Kastil Fantasi discussion

74 views
Diskusi Naskah/Konsep > [Konsep] Krakatoa (Wirasena Trilogy #1)

Comments Showing 1-36 of 36 (36 new)    post a comment »
dateUp arrow    newest »

message 1: by Awi (last edited Jul 13, 2012 12:20AM) (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Selamat siang semua.
Sebenarnya malu mau ngepost di sindang. >,<
Tapi ane lagi butuh saran.
Jadi rencananya ane sedang menulis novel ke dua. (Yang pertama masih di penerbit).
Cerita gak terlalu fantasi sih, tapi lebih menjurus ke arah sci-fi. But again, ane lagi butuh saran.
Jadi ide pokok dari cerita trilogy ini tentang kumpulan orang-orang di Indonesia yang mempunyai kekuatan super. Ditilik dari judulnya, Wirasena yang merupakan bahasa Sansekerta dari Kumpulan Para Pahlawan.
Plotnya sendiri ane buat macam Heroes. Jadi multiplot and multicharacter yang ceritanya bakal menyambung-nyambung sampai akhir.
Ada 6 orang tokoh utama di cerita ini. Mereka adalah:

* Xiao Long
Laki-laki, kurang lebih pertengahan umur 35 tahun.
Pemilik Chrono Club yang terkena ledakan di awal cerita. Dia sendiri selamat karena kekuatan dia.
Kekuatan= Energy Conversion.

* Karenina
Polisi dari divisi Cyber Crime. Tunangannya menghilang setelah dompet dia ditemukan di bekas ledakan Chrono Cafe and Bar. Akhirnya, walaupun sudah dilarang atasannya, Dia pergi untuk melakukan penyelidikan sendiri terkait hilangnya tunangan dia.

*Nante
Gadis Dayak berusia 16 tahun asal Pontianak. Menerima tawaran dari Prof. Tanaka untuk masuk ke fasilitas yang ia percayai dapat merubah kelainan dari tubuhnya.

*Sukma
Bocah berusia 7 tahun asal pesisir Pantai Mutun - Lampung.
Menjadi sensasi berita di televisi setelah healing power yang dia punyai terekspos.
Power: Healing Ability.

*Ryza
Pengamen jalanan berusia 20 tahun. Bertemu Sukma dan menyelamatkan dia dari penculikan.
Power: Carbokinetic.

*Tude
Remaja buta asal bali berusia 16 tahun.


Musuhnya sendiri adalah Tuan Aero.
Seorang sosok misterius yang menggunakan jubah putih untuk menutupi identitasnya.
Mempunyai 8 anak buah.
Celcum (Bone Manipulation), Radar, Tifa, Matthew, Ramona, Pluton, Motty sama satu nama lagi yang belum terpikir.
Tujuan mereka ini buat membangkitkan Rakata, Pangeran Sumbawa yang bertanggung jawab atas meledaknya Gunung Tambora dan Gunung Krakatau (Dua bencana dahsyat yang berhasil mengobrak-ngabrik iklim dunia waktu mereka meletus)

Ada dua karakter lagi. Sang Pengintai sama Nyai Titen. Wanita tua yang hidup tahun 1879.

Delapan Bab awal udah ane post di facebook dan responnya lumayan sih walaupun yang memberi kritikan bisa dihitung jari.
>,<

Mohon tanggapannya atas outline ini. Dan terakhir, ramalan dari Nyai untuk Sang Pengintai.

Akan ada terbelah menjadi angka.
Ada pula yang kehilangan nyawa.
Pun menghilang kekuatannya.
Namun yang teramal sangat berbahaya.
Di tangannyalah, keselamatan dunia sejatinya berada.



message 2: by Harbowoputra (new)

Harbowoputra | 309 comments Carbokinetic ini kayaknya bakal keren :3 tapi saia masih gak tau itu kekuatan maksudnya apa :v


message 3: by Grande_Samael (new)

Grande_Samael | 513 comments cerita superhero emg ga akan pernah ada matinya. Yang penting alur ceritanya di buat semenarik mungkin.

Tapi. . Saya mencium kehadiran ponari. .


message 4: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Grande_Samael wrote: "cerita superhero emg ga akan pernah ada matinya. Yang penting alur ceritanya di buat semenarik mungkin.

Tapi. . Saya mencium kehadiran ponari. ."


Inspirasinya memang dari Ponari kok.
>,<

Harbowoputra wrote: "Carbokinetic ini kayaknya bakal keren :3 tapi saia masih gak tau itu kekuatan maksudnya apa :v"

Karbokinetic itu kemampuan menggerakkan benda/barang (lebih ke arah makanan sih) yang unsur utamanya mengandung banyak karbohidrat.
i.e: beras, singkong, kentang, ubi, jagung etc


message 5: by Grande_Samael (new)

Grande_Samael | 513 comments kukira menggerakan benda berunsur karbon? Kyk arang, baja, intan. Ato mengubah tubuh jadi karbon. Hahaha.


message 6: by Harbowoputra (new)

Harbowoputra | 309 comments Grande_Samael wrote: "kukira menggerakan benda berunsur karbon? Kyk arang, baja, intan. Ato mengubah tubuh jadi karbon. Hahaha."

Awalnya saia juga ngira seperti ini =)) heuheuheu...


message 7: by Kristiyana (new)

Kristiyana Hary Wahyudi (dejongstebroer) | 759 comments setting taun berapa tuhh???


message 8: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Kristiyana wrote: "setting taun berapa tuhh???"

Masa sekarang lah, cuma ada flashback sedikit ke taon 1812, 1815, 1879 sama 1883.

Harbowoputra wrote: "Grande_Samael wrote: "kukira menggerakan benda berunsur karbon? Kyk arang, baja, intan. Ato mengubah tubuh jadi karbon. Hahaha."

Awalnya saia juga ngira seperti ini =)) heuheuheu..."


Grande_Samael wrote: "kukira menggerakan benda berunsur karbon? Kyk arang, baja, intan. Ato mengubah tubuh jadi karbon. Hahaha."

Ya enggaklah, di Indonesia kan makanan pokoknya kebanyakan itu semua. Banyak mengandung karbohidrat.
Dari situ inspirasinya.

Nanti kalau udah sepuluh bab rampung ane post di sindang lah.
>,<


message 9: by Kristiyana (new)

Kristiyana Hary Wahyudi (dejongstebroer) | 759 comments Hubungannya sama gunung Krakatau apa?


message 10: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Kristiyana wrote: "Hubungannya sama gunung Krakatau apa?"

Ada dehhh~~~
Hahahaha, itu hubungannya sama Rakata.
Rencana Wirasena Trilogy ini judul perbukunya
-Krakatoa
-Atlantis
-Wirasena

Draft kasar tiga bukunya udah ada sih.
>,<


message 11: by F.A. Purawan (new)

F.A. Purawan | 244 comments Untuk setting jaman sekarang, Nama Xiao Long, sih kayaknya gak masuk. Mungkin bisa divariasikan me jadi Johan Long, atau Joe Long?

Carbokinetik? Manipulasi karbohidrat? Awww, beware of my banana missile?!

Yeah, agak turndown. Tapi siapa tahu pengolahannya dahsyat. Setting sih cukup asyik sepertinya.


message 12: by F.A. Purawan (new)

F.A. Purawan | 244 comments Koq komen gue kepotong ya?


message 13: by Kristiyana (new)

Kristiyana Hary Wahyudi (dejongstebroer) | 759 comments iyayaa,, tatanama karakternya kurang believable untuk setting indonesia jaman sekarang,,,,

cuma Sukma dan Karenina yg masuk

saranku : diperbaiki lg pemilihan namanya: bisa pakai nama2 umum/ pasaran yg ada sesuai setting tempat dan waktu,,


message 14: by Awi (last edited Jul 14, 2012 07:33AM) (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Kristiyana wrote: "iyayaa,, tatanama karakternya kurang believable untuk setting indonesia jaman sekarang,,,,

cuma Sukma dan Karenina yg masuk

saranku : diperbaiki lg pemilihan namanya: bisa pakai nama2 umum/ pasar..."


Ada sejarah di balik penamaan karakter, Xiao Long nanti bakal dijelasin di buku.
Tude kan nama umum di daerah Bali, Nante itu ngambil dari nama Dara Nante. Pahlawan Wanita asal Kal-Bar. Ryza diambil dari Sativa Oryza, nama latin beras. Nama asli dia bukan itu kok, bakal dijelasin juga nanti di bukunya.

F.A. wrote: "Untuk setting jaman sekarang, Nama Xiao Long, sih kayaknya gak masuk. Mungkin bisa divariasikan me jadi Johan Long, atau Joe Long?

Carbokinetik? Manipulasi karbohidrat? Awww, beware of my banana m..."


Soalnya kebanyakan orang Indonesia kan makanan pokoknya mengandung banyak karbohidrat. Makanya ane ngambilnya itu. Biar kesan Indonesianya dapet.
Don't underestimate his power.
He's the first one to face Radar and Celcum.
>,<


message 15: by Manikmaya (new)

Manikmaya | 1098 comments Nama Xiao Long dan Xiao Lie masih ada yang make! Temen2 saya ada yang namanya begitu :D


message 16: by Nenangs (last edited Jul 16, 2012 03:21AM) (new)

Nenangs | 318 comments tadinya kupikir carbokinetic tuh dapet kekuatan super (super cepat/super kuat) dari makan makanan sumber karbohidrat.

just like carbodiet...:D


message 17: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Nenangs wrote: "tadinya kupikir carbokinetic tuh dapet kekuatan super (super cepat/super kuat) dari makan makanan sumber karbohidrat.

just like carbodiet...:D"


Tiba-tiba jadi dapet ide.
>,<

Manikmaya wrote: "Nama Xiao Long dan Xiao Lie masih ada yang make! Temen2 saya ada yang namanya begitu :D"

Xiao Long itu nama cina ane buatan sendiri.
Chin Xiao Long.
>,<


Anyway, here you go.
The first ten chapter


message 18: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Preambule

Bantul - 1879

Sang pengintai berjalan menembus dedaunan hijau yang nampak kelam disaput kekelaman hutan. Jubah hitam yang dikenakannya menggesek dan menggilas dedaunan kering dengan kejamnya. Pun ranting-ranting kayu sudah mencoba menggores pergelangan kakinya sedari tadi. Namun ia tidak perduli, tatapannya tetap lurus ke depan. Ia tahu betul ia tidak punya banyak waktu.

Tak berapa lama tabir hutan terbuka. Sebuah gubuk kecil berdiri enggan di depannya. Melihat tujuannya sudah nampak. Sang pengintai mempercepat langkahnya. Tapi ia masih sanggup untuk menahan hasrat untuk tidak menggunakan kelebihannya sekarang.

Sesaat kemudian, ia sudah sampai di depan gubuk. Belum sempat ia mengetuk. Sebuah suara parau sudah terlebih dulu masuk ke dalam telinganya tanpa permisi.

“Masuklah cu. Sudah lama aku menunggumu.”

Dengan ragu, sang pengintai masuk ke dalam gubuk berlantai tanah itu. Di tengah ruangan sempit itu terdapat anyaman tikar yang sudah lapuk. Di atasnya duduk seorang wanita berambut putih yang tersanggul dengan indah. Sang pengintai canggung. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

“Duduklah cu. Ada banyak yang harus kusampaikan padamu!”

Dengan ragu, sang pengintai duduk. Mata kedua orang itu mengawasi satu sama lain. Akhirnya, seperti yang sudah-sudah, wanita tua itulah yang akhirnya membuka mulut.

“Sudah sepuluh tahun aku menunggu kedatanganmu.”

“Maaf,” Sang pengintai terdiam sejenak. Kebingungan untuk mengucapkan kata sapaan yang tepat untuk wanita didepannya, “Nyai, pesan yang telah lama Nyai kirimkan terlambat datang kepada saya!”

Wanita itu menyunggingkan senyum di bibir kusutnya,

“Tidak apa-apa cu. Aku sudah tahu dengan pasti kapan kau akan datang. Sekarang, mendekatlah. Waktuku tidak banyak!”

Sang pengintai memajukan duduknya secara perlahan. Tangan Nyai terangkat pelan, menyentuh kening Sang pengintai dengan erat. Tak berapa lama, ia berteriak.

“AARRRGGGGHHHH!!!”

Sungguh, kepalanya seakan-akan meledak. Terlalu banyak gambar dan kepingan informasi yang membanjiri pikirannya sekarang. Berbagai peristiwa, wajah, dan keajaiban yang tak pernah ia lihat memaksa masuk ke dalam pikirannya dan menempelkan diri dengan kuat. Sampai pada akhirnya darah berubah menjadi bah dan bongkahan emas beserta penyanggahnya meledak. Ia terhuyung, melepaskan diri dari cengkreman Nyai.

Ia menarik napas tergesa-gesa. Keringat bercucuran deras dari keningnya. Apa yang sebenarnya ia lihat barusan? Tapi pertanyaannya tertinggal tanpa terjawab. Mata Nyai kehilangan rona hitamnya. Ia membelalak sambil menghadap langit. Sang pengintai panik, tanpa sadar kalau mulut Nyai sudah bergerak-gerak. Samar-samar, ocehan yang keluar dari mulutnya semakin jelas.

Akan ada terbelah menjadi angka.
Ada pula yang kehilangan nyawa.
Pun menghilang kekuatannya.
Namun yang teramal sangat berbahaya.
Di tangannyalah, keselamatan dunia sejatinya berada.


Kalimat itu terdengar berulang-ulang. Seperti pita rekaman yang sudah rusak. Sang pengintai sadar ia sudah keterlaluan. Namun apa daya, ia harus menghapal perkataan Nyai. Setelah berulang berapa kali. Wanita tua itu jatuh. Matanya kosong, menunjukkan kekosongan jiwa yang hakiki. Sang pengintai menghela napas panjang. Ia menutup mata itu perlahan. Setelah dirasanya cukup. Ia memejamkan mata. Berkonsentrasi sejenak lalu menghilang. Kembali tempat dan masa seharusnya ia berada.


message 19: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab I - Tefrit

Rumah Pelangi Orphanage – Kuta.

Musik menghentak-hentak menarikan lagu berirama cepat yang membuat telinga pengunjung Club itu semakin penuh. Namun mereka tidak peduli. Mereka hanya sibuk menegak alkohol dan berdansa dengan gerakan yang sulit untuk diraba. Tude melihat semua itu dengan perasaan iri yang tak dapat ia gambarkan.

Pandangannya sekarang terarah ke satu titik. Seorang pria buncit yang pahanya tengah ia jadikan tempat duduk sedang berbicara padanya. Mukanya terlihat merah, bahkan dari jarak berkilo-kilo meter pun. Tude dapat merasakan napsu menyalang membara di mata pria tua itu. Entah mengapa, Tude merasa geli dan jijik seketika.

Untunglah arah penglihatannya kembali berpindah. Seorang pria dengan rambut gimbal tengah berlari ke tengah dance floor. Dilihat dari mukanya, jelas ia tidak tidak datang ke tempat ini untuk bersenang-senang. Tatapannya tertuju tepat ke arah sebuah pintu yang ada di antara dua tumbuhan tinggi yang entah mengapa ada di dalam Club itu. Tiga aksara cina yang tidak dapat dibaca Tude tertulis jelas dengan huruf emas di pintunya.

Belum sempat lelaki itu menyeberangi dance floor. Seorang pemuda lain menarik tangannya. Tak berapa lama mereka berdua mulai berdebat. Ada yang aneh, Tude melihat lelaki gimbal itu terus menerus merubah ekspresi mukanya. Tenang sesaat kemudian kembali menunjukkan kemarahan. Terus-menerus kejadian itu terulang. Perdebatan mereka pun tak kunjung surut.

Dua orang satpam datang menghampiri mereka. Pemuda berkemaja putih itu tetap tenang. Ekspresi marah dari kedua satpam itu tiba-tiba menghilang. Namun tetap saja mereka mencoba mengusir kedua pengunjung itu keluar. Beberapa orang mulai menyadari keributan yang terjadi menghentikan kegiatan mereka dan mulai menonton secara terang-terangan.

Jujur saja, Tude merasa penasaran dengan apa yang mereka ucapkan. Lelaki gimbal itu membalikkan badannya. Namun dengan cepat pemuda berkemaja itu menarik tangannya. Kedua satpam tadi pun semakin menambah semarak tarikan dan adu mulut yang terjadi antara mereka berempat.

Hal berikutnya yang Tude lihat adalah asap. Asap dan sinar kemerahan yang tampak mengalir keluar dari tubuh lelaki berambut gimbal. Tadinya Tude berpikir kalau sinar merah itu hanyalah cahaya lampu yang mengenai tubuh lelaki itu. Tapi ia sadar ia salah. Karena cahaya itu semakin berpijar dan temaram. Pemuda berkemeja putih itu nampak terkejut. Lalu ia melarikan dirinya secepat mungkin.

Tapi naas, sebelum ia benar-benar sempat beranjak. Cahaya kemerahan tampak meledak dari tubuh lelaki tadi. Tude merasa penglihatannya ditembaki warna merah. Kemudian hitam. Kegelapan kembali menutupi matanya.

Entah mengapa Tude terengah-engah. Kebutaannya telah kembali tanpa ia duga-duga. Ia pun sadar kalau kunjungannya ke Chrono Club & Bar telah tamat. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut. Di sisi otaknya yang lain. Ia sadar kalau ia telah mengecap kematian selama sekejap.

***

Chrono Club & Bar – Central Jakarta.

Xiao Long duduk di kursi empuknya sembari meneliti laporan pemasukan Clubnya bulan ini. Ia mendesah pelan. Grafik yang tercetak di dalamnya meliuk turun, dan semakin meruncing belakangan ini. Dengan geram ia menutup bukunya dengan keras. Sampai pada titik inilah ia sadar kalau ia sudah muak dengan semua ini.

Mungkinkah ia harus menjual bisnis yang sudah ia geluti delapan tahun ini? dalam hatinya ia merasa sayang, tempat ini sudah ia lahirkan dan besarkan seperti anaknya sendiri. Orangtua mana yang tega menjual anaknya? Mau tak mau ia tersenyum dengan pikiran aneh yang melintas di kepalanya tadi.

Tiba-tiba saja, ketenangan yang dihasilkan dari dinding ruangan kedap suaranya terusik. Yang ia tahu, tiba-tiba saja cahaya merah secerah neraka menghambur masuk. Diiringi ledakan yang sangat keras. Sampai-sampai telinganya terasa berdenging dan hampa.

Dalam waktu sepersekian detik itu, Xiao Long berdiri. Refleksnya mengomando kedua tangan yang terkulai lemas untuk maju. Diarahkan seakan-akan menghalau kekuatan ledakan yang tidak ia ketahui asalnya.

Kematian, itulah yang dirasa oleh otaknya sekarang. Ia menutup matanya. Seperti yang ia dengar dari orang-orang. Kilasan hidupnya sedari kecil sampai sekarang berkelebat secara cepat di dalam otaknya. Seperti gerombolan kelelawar yang berebut keluar dari gua. siapa yang menyangka kalau perjalanan hidup Xiao Long selama tiga puluh lima tahun dapat disimpulkan dalam waktu sepersekian detik.

Ia masih menunggu dapat kegelapan. Beberapa detik berjalan, Xiao Long membuka kelopak matanya. Apa yang ia lihat membuatnya terkejut. Telinganya memang masih berdenging karena kencangnya suara ledakan. Api merah pun masih berkobar tanpa malu-malu. Tetapi matanya menangkap anomali yang terjadi pada dirinya.

Kilatan merah yang mengawali ledakan tadi mulai meliputinya. Sedikit demi sedikit mulai merayap masuk ke dalam tubuh Xiao Long. Ia menatap dengan nanar dan tanda tanya yang tak terjawab. Sampai pada akhirnya energi merah yang dicampur secubit api yang berwarna sama sudah terserap sepenuhnya. Ia jatuh terduduk menghujam bumi.

Ia merasakan panas di dalam tubuhnya. Xiao Long juga merasakan sensasi baru yang tidak dikenalinya. Bertenaga? Bersemangat? Meletup-letup? Atau campuran ketiganya? Xiao Long tidak mengerti, dan mungkin tidak akan mengerti akan apa yang terjadi. Ia berdiri perlahan, sambil mengarahkan pandangan ke sekeliling tempat yang ia bangun dengan susah payah.

Warna hitam arang telah terhiasi dengan merah kekuningan yang membara. Xiao Long bahkan tidak mempunyai waktu untuk meratapi nasibnya. Bau kematian terasa pekat menghujani udara diselilingnya. Untuk sesaat, napasnya terasa berat. Semakin ia menghela udara, semakin terasa sesak membelit erat paru-parunya.

Ia terjatuh lagi ke lantai yang telah mengarang kelam. Dadanya semakin terasa sempit. Pandanganmya semakin berputar ke dalam kegelapan. Belum lagi habis kesengsaraan yang Xiao Long rasakan, kilatan merah tadi kembali menguar dari tubuhnya. Kemudian sisa energi itu terasa menguar. Mengabur di udara.

Sedikit demi sedikit, belitan nyeri di paru-paru Xiao Long mengendur. Dengan tertatih ia mengambil napas sejenak. Satu tarikan, dua tarikan sampai pada helaan yang kesekian. Denyut napasnya kembali normal. Ia terbaring di lantai ruangan pribadinya yang sudah tak berbentuk lagi.

Matanya menatap langit gelap dari lobang yang menganga di atap tempatnya berada. Kemudian sesosok bayangan bergerak dari kelamnya langit. Ia melihat jubah putih yang bergerak. Seseorang mengamatinya sedari tadi. Xiao Long sadar akan hal itu namun terlalu lelah untuk memikirkannya. Saat kilau gemintang mulai muncul. Kesadaran Xiao Long mulai bersembunyi.

Sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya sang kegelapan kembali menyapanya.

***

Karenina’s Home – Jogjakarta.

Getaran kecil dari HP Nina berusaha keras untuk membangunkan pemiliknya. Setelah percobaan yang ketiga, barulah tangan Nina menjulur sambil meraba-raba meja kerdil yang ada di samping ranjangnya. Tempat HP yang sepertinya mencari gara-gara dengannya sekarang bertengger. Tepat ketika Nina mengambil benda yang seketika menyilaukan ruangannya itu. Deringannya berhenti.

Brengsek! maki Nina dalam hati. Ia melihat jam yang terdisplay dengan sempurna di layar HPnya. Sepuluh menit menjelang jam empat pagi. Saat ia menjulurkan tangannya untuk mengembalikan benda itu ke tempatnya semula. Getarannya terdengar lagi. Dengan sigap Nina menempelkan HP itu ke telinganya.

“Halo?”

“Nin? Udah bangun elo?” Suara yang sudah lama dikenal Nina menerobos langsung ke telinganya.

Nina terdiam sejenak sembari mengumpulkan nyawa dalam dirinya sebelum menjawab, “Menurut elo? Gak punya jam elo di rumah? Nelpon orang jam segini. Gak inget apa gue lagi cuti!”

“Yaelah sensi amat. Tapi serius, gue punya informasi penting!” suara Ocha terdengar serius di tengah kebisingan yang teretas jelas di belakangnya.

“Apaan? Elo lagi dimana sih? Kayaknya berisik amat!” ujar Nina sambil terbangun dari posisi tidurnya.

“Gue lagi di Salemba, depan Chrono Club. Tadi sekitar jam sebelas ada ledakan di sini. Jadinya kami dipanggil.”

“Dan hubungannya sama gue apa Cha, itu kan emang tugas detasemen elo. Emang ada hubungannya sama Cyber Crime? Enggak kan! Toh kalaupun ada, sekali lagi gue kasih tahu elo. Gue lagi cuti!” Nina menjawab dengan kejengkelan yang tak terbendung.

“Tunggu dulu. Gue mau nanya satu hal aja. Si Rick ada sama elo gak sekarang?” Ocha menanyakan tunangan Nina.

“Gak ada, dia pergi ke Jakarta tadi pagi. Ada urusan katanya. Emang kenapa sih?”

“Jadi,” keragu-raguan terdengar jelas di nada bicara Ocha, “karena gak ada kerjaan, gue bantuin tim forensik buat mengidentifikasi para korban. Dan gue tahu gak semestinya gue ngasih tahu elo tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Tapi gue ngeliat ada KTP si Rick di dalam satu dompet!”

Kali ini semua rasa kantuk seketika menghilang dari dalam diri Nina. Tubuhnya mengejang ganjil. Bulu kuduknya berdesir halus tanpa dapat ia cegah.

“Elo yakin itu punya Rick?”

“Positive. Nama dia Gael Shiloam Frederick kan? Lagipula, ada foto elo di dalam dompetnya!”

Nina terdiam, tampak mencerna semua kata-kata Ocha yang baru saja ia dengar. Benarkah Rick benar-benar meninggal?

“Nin? Nin? Elo masih sadar kan?”

Nina tampak menjaga suaranya setenang mungkin, “Iya Cha?”

“Elo tenang dulu. Siapa tahu dompetnya Rick dicopet atau apa. Saran gue, coba elo hubungi dulu dia. Kalau memang gak bisa. Elo ke sini aja buat ngasih dental record ke tim forensik!” suara seseorang tampak memanggil nama Ocha dari kejauhan, “Nin, ikutin saran gue tadi. Dan terakhir, halo, Nin? Elo masih di sana kan?

Nina tersentak sejenak, “Iya Cha?”

“Tetap berpikir positif dan ikutin saran gue tadi!” Kemudian sambungan itu putus.

Wanita itu terdiam sesudahnya. Otaknya sudah melupakan perkataan Ocha yang terakhir. Yang ada dibenaknya sekarang hanyalah bayang-bayang mengerikan tentang kematian tunangannya.


message 20: by Awi (last edited Jul 16, 2012 06:09AM) (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab II - Rakata

Sumbawa – 1812.

Raja Sahar menatap istrinya dengan cemas. Perempuan yang dicintainya setengah mati itu tengah mendorong sebulir kehidupan untuk dapat hadir di semesta ini. Teriakan wanita itu tampak membahana menghabiskan kelamnya sunyi malam. Semakin ia berteriak, semakin resah pula Raja Sahar dibuatnya.

Sesungguhnya lelaki itu ingin pergi untuk menunaikan Shalat. Memohon perlindungan dari yang kuasa untuk istri dan calon anaknya. Tapi entah mengapa, imannya saat ini sedikit goyah. Ia tak ingin pergi. Raja Sahat takut kalau pada saat kealpaanya, sesuatu terjadi pada mereka berdua.

Akhirnya Raja Sahat mendekat, menghiraukan tatapan ketidaksetujuan dari para dayang istana yang membantu persalinan Ratu Samawa, istrinya. Ia seorang raja di kerajaan ini. tidak ada seorangpun yang berhak melarangnya. Setelah sampai di sampingnya. Dipegang eratlah tangan Ratu Samawa. Seakan menyalurkan setitik kekuatan untuk melewati ini semua.

“Sabarlah duhai Istriku,” bisik Raja Sahar ke telinga istrinya, “semua akan baik-baik saja. Aku berjanji padamu!”

Ratu Samawa mendengar jelas perkataan suami. Namun jangan harap ia sanggup membalasnya. Energinya seperti terkuras habis. Namun ia terus berusaha. Selama bertahun-tahun menunggu. Momen inilah yang ia tunggu. Saat dimana ia dapat menunjukkan ke semua orang kalau ia adalah wanita sejati yang dapat memberikan keturunan bagi suaminya. Lebih dari itu, juga memberikan seorang penerus tahta untuk Kerajaan Sumbawa ini.

Detik demi detik berlalu, Ratu Samawa merasakan dorongan kuat dari bagian perutnya. Semua orang yang ada di ruangan itu tersentak. Raja Sahar tersenyum bangga melihat istrinya. Apalagi ketika bayi berwarna darah dengan corak keunguan itu diangkat. Aku menjadi seorang ayah! pikirnya dalam hati.

Namun senyum yang melengkung di bibir Raja Sahar tidaklah berlangsung lama. Wajah istrinya menunjukkan ekspresi ngeri yang tak dapat disembunyikan. Dalam bisikan penuh ketakutan Ratu Samawa berkata pelan,

“Mengapa anak kita tidak menangis?”

Palu kenyataan menghantam keras pikiran Raja Sahar. Ia menatap onggokan daging tak bernyawa yang sedang dibersihkan oleh para dayang. Perempuan-perempuan itupun mulai menyadari fakta tersebut. Dengan sigap salah satu dari mereka membalikkan bayi tersebut dalam posisi tengkurap dan mengelus punggungnya perlahan.

Tak berapa lama, bayi itu mulai menangis. Namun bukan hal itulah yang membuat keriuhan di dalam ruangan itu. Tanah di bawah mereka tiba-tiba saja berguncang hebat. Nyala api obor yang dipasang di dinding mulai menarikan tarian kepanikan. Dari kejauhan, suara ledakan dan letusan terdengar sahut menyahut.

Raja Sahar menggenggam tangan istrinya kuat-kuat. Namun sayang, dayang yang memegang bayinya terjatuh karena kuatnya guncangan. Dengan sigap lelaki itu mendatangi bayinya dan menaruhnya di dalam pelukannya. Jika ada orang yang mampu melindungi buah hatinya dari segala macam marabahaya, maka dialah orangnya.

Bumi masih meraung marah saat Raja Sahar mencoba menenangkan tangisan anaknya. Sedikit demi sedikit, bayi itu semakin mengecilkan volume tangisnya. Namun keanehan kembali terjadi. Seiring bayi mungil itu meredakan tangisnya, semakin reda pulalah kejadian alam yang terjadi. Guncangan berubah menjadi getaran kecil lalu menghilang. Suara letusan dari kejauhan pun menyurut, begitu juga dengan amukan angin yang sedari tadi mengganas. Sekarang telah berubah menjadi sepoi yang menusuk tulang.

Raja Sahar dan istrinya saling menukar pandangan. Jelas kedua kejadian tadi tidak dapat mereka hiraukan.

“Kau telah melahirkan anak lelaki yang luar biasa istriku!”

Dengan susah payah, Ratu Samawa menjawab pertanyaan Raja Sahar dengan pertanyaan lain, “Sudahkah kau menyiapkan nama untuk anak kita?”

Raja Sahar mendesah pelan sambil mengelus pelan pipi anak lelakinya, “Sebenarnya, beberapa hari yang lalu aku bermimpi. Seekor kepiting raksasa muncul dari tepian Pantai Sekokang dan memberikanku sebuah gunung berapi yang tiba-tiba saja ia munculkan. Aku tidak tahu pertanda apa yang ia berikan. Namun mimpi itu terus terngiang di benakku, apalagi wujud kepiting raksasa itu. Aku akan memberi nama anak ini Rakata.”

Ratu Samawa tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Tepat sebelum ia jatuh pingsan karena kelelahan, samar-samar ia berbisik penuh harapan,

“Hari ini, Pangeran Rakata telah lahir. Semoga kelahirannya membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh Kerajaan Sumbawa ini!”


message 21: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab 3 - Cathok

Mutun Beach – Lampung.

Radar dan Celcum menatap kerumunan massa di depan mereka. Puluhan bahkan ratusan orang tampak berjejalan di depan gubuk kecil yang terletak di bagian dalam Pantai Mutun. Suara mereka sangat ramai, sampai-sampai suara deburan ombak tak lagi terdengar karena dikalahkan oleh intensitas bunyi yang mereka keluarkan.
Orang-orang itu masih terus dorong-mendorong dengan tak sabar. Dari anak-anak sampai mereka yang sudah memutih rambutnya. Bahkan beberapa polisi yang mencoba untuk mengamankan situasi tampak kewalahan. Sampai pada satu titik mereka tampak menyerah dan hanya mencoba menghalau seperlunya.

Pusat perhatian kerumunan manusia itu terletak pada gadis kecil yang duduk di atas tangga kayu yang diletakkan seadanya di depan gubuk mereka. Secara tergesa-gesa, ia menyalami orang-orang yang berkerumun di hadapannya. Mereka yang sudah berhasil melakukannya tersenyum puas. Beberapa diantaranya menangis haru. Seakan-akan mereka sudah berhasil menyentuh Hajar Aswad.

“Elo yakin anak kecil itu target yang kita cari?” tanya Celcum tanpa mendelik sedikit pun ke arah Radar.

“Seratus persen. Kekuatan dia terasa banget sekarang. Asal kamu tahu, dia baru memakai satu persen dari kekuatannya!”

Perkataan Radar barusan mulai membangkitkan rasa penasaran gadis di sebelahnya, “Serius elo? Begitu banyak orang yang dia sembuhin. Dia baru make segitu doang?”

“Memangnya pernah kamu mendengar aku berbohong?”

Celcum terdiam. Perkataan cowok botak di sampingnya memang benar. Ia mengarahkan pandangannya lagi ke arah kumpulan orang-orang tadi. Mereka yang sudah berkerumun di luar garis polisi masih berusaha mencoba masuk ke dalam kerumunan. Tak berapa lama, keributan mulai pecah.

Para polisi yang berpatroli setengah mengantuk mulai terjaga sekarang. Melihat kondisi yang tak dapat lagi mereka kontrol. Salah seorang dari mereka melepaskan tembakan. Orang-orang tadi terdiam seketika. Namun ketenangan tadi tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian. Mereka kembali sibuk menyalami tangan Sukma.

Sebuah mobil datang lagi dari kejauhan. Bukan seperti mobil-mobil lain yang nampak berjejer menunjukkan kemewahan. Yang kali ini datang adalah sebuah minivan dengan logo NTV di sampingnya. Sesigap kilat, seorang reporter wanita keluar dan mulai menanyakan informasi dari warga sekitar dan polisi yang bertugas.

“Ckckckck, ini orang-orang pada gila ya. Susah amat buat ngantri!” kata Celcum sambil membetulkan posisi kacamata hitamnya.

“Seperti inilah orang Indonesia Cel. Kamu seperti tidak tahu saja.”

“Jadi kapan kita mau beroperasi? Nanti malam?”

“Saat semuanya tenang Cel. Saat semuanya terbuai mimpi dan mulai lengah.”

Celcum mengibas-ibaskan bagian depan tank topnya. Tangannya yang lain sibuk menaikkan rambut panjang yang membuat gerah leher belakangnya. Sungguh, matahari siang ini terasa membakar dirinya. “Kita nongkrong di situ dulu aja yuk. Itu air kelapa dari tadi manggil gue terus rasanya!”

Radar melihat ke arah yang ditunjuk oleh Celcum. Kios-kios yang berjejer rapi dihiasi berbagai pohon kelapa. Radar mengangkat tangannya menyentuh tangan Celcum. Sambil tersenyum ia menggandengnya menuju sebuah kios. Tempat itu terlihat ramai dipenuhi pengunjung sekarang. Ironisnya, kebanyakan pengunjung itu tidak datang ke tempat ini untuk menikmati surga kecil yang tidak terkenal ini. Kebanyakan dari mereka datang untuk mengharapkan kesembuhan dari tangan mungil sukma. Seorang gadis yang menjadi terkenal karena mukjizat yang berhasil ia ciptakan.

***

Malamnya, saat suara ombak kembali berkuasa di atas sunyinya malam. Radar dan Celcum mengendap-ngendap di atas pasir pantai yang halus. Tujuan mereka sudah nampak dari kejauhan. Sebuah gubuk kecil yang telah usai keramaiannya.

Satu buah lampu tempel kecil tampak menerangi bagian luar bangunan kayu kecil tempat Sukma dan ibunya beristirahat. Namun tanpa lampu itupun Radar sudah tahu kemana mereka harus melangkah. Karena walaupun lelaki itu sangat yakin Sukma sedang tertidur karena kelelahan sekarang, kekuatan yang ada di dalam diri gadis kecil itu masih terus menyala ringan laiknya sebatang lilin kecil dalam kegelapan.

Radar memberi tanda pada Celcum agar gadis itu membungkukkan badannya dan mengendap-endap perlahan. Misi mereka kali ini harus bersih. Tanpa ada satu kesalahan sedikit pun. Mereka berhenti tepat di rimbunan pohon kelapa yang berjarak kurang lebih sepuluh meter di depan gubuk itu. Dua orang polisi tampak tertidur di balai-balai yang ada di depan gubuk itu. Radar memberi tanda kepada Celcum.

Gadis itu mengarahkan kedua telunjuknya ke arah polisi tadi. Secepat kilat, Distal Phalanges, tulang yang ada di ruas terujung jari telunjuk Celcum terlepas cepat. Terus terbang ke arah kepala dan dada kedua polisi tadi. Melayang dengan kecepatan yang tinggi. Satu ruas tulang yang mengebor kepala salah satu polisi tadi bahkan berhasil menembus jauh kebelakang dan keluar lagi menuju alam terbuka.

“Satu tembakan gue meleset. Padahal gue ngincer tengah dahinya tadi, kok jadi nyasar ke mata kiri dia ya!” gumam Celcum dalam bisikan.

“Sudahlah, yang penting tembakan kamu yang satu lagi tidak meleset kan. Pas di jantungnya,” Radar terus melihat ke sekeliling, “coba kamu cek keadaan, apa masih ada orang di sekitar gubuk itu.”

Celcum berkonsentrasi sejenak. Ia mendengar bunyi berkeletak di dalam telinganya. Secepat kilat, ia merubah susunan malleus , incus , dan stapes yang ada di dalam organ pendengarannya. Menjadikan mereka lebih peka dalam menghantarkan gelombang suara. Gadis itu berkonsentrasi sejenak. Suara ombak menjadi berkali-kali lipat lebih kencang. Begitu pula suara gemerisik dedaunan kelapa yang manja dibelai angin.

Terlalu banyak suara yang ia dengar sekarang. Ia menggerakkan lagi ketiga susunan tulang rawan di dalam telinganya. Sehingga suara yang berada di bawah frekuensi pendengaran manusia mulai terdengar. Secara jelas, ia hanya mendengar dua suara lelaki dan perempuan. Lalu suara hembusan napas teratur dari seseorang.

“Bocah itu lagi tidur, tapi emak sama seorang lelaki yang tadi siang sibuk megang kardus buat ngumpulin duit itu masih ngobrol di ruang lain.”

Radar mengangguk mendengar penjelasan Celcum. “Kita sergap sekarang!”

Kemudian mereka berdua kembali berjalan. Menuju target yang sudah terasa berada di genggaman mereka.

***

“Pokoknya Sukma harus sekolah tahun ini. harusnya dua tahun lalu dia sekolah. Sekarang dia udah sembilan tahun lho,” suara Bu Ratna, orangtua semata wayang dari Sukma berbisik di bawah cahaya temaram lampu tempel.

“Lho gimana toh, duit yang dikumpulkan Sukma itu belum cukup. Biarkan dia kerja dulu beberapa bulan lagi,” jawab Pak Sutan dengan suara tak kalah pelannya.

“Niku itu kebanyakan ngomong, dari dulu sampai sekarang juga niku terus aja bilang mau ngawinin nyak . Buktinya mana toh sekarang!”

Pak Sutan menghela napas dengan berat, “Lha, nikah kan butuh banyak duit. Makanya kita suruh si Sukma kerja dulu!”

“Kenapa gak niku aja yang kerja,” jawab Bu Ratna sambil mencibir lelaki di depannya.

“Aduh Ratna, buka kios di pantai itu untungnya gak banyak. Coba niku ngeliyak kerjaan si Sukma. Sehari bisa dapat paling sedikit sepuluh juta dia!”

Tiba-tiba terdengar suara benda kecil yang terlempar dari luar. Juga suara benda jatuh yang terdengar dengan jelas.

“Apa itu Tan?”

“Gak tahu aku, paling cuma kelapa jatuh!” lelaki itu berdiri dengan santainya, “ya udah, nyak pulang dulu.”

Lelaki itu berjalan ke arah pintu yang terbuat dari anyaman daun kelapa di depannya. Tepat sebelum ia menyentuh pintu itu. Bu Ratna berkata lagi dengan nada yang sangat tegas. “Pokoknya aku gak mau tahu, Sukma harus sekolah tahun ini!”

Lelaki yang diajaknya berbicara tidak menjawab. ia terjatuh, seakan-akan tenaganya telah hilang secara keseluruhan. Ia tumbang ke arah belakang dengan bunyi yang amat keras. Tepat di tengah dahi lelaki itu terbentuk kawah kecil yang mengeluarkan darah segar. Seketika, jerit kengerian Bu Ratna melolong, berpadu dengan debur ombak dari kejauhan.

Suara jeritan itu masih berlangsung ketika pintu menjeblak terbuka. Dua sosok manusia tampak menutupi pandangan Bu Ratna. Seorang lelaki botak berkulit cokelat dan wanita berbaju minim dengan rambut panjang yang dikuncir. Sang wanita mendekatinya dan mengarahkan telunjuknya tepat di kening Bu Ratna. Namun sang lelaki menghardik wanita itu.

“Tunggu dulu Celcum. Kita butuh jaminan untuk membawa anak itu keluar dari sini!”

Sang wanita yang dipanggil Celcum itu mendelik sebal ke arah sang lelaki.

“Turuti perintah kami kalau ibu masih mau keluarga ibu selamat!” Lelaki itu berbicara pelan pada Bu Ratna. Namun di dalam ketenangan nada bicaranya, Bu Ratna merasa sangat ketakutan. Bulu kuduknya terasa bergidik nyeri mendengar perkataan lelaki botak itu.

“Tolong pak,” ratap Bu Ratna sambil mengisak, “jangan apa-apakan keluarga saya. Kalian mau uang? Ambil saja di laci paling dalam di lemari itu. Tapi tolong, jangan sakiti kami!”

“Elo gak bisa diam apa!” bentak Celcum sambil menjambak rambut Bu Ratna. Membuat wanita tua itu semakin terisak dalam ketakutan.

“Sekarang, ibu bangunkan Sukma dan ikuti kami. Dan ingat, jangan mencoba untuk berbuat macam-macam!” perintah lelaki itu.

Bu Ratna bangun dan berjalan tertatih ke kamar tidur mereka yang berukuran sempit. Di dalamnya, Sukma kecil sudah terbangun dari tadi dan mendengar keributan di luar. Namun terlalu takut untuk bergerak. Melihat ibunya datang, ia segera bangun dan memeluknya dengan kuat.

“Mereka siapa bu?” bisik Sukma di telinga ibunya.

“Ssshhh, udah sekarang kamu tenang ya, ada ibu di sini!”

Momen berpelukan mereka tidak berlangsung lama, lelaki berkulit cokelat itu mengomandoi mereka untuk segera keluar. Dengan ragu dan takut yang amat sangat, Bu Ratna menuntun Sukma, anak semata wayangnya untuk keluar dari gubuk hangat mereka dan menantang angin malam.

Mereka berempat berjalan beriringan. Dengan lelaki botak yang memimpin jalan. sepuluh menit kemudian, di balik pepohonan yang tumbuh agak jauh dari tepi pantai. Sebuah mobil hitam tersembunyi dengan sempurna.

Lelaki tadi membuka pintu belakang mobil itu dan menyuruh Sukma untuk masuk. Tepat ketika Bu Ratna mengangkat satu kakinya untuk ikut naik ke dalam mobil hitam itu, tangan kanan Celcum memukul keras tengkuknya. Membuat nyeri yang menjalar sampai masuk ke otak Bu Ratna dan melumpuhkannya dalam kegelapan.

Sukma memberontak. Tersentak kaget melihat ibunya diperlakukan seperti itu, tepat ketika ia hendak melompat keluar dari dalam mobil. Lelaki botak itu menempelkan sapu tangan ke mulut Sukma. Untuk sesaat, aroma manis tercium di hidung Sukma, terus menjalar sampai ke bagian dalam otaknya dan membuat bocah itu turut kehilangan kesadarannya.

Celcum meletakkan Sukma dalam posisi telentang di bagian belakang mobil. Lalu menyusul Radar yang sudah lebih dulu masuk ke kursi pengemudi.

“Berapa lama itu chloroform bertahan?” tanya Celcum ketika ia sudah duduk di samping kursi pengemudi.

“Dengan dosis yang tadi aku pakai, efek di orang biasa bisa lima sampai delapan jam. Tapi karena healing factor yang ada di tubuh bocah ini, setengah jam lagi juga dia bakal bangun!” jawab Radar sambil menghidupkan mobil mereka.

“Sialan, kenapa jadi kita sih yang harus dapat tugas ini. Kalau aja si tolol Motty sama Pluton gak mampus gara-gara ledakan di club itu. Kita pasti masih making love di apartemen kita sekarang.”

Radar tersenyum sambil memindahkan perseneling mobilnya. Setelah itu memegang tangan Celcum dengan lembut.

“Sudahlah, habis ini beres kita bisa puas-puasin hasrat kamu kok!”

“Hahaha, elo harus ngelakuin itu. Kalau gak mau elo gue bunuh!”

“Memangnya kamu sanggup buat bunuh aku?” canda Radar perlahan.

Mereka berdua tersenyum di dalam kegelapan mobil. Sesudah itu kendaraan mereka pun berangkat. Meninggalkan Pantai Mudun dan deburan ombak di belakangnya.


message 22: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab IV - Eukariota

Kasih Karunia Church – Pontianak.

Misa pagi belumlah dimulai. Karena jam masih enggan beranjak dari angka enam. Pada saat ia berada di angka delapanlah misa baru akan dilaksanakan. Atas alasan itulah, Nante sudah berada di depan altar. Berdoa meminta petunjuk dari Tuhan. Di tengah kelengangan Gereja yang membuat hatinya terasa penuh.

Sudah seminggu ini hatinya gelisah tak kenal arah. Dua minggu lalu, Romo Mardi memberikan kabar tentang perubahan yang mungkin saja akan mengubah jalan hidupnya secara total. Sekarang ia harus menentukan jawaban. Iya atau tidak. Sungguh, sepanjang umurnya, belum pernah Nante dihadapkan pada sebuah pilihan yang begitu rumit.

Gadis itu memang berbeda. Nante dengan sepenuhnya sadar kalau ia cacat. Cacat yang menjijikkan dan membuatnya muak. Sudah lama ia mengetahui kalau orang-orang sekitar memberinya julukan. Dan yang paling melekat adalah anak antu. Nante mendesah penuh beban. Sejatinya, mungkin ejekan itu memang pas. Kedua orang tuanya pasti hantu. Kalau tidak, sangatlah mustahil Nante terlahir dengan keadaan seperti ini.

Sebuah suara langkah kaki yang teratur tampak bergema dipantulkan dinding di sekitarnya. Dengan terburu-buru Nante berdiri. Takut-takut kalau ada jemaat lain yang datang dan mengusirnya dari tempat itu. Bukan dengan perkataan, hanya dengan tatapan penuh rasa jijik saja Nante sudah tahu diri dan langsung menyingkir dengan penuh kepastian.

Namun yang ia lihat hanya Romo Mardi yang berjalan pelan menghampirinya. Mau tak mau Nante tersenyum sejenak. Lalu mendung nan sayu kembali menghiasi wajahnya.

“Selamat pagi Nante!” sapa Romo Mardi ketika ia sudah mendekat.

“Pagi Romo,” balas Nante setengah berbisik.

“Apa buat kau sepagi ini, Nante?”

Gadis itu terdiam gelisah. Rambut panjang ikalnya tampak bergerak-gerak menyentuh tengkuknya yang dingin, “Berdoa, Romo. Nante risau. Haruskah Nante ambil tawaran itu?”

Entah mengapa, Romo Mardi tersenyum melihat kebimbangan remaja enam belas tahun itu. Ia berjalan ke samping Nante. Melihat dari dekat patung Yesus yang tersalib di atas altar.

“Lalu, kau dah dapat kah jawabannya?”

Nante menggeleng. Ia mengikuti arah tatapan Romo Mardi yang sudah terpaku pada satu titik di depan mereka, “Ini sulit Romo. Kita ndak mengenal mereka. Haruskah kita percaya? Lagipula, tawaran mereka tentang menyembuhkan perbedaan Nante tampak muluk-muluk.”

“Janganlah kamu kuatir, Nante!” ujar pemuda itu sambil tersenyum. “Bahkan Ia memelihara burung-burung di udara dan menghiasi bunga di padang. Tak mungkin Tuhan sanggup meninggalkan kau. Kau terlalu berharga di mata Dia, bagaimana pun kondisimu, Tuhan akan selalu menjagamu. Apapun keputusan yang kau pilih nanti, yakinlah. Tuhan punya rencana dibalik itu semua!”

Nante terdiam mencerna kata-kata lelaki di sebelahnya. Suara ayam berkokok nampak terdengar dari kejauhan. Samar-samar, berkas sinar mentari pagi melesat riang masuk ke dalam Gereja yang sepi. Cahaya halusnya tampak membasahi kaca patri yang menghiasi dinding ruangan ini. Untuk sekejap, kedamaian terasa masuk ke dalam relung hati Nante dan berdiam di sana.

“Nanti sore mereka akan datang, Nante. Romo harap, kau sudah mengambil keputusan dengan mantap.” Gadis itu nampak tersentak mendengar perkataan Romo Mardi yang tiba-tiba saja masuk ke pendengarannya. “Ah, bagaimana kalau kita berdoa lagi bersama-sama. Kau tahu, doa dua orang akan lebih manjur dari doa satu orang.”

Nante tersenyum, mengangguk mendengar tawaran Romo Mardi. Mereka berdua pun berlutut. Membuat tanda salib di dahi, dada, bahu kanan, dan bahu kiri. Lalu melipat tangan dan berdoa. Hanya pada saat berdoalah, Nante bisa lupa dengan kecacatannya dan merasa normal seperti orang-orang yang sudah mengejeknya.


message 23: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab V - Adhesi

Buaran Fly Over – East Jakarta.

Ryza menyandarkan tubuhnya ke salah satu pilar yang menopang jembatan layang di atasnya. Tubuh cekingnya tampak bergoyang halus tertiup angin dan asap yang terlibas oleh kendaraan yang melintas kacau di jalan besar yang terdapat di kiri dan kanannya.

Lapisan cat yang mengering tampak beterbangan dari pilar besar tempat ia menyandar. Lalu hinggap dengan jengah di rambut acak-acakan pemuda itu. Matahari tampak semakin meninggi di kejauhan timur. Sudah dua jam ia mengamen dari bis ke bis yang sangat padat di pagi hari Kota Jakarta yang sibuk. Ia mengambil kaleng rombeng bekas susu kental manis yang ia pegang sedari tadi lalu mulai menghitung uangnya.

Uang kertas sejumlah belasan ribu telah ia dapat di tangannya. Ia mengguncangkan kaleng di tangannya dengan ogah-ogahan. Bunyi gemerincing yang cukup keras terdengar dari dalamnya. Ryza memang malas menghitung koin-koin logam yang bergelimpangan di sana. Akhirnya dengan langkah gontai. Ia pergi meninggalkan tempat itu sambil memanggul gitar berwarna cokelat tua. Satu-satunya harta berharga yang ia miliki di dunia ini.

Dengan hati-hati ia menyeberangi jalan dan bergerak cepat masuk ke dalam sebuah gang. Di sebuah warung sederhana yang menjual makanan yang tak kalah sederhananya. Ryza duduk di salah satu bangku panjang yang ada di dalam warung yang tampak lengang. Belum sempat mengatakan apa-apa, seorang wanita tua yang sedang santai menonton TV sudah menyapanya lebih dahulu.

“Yang biasa Ja?” seperti biasa, ia mengucap huruf z di nama Ryza menjadi j.

“Iye, yang biasa aje Mpok. Nasi uduk satu sama es teh!” jawab Ryza sambil melepaskan senyumnya.

Wanita tua yang mengenakan kerudung lusuh itu segera sibuk menyiapkan makanan yang dipesan oleh Ryza. Sementara pemuda itu menunggu, ia menonton berita yang masih berlangsung di televisi.

“Ledakan yang terjadi dua hari lalu di Chrono Club & Bar masih menyisakan tanda tanya besar. Polisi yang mengusut kasus ini masih juga belum memberikan keterangan yang pasti terkait ledakan yang menewaskan lima puluh dua orang ini. sepuluh diantara mereka merupakan warga negara asing. Satu-satunya korban yang selamat adalah pemilik dari Club tersebut. Tuan Chang Xiao Long, masih dirawat di rumah sakit sampai sekarang. Kerugian dari kejadian ini.”

“Ni Ja, nasi uduknya!” suara mpok penjaga warung menarik Ryza dari dunia berita yang sedang berlangsung di depannya. Gambar-gambar tentang gedung yang terbakar itu tidak menarik perhatian Ryza lagi setelah sepiring nasi uduk telah terhidang di depannya. Tak berapa lama, ia sudah sibuk menyantap sarapannya yang terlambat itu.

“Dapet duit banyak hari ini ja?”

Riza hanya menggeleng tanpa bisa menjawab. Mulutnya sedang sibuk memamah biak sekarang. Sayup-sayup, suara pembawa berita dari televisi menarik perhatiannya kembali.

“Pagi ini, anggota DPR Bapak Vicky Hajinata, ditangkap di kediamannya di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Terkait kasus korupsi pengadaan alat-alat kesehatan untuk rumah sakit-rumah sakit yang ada di Jakarta. Penangkapan ini diprakarsai oleh laporan dari hasil penyelidikan KPK selama tiga bulan terakhir. Sampai saat ini, belum ada keterangan sama sekali dari pihak Vicky Hajinata.”

Kemudian adegan penangkapan yang terjadi di rumah berukuran raksasa itu berganti dengan wawancara dari perwakilan KPK. Namun Ryza sudah tidak bernapsu lagi untuk menontonnya, pun bernapsu untuk menghabiskan makanannya. Jantungnya berdegub kacau sekarang. Ia mengenal nama itu. Rumah raksasa tadi adalah tempat yang tak pernah ia pijak lagi saat ini. Diam-diam, sebuah perasaan syukur dan pedih menyelusup pilu di dalam hatinya.

Ryza bangkit dari bangkunya. Ia memutuskan untuk mengamen lagi. Menghabiskan waktu dalam nyanyian di goyangan bis yang membelah Jakarta. Dengan begitu, mungkin saja pikirannya akan tenang. Ia mengambil gitarnya lalu melangkah pergi.

“Eh, Ja? Mau kemana?” ujar Mpok dari belakang punggungnya.

“Pergi dulu Mpok, masukin kasbon aja yang tadi!”

Yang dijawab hanya menghela napas lalu membuka buku hutangnya. Menambah beberapa digit lagi di kolom hutang Ryza yang semakin menumpuk.

***

Have you come here for forgiveness?
Have you come to raise the dead?
Have you come here to play Jesus?
To the lepers in your head

Did I ask too much?
More than a lot.
You gave me nothing,
Now it's all I got
We're one
But we're not the same

Well we
Hurt each other
Then we do it again
You say

Ryza terus bernyanyi merdu diiringi petikan gitarnyanya. Sambil berusaha mempertahankan pijakan di atas bus yang bergoyang liar menyalip berbagai kendaraan. Dengan tangan dan pita suara yang sudah lama terasah, Ryza masih berusaha membuat suaranya bening dan terjaga di sepanjang perjalanan.

Love is a temple
Love a higher law
Love is a temple
Love the higher law
You ask me to enter
But then you make me crawl
And I can't be holding on
To what you got
When all you got is hurt

Suara berdecit terdengar keras saat bis berhenti mendadak. Ryza kehilangan keseimbangan secara tiba-tiba di kaki dan suaranya. Supir bis yang ia belakangi tampak memaki seorang pengendara yang sudah jauh melesat meninggalkan asap di belakangnya. Ryza mendesah, mau tak mau ia menghentikan konser kecilnya dan mulai mengedarkan kaleng rombeng yang sedari tadi ia pegang.

Tangan-tangan mulai mengangkat malas. Beberapa melambai enggan, sisanya yang tak seberapa memasukkan uang kecil ke dalamnya. Namun Ryza tetap tersenyum. Prinsip dasarnya dalam bekerja adalah senyuman. Seberat dan sekasar apapun hari yang ia jalani. Sebuah lengkungan di bibir selalu dapat meringankan bebannya walau hanya sedikit.

Sesudah berada di bagian belakang bis, Ryza menaruh gitar di punggungnya dan bersiap-siap untuk turun. Namun sayang, baru saja ia menginjak anak tangga kedua. Seorang anak kecil yang memakai baju lusuh dan berambut pendek sebahu menabraknya hingga jatuh. Ryza mengaduh saat kepalanya terantuk ujung bangku penumpang dengan keras. Untung saja busa di dalamnya berhasil mengurangi efek dari benturan yang dihasilkan.

Bis sudah berjalan ketika lelaki itu mengangkat tubuhnya beserta tubuh anak kecil tadi. Para penumpang yang sedari tadi memperhatikan keributan yang mereka hasilkan mulai kehilangan antusiasmenya. Kembali pada jadwal kehidupan mereka yang selalu sama setiap hari. Membosankan.

Gadis kecil di depannya nampak ingin menangis. Ryza melihat air yang menggumpal di dalam bola matanya dengan jelas. Akhirnya ia bangkit. Menuntun gadis itu duduk di bangku belakang bis yang sepi.

“Kamu gak kenapa-kenapa dek?”

“Tolong nyak kak,” gadis itu menengok ke belakang. Tepat ke arah mobil hitam yang tampak menyalip lalu lintas yang ramai dengan kalang kabut. “Tiyan ngejar-ngejar nyak.”

Walaupun kurang mengerti dengan perkataan bocah itu. Ryza melihat ke arah yang ditunjuk gadis kecil itu. Saat itu juga ia melihat sesosok jari keluar dari kaca di sebelah kiri mobil hitam itu. Kemudian sebuah benda putih melayang cepat. Memecahkan kaca belakang bus yang mereka tumpangi dengan bunyi berdesing yang keras. lalu bersarang dengan keji di kepala salah satu penumpang yang duduk di dua kursi depan mereka.

Ryza menunduk dengan cepat, tangannya yang lain sudah berada di kepala gadis kecil itu untuk mengomandoinya melakukan hal yang sama. Suara jeritan penumpang tampak berpadu di dalam telinga Ryza. Namun samar-samar, ia masih dapat mendengar bisikkan bocah di depannya. Dan sekali lagi, Ryza melihat kejujuran saat ia memohon dengan lirih.

“Tolong.”


message 24: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab VI - Berreta

Mabes Polri – South Jakarta.

Karenina memainkan rambut pendeknya dengan gelisah. Sudah hampir satu jam ia menunggu di ruangan ber-AC ini. Namun atasannya masih betah membuatnya menunggu. Ia mengetuk-ngetukkan sepatu hak wedgenya dengan gelisah ke lantai keramik putih di bawahnya. Sekali, dua kali. Sampai pada ketukan yang kelima. Beberapa lelaki tua berperut buncit keluar sambil menukar jabat dan senyum. Karenina berdiri cepat, memberi senyum basa-basi ke kelompok itu dan buru-buru masuk ke ruangan atasannya.

Pak Bowo, atasan Nina di divisi Cyber Crime tampak sibuk dengan tumpukkan kertas di atas meja kerjanya. Gadis itu terdiam menunggu lelaki di depannya telah selesai dengan pekerjaannya. Namun Nina kecele, atasannya itu sudah berbicara padanya tanpa sedikit pun mengangkat kepalanya.

“Apa yang kamu mau, Nina?”

Nina berjalan melintasi ruangan kecil itu lalu berdiri tepat di depan meja besar milik Pak Bowo, “Saya meminta ijin bertugas untuk menyelidiki kasus ledakan di Chrono Club and Bar, Pak!”

Dan Pak Bowo pun akhirnya menaruh perhatiannya pada Nina. Buktinya, matanya yang beralis lebat itu sudah terpaku pada gadis itu sekarang. Untuk sekejap, mereka bertatapan, sebelum akhirnya Pak Bowo menarik napas berat.

“Saya tidak bisa menugaskan kamu untuk kasus itu, Nina. Itu bukan urusan divisi kita. Dan kalaupun Densus 88 meminta bantuan. Percayalah, kamu orang terakhir yang akan saya tunjuk!”

“Tapi mengapa Pak?” jawab Nina dengan sedikit gusar. Ia tahu kalau nada bicara yang ia aplikasikan ke mulutnya sekarang tidak pantas untuk digunakan. Benar saja, Pak Bowo tampak mendelik ke arahnya.

“Saya tahu betul mengapa kamu ingin menyelidiki kasus itu. Gara-gara Frederick kan?”

Sebenarnya Nina ingin mengangguk sekarang. Namun entah mengapa, napasnya tiba-tiba terasa sesak dan mempengaruhi gerakan lehernya.

“Tolong gue, Wo! Udah dua hari dia menghilang. Belum lagi dompet dia ditemukan di lokasi ledakan. Please, bantu gue kali ini aja!” mohon Nina dengan sangat.

Kali ini Pak Bowo benar-benar mendesah mendengar perkataan Nina.

“Lihat, inilah alasan kenapa saya tidak mungkin menugaskan kamu. Perasaan dan emosi yang tidak dapat kamu tahan hanya akan merusak penyelidikan.”

“Tapi gue, maksudnya, saya berjanji tidak akan melibatkan perasaan saya dalam penyelidikan ini Pak!”

“Tidak Nina,” Pak Bowo menggeleng tegas. “Saya sudah kenal kamu sedari kecil. Dan yakinlah, saya sudah tahu betul dengan semua sifat kamu!”

Nina terdiam menatap atasannya yang perangainya sudah kembali menjadi sosok saudara kandungnya. Ia memang tahu aturan dan protokol yang berlaku, bahwa ia tidak dapat bertugas dalam penyelidikan yang melibatkan orang terdekatnya. Padahal ia sedikit berharap mungkin saja kali ini kakaknya dapat membelokkan aturan itu.

“Baiklah, Pak!” Nina mengujar berat pada akhirnya, “Masa cuti saya masih tersisa dua minggu. Saya meminta ijin untuk memperpanjangnya dua minggu lagi kalau boleh.”

“Akan saya pertimbangkan.”

Buru-buru Nina berbalik dan pergi. Namun sebelum ia sempat menyentuh daun pintu. Suara Pak Bowo kembali bergema di telinganya.

“Dan Nina, tolong kamu kembalikan pistol kamu. Saya yakin dalam masa cuti kamu saat ini. kamu tidak membutuhkan senjata itu.”

Nina tidak mengangguk ataupun berbalik menghadap atasannya. Dengan cepat ia membuka pintu dan keluar tergesa-gesa. Meninggalkan Pak Bowo sendiri. Tak berapa lama, lelaki itu mengangkat telepon selularnya lalu memencet beberapa nomor.

“Halo,” sapa Pak Bowo kepada seseorang di ujung lain. “Ya, kamu tolong awasi Nina. Jangan sampai dia terlibat! Terus pantau dan berikan laporannya kepada saya!”

***

Padepokan Naga Putih – Cileungsi.

Nina memandangi kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan semenjak ia mengecap bangku kuliah sampai sekarang. Ruangan itu masih terawat dengan indahnya. Ia mengoleskan ujung jarinya di meja kecil yang ada di samping ranjangnya. Halus, tidak ada setitik debu pun menempel di permukaannya.

Ia merebahkan dirinya di seprei putih yang menutupi tempat tidurnya. Wangi pengharum pakaian seketika menyerbak anggun menutupi udara. Nina menarik napas lega. Entah mengapa, aroma yang tercium sekarang seakan membuat beban di dadanya terasa lengang. Memang, tidak ada tempat seindah dan seterindukan seperti rumah sendiri.


Nina mengambil HP dari dalam kantung celananya. Mengecek kalau-kalau ada pesan yang masuk atau panggilan tak terjawab. Gadis itu sadar kalau ia hanya membuang-buang waktu sekarang, karena kalau dua hal itu terjadi. HPnya akan bergetar dan Nina pasti menyadarinya. Namun tetap saja ia merasa perlu untuk mengeceknya.

Dengan sedikit frustasi, Nina mengirimi satu pesan lagi untuk Ocha. Ia mendesah penuh penghayatan. Kawannya itu belum membalas panggilan maupun pesan yang ia kirim sedari tadi. Padahal Nina sangat membutuhkan bantuan Ocha. Ia sudah bertekad untuk menyelidiki kasus hilangnya Rick secara diam-diam. Luput dari pengawasan atasan sekaligus abangnya, Pak Bowo. Dan untuk mempermudah itu semua. Bantuan dari Ocha mutlak diperlukan.

Gadis itu mendengar pintu kamarnya terketuk secara halus tepat ketika ia memencet tombol send di HP touch screennya. Seorang perempuan separuh baya yang mengenakan kebaya muncul dari baliknya. Melihat ia datang, Nina buru-buru bangun dari tidurnya dan membetulkan posisi duduknya.

“Sudah lama kamu datang, nduk?” sapa perempuan itu sambil duduk dengan anggun di tepian ranjang Nina.

“Baru saja Bu!”

“Kamu sudah memberi salam kepada bapakmu toh nduk?” ujar Ibu Nina sambil menyentuh lembut tangan anak perempuan satu-satunya.

“Belum Bu, Bapak masih berlatih dengan murid-muridnya di luar. Nanti saja!”

Bapak Nina adalah guru sekaligus ketua dan pembina Padepokan Naga Putih yang sudah bertahun-tahun didirikan oleh leluhur Nina. Di tempat ini puluhan orang tinggal dan dilatih untuk mendalami silat aliran Naga Putih. Sebenarnya Nina bisa saja tinggal dan ikut mendidik di padepokan ini. Namun ia menolak. Lagipula, ia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia berlatih.

“Sudah ada kabar dari tunangan kamu?”

Nina menggeleng enggan. Kemarin setelah menemui Ocha dan memberikan keterangan mengenai ciri fisik Rick dan dental recordnya. Ia berkeliling mencari tunangannya itu dari apartemennya sampai ke tempat ia biasa nongkrong. Namun nihil, keberadaan lelaki itu seperti raib ditelan bumi dan membuat Nina semakin gelisah.

“Ya sudah nduk, banyak-banyak berdoa. Insyallah, kamu akan menemukan dia lagi.”

Sesudah berkata demikian, Ibu Nina beranjak pergi. sambil berpesan agar Nina menyantap masakan kesukaannya yang sudah disiapkan khusus untuk Nina. Gadis itu hanya mengangguk. Kepalanya makin dipenuhi oleh tanda tanya besar tentang keberadaan Rick sekarang. Akhirnya setelah menit demi menit berlalu, Nina beranjak. Berjalan ke laci kecil yang ada di dalam lemari pakaiannya kemudian mengambil benda yang menjadi alasan mengapa Nina pulang ke rumahnya.

Sebuah hand gun dengan magasin yang terisi penuh.


message 25: by Awi (last edited Jul 16, 2012 09:28AM) (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab VII - Sativa

Penggilingan Street – East Jakarta

Celcum melihat dengan puas tembakan yang mengenai kaca belakang bis yang ia ciptakan tadi. Pecahan beling langsung berhamburan di jalan aspal di depan mereka. Namun tidak dengan Radar. Lelaki itu memperhatikan hasil pekerjaan kekasihnya dengan tatapan tidak senang.

“Tembak bannya Celcum. Jangan sampai tembakan tulang kamu nyasar dan membunuh anak itu!”

Gadis itu sadar betul kalau Radar sedang gusar. Dengan tenang ia membidikkan jari telunjuknya ke bawah dan menembak ban kiri belakang bis dengan nomor 47 di depannya. Kendaraan besar itu mengepot di jalanan. Sedikit oleng namun masih mampu mempertahankan keseimbangannya untuk meluncur di jalan.

Bis itu berhenti secara tiba-tiba. Dan para penumpang di dalamnya langsung berhamburan keluar dengan ekspresi ngeri di wajah mereka. Di antara kerumunan orang-orang panik itu, Celcum dan Radar dapat melihat jelas Sukma berlari dituntun oleh seorang pemuda yang tidak mereka kenali.

“Siapa tuh cowok?” tanya Celcum sambil memegang handle pintu mobil. Menunggu Radar melambatkan kendaraan agar Celcum dapat keluar dan mengejar incaran mereka.

“Tidak tahu,” jawab Radar sambil menepikan mobil hitam mereka. “yang jelas, dia juga sama seperti kita!”

Celcum menaikkan satu alisnya setelah mendengar perkataan Radar. Namun ia tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Ia membuka pintu secara serampangan dan keluar. “Dimana mereka?”

Radar menyusul di belakang gadis itu. Ia memusatkan perhatiannya, sedikit demi sedikit. Ia merasakan pergerakan di dalam hatinya. Kedua orang itu tampak berlari menjauhi mereka.

“Di sana!” tunjuk Radar ke satu arah.

Celcum berlari ke arah yang ditunjuk Radar. Lelaki itu pun mengikuti Celcum dari belakang sambil mewanti-wanti gadis itu. “Hati-hati,” ujarnya di tengah desauan angin yang menerjang mereka, “kita tidak bisa meremehkan pemuda itu.”

“Dan mereka berdua juga gak bisa ngeremehin gue!” ujar Celcum sedikit kencang. Mereka berlari melewati bis yang ditumpangi Sukma tadi. Kerumunan orang dengan rasa penasaran yang tinggi nampak mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa di antara mereka sudah sibuk mengabadikan mayat yang ada di dalamnya ke dalam video di HP mereka.

“Kita harus menangkap anak itu lagi apapun yang terjadi,” Celcum berkata lagi kepada Radar, “gara-gara gue anak itu lolos. Sialan!”

Radar tidak menjawab. Sekilas, ia melihat gitar yang sedari tadi dipanggul pemuda itu memasuki sudut pasar. Kalau sudah begini ia tidak memerlukan kekuatannya sekarang. Celcum menolehkan wajahnya menghadap lelaki itu. Sudah dapat ditebak ia pun melihat apa yang Radar lihat. “Apa kekuatan cowok itu!”

Radar tersenyum misterius mendengar pertanyaan Celcum, “kekuatannya sangat, unik!”

***

Ryza menarik tangan Sukma untuk berlari masuk ke dalam pasar yang sudah sepi di siang hari ini. Cipratan air berbau amis dari lantai becek membasahi kaki mereka dengan brutal. Adrenalin di dalam diri Ryza tampak bergejolak dengan liar. Apa yang sebenarnya ia lakukan, menolong seseorang bocah yang bahkan tidak ia kenali dan membawa dirinya dalam bahaya seperti ini. Sungguh, ia tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat sekarang.

Mereka terus berlari melewati jalanan di dalam pasar yang sesak dipenuhi kios. Beberapa orang yang mereka tabrak menatap mereka dengan tatapan sebal. Tapi Ryza tidak peduli. Ia tahu betul kalau mereka sedang dikejar-kejar sekarang. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. Seorang wanita mengenakan tank top warna putih dan rambut panjang yang diikat ekor kuda mengejar mereka dengan ekspresi beringas. Di sampingnya seorang lelaki botak berkulit cokelat pun turut menambah semarak pengejaran ini. wajah lelaki itu tampak tenang, namun entah mengapa, Ryza tampak bergidik melihat ekspresinya.

Seorang bapak yang memikul segepok sayur di boncengan sepedanya tiba-tiba melintas di lorong sempit di depan Ryza dan Sukma. Beruntung mereka berdua dapat melintasi sepeda itu tepat pada waktunya. Keberuntungan pun terjadi lagi, sepertinya pengejar mereka mengalami kesulitan, benar saja. Wanita yang mengejar mereka terdengar memaki-maki dari belakang. Berbagai jenis nama binatang keluar dengan kasar dari mulutnya.

Ryza menoleh lagi ke belakang. Sepeda tadi telah tumbang dengan sukses. Gadis menyeramkan itu terduduk di atas tumpukan sayur yang dibawa bapak tadi dengan posisi ganjil. Ryza membalikkan pandangan ke depan dengan senyum penuh kemenangan. Namun senyum itu tidak berumur panjang. Suara pecahan kayu terdengar jelas dari atas telinganya.

Pemuda itu melihat asal suara tadi. Leher gitarnya telah hancur berantakan, menyisakan headstock yang terayun-ayun pasrah diseret oleh keenam senar. Dan dengan begitu saja, tamat sudahlah riwayat dari satu-satunya harta yang dimiliki Ryza.

Waktu meratapi gitar itu tidak berlangsung dengan lama. Ryza mendengar bunyi berdesing lagi dan tiba-tiba saja, sebuah benda kecil melesat melewati bahunya. Rasa hangat dan nyeri bercinta dengan mesra di bahu pemuda itu. Ketika bunyi berdesing mulai intens terdengar di kupingnya. Ryza semakin sadar dengan bahaya yang mengancam mereka.

***

“Berhenti Celcum! Tembakan kamu bisa nyasar dan membunuh orang yang tidak berdosa!” bentak Radar sambil menarik tangan Celcum yang ujung-ujung jarinya masih menembakkan proyektil tulang dengan cepat.

Gadis itu terdiam. Lalu menendang mayat lelaki bodoh yang membuatnya terjatuh tadi dengan sepedanya. “Mereka semakin jauh Radar! Memang bangsat itu cowok!”

“Tenang Celcum, mereka bisa lari tapi mereka tidak akan bisa bersembunyi!” ujar Radar sambil memusatkan perhatiannya lagi. Dua cahaya kecil tadi masih berlari menjauhi mereka. Namun kecepatannya sudah menurun secara drastis. “Kita butuh taktik baru untuk menangkap mereka berdua sekaligus!”

“Dimana mereka berdua sekarang?” tanya Celcum sambil membersihkan tank topnya dari serpihan daun bayam.

“Mereka ada di ujung pasar itu dan,” Radar tampak berkonsentrasi sekarang, “mereka berhenti. Mungkin karena kelelahan!”

Celcum melihat ke arah yang ditunjuk oleh Radar. Bagian pasar itu tampak kosong. Dapat ditebak itu pasti bagian yang menjual daging. Terlihat dari cairan merah yang menutupi setiap meja tinggi yang berjejer di sana.

“Kita berpencar Celcum. Kamu datangi mereka dari arah sini,” komando Radar sambil menunjuk rute pelarian Ryza dan Sukma, “dan aku akan menyerang dari samping. Kamu urus pemuda itu sementara aku akan mengambil kembali Sukma!”

Celcum mengangguk dan mulai berlari ke arah yang ditunjuk Radar. Sedangkan lelaki itu berputar ke arah lorong lain sambil merogoh saputangan yang sudah dilumuri chroloform tangannya. Kali ini, mereka harus berhasil!

***

Sukma terengah-engah di samping Ryza. Lelaki itu tampak meringis sambil memegang bahunya. Cairan merah terus mengalir dari sana. Sukma mengangkat tangannya dan memegang mata air darah di bahu Ryza. Sesaat, ia memusatkan perhatiannya ke luka yang menganga itu.

Ryza tersentak. Ia merasakan dingin mengalir dari tangan Sukma dan membasuh lukanya. Ia melihat dengan takjub saat sobekan di kulit bahunya mulai menutup dan kembali seperti sedia kala.

“Siapa nama kamu?” bisik Ryza perlahan.

“Nama nyak Sukma!”

“Siapa orang yang ngejar kamu?”

Bocah itu menggeleng. Rona ketakutan masih memancar jelas di mukanya.

“Ini,” ujar Ryza sambil menunjuk bahunya, “kamu yang sembuhin!”

Sukma mengangguk pelan. Ryza sadar betul sekarang bukanlah saat yang tepat untuk saling berkenalan. Di balik tumpukan keranjang bambu tempat persembunyiannya, pemuda itu berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari situasi ini.

Ia memandang sekeliling. Sudut tempat mereka bersembunyi tepat berada di antara sudut penjualan ayam dan sebuah warung yang menyimpan tumpukkan singkong di dalamnya. Ryza menyandarkan diri di tembok yang ada di belakang mereka berdua. Sungguh, bau yang menguar dari genangan darah ayam sangat menganggu jalan pikirannya sekarang.

Sukma menarik-narik lengan bajunya. Ryza menoleh saat bocah itu menunjuk lubang kecil yang menganga di tembok. Tertutupi oleh sebilah papan yang sudah di buka oleh tangan kecil Sukma. Walaupun kecil, lubang itu cukup untuk dimasuki oleh mereka berdua. Dengan segera Ryza mengomandoi sukma untuk masuk.

Bocah itu merangkak dan masuk tergesa-gesa ke dalam lubang itu. Ketika ia berhasil sampai di sisi lain pasar dan mulai memegang tangan Ryza untuk masuk. Sebentuk rangkaian yang terbentuk dari tulang-belulang kecil yang menyambung membentuk rantai mulai membelit leher Ryza dan menariknya ke belakang.

Sukma berteriak dipenuhi rasa kaget. Pemuda itu menggeram menahan sakit ketika rantai tulang itu menyentaknya ke belakang. Dengan ngeri ia melihat wanita itu mengendalikan pergerakan susunan tulang yang keluar langsung dari jari telunjuknya. Celcum tersenyum dengan tatapan nyalang. Dari sudut lain, lelaki yang ikut mengejar mereka tadi berjalan pelan. Lalu melihat ke arah lubang dengan Sukma yang nampak ingin menangis di dalamnya.

“Keluarlah Sukma. Kamu tidak ingin kan penolongmu ini meninggal karena kamu, kan?”

Belitan di leher Ryza semakin mengencang. Membuatnya menjerit secara tertahan. Sukma dipenuhi ragu, ia ingin melangkah keluar namun takut. Tapi di sisi lain. Sukma tidak ingin melihat Ryza terbunuh karena dirinya.

“Cepat kejar dia Radar! Dia gak akan nurutin semua kata-kata elo!” ujar Celcum sambil mengeratkan tulangnya yang memanjang dan membelit leher Ryza. Pemuda itu merasa sesak yang amat sangat. Ia melihat ke sekeliling. Mencoba mencari sesuatu untuk melawan.

Ryza mengalihkan tatapannya pada tumpukkan singkong di samping kirinya. Di tengah kesakitan dan kesesakannya ia berkonsentrasi penuh. Ia mengangkat tangannya, seumur hidupnya. Ia belum pernah mengangkat benda seberat ini. Namun hidupnya berada di ambang batas sekarang. Mau tak mau ia hsrus mencoba.

Usaha yang dilakukan Ryza menyentak nurani Radar. Celcum tidak menyadari kalau sebatang singkong tampak melayang di udara, tatapan gadis itu sudah terpaku mati menatap Sukma sekarang. Ryza berteriak sambil mengarahkan tangannya seperti menarik sesuatu. Batang singkong itu terbang ke arah Celcum. Dengan ujungnya yang lancip melesat terlebih dahulu.

“Celcum, AWAS!” Radar berteriak. Namun terlambat bagi Celcum, ia tak sempat mengelak. Namun tindakan Radar tidaklah setelat reaksi Celcum. Ia mendorong gadis itu ke samping. Menyebabkan ia terjatuh ke samping dan saat itu jugalah, belitan tulang di leher Ryza mengendur. Pemuda itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengelit lalu berlari ke lubang tempat Sukma.

“Radar, bangun Radar!” suara Gadis di belakangnya berteriak. Suaranya terdengar pedih. Mau tak mau Ryza menoleh ke belakang. Ia terkejut, batang singkong tadi telah menancap ke dada Radar. Rembesan darah tampak membasahi baju dan menyipratkan bercak-bercak darah di kulit singkong yang masih berlumur tanah tipis.

Ketika Ryza hampir meloloskan tubuhnya di lubang yang menganga di dinding. Belitan tulang Celcum membelit pergelangan kakinya dan menariknya dengan kasar. Begitu cepat sampai-sampai pegangan tangan Sukma dan Ryza terlepas dengan keji. Sekali lagi, Ryza harus berhadapan dengan Celcum. Lantai yang basah dan berbau amis tampak membasahi punggungnya sekarang.

“Bajingan!” makin Celcum, “elo harus membayar ini semua, ANJING!”

Sebuah rantai tulang keluar dari telunjuk tangan kiri Celcum dan langsung melesat ke arah Ryza. Dengan gerakan cepat pemuda itu menggeser kepalanya. Ujung tulang itu berdesing sangat dekat di telinga. Amat sangat dekat sampai-sampai ia merasakan kibasan angin menggetarkan daun telinganya. Ia menoleh dengan penuh ketakutan saat ia menatap ujung tulang itu yang menancap di lantai dan membuat retakan di atasnya.

Ryza mengangkat tangan kanannya ke arah tumpukan singkong tadi dan berkonsentrasi penuh. Tumpukan singkong dengan berat belasan kilogram itu kembali melayang secara serempak. Ryza kembali berteriak seakan mengeluarkan semua tenaganya untuk membuat singkong-singkong itu melesat dengan cepat ke arah Celcum.

TBC


message 26: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Kali ini Celcum sadar dengan apa yang terjadi. Ia melepaskan belitan rantai tulangnya di kaki Ryza dengan cepat. Celcum menghadapkan tubuhnya ke arah singkong-singkong yang beterbangan itu dan memutarkan kedua rantai tulangnya dengan cepat. Membuat setiap batang singkong yang berusaha melumpuhkan dirinya terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang tak berbahaya.

Ryza mengangkat tangan kirinya. Jauh di ujung kios, setumpuk jagung terbaring dengan anggun. Ryza memusatkan perhatiannya. Saat Celcum masih sibuk menghalau puluhan batang singkong yang menyerang dirinya. Ia menarik sebatang jagung tadi melintasi pasar ini. Terus menambah kecepatannya dan berhenti telak di kepala Celcum.

Pukulan jagung di kepala Celcum mengusir kesadaran gadis itu secara seketika. Sisa dari singkong yang beterbangan ke arah gadis itu langsung menghantamnya. Namun tidak ada yang berhasil menyakiti gadis itu lebih lanjut. Tingkat kekerasan dari seluruh tulang di tubuh Celcum memang melebihi manusia biasa. Ryza hanya memandang penuh kemenangan saat gadis itu tertimbun dalam tumpukan singkong.

Ryza bangkit, lalu menarik tangan Sukma untuk keluar dari lubang tempat persembunyiannya. Sambil bergandengan tangan, mereka berdua pergi meninggalkan segala kekacauan yang telah tercipta di belakang mereka. Dan Ryza pun sadar, kalau semua luka dan rasa sakit di tubuhnya terasa semakin menghilang. Berkat bocah aneh yang baru saja ia tolong.


message 27: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab VIII - Inkarnasi

Supadio Airport – Kubu Raya, West Borneo.

Nante berdiri di tengah keramaian mentari senja. Hari mulai tertidur lelah. Ia tahu betul cahaya sebentar lagi akan menghilang dan berputar di sisi lain dunia. Namun tetap saja ia menyembunyikan dirinya. Di bawah topi milik Romo Mardi yang ia pinjam, jaket berlengan panjang, sarung tangan wol, dan celana panjang. Yang kesemuanya terbuat dari bahan tipis dan bercorak kehijauan, warna yang dibenci gadis itu.

Walaupun begitu ia harus berkamuflase dengan baik. Corak kehijauan di pakaiannya sedikit banyak menghalau pandangan mata orang-orang dari kulitnya. Nante mengangkat tangan lalu membetulkan letak kacamata hitam yang merosot tanpa ragu-ragu di di hidungnya. Sungguh, ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan sekarang.

Romo Mardi dan seorang lelaki paruh baya yang mengenalkan dirinya dengan nama Prof. Tanaka sedang mengobrol di depan counter penjualan tiket. Nante memperhatikan kesekelilingnya. Jauh di dalam hatinya ia merasa iri yang amat sangat. Tidak ada seorangpun yang berjalan sendiri di sini. Kalaupun ada, mereka tidak terlihat kesepian seperti dirinya.

Nante menempelkan ujung jari telunjuknya ke conveyor belt yang berjalan di sampingnya sambil mengentak-entak malas. Dapat terasa di ujung jari gadis itu bagian tubuhnya yang terasa lunak bergetar hebat karena diterjang permukaan kasar dari conveyor belt. Tetapi ia tidak peduli, setidaknya dengan setitik rasa aneh di ujung jarinya sekarang, ia tahu kalau ia masih hidup dan dapat merasakan sesuatu.

Romo Mardi tampak tersenyum sangat menghampirinya. Walaupun Nante tampak ingin menangis sekarang. Dari awal yang tidak bisa ia ingat sampai sekarang, Romo Mardilah yang selalu ada di sisinya. Di saat kedua orang tuanya tega meninggalkannya sendiri di pedalaman hutan yang lelah, Romo Mardilah, yang waktu itu tengah melaksanakan misi misionarisnya di desa terpencil yang ada di Putussibau, orang pertama yang mengulurkan tangannya kepada Nante. Tanpa sedikitpun jijik mengambang di mukanya.

“Nante, baik-baik kau di sana! Romo dah ngomong sama Prof. Tanaka buat semua keperluan kamu tadi. Pokoknya kalau ada apa-apa. Langsung jak kau hubungi Romo!”

Demi kesopanan, Nante tersenyum. Dan senyumnya semakin terkembang saat sekujur tubuhnya menangkap kebaikan yang tampak bersinar terang dari wajah Romo Mardi. Gadis itu takut, belum pernah sekalipun ia pergi sejauh ini. Melintasi pulau dan lautan hanya untuk mendapatkan kesembuhan bagi tubuhnya.

Tapi ia sudah bosan, selama enam belas tahun hidupnya. Keanehan yang terjadi di tubuh sialnya telah menjadikan tembok penghalang bagi Nante demi mendapat pengakuan dari masyarakat. Permintaannya tidaklah terlalu muluk. Ia ingin mendapatkan kawan seusianya, ia ingin merasakan cinta masa remaja, dan yang paling terpenting di atas semuanya adalah, ia sudah terlampau bosan untuk hidup di dalam kesendirian.

Prof Tanaka, yang dari tadi tersenyum di samping mereka dengan mata sipitnya. Berbicara dalam bahasa Indonesia beraksen Jepang yang terdengar aneh di kuping Nante. Ia mengingatkan gadis itu untuk bergegas karena pesawat yang mereka tumpangi akan segera lepas landas.

Nante memajukan kakinya satu langkah, kemudian terdiam mengurungkan niatnya. Namun siapa yang akan menyangka. Romo Mardi memeluk Nante erat. Seumur hidup Nante, baru kali ini ia merasakan hangatnya pelukan seseorang. Dan tak dapat ia tahan lagi, air matanya merebak. Mengharu pilu menyongsong kepergiannya dari tanah tempat ia lahir.

“Tenang saja Nante,” suara Romo Mardi mengalun tenang menenangkannya, “jalan apapun yang kau pilih, jangan pernah sedikitpun merasa takut ataupun khawatir. Tuhan akan selalu menjagamu ditiap langkah yang kau ambil!”

***

Prof. Tanaka memandang remaja yang duduk di sampingnya. Gadis itu tengah tertidur pulas tertutupi berbagai jenis kain yang menutupi kulitnya. Harusnya gadis ini bisa menjadi bahan yang menarik. Tapi tidak lagi, rekan sejawatnya telah menemukan harta yang luar biasa berharga. Dan sekarang penjemputan ini terasa sia-sia baginya.

Ia mengangkat tangannya lalu menyentuh celah yang tercipta dari sambungan sarung tangan dan ujung jaket di pergelangan tangan Nante. Prof. Tanaka merasakan sensasi seakan-akan gadis itu tidak memiliki tulang. Daging gadis itu seperti terbuat dari spons yang mempunyai jutaan lubang kecil.

Jari telunjuk lelaki itu menelusuri garis kuning kehijauan yang membercak di kulit Nante. Ia teus melakukan itu sampai ia menangkap tatapan seorang pramugari yang sedari tadi melihatnya. Mereka berdua saling menukar senyum salah tingkah lalu membuang muka dengan canggung. Prof. Tanaka sadar pramugari itu pasti mengira ia lelaki hentai yang tengah menggerayangi remaja yang tertidur di samping.

Prof. Tanaka merasakan guncangan di sekitarnya. Pesawat yang mereka tumpangi pasti mengalami turbulensi. Jauh di dalam rongga telinga Prof. Tanaka. Tekanan udara bereaksi dengan cepat dan membuat kupingnya menjadi penuh dan terasa sakit. Prof. Tanaka memencet hidungnya lalu membuang napas perlahan. Membuat telinga kembali lega dari desakan tekanan udara di dalamnya.

Sabar, pikir lelaki itu. Satu jam lagi pesawat ini akan mendarat dan penderitaannya akan segera berakhir.


message 28: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab IX - Boom

Carolus Hospital – Salemba Raya Street.

Xiao Long menatap nanar reruntuhan Chrono Club & Café melalui layar televisi yang berada di kamarnya. Volume suara dari reporter TVN memang terdengar sangat pelan. Namun tidak diperlukan setitik kata pun untuk menunjukkan dahsyatnya kerusakan yang terjadi.

Clubnya, jalan besar yang ada di depannya serta beberapa bangunan di sekitar sudah tertutup dengan warna hitam yang mengarang sempurna. Satu-satunya warna lain yang berani menginjakkan kaki di sana hanyalah pita kuning cerah dari garis polisi yang terpasang. Beberapa petugas berseragam masih sibuk menjajah reruntuhan club milik Xiao Long. Di luar garis polisi yang terpasang, para masyarakat dengan rasa keingintahuan yang tak terbendung menonton perkerjaan polisi yang sedari tadi tidak menghasilkan apa-apa.

Rasa nyeri tampak berdenyut secara kurang ajar di hati Xiao Long. Bukan sakit secara fisik yang ia rasakan. Tapi sakit yang tak akan dapat diobati dengan obat apapun. Pandangannya menatap nanar ke reruntuhan club yang ia bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun. Ironis, tidak sampai satu jam ia kehilangan itu semua.

Namun ada hal lain yang masih mengendap di dalam hatinya. Sampai sekarang ia masih tidak mengerti mengapa ia bisa selamat. Ditinjau secara logika, dalam ledakan yang membabi buta seperti itu. Bagaimana mungkin hanya ia seorang yang bisa bertahan hidup. Apalagi ruangan tempatnya berada berada di ujung terdalam bangunan itu.

Terdengar ketukan dari pintu kamar Xiao Long. Namun ia sudah membiasakan diri untuk tidak menjawab. Toh sebelum ia sempat merespon, siapapun yang mengusik ketenangannya pasti terlanjur masuk dan memberondongnya dengan pertanyaan. Tak perduli dengan keadaannya.

Seorang suster dengan tinggi semampai menyibak tirainya. Mata Xiao Long menatap suster itu dan dua orang lelaki berseragam putih di belakangnya.

“Polisi lagi?” tanya Xiao Long gusar, “apalagi yang kalian mau? Sudah berapa hari ini kalian menanyakan saya dengan pertanyaan yang itu-itu saja!”

Salah seorang lelaki itu menyambar omongan suster itu yang sudah membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Xiao Long, “Kami dari pihak asuransi Pak. Kami datang ketempat ini untuk menanyakan perihal ledakan yang terjadi di Chrono Club and Café yang bapak miliki.”

Sementara suster itu dengan sigap mengecek kondisi vital Xiao Long, lelaki berseragam yang satunya mulai menanyakan pertanyaan lain, “Apa ada yang bapak ingin laporkan terkait ledakan yang terjadi? Tanda-tanda aneh sebelum atau sesudah ledakan? Atau ada orang yang iri terhadap bapak?”

“Kalian tanyakan saja hal itu pada polisi,” jawab Xiao Long sambil menghela napas berat, “gak bisa apa kalian merekam percakapan yang sebelum-sebelumnya? Kenapa saya harus ditanyai dengan pertanyaan yang sama beberapa kali sehari!”

“Maaf pak, kami hanya menjalankan protokol dari pusat! Dan lagi ada keanehan dalam kasus bapak.”

Xiao Long mendelik ke arah lelaki tadi, “Keanehan apa yang kalian maksud?”

“Bahwa dalam ledakan yang terjadi dua hari lalu, mengapa hanya bapak seorang yang bisa selamat. Karena itu kami mempunyai teori kalau, kalau bapak....”

“KALIAN MENCURIGAI SAYA MENGHANCURKAN CLUB SAYA SENDIRI!”

Bentakan dari Xiao Long membuat ketiga orang lainnya terkesiap kaget. Untuk sesaat, hanya desahan berat dari napas lelaki itu yang memburu naik turun dan suara dengungan AC yang mendebur halus di dalam ruangan ini.

“Maaf pak, tapi kami hanya menjalankan protokol pak!” jawab petugas asuransi itu pada akhirnya.

“Persetan dengan protokol kalian. Silahkan kalian selidiki sendiri dan buktikan saja, kalau saya tidak terlibat dengan ledakan itu!”

“Kalau begitu pak, kami permisi dulu,” jawab petugas itu pada akhirnya, “Bapak masih harus menunggu dengan sabar sebelum dapat mengklaim asuransi Bapak!”

Dengan ucapan selamat siang yang masih dipaksakan dengan sopan, kedua petugas asuransi itu undur diri dan meninggalkan Xiao Long berdua dengan suster itu.

“Maaf pak,” kata suster berambut pendek itu dengan hati-hati, “saya lihat bapak tidak menghabiskan makanan bapak. Sudah dua hari bapak tidak memakan makanan yang kami sediakan!”

“Saya tidak lapar sus, saya akan makan kalau saya lapar!”

Suster itu tidak berkata-kata lagi. Tak berapa lama ia keluar membawa makan siang Xiao Long yang tak tersentuh. Meninggalkan lelaki itu sendirian.

Selepas kepergian mereka, Xiao Long mendesah penuh beban. Sebenarnya ia sangat ingin kembali ke rumahnya dan bersantai di sana. Ia merasa tubuhnya sudah segar. Namun para polisi masih melarangnya melakukan hal itu. Atas alasan yang tak terlalu jelas, mereka berhasil menahan Xiao Long di tempat ini.

Apakah mungkin polisi juga berpikiran yang sama? Mungkinkah mereka mencurigai Xiao Long meledakkan clubnya sendiri? Masih dengan pikiran yang dipenuhi kalut, Xiao Long merasa kantuk mulai menyerangnya. Lelaki itu meraih remote TV lalu memencet satu-satunya tombol merah di sana. Menyebabkan layar yang masih memberitakan perihal penculikan gadis kecil yang terkenal sebagai penyembuh cilik itu menjadi menggelap dan tak bersuara.

Xiao Long menutup matanya dan mulai bermimpi. Mimpi aneh tentang sosok berjubah putih dan cahaya merah yang menyelubungi tubuhnya.


message 29: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Bab X - Kong

Kuta Beach - Bali

Senja di pantai kuta selalu saja ramai tiap saat. Setiap hari pada saat-saat seperti ini, sihir selalu terjadi. Hati yang resah akan menjadi tenang, cinta yang layu akan mulai berkembang, dan hati para atheis akan mulai percaya akan kekuatan yang lebih besar dari logika mereka. Semua hal itu terjadi jika keindahan mentari terbenam di ufuk timur sudah merasuk ke relung terdalam di jiwa mereka.

Begitu juga dengan Tude. Pemandangan yang ia lihat sekarang sangat menenangkan hatinya yang tengah dilanda resah belakangan ini. Momen saat lelaki itu meledak di dalam penglihatannya benar-benar mencekam. Ia masih dapat mengecap dengan mudah detik-detik kematian wanita itu, yang juga ia lihat dengan seksama.

Penglihatannya tampak bergerak-gerak dengan liar sekarang. Ia menarik tali di tangannya. Kongo, monyet kecil yang lehernya tersambung dengan gelang yang terikat dengan ujung tali itu mendatangi Tude. Remaja itu melihat mukanya sendiri, lalu penglihatannya naik ke arah lengan. Terus naik sampai ia melihat rambutnya sendiri dan yang terakhir. Matahari terbenam di ufuk timur.

Tude mengangkat tangannya yang lain dan memegang Kongo agar ia tenang dan pandangannya tidak kemana-mana lagi. Sejak beberapa tahun belakangan ini, monyet kecil itulah yang menggantikan matanya secara harfiah. Tude buta sejak ia lahir, dan saat ia menginjak usia balita. Ia baru mengetahui kalau ia bisa melihat dari mata makhluk hidup yang lain.

Awalnya ia selalu meminjam penglihatan anak lain di Rumah Pelangi, satu-satunya tempat di dunia ini yang ia anggap rumah. Namun sayang, ia selalu mengalami distorsi saat orang yang ia pinjam pandangannya tidak berada di dekatnya dan apa yang ia lihat dan dengar tidak sesuai. Akhirnya, ia mendapatkan Kongo saat ulang tahunnya yang kelima belas dan selama dua tahun belakangan ini, penglihatan monyet itulah yang selalu ia pakai.

Matahari sebentar lagi akan menghilang. Sebenarnya Tude ingin segera pergi dan membereskan perlengkapan yang ia bawa untuk pertunjukan topeng monyet yang ia jalankan setiap hari. Namun remaja itu merasa enggan. Ia masih terus duduk di bawah sebatang nyiur. Membiarkan angin manja membelai rambutnya.

Tiba-tiba saja, secara sekilas Tude melihat tulisan di atas pasir. Ia mengangkat tangannya lalu mengarahkan kepala Kongo ke arah pasir di bawahnya. Ia membacanya, sekali, dua kali sampai ia benar-benar yakin dengan apa yang ia baca. Tude mengarahkan kepala Kongo ke arah kiri dan kanan walaupun sebenarnya monyet kecil itu enggan. Tidak ada seorang yang berada di sekitar mereka. Dan Tude amat sangat yakin kalau tulisan itu tidak ada sedari tadi dan baru saja muncul.

Di dalam kebingungannya, Tude mengarahkan kepala Kongo ke arah tulisan yang terukir di atas pasir tepat dihadapannya.

Tude.
Ayahmu masih hidup.
Di Jakarta.


message 30: by Marchel (new)

Marchel | 53 comments Wi,

Boleh rekues nda ?
Gw bersedia jadi alfa reader atau beta reader. Kayaknya sih menarik, cuma daku nda sempet baca kalau liat dari kompi.

Baca dari kompi sikonnya sama aja kerja. Malah bikin mumet kepala.

Bersediakah dirimu kirim by email?
kalau bersedia, sudah kukirim alamat emailku by pm.


message 31: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Hahahahha, boleh banget.
Tapi baru jadi sepuluh bab nih, gak apa-apa gituh?
>,<


message 32: by Marchel (new)

Marchel | 53 comments yap


message 33: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments Okeh
Nanti ane kirimin.


message 34: by Manikmaya (new)

Manikmaya | 1098 comments Errr... Gereja Kasih Karunia tapi gereja Katolik? :v

Setahu saya gereja Katolik itu kalau nggak pakai nama Santo ya Santa (Santo Yohanes Vianney, Stella Maris, Maria Ratu Pencinta Damai, dsb.). Di Pontianak memang ada gereja Gembala Baik dan gereja Jeruju tapi ... Kasih Karunia itu kayak nama gereja Kristen Protestan deh.

Nah soal penamaan ... uh ... Celcum ... agak aneh namanya >_<


message 35: by Manikmaya (new)

Manikmaya | 1098 comments Btw salut sama tokoh-tokohnya yang multi etnis dan multi religi.


message 36: by Awi (new)

Awi Chin (adorkableracer) | 158 comments @Manikmaya
Hahaha, soal gereja memang ada kesalahan. BTW, kok tahu banget soal Pontianak? Orng sana kah?


back to top