Goodreads helps you follow your favorite authors. Be the first to learn about new releases!
Start by following Joko Pinurbo.
Showing 1-30 of 57
“Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
“Cinta seperti penyair berdarah dingin
Yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.”
― Kekasihku
Yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.”
― Kekasihku
“Mengapa bulan di jendela makin lama
makin redup sinarnya?
Karena kehabisan minyak dan energi.
Mimpi semakin mahal,
hari esok semakin tak terbeli.
Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk
belajar matematika. Ia menangis tanpa suara:
butiran bensin meleleh dari kelopak matanya.
Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah.
Ibunya terbaring sakit di rumah.
Malu pada guru dan teman-temannya,
coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan.
Dadah Ayah, dadah Ibu..
Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya.
Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya.
Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kemiskinan kami.”
― Kepada Cium
makin redup sinarnya?
Karena kehabisan minyak dan energi.
Mimpi semakin mahal,
hari esok semakin tak terbeli.
Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk
belajar matematika. Ia menangis tanpa suara:
butiran bensin meleleh dari kelopak matanya.
Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah.
Ibunya terbaring sakit di rumah.
Malu pada guru dan teman-temannya,
coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan.
Dadah Ayah, dadah Ibu..
Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya.
Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya.
Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kemiskinan kami.”
― Kepada Cium
“kau mata, aku airmatamu...”
―
―
“Kupetik pipinya yang ranum,
kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.”
― Kekasihku
kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.”
― Kekasihku
“Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.”
― Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan
― Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan
“Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.”
― Kepada Cium
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.”
― Kepada Cium
“Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian. (Tengah Malam, 1989)”
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian. (Tengah Malam, 1989)”
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
“Sesungguhnya aku ini seorang penganggur.
Aku lebih banyak bingung dan menyibukkan diri dengan perkara-perkara remeh
hanya untuk menjaga penampilanku di hadapanMu.
(Penganggur,1989)”
―
Aku lebih banyak bingung dan menyibukkan diri dengan perkara-perkara remeh
hanya untuk menjaga penampilanku di hadapanMu.
(Penganggur,1989)”
―
“Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata, suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti tapi sebenarnya tidak saya miliki”
― Celana
― Celana
“Anda boleh menulis puisi
untuk atau kepada siapa saja
asal jangan sampai lupa
menulis untuk atau kepada saya.
Siapakan saya? Saya adalah Kata.”
― Kepada Cium
untuk atau kepada siapa saja
asal jangan sampai lupa
menulis untuk atau kepada saya.
Siapakan saya? Saya adalah Kata.”
― Kepada Cium
“Engkau tidak takut sekian lama tinggal sendirian? Engkau tidak pernah kesepian?
Oh, tidak. Mungkin malah sepi yang takut dengan kesendirianku.”
― Telepon Genggam
Oh, tidak. Mungkin malah sepi yang takut dengan kesendirianku.”
― Telepon Genggam
“Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian. (Tengah Mala, 1989)”
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian. (Tengah Mala, 1989)”
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
“Sudah lama telepon genggam saya mengenggam tangan saya. Genggamannya lebih kuat dari genggaman tangan saya padanya”
― Haduh, aku di-follow
― Haduh, aku di-follow
“Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomorMu.
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomornya
yang tak pernah kausapa.”
― Perjamuan Khong Guan
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomorMu.
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomornya
yang tak pernah kausapa.”
― Perjamuan Khong Guan
“Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa
ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata
sering kompak juga.
Lupa”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata
sering kompak juga.
Lupa”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
“Anak cucunya sibuk ngeluyur
di jagat maya, tak mau mengerti perasaan
orang tua yang tak lama lagi akan
mengucapkan selamat tinggal, dunia.
Simbah mencelupkan jarinya
ke dalam teh hangat
dan berkata, "Kesepian sosial
bagi simbah-simbah yang merana."
(2019)”
― Perjamuan Khong Guan
di jagat maya, tak mau mengerti perasaan
orang tua yang tak lama lagi akan
mengucapkan selamat tinggal, dunia.
Simbah mencelupkan jarinya
ke dalam teh hangat
dan berkata, "Kesepian sosial
bagi simbah-simbah yang merana."
(2019)”
― Perjamuan Khong Guan
“Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.”
― Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.”
― Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi
“Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh
senja-senjaku, yang jendelanya
hijau menganga seperti jendela mataku.
Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat
encok-encokku, yang kakinya
lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.
Kepada Uang”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
yang cukup nyaman buat berteduh
senja-senjaku, yang jendelanya
hijau menganga seperti jendela mataku.
Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat
encok-encokku, yang kakinya
lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.
Kepada Uang”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
“Eh agamamu apa?" Kepala saya tuing tuing.
Saya berpikir apakah kopi tokcer dan kue enak
yang membahagiakan itu mengandung agama.
Sambil buru-buru undur diri, saya menimpal,
"Tuhan saja tidak pernah bertanya apa agamaku.”
― Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi
Saya berpikir apakah kopi tokcer dan kue enak
yang membahagiakan itu mengandung agama.
Sambil buru-buru undur diri, saya menimpal,
"Tuhan saja tidak pernah bertanya apa agamaku.”
― Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi
“Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri”
― Srimenanti
― Srimenanti
“Hidup ini memang asu, anakku.
Kau harus sekeras dan sedingin batu.
Mengenang Asu”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
Kau harus sekeras dan sedingin batu.
Mengenang Asu”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
“Pekerjaan yang paling mudah dilakukan adalah lupa.
Tidak butuh kecerdasan. Tidak perlu pendidikan.
Hanya perlu sedikit berpikir. Itulah sebabnya, banyak
orang tidak suka kalender, jam , dan tulisan.
Menghambat lupa. Padahal lupa itu enak.
Membebaskan. Sementara.
Lupa”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
Tidak butuh kecerdasan. Tidak perlu pendidikan.
Hanya perlu sedikit berpikir. Itulah sebabnya, banyak
orang tidak suka kalender, jam , dan tulisan.
Menghambat lupa. Padahal lupa itu enak.
Membebaskan. Sementara.
Lupa”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
“Lupa: mata waktu yang tidur sementara.
Lupa”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
Lupa”
― Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
“Aku ingin duduk
membaca buku
di atas kursi
yang sandarannya
dadamu
dan kakinya kakimu.”
― Perjamuan Khong Guan
membaca buku
di atas kursi
yang sandarannya
dadamu
dan kakinya kakimu.”
― Perjamuan Khong Guan




