tertawa. Irasari merasa sangat terhina mendengarnya. Pada kondisi biasa, seorang wanita akan menangis bila batinnya terhina. Tapi pada kondisi ini, Irasari sudah berada pada titik paling hina yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Baginya, jenis air mata warna apapun tidak akan mampu mewakili rasa keterhinaannya.

Sang Prabu melanjutkan, “Lalu, tentu saja dia kalah. Aku pun sudah berbaik hati setelah itu. Aku beri dia kesempatan mendapat pengampunanku. Dia aku suruh bersujud dan mencium kakiku. Tapi, apa yang dia lakukan? Dia malah..., malah....”

Sang Prabu menggantung ucapannya sejenak. Lalu, dia melanjutkan dengan menunduk dan mengangkat wajah Irasari ke arahnya. Wajah mereka beradu begitu dekat. “Dia malah melakukan seperti apa yang baru saja kau lakukan. Apa ayahmu yang mengajarimu meludah seperti itu?”

Tidak dinyana-nyana, Irasari malah meludah sekali lagi. Tentu saja kali ini ludahnya mendarat tepat di wajah sang Prabu. Prabu Socamurka tak sempat menghindar, meski gerakan menghindar itu sudah dia buat.

Sontak sang Prabu marah dan meninju wajah Irasari. Sekali lagi perempuan itu terjungkal. Sang Prabu yang makin marah segera mengambil pedang dari pinggang salah satu prajuritnya. Lalu kembali menghampiri Irasari untuk menghabisi perempuan itu.

Selir Lohdaya makin menggigil ketakutan. Dipeluknya erat-erat tubuh bayi belianya. Dia seolah hendak melindungi bayi itu, karena merasa yang akan ditebas suaminya bukan Irasari, tapi dirinya dan bayinya. Bayi Ranggaseta pun mulai menangis.

Sontak tangisan Ranggaseta memecah suasana. Sedari tadi tidak ada yang berani bersuara ketika Prabu Socamurka sedang murka. Hanya Ranggaseta yang berani melakukannya.

Selir Lohdaya berusaha menenangkan bayinya, tapi tidak berhasil. Pangeran Ranggaseta malah menangis lebih keras.

Prabu Socamurka tidak menjadi iba oleh tangisan anaknya yang menderu-deru. Malah dia menjadi jengkel.

“Selir Lohdaya, tenangkan bayimu!” bentak sang Prabu.

Bagai disambar geledek, Selir Lohdaya mengangguk-angguk cepat seperti kejang. Dia berusaha menenangkan bayinya agar suaminya tidak semakin murka. Tapi lagi-lagi dia gagal. Sang bayi malah menangis lebih keras lagi.

Jengkel, Prabu Socamurka menghampiri selirnya dengan wajah marah. Seketika tubuh Selir Lohdaya ambruk, bersimpuh di kaki Socamurka.

“Ampun, Yang Mulia Prabu. Hamba sudah berusaha menenangkan Pangeran Ranggaseta. Tapi dia tetap saja menangis. Hamba memang bodoh. Hamba tidak berguna, mengurus anak sendiri saja tidak bisa. Tapi, mohon... mohon ampuni hamba!”

Sambil menyentuh kaki suaminya, Selir Lohdaya menangis dan meratap-ratap.

“Ampun, Yang Mulia Prabu,” lanjut Selir. “Hamba pikir, mungkin Pangeran Ranggaseta hanya takut melihat ayahnya marah.”

“Putraku tidak boleh takut! Putraku tidak akan punya rasa takut! Dia bukan putraku kalau takut!” bentak Prabu Socamurka.

Menyadari kesalahan ucapannya, segera Selir Lohdaya meralat kata, “Ampun, Yang Mulia Prabu. Hamba memang bodoh. Tantu saja putra paduka tidak takut. Ampun, Yang Mulia Prabu. Sayalah yang takut. Hamba minta maaf. Mungkin, Pangeran Ranggaseta hanya kasihan melihat ibunya ketakutan. Tentu saja begitu. Pangeran tidak takut. Pangeran hanya kasihan pada hamba yang lemah dan ketakutan ini.”

Prabu Socamurka tampak puas dengan ucapan Selir. “Dasar bodoh, kau, Lohdaya! Kau memang penakut! Apa yang kau takutkan?!”

“Ampun, Yang Mulia Prabu. Saya takut..., saya takut dengan darah, Yang Mulia. Saya takut melihat darah. Tolong, bisakah Prabu berbaik hati dengan menghukum mereka nanti saja, ketika tidak ada hamba? Ampun, Yang Mulia Prabu! Kasihanilah hamba! Kasihanilah hamba yang penakut ini. Lihatlah! Pangeran juga memohon agar Yang Mulia mengasihani hamba yang bodoh ini.”

Prabu Socamurka tertawa keras, menggelegar.

“Baiklah!” ucapnya kemudian. “Prajurit, bawa mereka ke arena perlombaan! Pengal mereka di sana! Biarkan orang-orang melihat apa jadinya kalau ada yang menentang Prabu Socamurka!”

Segera kepala pengawal memerintahkan beberapa prajuritnya melakukan perintah sang Prabu. Selir Lohdaya berkali-kali mengucapkan terimakasih pada sang Prabu. Bayi Ranggaseta tetap menangis.

Prabu Socamurka meminta bayi Rangaseta dari Selir Lohdaya. Selir memberikannya. Lalu, sang Prabu menimang-nimang bayi itu sejenak di tangannya. Sang Bayi perlahan reda tangisnya.

“Putraku! Ibumu itu memang bodoh! Bagaimana ada manusia yang sangat penakut seperti dia? Tapi kau tidak boleh seperti dia. Kau harus sepertiku! Putraku harus pemberani. Putraku harus gagah, tegas, dan keras sepertiku! Hahaha..,!”

Dan matahari pun dengan cepat tergelincir. Rombongan raja dan pangeran urung menuju Kuil Merak.


back to top