Arie Saptaji's Blog
August 28, 2025
Haruskah Kita Patuh kepada Pemerintah? (Roma 13:1-7)
Roma 13:1-7 sempat viral karena digunakan seorang anggota dewan untuk membela diri dan mencoba membungkam rakyat yang kritis terhadap pemerintah.
Saya mengenal beberapa orang yang memaknai perikop tersebut secara konservatif: bahwa kita diperintahkan untuk tunduk patuh mutlak tanpa syarat kepada pemerintah karena semua pemerintah berasal dari Tuhan. Melihat situasi dan kondisi negara ini belakangan ini, bagaimana perasaan kalian, saudara-saudaraku? Masih bersikukuh dengan tafsiran tersebut?
Pemerintahan berasal dari Allah--saya sepakat. Dalam arti, ranah pemerintahan atau kepemimpinan bersumber dari Allah. Dalam kehidupan bersama, mulai dari keluarga hingga negara, diperlukan kepemimpinan. Itu sebuah pengaturan ilahi.
Namun, apakah setiap rezim atau orang yang memegang jabatan kepemimpinan/pemerintahan otomatis harus dipatuhi apa pun kebijakannya?
Tunggu dulu. Kita perlu memeriksa perikop di atas secara lebih cermat.
Di ayat 7, Paulus memberikan petunjuk yang bisa jadi kerap kita lewatkan: "rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat."
Paulus tidak menulis, "rasa takut dan hormat kepada semua pemerintah." Berarti, ada pemimpin/pemerintah yang berhak menerima rasa takut dan hormat dari orang-orang yang dipimpinnya. Di sisi lain, secara implisit, ada pula pemimpin/pemerintah yang TIDAK berhak menerima rasa takut dan hormat dari orang-orang yang dipimpinnya. Bagaimana kriterianya?
Dalam uraian Paulus, pemimpin/pemerintah yang patut menerima rasa takut dan hormat adalah pemimpin/pemerintah yang menjalankan ketetapan Allah: (1) memuji atau menghargai orang yang berbuat baik atau mengikuti ketetapan Allah; dan (2) menghukum orang yang berbuat jahat atau melawan ketetapan Allah.
Bagaimana dengan kebijakan rezim negara ini? Bukankah kerap terbolak-balik? Memberikan penghargaan kepada koruptor, tetapi menindas guru honorer, misalnya. Atau, polisi, yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah menggilas pengemudi ojol yang sedang mengantarkan pesanan.
Tuhan Yesus pun menyodorkan dua model kepemimpinan:
Pertama: "Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa bertindak sebagai tuan atas rakyatnya, dan para pembesarnya bertindak sewenang-wenang atas mereka." (Matius 20:25)
Kedua: "Tidaklah demikian di antara kamu (bandingkan dengan Roma 12:2 yang mendahului perikop tadi: "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini"). Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan siapa saja yang ingin menjadi yang pertama di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:26-28)
Tuhan Yesus menarik garis pembeda yang tegas antara pemerintah ala dunia dan pemerintah ala Kerajaan Allah. Yang satu berasal dari Allah, tetapi melawan kehendak Allah: menyalahgunakan kepemimpinan dan menindas warga. Yang lain berasal dari Allah dan mengikuti kehendak Allah: menggunakan kepemimpinan sebagai sarana untuk melayani warga. Tuhan Yesus mengecam bentuk pemerintahan yang menindas warga dan mendorong kita untuk menjalankan kepemimpinan yang memberdayakan warga.
Bagaimana dengan rezim saat ini? Mengikuti model kepemimpinan manakah mereka? Patutkah mereka menerima rasa takut dan hormat kita? Ataukah mereka pantas dikecam dan disikapi secara kritis serta didesak untuk berubah?
Terhadap sebuah rezim bobrok, kita patut mengaminkan nyanyian Maria: "Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah." ***
June 26, 2025
Menolak Romantisasi Kepahlawanan Tentara
Turang
Sutradara: Bachtiar Siagian
Penulis Skenario: Bachtiar Siagian
Pemeran: Omar Bach sebagai Rusli; Nizmah Zaglulsyah sebagai Tipi; Tuahta Perangin-angin sebagai Tuah
Tahun Produksi: 1957
Durasi: 1 jam 27 menit
Genre: Drama (Perang)
Rumah Produksi: Refic Film, Rentjong Film Corp, dan Jajasan Gedung Pemuda Medan
SEBUAH PEDATI dihela sapi menggelinding pelan agak terantuk-antuk di jalan sunyi berkelok. Kusirnya mengenakan pakaian tradisional Karo; penumpangnya laki-laki berkemeja, bersarung, dan menyembunyikan pistol di pinggang celana. Keduanya pasangan rakyat jelata dan tentara gerilya. Kusir mengaku selalu rindu dengan anak-istri di rumah; tentara menyatakan sudah lima tahun tak berjumpa keluarga.
Di tengah jalan, pedati mereka dihentikan patroli Belanda. Isi pedati digeledah. Di dalam kantong garam nyatanya tersembunyi peluru-peluru, suplai untuk para gerilyawan. Kembaren, si kusir, ditembak dan tewas di tempat. Rusli, si tentara, berhasil lolos dalam kondisi luka parah.
Pembukaan tersebut mempersiapkan kita menuju drama yang menyusul: ini film tentang upaya kolektif rakyat dan tentara dalam mempertahankan kemerdekaan. Gerak hidup keseharian warga (berbelanja garam) dan perjuangan bersenjata (menyelundupkan peluru bagi gerilyawan) berkelindan tak terpisahkan.
Turang, sebuah kata dalam bahasa Karo, bisa diartikan sebagai kekasih, kawan, saudara. Kami menontonnya di Galeri Lorong, Yogyakarta, akhir Mei ini, dalam rangkaian acara “Sinema Kontra-Nostalgia: Mematahkan Bingkai Historiografi”[1], berupa pancaran di tembok dari laptop melalui LCD proyektor dengan kualitas suara sekadarnya. Film hitam-putih, ritme terhitung lambat, kamera cenderung statis, toh sukses memikat belasan peminat untuk tidak beranjak dari ruang sempit memanjang itu. Kisahnya sederhana mudah dicerna, tapi menawarkan lapisan-lapisan makna yang mengundang untuk ditelisik lebih dalam.
KESEGARAN AWAL Turang langsung menyergap: latar tempat yang tidak biasa. Dari riuhnya pasar Kabanjahe, kita diajak menelusuri jalan berkelok, menembus belantara, hingga tiba di kaki pegunungan. Di sana, tersembunyi sebuah permukiman yang dengan bangga menamai dirinya Kampung Merdeka. Nama itu bukan sekadar label, melainkan gerbang menuju narasi kemerdekaan yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk pertempuran besar di pusat kekuasaan.
Film ini dengan cermat merekam kehidupan sehari-hari yang sederhana dan harmonis di Kampung Merdeka. Adegan ala time-lapse penanaman jagung, misalnya, bukan sekadar penggambaran siklus pertanian; ia menyiratkan ketahanan dan kesabaran penduduk. Rumah Tipi, dengan ruangnya yang sempit dan berlantai dua—lantai atas difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi—menjadi mikrokosmos kehidupan komunal mereka. Penempatan kamera yang efektif memungkinkan penonton leluasa mengikuti dinamika aktivitas dan interaksi di sana, membuat kita merasa menjadi bagian dari keluarga besar Kampung Merdeka. Kita bukan penonton, kita adalah tamu.
Close-up wajah-wajah penduduk desa, yang disisipkan pada sejumlah adegan, adalah sentuhan kecil yang bermakna besar. John Yorke, penulis drama televisi terkemuka, pernah berujar, “gambaran yang selalu dicari oleh setiap sutradara TV, baik fiksi maupun non-fiksi, adalah close-up wajah manusia saat ia mencatat perubahan.” Di sini, setiap kerutan, setiap tatapan, setiap ekspresi pada wajah-wajah itu adalah cerminan mereka yang paling berat menanggung akibat setiap kekacauan. Mereka adalah representasi nyata dari kemerdekaan hidup yang dirayakan dan dipertahankan, berapa pun harganya. Kemerdekaan bagi mereka adalah keharmonisan hidup yang bersahaja, rukun, dan menyatu dengan alam.
Kehidupan komunal warga Kampung Merdeka, diperkaya dialog dan lagu berbahasa Karo, menampilkan sebuah keguyuban yang begitu mendalam. Mereka tampaknya hidup dalam kepercayaan bahwa semua orang pada dasarnya baik, hingga tidak mewaspadai mata-mata yang menyusup ke tengah-tengah mereka. Ironi ini memperlihatkan betapa rapuhnya kemurnian di hadapan intrik dan bahaya dari luar.
Turang dengan berani menggeser narasi perjuangan kemerdekaan dari medan perang fisik menjadi gangguan terhadap kehidupan normal sehari-hari. Perang bukan lagi ajang perjuangan heroik, melainkan sebuah anomali yang merusak keharmonisan. Visual-visual lanskap pedesaan—gunung menjulang, bentangan ladang, tampak muka suasana kampung, perempuan mandi di pancuran, atau perempuan menumbuk padi dengan lesung—mewakili ketenangan hidup warga, kontras dengan ketegangan perang yang merayap dan mengancam. Bahkan binatang pun turut berperan, dan tak jarang menjadi korban, menegaskan bahwa dampak konflik merambah hingga ke setiap sendi kehidupan.
Film ini juga menjadi dokumentasi penting yang mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan tidak hanya berlangsung di Jawa dan dilakukan oleh orang Jawa. Melalui kisah Kampung Merdeka, Turang memberikan suara kepada mereka yang sering terlupakan dalam narasi besar sejarah Indonesia.
MELALUI KESEGARAN latar tempat dan keindahan kehidupan komunal di Kampung Merdeka, Turang menawarkan perspektif yang radikal: tidak meromantisasi kepahlawanan tentara dalam perjuangan kemerdekaan. Sebaliknya, film ini dengan berani menonjolkan dukungan serta pengorbanan rakyat biasa.
Turang secara gamblang memperlihatkan kenyataan perjuangan yang pahit. Realitas ini kontras dengan narasi perjuangan heroik yang dominan dalam banyak film perang Indonesia. Kita bisa menarik perbandingan dengan film klasik Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) yang berlatar Jawa dan menempatkan tentara sebagai kelompok elit, sementara warga sipil terpinggirkan sebagai “kanca wingking”—pihak yang mendukung dari belakang, namun jarang menjadi pusat narasi perjuangan.
Konsep ini juga bisa dibandingkan dengan Seven Samurai (Akira Kurosawa, 1954), di mana warga desa berhasil memanfaatkan jasa samurai—yang sebagian besar tewas—sehingga warga dapat melanjutkan kehidupan normal mereka dengan tenang. Namun, di ujung cerita Turang, kehidupan tenang itu justru tercerai-berai oleh kehadiran pasukan gerilya. Ini karena, berbeda dari samurai yang adalah pendekar upahan, tentara bagaimanapun lahir dari rakyat (secara harfiah diwakili oleh Tuah, anak laki-laki kepala desa). Film ini menunjukkan bahwa alih-alih melindungi rakyat, terkadang tentara justru merepotkan, membahayakan, dan bahkan mengorbankan mereka. Ketika Tuah mengucapkan, “Kita serahkan kepada Tuhan,” itu bukan ungkapan pasrah, melainkan refleksi dari keterbatasan manusia di tengah badai takdir.
Turang menolak pandangan bahwa rakyat hanyalah sekumpulan orang tak berdaya, ketakutan, dan senantiasa memerlukan perlindungan tentara. Dengan kesederhanaan ucapan dan tindakan, mereka menunjukkan kecintaan mendalam pada republik, kemerdekaan, dan kehidupan yang harmonis bersahaja. Di bawah ancaman musuh, mereka menjalani hidup dengan tegar, bahkan sejatinya merekalah yang melindungi dan menopang perjuangan para gerilyawan. Mereka berkorban, mempertaruhkan nyawa, bukan karena perintah, melainkan karena naluri untuk mempertahankan eksistensi dan nilai-nilai yang mereka pegang.
Sayangnya, pengorbanan rakyat ini tidak selalu dihargai sepenuhnya oleh para tentara. Kita melihat rakyat menjadi korban: Kembaren, Kepala Desa, dan akhirnya seluruh Kampung Merdeka, termasuk hewan ternak mereka. Di satu sisi, ini adalah akibat dari strategi gerilya yang kurang jitu. Di sisi lain, keberadaan mata-mata dan kenyataan bahwa pasukan Belanda tidak sepenuhnya diisi oleh orang Belanda murni menambah kompleksitas konflik.
Adegan Tipi memasak nasi dengan penuh pengabdian, namun ratapannya atas nasib sang ayah ditepiskan begitu saja oleh Tuah, menggambarkan betapa seringnya penderitaan personal harus ditelan demi kepentingan yang lebih besar—atau yang dianggap lebih besar. Lebih jauh, perdebatan sengit antara Rusli dan komandannya tentang kemungkinan membawa Tipi ikut bergerilya menyingkap bias gender yang kuat. Sebagai perempuan, Tipi dipandang hanya akan menjadi beban dan gangguan bagi pasukan; jasa dan kecakapannya dalam merawat Rusli sama sekali tidak dipertimbangkan.
Turang adalah sebuah karya yang jujur dan penting, yang berani menggeser lensa sejarah. Ia mengundang kita untuk melihat kembali narasi kepahlawanan, mengakui pengorbanan rakyat yang tak terperikan, dan memahami bahwa kemerdekaan seringkali dibayar dengan harga yang tak terlukiskan oleh mereka yang paling rentan.
MENJELANG FILM berakhir, layar menampilkan pasukan gerilya beriring-iringan mendaki bukit berlatar langit yang lapang berawan. Saya terbengong: Lho, jebul Bachtiar Siagian sudah bikin adegan begini to!
Betul. Adegan itu mirip dengan Danse Macabre yang menjadi penutup The Seventh Seal (Ingmar Bergman, 1957). Tokoh-tokoh The Seventh Seal bergerak ke sisi kiri layar, sisi negatif, dihela Sang Maut menuju alam baka. Sebaliknya, pasukan gerilya di Turang bergerak ke arah kanan, sisi positif, penuh tekad menempuh perjalanan yang terjal, penuh tantangan dan sekaligus sarat harapan. Kisah Rusli dan Tipi telah berakhir, tetapi perjuangan menuju dekolonisasi mesti dilanjutkan karena, seperti baris puisi Chairil Anwar yang kemudian dikutip, “kerja belum selesai, belum apa-apa.” The Seventh Seal menegaskan kegentaran individual di hadapan maut; Turang memaparkan perjuangan bersama mengukuhkan kemerdekaan dan kehidupan.
Adegan simbolis ini sekaligus mewakili kegigihan kerja para penggarapnya dalam menyiasati kesulitan teknis yang pelik. Menangkap gambar jarak jauh di lanskap perbukitan dengan perlengkapan kamera yang berat jelas bukan kerja yang mudah. Mereka menjawab tantangan untuk mengusung tema besar tentang perjuangan bersama itu bukan melalui ceramah, melainkan melalui bahasa visual yang megah dan kuat berdaya gugah.
Karena kedua film tersebut dibesut dan dirilis dalam waktu berdekatan, kecil kemungkinan Bachtiar dan Bergman mengintip proses produksi satu sama lain. Toh kemiripan itu menandakan bahwa motif visual tertentu berlaku universal dan lintas budaya untuk menegaskan suatu tema secara efektif. Akan tetapi, adegan Danse Macabre jadi ikonik dalam sejarah sinema dan ditiru di sejumlah film lain karena, tentu saja, The Seventh Seal beredar lebih luas, terus diapresiasi, dan kerap jadi bahan kajian studi perfilman, sedangkan Turang menjemput nasib malang: terkubur tak tentu rimbanya akibat pusaran politik di negeri sendiri.
Nyatanya, Turang tak hendak hilang begitu saja. Sejarah punya cara tersendiri untuk memberikan kejutan, seperti dituturkan oleh Bunga Siagian, putri sang sutradara.[2]
Sebelum berjaya di Pekan Apresiasi Film Nasional (sekarang Festival Film Indonesia) 1960 dengan menyabet empat penghargaan (Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Peran Pembantu Terbaik, dan Tata Artistik Terbaik), film ini melenggang ke Festival Film Asia Afrika pertama yang digelar di Tashkent, Uzbekistan, pada 1958. Festival ini digelar sebagai perpanjangan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang membawa semangat antikolonialisme dan pembentukan tata dunia baru. Elena Razlogova, akademisi dari Concordia University Montreal, menulis dalam papernya bahwa Turang adalah “The most celebrated picture at Tashkent.”
Karena penayangan di Tashkent itu, salinan Turang tersimpan di pusat arsip film Rusia Gosfilmofond, Moskow. Akhirnya, berkat kerja kolektif dan solidaritas yang melibatkan banyak aktivis kebudayaan dan akademis dari berbagai negara, Bunga mendapatkan kembali Turang pada Februari 2025.
Ironisnya, Turang “lahir kembali” di tengah kondisi mutakhir yang mencemaskan: penulisan ulang sejarah dan pengesahan UU TNI.
Konferensi Asia-Afrika termasuk peristiwa penting yang tidak dicantumkan dalam kerangka konsep penulisan sejarah Indonesia versi rezim.[3] Kepeloporan Indonesia dalam perjuangan anti-kolonialisme di kancah global ini bukan pencapaian yang layak dicatat dengan tinta tebal, tetapi suatu kesalahan sejarah yang memalukan dan, karenanya, mesti disembunyikan?[4] Atau, sikap anti-kolonialisme sudah tidak relevan dan bertentangan dengan kebijakan (pihak yang membeking) rezim? Sehubungan dengan Turang, konferensi tersebut secara tidak langsung menyelamatkan keberadaan film berharga ini.
Berbeda arah dari Turang, yang menempatkan rakyat sebagai pilar perjuangan kemerdekaan, UU TNI memperkuat romantisasi terhadap kepahlawanan tentara. Tentara leluasa bergerak di luar barak, dipersilakan menduduki jabatan-jabatan empuk di ruang sipil, sedangkan kepentingan-kepentingan rakyat semakin terdesak.
Di negeri yang waras dan berkebudayaan, lahirnya kembali film penting semacam Turang tentulah dirayakan secara hangat dan penuh hormat. Nyatanya, Turang mesti beredar secara “gerilya”, hanya tayang terbatas di sejumlah festival dan komunitas. Dengan langkah tertatih, Turang meniupkan semangat dengan bisikan lirih: Meskipun dihambat, tetap merambat—itulah rakyat! ***
Sumber foto: International Film Festival Rotterdam, https://iffr.com
[1] Acara ini menampilkan sosok dan karya Bachtiar Siagian, sutradara ‘kiri’ yang tanpa pengadilan dibuang ke Pulau Buru karena keterlibatannya dalam Lekra. Dua film karyanya dan satu film dokumenter tentangnya masing-masing diputar dalam dua kali kesempatan. Turang (1957) pada 30 Mei dan 20 Juni, Violetta (1962) pada 16 Mei dan 8 Juni, dan Bachtiar (Hafiz Rancajale, 2025) pada 23 Mei dan 13 Juni 2025.
[2] "Sempat 'hilang' puluhan tahun, bagaimana 'Turang' yang meraih predikat film terbaik Indonesia ditemukan kembali?", BBC News Indonesia, 15 April 2025, https://www.bbc.com/indonesia/article..., diakses 30 Mei 2025.
[3] Souisa, Hellena. "Ketika Sejarah Indonesia Diperbaharui: Untuk Legitimasi Sang Pemenang?", ABC News, 22 Mei 2025, https://www.abc.net.au/indonesian/202..., diakses pada 27 Juni 2025.
[4] "Fadli Zon soal Penulisan Ulang Sejarah: Kita Tak Cari Kesalahan, tapi Pencapaian", kumparanNEWS, 7 Juni 2025, https://kumparan.com/kumparannews/fad..., diakses 27 Juni 2025.
November 15, 2024
Menggugat Sejarah Kelam Anak Luar Nikah
Judul Buku: Perkumpulan Anak Luar Nikah; Penulis: GraceSuryani Tioso; Penerbit: Noura Books (Cetakan Pertama, 2023); Tebal: 396 hal.
Martha, ibu rumah tangga cerdas istri dosen di Singapura, bekerja sama denganYuni, sepupunya, ibu rumah tangga penyelidik andal istri bakul kecap di Klaten,mengelola akun @duolion163 di Twitter. Melalui akun itu, mereka memaparkanlatar belakang para politisi yang bertarung di pileg, membantu para pemilihuntuk lebih cerdas dalam berdemokrasi. Akun tersebut mendapatkan sambutanhangat dari netijen, tapi orang-orang terdekat Martha malah mengkhawatirkankeselamatannya.
Siapa mengira, hantaman justru datang dari arah yang takterduga: Martha dituduh memalsukan dokumen saat mengajukan beasiswa untukkuliah di Singapura. Dunia Martha pun jungkir-balik.
Perkumpulan Anak Luar Nikah (PALN), novel pertaama GraceTioso, penulis Indonesia yang bermukim di Singapura, lalu mengajak pembaca menelusuri teka-teki tersebut:Benarkah Martha melakukannya? Dokumen apa yang dipalsukan? Bagaimanamemalsukannya? Mengapa memalsukannya?
Jawaban atas apa dan bagaimana memantik rasa penasaran,mengajak kita main detektif-detektifan, dan mengungkapkan luka sejarah yangbelum banyak dibicarakan: diskriminasi rasial pemerintah Indonesia terhadapwarga keturunan Tionghoa yang menjadikan banyak dari mereka sebagai WNA (WargaNegara Asing) alias statelessLahir dan besar di Indonesia, tetapi takdiakui kewarganegaraannya. Mereka inilah yang melahirkan anak-anak luar nikah.
Jawaban atas mengapa, yang tak ayal lebih personal, menyusuplebih jauh, menjamah empati kita. Kita melihat contoh-contoh spesifik bagaimanadiskriminasi tersebut menggilas beberapa keluarga, dan bagaimana merekameresponsnya, dengan sorotan khusus, tentu saja, pada kisah Martha danorangtuanya. Ketika mengapa itu dipaparkan bagian demi bagian, khususnya bagianMartha menyimak video Papanya, saya sentrap-sentrup tak ketulungan. Pemahamanakan mengapa itu juga memunculkan adegan pengampunan yang mengingatkan pada pertemuanJean Valjean dan sang uskup dalam Les Misérables.
Toh kisah kelam ini tidak dituturkan secara meratap-ratap. Gracememilih berbicara secara lugas, tegas, dan menggugat, sambil tidak kehilangansense of humor, meledek tokoh-tokohnya, membuat pembaca tergelak tapi sekaligusberpikir ulang di sepanjang jalan. Boleh dibilang, kisah ini dituturkan secarakeras kepala. Dan, entah mengapa, gaya itu, khususnya di bagian-bagian penutup,ketika kita sampai ke bagian mengapa tadi, tanpa meratap berlarat-larat, efektifmemporak-porandakan kelenjar air mata dan kelenjar ingus pembaca satu ini.Novel ini menyingkapkan hal-hal yang tidak sempat (tidak berani?) diceritakandalam film Susi Susanti: Love All.
Di luar pokok utama soal diskriminasi rasial tadi, novel inidengan lincah memetik dan mencemplungkan banyak hal ke tengah aliran kisah. Adakisah persahabatan, romansa pacaran yang canggung, romansa keluarga mudamencari titik temu, hingga kisah keluarga yang lebih besar lagi: leluhur danbangsa. Ada isu politik-demokrasi, feminisme, keamanan digital, kekuatan dankelamahan medsos, sampai seluk-beluk dunia hukum dan peradilan. Menyinggungbanyak hal tanpa menjejalkannya ke mulut pembaca, tapi menyajikannyaganti-berganti, di sela-sela menu utama, dalam takaran yang pas. Dan,tokoh-tokoh yang seabrek tampil secara hidup dengan keunikannya masing-masing.
Grace secara jeli memotret perpaduan (atau perbenturan?) antaradunia nyata dan dunia virtual, ditegaskan pula oleh tim tata letak yangmenampilkan sisipan pesan, utas Twitter, email, artikel koran sebagai strategivisualisasi. Gaya bercerita perpaduan antara Pilih Sendiri Petualanganmu danopera-nya Titi Nginung (Arswendo Atmowiloto): banyak bab berakhir denganpertanyaan, memancing rasa penasaran pembaca.
PALN juga menggunakan bahasa campur aduk—Indonesia, Inggris,Jawa—dengan begitu wajar dan mengalir. Di Kerudung Merah Kirmizi, RemySylado menampilkan tokoh sok keminggris, yang menyisip-nyisipkan bahasa Inggrispatah-patah untuk meningkatkan gengsinya. Tidak demikian dengan tokoh-tokohdalam PALN. Mereka memang berbicara dan berpikir alih kode secara leluasa.
Anehnya, di tengah campur aduk tiga bahasa itu, malah hanyasesekali nongol istilah Mandarin (atau versi bahasa suku Tionghoa lainnya). TampaknyaGrace ingin menggambarkan bahasa/budaya yang ditindas, dan memilih, sepertipohon bambu, ikut meliuk bersama deraan angin untuk tetap bertahan hidup.
Seperti Gadis Kretek dan Malam Seribu Jahanam, PALN adalahnovel yang siap difilmkan atau diminiserikan. Adegan dan dialog-dialognyabegitu gamblang terpampang di layar batin pembaca, melambai-lambai untukdivisualisasikan ke layar perak.
Untuk pembelajaran sejarah, novel ini sepenting film Eksil.Dalam Eksil, orang-orang yang mencintai Indonesia menggelandang stateless dinegeri asing; di PALN, orang-orang yang mencintai Indonesia di-WNA-kan,dijadikan stateless, di bumi kelahiran mereka sendiri—di Negara KesatuanRepublik Indonesia yang Pancasilais itu. A rich, mesmerizing debut novel. ***
August 19, 2024
The Auditors bergerak gesit, seru, dan menegangkan
The Auditors (Kwon Young-il dan Joo Sang-gyu, 2024)
Pengin nonton drakor menyenangkan kok lama nggak ada yang nyantol. Kalau berdasarkan judul yang generik begitu, drama ini terkesan tak menarik, terlebih lagi saya tak paham dunia audit. Apa kerennya kerja para auditor?
Tapi, terbaca sebuah ulasan berjudul: "Shin Ha-kyun is the Sherlock Holmes of corporate corruption." Auditor sebagai detektif? Boleh dicoba kayaknya ini.
Kalau dihitung-hitung, nyatanya selama ini saya sangat banyak nonton film atau series yang berbau detektif, misteri, pengungkapan kebenaran, penegakan keadilan. Kisah-kisah itu, di satu sisi, mengajak kita bermain teka-teki dan, di sisi lain, mengajak kita menengok karakter-karakter manusia yang, di sebelah sini, bisa luhur dan menghangatkan hati, meneguhkan lagi keyakinan kita akan kebajikan hidup, dan, di sebelah sana, bisa bengis dan menjijikkan, memaparkan betapa parah kebrobokan ketika manusia membiarkan kejahatan menguasai jiwanya. Ada karya yang sukses mengundang perenungan mendalam, ada yang lebih mengedepankan keseruan aksi dengan tetap menyusupkan pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan.
Berlatar proses audit di sebuah perusahan korup, The Auditors bergerak gesit, seru, dan menegangkan. Bagi penonton yang tak paham dunia audit, drama ini tak bikin kening berkerut, malah memikat diikuti lika-liku jalan ceritanya--kira-kira seperti Queen Gambit bagi penonton yang kurang paham permainan catur.
Perbedaan karakter di antara anggota tim audit jadi bahan perbenturan menarik: antara yang berkepala dingin, berjarak dalam menyikapi kasus dan yang masih melibatkan empati, mencoba memaklumi alasan si pelaku. Perusahaan dipimpin dua bersaudara: presiden yang dingin dan tenang; wakil presiden yang meledak-ledak dan berangasan. Karakter dan motivasi para pelaku kejahatan tidak kompleks-kompleks amat, tetapi malah membumi, bikin kita berpikir: aku juga bisa tergoda seperti ini.
Kasus demi kasus diselesaikan dengan meliuk-liuk asyik meski misteri tentang si pelaku (termasuk kasus pamungkas) tak jarang bisa dicium lebih awal. Masalahnya memang bukan sekadar menemukan siapa pelakunya, tetapi bagaimana membuktikan pelanggarannya secara meyakinkan.
The Auditors menawarkan 12 episode yang menggoda kita untuk melahapnya terus tanpa jeda. Itu kalau kita tidak ingat bahwa badan ini tidak diciptakan untuk binge watching.
Nonton series ini, saya bermimpi seandainya KPK bisa gesit trengginas superjitu begini membongkar kasus-kasus korupsi di sebuah negeri gemah-ripah loh jinawi adil makmur bagi segenap rakyatnya...
Lalu, saya terbangun karena kebelet pipis.
July 13, 2024
Anatomy of a Javanese
Terayun-ayun antara nrima ing pandum
dan ora edan ora keduman.
Ketika dipangku, mati.
Ketika dihina, menahan diri
mesem sambil mendesis: Titenana.
Mengutamakan harmoni, guyub rukun
memayu hayuning bawana.
Namun,
ketika daya tahan jebol,
menggeram menerjang mengamuk menerkam.
Menggulung lawan.
Ketika Petruk duduk di takhta istana
tidak serta-merta ia adalah Ratu.
Lakone bubar.
Keraton terguncang gara-gara tak tentu arah
entah kapan tancep kayonnya.
Takhta untuk rakyat
belum sungguh sempat dinikmati
begitu lekas berbalik kembali
: rakyat untuk Takhta.
Swarga belum tentu nunut.
Neraka sudah pasti katut.
Hana caraka.
Nata bata tiba sanga.
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap.
O, Jagad Dewa Batara!
June 26, 2024
Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion
Joko Anwar's Nightmares and Daydreams (Joko Anwar, 2014)
Baru nonton 2 episode awal dari 7 episode series ini, Old House dan The Orphan. Tapi rasanya sudah cukup. Tak berminat melanjutkan.
Dua episode infantil: dongeng untuk orang dewasa, tapi digarap dengan penceritaan kekanak-kanakan. Dialognya di satu sisi terlalu sederhana--terlalu menyederhanakan masalah; di sisi lain terlalu menjelas-jelaskan (penyakit ini muncul mencolok juga di Perempuan Tanah Jahanam).
Dua episode ini makin menegaskan signature Jokan: bagian awal menjanjikan, bagian tengah meleyot, klimaks sempoyongan.
Film atau series luar (Amrik), kerap disusul penjelasan (ending explained, misalnya) di sejumlah situs, ditulis oleh pengulas profesional.
Karya Jokan biasa disusul lontaran berbagai teori liar para penggemar di medsos, bukan penjelasan telaten pengulas profesional. Subteks: Industri perfilman kita belum mampu untuk menghidupi pengamat film untuk jadi pengulas profesional.
Sutradara dan awak film biasanya cukup memberikan latar dan pernik-pernik seputar karya dan proses penciptaannya.
Jokan lain cerita. Di luar menebar trivia dan behind the scenes, beliau juga sibuk menjelas-jelaskan lagi karyanya, seolah-olah--dan memang--karyanya itu belum selesai berbicara, seolah-olah--dan memang--masih banyak lubang yang perlu ditambal.
Alhasil, bukan lagi explained, tapi overexplained. Penonton dianggap tidak mampu memahami karyanya, atau sang sutradara tak cukup yakin karyanya sanggup berdiri sendiri. Dan, untuk memahami karyanya, penonton mesti juga menjadi pengikut konten medsosnya. Karya infantil memperlakukan penonton secara infantil.
Membaca berbagai penjelasan dan penafsiran film luar, baik yang muncul saat film rilis atau mungkin bertahun-tahun sesudahnya, kita memperoleh sudut pandang baru, sisi-sisi segar, memperkuat apresiasi kita atas film tersebut.
Membaca penjelasan atau teori "resmi" Jokan dan teori liar penggemar, pembacaan malah makin ruwet bin mumet.
Pembisik:
Lepaskan keinginan untuk overexplained baik dalam karya maupun dalam konten medsosmu. Relakan.
Kesimpulan:
Jokan berusaha keras karyanya jadi a piece of conversation, tapi lebih sering jatuhnya malah jadi a piece of confusion.
May 25, 2024
120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori
Daftar terdahulu, 80 lagu 80-an,tersusun secepat ingat, sedangkan daftar penyanyi ini perlu menguras usahalebih ketat (tapi tenang, tidak menguras keuangan negara kok seperti kurasisastra; cukup menguras gudang memori pribadi saja).
Tadinya, seperti daftar lagu, akan sayabatasi 80 penyanyi, tetapi akhirnya saya biarkan terus bertambah mengingatniatnya rada beda: mencatat daya jelajah musikal saya, mengingat mana sajapenyanyi yang mendampingi perjalanan hidup saya dari akhir SD sampai awalkuliah (1980-1989), dan sedikit banyak memperlihatkan keragaman lintas genreblantika musik kita.
Batasan yang saya pilih: satu penyanyisatu lagu. Ini meringankan, sekaligus menyulitkan. Meringankan karena tidakperlu sampel banyak-banyak. Menyulitkan, bagaimana memilih hanya satu lagu dariseorang penyanyi, apalagi yang menelurkan banyak hit? Apa kriterianya? Yangterbaik, yang ikonik? Wah, saya tidak punya kapasitas untuk merekomendasikanlagu paling unggul dari tiap penyanyi. Jatuhlah pada kriteria paling gampang: kalaubukan lagu yang sangat populer, ya lagu yang paling berkesan secara personal.(Cerita-cerita personal di balik lagu itu bisa ditulis tersendiri, kalausempat.)
Beberapa penyanyi selain bernyanyi soloatau duet juga menjadi anggota grup/band (seperti Trie Utami di Krakatau atauIwan Fals di Swami). Untuk mereka, bolehlah muncul dua kali. Malah ada yangmuncul tiga kali, siapa coba?
Menilik nama-nama ini, kita bisa melihatpenyanyi yang sedang memasuki sandyakala karier, tinggal menampilkan ledakanterakhir, semacam lagu pamit (seperti Bob Tutupoly dan Grace Simon; banyak jugapenyanyi lawas yang tetap mencetak single atau album, tapi tak meninggalkanlagu yang membekas di ingatan), yang sedang mendominasi lanskap (seperti VinaPanduwinata, Hetty Koes Endang, Iwan Fals, dan Chrisye), yang mulai merekah dankian mekar pada era selanjutnya (seperti Ruth Sahanaya dan KLa), serta yangberpijar sebentar lalu meredup hilang dari pasar (seperti Biru Langit dan RobinPanjaitan).
Saat itu penyanyi/grup Malaysia sesekaliikut menyeruak menyemarakkan panggung musik Indonesia. Ada juga lagu Belanda,liriknya disadur ke bahasa Indonesia, dan ketika dilempar ke pasar jadi hitbesar.
Saya juga mencantumkan namapenggubah lagu dan tahun rilis pertamanya, semoga tidak banyak kekeliruan. Darisitu, bisa dilihat sepintas komposer yang lagu-lagu ciptaannya merajalela di sepanjangdekade itu.
Waktu itu, kami menikmati lagu denganmemutar kaset koleksi pribadi, meminjam kaset teman atau tetangga, menyimaksiaran radio (di Temanggung, kami mengandalkan dua stasiun: Radio SiaranPemerintah Daerah [RSPD] atau biasanya kami sebut Radio Temanggung, milikpemerintah; dan Radio Eksodus, milik swasta), dan menonton siaran TVRI (denganragam suguhan acara musik merentang dari Aneka Ria Safari-nya Eddy Sud sampaiChandra Kirana-nya Diah Iskandar). Informasi seputar musik kami baca di koran(Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Minggu Ini), majalah (Hai, Gadis, Mop), buku-bukutipis berisi kumpulan lirik lagu, dan kemudian tabloid hiburan, yang dipeloporiMonitor bermunculan di akhir 1980-an. Karena membeli kaset per album lumayanmahal, padahal hanya pengin mendengar satu-dua lagu, kami kadang memesanmixtape (lagu campur-campur pilihan sendiri) di toko langganan.
Tentu saja, dokumentasi pribadi ini bakalsaya perbarui kalau ada nama yang terlupakan muncul dalam ingatan. (Sebagiankecil penyanyi/lagu 80-an baru saya “temukan” belakangan di era internet,menimbulkan perasaan “Oh iya, dulu kayaknya pernah dengar!”) Yuk ah, menyusurilorong waktu ke era 80-an!
1. AchmadAlbar: Syair Kehidupan (Areng Widodo, 1980)
2. AdePutra: Anak Desa (A. Riyanto, 1982)
3. AndiMeriem Mattalatta (feat. Johan Untung): Bimbang (Indra Rivai & AlbertWarnerin, 1982)
4. AngelPaff: Harapan Cinta (Dadang P., 1985)
5. AnitaSarawak: Tragedi Buah Apel (Ithinx & Dani Mamesah, 1983)
6. AtiekCB: Risau (Cecep AS, 1984)
7. BerlianHutauruk: Kubongkar Teraliku (Dodo Zakaria, 1986)
8. BethariaSonatha: Hati yang Luka (Obbie Mesakh, 1987)
9. BigKids: Naluri Wanita (Harry Toos, 1983)
10. Bill& Brod: Madu dan Racun (Arie Wibowo & Jonathan Purba, 1985)
11. BillyEden: Susanna (The Art Company/Widyanarto, 1984)
12. Bimbo:Citra (Acil, Jaka, dan Sam, 1980)
13. BiruLangit: Luka (Nuris Iskandar, 1985)
14. Bob Tutupoly: Symphony yang Indah (Robby Lea, 1980)
15. BornokHutauruk: Rinai Hujan (Guruh Soekarno Putra, 1984)
16. BroeryPesolima: Aku Jatuh Cinta (Rinto Harahap, 1987)
17. ChristinePanjaitan: Tangan Tak Sampai (Rinto Harahap, 1983)
18. Chrisye:Hening (Chrisye & Eros Jarot, 1983)
19. DeddyDores & Lilian Angela: Kasihku (Wandy, 1981)
20. DewiYull: Kasihku (Andy Mapajalos, 1987)
21. DianPiesesha: Tak Ingin Sendiri (Pance Pondaag, 1984)
22. DianPramana Poetra: Kau Seputih Melati (Jockie Soeryoprayogo, 1986)
23. DinaMariana: Ingat Kamu (Ririn S., 1988)
24. DodoZakaria: Mallisa (Dodo Zakaria, 1986)
25. Drakhma:Tiada Ku Sadari (Dani Mamesah & Dodo Zakaria, 1985)
26. EbietG. Ade: Untuk Kita Renungkan (Ebiet G. Ade, 1982)
27. Elfa’sSingers: Masa Kecil (Dian PP dan Sumiati, 1988)
28. ElvySukaesih: Mandi Madu (Toto Ario, 1984)
29. EndangS. Taurina: Apa yang Kucari (A. Riyanto, 1983)
30. ErmyKullit: Kasih (Richard Kyoto, 1986)
31. Ervina:Jangan Parkir Disitu (A. Riyanto, 1984)
32. EuisDarliah: Apanya Dong (Titiek Puspa, 1982)
33. FaridHarja (duet dengan Gito Rollies): 123 (Farid Harja, 1987)
34. FarizRM: Sakura (Fariz RM, 1980)
35. Geronimo V: Indahnya Musik Kami (Anton Issoedibyo, 1980)
36. GitoRollies: Astuti (Oetje F. Tekol, 1987)
37. GodBless: Semut Hitam (Donny Fatah & Jockie Soeryoprayogo, 1988)
38. Gombloh:Kugadaikan Cintaku (Gombloh, 1986)
39. GraceSimon: Lihat Air Mata (Grace Simon, 1983)
40. HamdanATT: Termiskin di Dunia (Endang Raes, 1980)
41. HarryMoekti: Ada Kamu (Jessy Robot, 1988)
42. HarveyMalaiholo: Seandainya Selalu Satu (Elfa Secioria & Wieke Gur, 1986)
43. HeidyDiana: Bintangku Bintangmu (Nosita, 1986)
44. HettyKoes Endang: Sayang (Titik Hamzah, 1983)
45. HutaurukSisters: Dirimu Satu (Tarida Hutauruk, 1981)
46. IkangFawzi: Salam Terakhir (Ikang Fawzi, 1986)
47. IriantiErningpraja: Ada Kamu (Elfa Secioria & Irianti Erningpraja, 1986)
48. ItaPurnamasari: Penari Ular (Arthur Kaunang, 1988)
49. ItangYunasz: Aku Cinta Padamu (Oddie Agam, 1989)
50. ItjeTrisnawati: Duh Engkang (Muchtar B., 1988)
51. IwanFals: Yang Terlupakan (Iwan Fals, 1981)
52. JamalMirdad: Hati Selembut Salju (Harry Toos, 1981)
53. JayanthiMandasari: Lorong-Lorong Hitam (Dodo Zakaria, 1985)
54. JohanUntung: Nusantara 3 (A. Riyanto, 1981)
55. JuliusSitanggang: Maria (Kicky AB, 1988)
56. Kelompok7 Suara (7 Bintang): Jalan Masih Panjang (Dian Pramana Poetra & DeddyDhukun, 1989)
57. KembarGroup: Frustasi (Kembar Group, 1980)
58. KikiMaria: Esok Milik Kita (Dodo Zakaria, 1985)
59. KLa:Tentang Kita (Katon Bagaskara & Lilo Radjadin, 1987)
60. Krakatau:Gemilang (Dwiki Dharmawan & Mira Lesmana, 1987)
61. Lex’sTrio: Anak Nelayan (Dani Mamesah, 1983)
62. Louise Hutauruk:Yang Maha Mulia (Kretarto H.W., 1987)
63. Lydia & Imaniar:Prahara Cinta (Randy Anwar & Randy Anwar & Megia Awaloedin, 1987)
64. Maharani Kahar:Desember Kelabu (A. Riyanto, 1982)
65. Malyda& Deddy Dhukun: Aku Jadi Bingung (Dian Pramana Poetra & Deddy Dhukun,1988)
66. Marini: Senja Merah (Roekanto D & Esti W, 1980)
67. MeriamBellina: Untuk Sebuah Nama (Pance Pondaag, 1984)
68. MusMujiono: Tanda-Tanda (Oddie Agam, 1988)
69. NenoWarisman: Matahariku (Tarida Hutauruk, 1983)
70. NiaDaniaty: Gelas-Gelas Kaca (Rinto Harahap, 1985)
71. NickyAstria: Misteri Cinta (Ully Sigar Rusady, 1985)
72. NolaTilaar (ft. Masnait VG): Dansa Reggae (Melky Goeslaw, 1983)
73. NurAfni Octavia: Senandung Doa (Wahyu OS, 1985)
74. ObbieMesakh: Kisah Kasih di Sekolah (Obbie Mesakh, 1987)
75. OddieAgam: Akhirnya (Younky S & Deddy Dhukun, 1987)
76. OrkesMoral Pengantar Minum Racun: Judul-Judulan (Kuntet Mangkulangit, 1987)
77. ParamithaRusady: Nostalgia di SMA (Dadang S. Manaf)
78. PrettySister’s: Kau dan Liku (Titik Hamzah, 1983)
79. RafikaDuri: Tirai (Cecep AS, 1983)
80. RamonaPurba: Terlena (Cecep AS, 1984)
81. RanoKarno: Bukalah Kacamatamu (Ted Soetejo, 1988)
82. RatihPurwasih: Antara Benci dan Rindu (Obbie Mesakh, 1986)
83. RemySilado: Bromocorah dan Putrinya (Remy Sylado, 1983)
84. RennyJayusman: Potret (Emir Aka & TR Emich, 1987)
85. RhomaIrama: Hari Berbangkit (Rhoma Irama, 1980)
86. RiaResty Fauzi: Cintaku Sedalam Lautan Atlantik (Adriadie, 1985)
87. RichieRicardo: Cuma Dia (Titiek Puspa, 1983)
88. RietaAmelia: Aku (Dodo Zakaria, 1984)
89. RinaSidabutar: Martinah (Titiek Puspa, 1983)
90. RitaButar Butar: Seandainya Aku Punya Sayap (Rinto Harahap, 1980)
91. RitaSugiarto: Jacky (Rita Sugiarto, 1983)
92. RobinPanjaitan: Sonata yang Indah (Dakka Hutagalung, 1984)
93. Rollies:Problema (Oetje F. Tekol, 1986)
94. Rumpies:Nurleila (Sam Bobo & Deddy Dhukun, 1989)
95. RuthSahanaya: Memori (Oddie Agam, 1987)
96. SandroTobing: Nuansa Kasih (Dorie Kalmas, 1989)
97. Search:Isabella (Search & Bob, 1989)
98. SersanPrambors: Cintaku Secetek Sungai Gangga (Sys NS & Abadi Soesman, 1986)
99. SheilaMadjid: Sinaran (Azlan Abu Hassan & Johan Nawawi, 1987)
100. SuaraPersaudaraan: Anak-Anak Terang (James F. Sundah, Adjie Soetama, B.J. Rianto,Addie M.S., Utha Likumahuwa, Lydia, Imaniar, Chris Manusama, 1985)
101. Swami:Bongkar (Swami, 1989)
102. TikaBisono: Pagi (Chrisye & Adjie Soetama, 1987)
103. TinaTetelepta (duet dengan Harvey Malaihollo): Dering (Titik Hamzah, 1985)
104. TitiDwijayati (feat. Indra Lesmana): Ekspresi (Indra Lesmana & Mira Lesmana,1988)
105. TitiekPuspa (feat. Bob Tutupoly): Bambu-Bambu (Titiek Puspa, 1987)
106. TitikHamzah: Siksa (Titik Hamzah, 1981)
107. TitoSoemarsono: Kamu (Tito Soemarsono & Pancasilawan, 1985)
108. ToarTangkau: Adakah Hari Esok (Eric v. Houten, 1981)
109. TommyJ. Pisa: Di Batas Kota Ini (Youngky RM, 1988)
110. TrieUtami: Keraguan (Edwin Saladin R. & Adelansyah, 1988)
111. Trio Libels: Gadisku (Kendi Kamandalu, 1989)
112. Tuty Ahem: Dapatkah Desaku Berseri Lagi (Tuty Ahem &Wiwiek, 1983)
113. Tyas Dratistiana: Merah Putih (Gombloh, 1983)
114. Uci Bing Slamet: Bukit Berbunga (Yonas Pareira, 1982)
115. UllySigar Rusady: Rumah yang Manis (Elsa Sigar [umur 9 tahun!], 1982)
116. UthaLikumahuwa: Aku Pasti Datang (Dodo Zakaria, 1985)
117. VinaPanduwinata: Sungguh (Fariz RM, 1989)
118. VonnySumlang: Ratu Sejagad (Dani Mamesah, 1987)
119. YanaYulio & Lita Zen: Emosi Jiwa (Harry Sabar, 1988)
120. YopieLatul: Kembalikan Baliku (Guruh Soekarno Putra, 1987)
121. ZwestyWirabhuana: Bagiku Kaulah Segalanya (Anton Issoedibyo, 1983)
Update (31/05): Playlist di Spotify disiapkan oleh Mbak Alfia Innayati
Sumber data:
- YouTube
120 Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori
Daftar terdahulu, 80 lagu 80-an,tersusun secepat ingat, sedangkan daftar penyanyi ini perlu menguras usahalebih ketat (tapi tenang, tidak menguras keuangan negara kok seperti kurasisastra; cukup menguras gudang memori pribadi saja).
Tadinya, seperti daftar lagu, akan sayabatasi 80 penyanyi, tetapi akhirnya saya biarkan terus bertambah mengingatniatnya rada beda: mencatat daya jelajah musikal saya, mengingat mana sajapenyanyi yang mendampingi perjalanan hidup saya dari akhir SD sampai awalkuliah (1980-1989), dan sedikit banyak memperlihatkan keragaman lintas genreblantika musik kita.
Batasan yang saya pilih: satu penyanyisatu lagu. Ini meringankan, sekaligus menyulitkan. Meringankan karena tidakperlu sampel banyak-banyak. Menyulitkan, bagaimana memilih hanya satu lagu dariseorang penyanyi, apalagi yang menelurkan banyak hit? Apa kriterianya? Yangterbaik, yang ikonik? Wah, saya tidak punya kapasitas untuk merekomendasikanlagu paling unggul dari tiap penyanyi. Jatuhlah pada kriteria paling gampang: kalaubukan lagu yang sangat populer, ya lagu yang paling berkesan secara personal.(Cerita-cerita personal di balik lagu itu bisa ditulis tersendiri, kalausempat.)
Beberapa penyanyi selain bernyanyi soloatau duet juga menjadi anggota grup/band (seperti Trie Utami di Krakatau atauIwan Fals di Swami). Untuk mereka, bolehlah muncul dua kali. Malah ada yangmuncul tiga kali, siapa coba?
Menilik nama-nama ini, kita bisa melihatpenyanyi yang sedang memasuki sandyakala karier, tinggal menampilkan ledakanterakhir, semacam lagu pamit (seperti Bob Tutupoly dan Grace Simon; banyak jugapenyanyi lawas yang tetap mencetak single atau album, tapi tak meninggalkanlagu yang membekas di ingatan), yang sedang mendominasi lanskap (seperti VinaPanduwinata, Hetty Koes Endang, Iwan Fals, dan Chrisye), yang mulai merekah dankian mekar pada era selanjutnya (seperti Ruth Sahanaya dan KLa), serta yangberpijar sebentar lalu meredup hilang dari pasar (seperti Biru Langit dan RobinPanjaitan).
Saat itu penyanyi/grup Malaysia sesekaliikut menyeruak menyemarakkan panggung musik Indonesia. Ada juga lagu Belanda,liriknya disadur ke bahasa Indonesia, dan ketika dilempar ke pasar jadi hitbesar.
Saya juga mencantumkan namapenggubah lagu dan tahun rilis pertamanya, semoga tidak banyak kekeliruan. Darisitu, bisa dilihat sepintas komposer yang lagu-lagu ciptaannya merajalela di sepanjangdekade itu.
Waktu itu, kami menikmati lagu denganmemutar kaset koleksi pribadi, meminjam kaset teman atau tetangga, menyimaksiaran radio (di Temanggung, kami mengandalkan dua stasiun: Radio SiaranPemerintah Daerah [RSPD] atau biasanya kami sebut Radio Temanggung, milikpemerintah; dan Radio Eksodus, milik swasta), dan menonton siaran TVRI (denganragam suguhan acara musik merentang dari Aneka Ria Safari-nya Eddy Sud sampaiChandra Kirana-nya Diah Iskandar). Informasi seputar musik kami baca di koran(Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Minggu Ini), majalah (Hai, Gadis, Mop), buku-bukutipis berisi kumpulan lirik lagu, dan kemudian tabloid hiburan, yang dipeloporiMonitor bermunculan di akhir 1980-an. Karena membeli kaset per album lumayanmahal, padahal hanya pengin mendengar satu-dua lagu, kami kadang memesanmixtape (lagu campur-campur pilihan sendiri) di toko langganan.
Tentu saja, dokumentasi pribadi ini bakalsaya perbarui kalau ada nama yang terlupakan muncul dalam ingatan. (Sebagiankecil penyanyi/lagu 80-an baru saya “temukan” belakangan di era internet,menimbulkan perasaan “Oh iya, dulu kayaknya pernah dengar!”) Yuk ah, menyusurilorong waktu ke era 80-an!
1. AchmadAlbar: Syair Kehidupan (Areng Widodo, 1980)
2. AdePutra: Anak Desa (A. Riyanto, 1982)
3. AndiMeriem Mattalatta (feat. Johan Untung): Bimbang (Indra Rivai & AlbertWarnerin, 1982)
4. AngelPaff: Harapan Cinta (Dadang P., 1985)
5. AnitaSarawak: Tragedi Buah Apel (Ithinx & Dani Mamesah, 1983)
6. AtiekCB: Risau (Cecep AS, 1984)
7. BerlianHutauruk: Kubongkar Teraliku (Dodo Zakaria, 1986)
8. BethariaSonatha: Hati yang Luka (Obbie Mesakh, 1987)
9. BigKids: Naluri Wanita (Harry Toos, 1983)
10. Bill& Brod: Madu dan Racun (Arie Wibowo & Jonathan Purba, 1985)
11. BillyEden: Susanna (The Art Company/Widyanarto, 1984)
12. Bimbo:Citra (Acil, Jaka, dan Sam, 1980)
13. BiruLangit: Luka (Nuris Iskandar, 1985)
14. Bob Tutupoly: Symphony yang Indah (Robby Lea, 1980)
15. BornokHutauruk: Rinai Hujan (Guruh Soekarno Putra, 1984)
16. BroeryPesolima: Aku Jatuh Cinta (Rinto Harahap, 1987)
17. ChristinePanjaitan: Tangan Tak Sampai (Rinto Harahap, 1983)
18. Chrisye:Hening (Chrisye & Eros Jarot, 1983)
19. DeddyDores & Lilian Angela: Kasihku (Wandy, 1981)
20. DewiYull: Kasihku (Andy Mapajalos, 1987)
21. DianPiesesha: Tak Ingin Sendiri (Pance Pondaag, 1984)
22. DianPramana Poetra: Kau Seputih Melati (Jockie Soeryoprayogo, 1986)
23. DinaMariana: Ingat Kamu (Ririn S., 1988)
24. DodoZakaria: Mallisa (Dodo Zakaria, 1986)
25. Drakhma:Tiada Ku Sadari (Dani Mamesah & Dodo Zakaria, 1985)
26. EbietG. Ade: Untuk Kita Renungkan (Ebiet G. Ade, 1982)
27. Elfa’sSingers: Masa Kecil (Dian PP dan Sumiati, 1988)
28. ElvySukaesih: Mandi Madu (Toto Ario, 1984)
29. EndangS. Taurina: Apa yang Kucari (A. Riyanto, 1983)
30. ErmyKullit: Kasih (Richard Kyoto, 1986)
31. Ervina:Jangan Parkir Disitu (A. Riyanto, 1984)
32. EuisDarliah: Apanya Dong (Titiek Puspa, 1982)
33. FaridHarja (duet dengan Gito Rollies): 123 (Farid Harja, 1987)
34. FarizRM: Sakura (Fariz RM, 1980)
35. Geronimo V: Indahnya Musik Kami (Anton Issoedibyo, 1980)
36. GitoRollies: Astuti (Oetje F. Tekol, 1987)
37. GodBless: Semut Hitam (Donny Fatah & Jockie Soeryoprayogo, 1988)
38. Gombloh:Kugadaikan Cintaku (Gombloh, 1986)
39. GraceSimon: Lihat Air Mata (Grace Simon, 1983)
40. HamdanATT: Termiskin di Dunia (Endang Raes, 1980)
41. HarryMoekti: Ada Kamu (Jessy Robot, 1988)
42. HarveyMalaiholo: Seandainya Selalu Satu (Elfa Secioria & Wieke Gur, 1986)
43. HeidyDiana: Bintangku Bintangmu (Nosita, 1986)
44. HettyKoes Endang: Sayang (Titik Hamzah, 1983)
45. HutaurukSisters: Dirimu Satu (Tarida Hutauruk, 1981)
46. IkangFawzi: Salam Terakhir (Ikang Fawzi, 1986)
47. IriantiErningpraja: Ada Kamu (Elfa Secioria & Irianti Erningpraja, 1986)
48. ItaPurnamasari: Penari Ular (Arthur Kaunang, 1988)
49. ItangYunasz: Aku Cinta Padamu (Oddie Agam, 1989)
50. ItjeTrisnawati: Duh Engkang (Muchtar B., 1988)
51. IwanFals: Yang Terlupakan (Iwan Fals, 1981)
52. JamalMirdad: Hati Selembut Salju (Harry Toos, 1981)
53. JayanthiMandasari: Lorong-Lorong Hitam (Dodo Zakaria, 1985)
54. JohanUntung: Nusantara 3 (A. Riyanto, 1981)
55. JuliusSitanggang: Maria (Kicky AB, 1988)
56. Kelompok7 Suara (7 Bintang): Jalan Masih Panjang (Dian Pramana Poetra & DeddyDhukun, 1989)
57. KembarGroup: Frustasi (Kembar Group, 1980)
58. KikiMaria: Esok Milik Kita (Dodo Zakaria, 1985)
59. KLa:Tentang Kita (Katon Bagaskara & Lilo Radjadin, 1987)
60. Krakatau:Gemilang (Dwiki Dharmawan & Mira Lesmana, 1987)
61. Lex’sTrio: Anak Nelayan (Dani Mamesah, 1983)
62. Louise Hutauruk:Yang Maha Mulia (Kretarto H.W., 1987)
63. Maharani Kahar:Desember Kelabu (A. Riyanto, 1982)
64. Malyda& Deddy Dhukun: Aku Jadi Bingung (Dian Pramana Poetra & Deddy Dhukun,1988)
65. Marini: Senja Merah (Roekanto D & Esti W, 1980)
66. MeriamBellina: Untuk Sebuah Nama (Pance Pondaag, 1984)
67. MusMujiono: Tanda-Tanda (Oddie Agam, 1988)
68. NenoWarisman: Matahariku (Tarida Hutauruk, 1983)
69. NiaDaniaty: Gelas-Gelas Kaca (Rinto Harahap, 1985)
70. NickyAstria: Misteri Cinta (Ully Sigar Rusady, 1985)
71. NolaTilaar (ft. Masnait VG): Dansa Reggae (Melky Goeslaw, 1983)
72. NurAfni Octavia: Senandung Doa (Wahyu OS, 1985)
73. ObbieMesakh: Kisah Kasih di Sekolah (Obbie Mesakh, 1987)
74. OddieAgam: Akhirnya (Younky S & Deddy Dhukun, 1987)
75. OrkesMoral Pengantar Minum Racun: Judul-Judulan (Kuntet Mangkulangit, 1987)
76. ParamithaRusady: Nostalgia di SMA (Dadang S. Manaf)
77. PrettySister’s: Kau dan Liku (Titik Hamzah, 1983)
78. RafikaDuri: Tirai (Cecep AS, 1983)
79. RamonaPurba: Terlena (Cecep AS, 1984)
80. RanoKarno: Bukalah Kacamatamu (Ted Soetejo, 1988)
81. RatihPurwasih: Antara Benci dan Rindu (Obbie Mesakh, 1986)
82. RemySilado: Bromocorah dan Putrinya (Remy Sylado, 1983)
83. RennyJayusman: Potret (Emir Aka & TR Emich, 1987)
84. RhomaIrama: Hari Berbangkit (Rhoma Irama, 1980)
85. RiaResty Fauzi: Cintaku Sedalam Lautan Atlantik (Adriadie, 1985)
86. RichieRicardo: Cuma Dia (Titiek Puspa, 1983)
87. RietaAmelia: Aku (Dodo Zakaria, 1984)
88. RinaSidabutar: Martinah (Titiek Puspa, 1983)
89. RitaButar Butar: Seandainya Aku Punya Sayap (Rinto Harahap, 1980)
90. RitaSugiarto: Jacky (Rita Sugiarto, 1983)
91. RobinPanjaitan: Sonata yang Indah (Dakka Hutagalung, 1984)
92. Rollies:Problema (Oetje F. Tekol, 1986)
93. Rumpies:Nurleila (Sam Bobo & Deddy Dhukun, 1989)
94. RuthSahanaya: Memori (Oddie Agam, 1987)
95. SandroTobing: Nuansa Kasih (Dorie Kalmas, 1989)
96. Search:Isabella (Search & Bob, 1989)
97. SersanPrambors: Cintaku Secetek Sungai Gangga (Sys NS & Abadi Soesman, 1986)
98. SheilaMadjid: Sinaran (Azlan Abu Hassan & Johan Nawawi, 1987)
99. SuaraPersaudaraan: Anak-Anak Terang (James F. Sundah, Adjie Soetama, B.J. Rianto,Addie M.S., Utha Likumahuwa, Lydia, Imaniar, Chris Manusama, 1985)
100. Swami:Bongkar (Swami, 1989)
101. TikaBisono: Pagi (Chrisye & Adjie Soetama, 1987)
102. TinaTetelepta (duet dengan Harvey Malaihollo): Dering (Titik Hamzah, 1985)
103. TitiDwijayati (feat. Indra Lesmana): Ekspresi (Indra Lesmana & Mira Lesmana,1988)
104. TitiekPuspa (feat. Bob Tutupoly): Bambu-Bambu (Titiek Puspa, 1987)
105. TitikHamzah: Siksa (Titik Hamzah, 1981)
106. TitoSoemarsono: Kamu (Tito Soemarsono & Pancasilawan, 1985)
107. ToarTangkau: Adakah Hari Esok (Eric v. Houten, 1981)
108. TommyJ. Pisa: Di Batas Kota Ini (Youngky RM, 1988)
109. TrieUtami: Keraguan (Edwin Saladin R. & Adelansyah, 1988)
110. Trio Libels: Gadisku (Kendi Kamandalu, 1989)
111. Tuty Ahem: Dapatkah Desaku Berseri Lagi (Tuty Ahem &Wiwiek, 1983)
112. Tyas Dratistiana: Merah Putih (Gombloh, 1983)
113. Uci Bing Slamet: Bukit Berbunga (Yonas Pareira, 1982)
114. UllySigar Rusady: Rumah yang Manis (Elsa Sigar [umur 9 tahun!], 1982)
115. UthaLikumahuwa: Aku Pasti Datang (Dodo Zakaria, 1985)
116. VinaPanduwinata: Sungguh (Fariz RM, 1989)
117. VonnySumlang: Ratu Sejagad (Dani Mamesah, 1987)
118. YanaYulio & Lita Zen: Emosi Jiwa (Harry Sabar, 1988)
119. YopieLatul: Kembalikan Baliku (Guruh Soekarno Putra, 1987)
120. ZwestyWirabhuana: Bagiku Kaulah Segalanya (Anton Issoedibyo, 1983)
Sumber data:
- YouTube
May 22, 2024
80 Lagu Pop Indonesia 80-an yang Mewarnai Masa Remaja Saya (Bukan Kanonisasi, Hanya Rekomendasi)
Selera musik seseorang, konon, macet di usia 30-an tahun.Selera musik saya, kayaknya terkurung di era 1980-an, khususnya pada lagu-lagu “popkreatif” (sebagai arus tandingan dari “pop cengeng”) Indonesia yang marak kalaitu. Sampai saat ini saya masih mencoba memperluas lingkup jelajah musikal,tapi lagi-lagi ya seringnya balik ke lagu-lagu era ini. Pas lagi nganggur, paslagi dalam perjalanan jauh, pas lagi sumpek: lagu-lagu ini (tidak peduli isiliriknya meski kebanyakan bisa mengikuti walau kadang cuma sepotong-sepotong,mungkin lebih condong ke gaya khas tata musik masa itu) cepet banget jadipembangkit semangat dan kegembiraan dan sekaligus jadi semacam mesin waktu: nostalgiayang membahagiakan ke zaman memble tapi kece tersebut.
Tadi pagi iseng-iseng melanjutkan daftar yang sempat mangkrak,menggenapinya jadi 80 lagu, mewakili lagu-lagu yang rasanya paling sering sayaputar ulang. Tanpa peringkat, disusun secara alfabetis, sekadar mengandalkaningatan, tak sempat mencari siapa penciptanya, biarlah campur aduk, tapi diusahakanmenampilkan banyak penyanyi. Kalau tidak, bisa ditebak, daftar ini bakaldipenuhi lagu-lagu Vina.
1. Aku (Rita Amelia)
2. AkuIni Punya Siapa (January Christy)
3. Aku Jatuh Cinta (Broery Pesolima)
4. Anak-Anak Terang (Suara Perdamaian)
5. Antara Anyer dan Jakarta (Sheila Madjid)
6. Antara Benci dan Rindu (Ratih Purwasih)
7. Apanya Dong (Euis Darliah)
8. Barcelona (Fariz RM)
9. Begitulah Cinta (Vina Panduwinata & HarveyMalaiholo)
10. Burung Camar (Vina Panduwinata)
11. Burung Kecil (Gito Rollies)
12. CintakuSedalam Lautan Atlantik (Ria Rezty Fawzi)
13. Di Dadaku Ada Kamu (Vina Panduwinata)
14. Dia (Harvey Malaiholo)
15. Dirimu Satu (Bornok S. Hutauruk)
16. Ekspresi (Titi D.J. & Indra Lesmana)
17. Emosi Jiwa (Yana & Lita)
18. Esok ‘Kan Masih Ada (Utha Likumawuha)
19. Gemilang (Krakatau)
20. Gempita dalam Dada (Harvey Malaiholo)
21. Hanya Misteri (Euis Darliah)
22. Hati Seputih Salju (Jamal Mirdad)
23. Hati yang Luka (Betharia Sonata)
24. Indonesia Jaya (Harvey Malaiholo)
25. Jalan Masih Panjang (7 Bintang)
26. Jarum Neraka (Nicky Astria)
27. Katakan Sejujurnya (Christine Panjaitan)
28. Kau dan Liku (Happy Pretty)
29. Kau Seputih Melatih (Dian Pramana Putra)
30. Keraguan(Trie Utami)
31. Kisah Kasih di Sekolah (Obbie Mesakh)
32. Kok Jadi Gini? (Hetty Koes Endang)
33. Kubongkar Teraliku (Berlian Hutauruk)
34. KugadaikanCintaku (Gombloh)
35. Kulihat Cinta di Matanya (Neno Warisman)
36. Kumenanti Seorang Kekasih (Iwan Fals)
37. Kumpul Bocah (Vina Panduwinata)
38. Lagu untuk Sebuah Nama (Ebiet G. Ade)
39. Luka (Biru)
40. Maaf (Vina Panduwinata)
41. Madu dan Racun (Bill & Brod)
42. Martinah (Rita Sida Butar)
43. Masa Kecil (Elfa’s Singers)
44. MasihAda (2D)
45. Mata Indah Bola Pingpong (Iwan Fals)
46. Matahariku (Neno Warisman)
47. Melayang(January Christy)
48. Memori (Ruth Sahanaya)
49. Misteri Cinta (Nicky Astria)
50. Nada Kasih (Fariz R.M. & Neno Warisman)
51. Nostalgia SMA (Paramitha Rusady)
52. Nurlela (Rumpies)
53. Pagi (Tika Bisono)
54. Permata Hitam (Ikang Fawzi)
55. Pijar (Nicky Astria)
56. Prahara Cinta (Lydia & Imaniar)
57. Puncak Asmara (Utha Lukumahuwa)
58. Ratu Sejagad (Vonny Sumlang)
59. Risau (Atiek C.B.)
60. Rumah Kita (God Bless)
61. Rumah yang Manis (Ully Sigar Rusady)
62. Sakura (Fariz RM)
63. Salam Terakhir (Ikang Fawzi)
64. Sayang (Hetty Koes Endang)—Hidden gem—the real hidden gem.
65. Seandainya Selalu Satu (Harvey Malaiholo)
66. Selamat Jalan, Kekasih (Chrisye)
67. Semua Jadi Satu (Mayda & 2D)
68. Semut Hitam (God Bless)
69. Sendiri (Chrisye)
70. September Ceria (Vina Panduwinata)
71. Siksa (Titik Hamzah)
72. Sinaran (Sheila Madjid)
73. Sungguh (Vina Panduwinata)
74. Tak Ingin Sendiri (Dian Piesesha)
75. TakKuduga (Ruth Sahanaya)
76. Tanda-Tanda (Mus Mujiono)
77. Tentang Kita (Kla)
78. Terlena (Ramona Purba)
79. Tirai (Rafika Duri)
80. Tragedi Buah Apel (Anita Sarawak)
May 8, 2024
Tempat Beribadah
Dalam kebanyakan agama, sekali lagi, silakan dikoreksi jika saya keliru, rumah ibadah biasanya berada di tengah-tengah warga penganut agama tersebut. Dengan kata lain, warga umumnya beribadah di rumah ibadah terdekat dengan rumahnya. Jika sebuah kampung dihuni pemeluk agama A dan B, misalnya, di kampung itu pun ada rumah ibadah agama A dan agama B.
Orang Kristen, khususnya di gereja bukan arus utama dan di wilayah urban, tidak demikian. Mereka tidak otomatis beribadah di gereja terdekat. Orang Kristen terbagi dalam berbagai "kandang", golongan, aliran, atau denominasi, dan gereja terdekat belum tentu merupakan "kandang" yang paling cocok dengannya.
Saya tinggal di Kemetiran, selatan parkiran Stasiun Tugu. Di dekat rumah, tinggal berjalan kaki, ada Gereja Katolik dan Gereja Pentakosta. Saya tidak beribadah ke situ karena saya warga GKJ Jatimulyo, Jl. Magelang (meskipun saya juga jarang datang beribadah ke sini).
Sebaliknya, Pak Yohanes yang tinggal di Jl. Magelang, misalnya, belum tentu ia bergereja di salah satu gereja di sepanjang Jl. Magelang. Mungkin saja ia sekeluarga beribadah di sebuah gereja di Jl. Solo. Seorang teman saya tinggal di Kronggahan. Setiap Minggu pagi ia beribadah di gerejanya yang berada di daerah Sedayu. Minggu malamnya, ia mengikuti ibadah di gereja cabang yang berada di Demangan. Itu untuk urusan ibadah raya atau ibadah umum.
Lain lagi untuk ibadah kelompok kecil atau ibadah keluarga. Pak Markus, misalnya, satu-satunya orang Kristen di kampung A. Ia beribadah di gereja yang kebaktian umum di sebuah mal di pusat kota, 10 kilometer dari kampungnya. Ketika suatu malam ia menjadi tuan rumah ibadah kelompok kecil gerejanya, tak ayal tamu-tamu yang datang ke rumahnya adalah orang-orang dari daerah-daerah lain.
Dengan demikian, baik dalam ibadah umum maupun ibadah kelompok kecil, gereja atau rumah orang Kristen sangat mungkin didatangi oleh warga gereja yang berasal dari daerah-daerah lain yang jauh. Mereka tidak menganggap kedekatan sebagai alasan utama untuk bergabung dengan gereja tertentu. Mereka lebih memikirkan kesamaan aliran (denominasi) dan kenyamanan berkomunitas. Jarak yang jauh tidak dianggap sebagai beban, malah jadi bukti komitmen dan kesetiaan.
SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah tidak memahami dinamika persebaran warga dalam bergereja ini. Sangat sulit, nyaris mustahil, gereja tertentu memenuhi persyaratannya, khususnya bagian dukungan warga sekitar. Terpaksalah menerima nasib: pembangunan gereja mangkrak. Atau, menempuh jalur lain, misalnya menyewa ruang di mal, hotel, atau gedung pertemuan untuk tempat ibadah umum rutin. Atau entah jalur lain mana lagi.
Adapun dalam hal ibadah rumah, akan selalu ada kemungkinan rumah orang Kristen didatangi orang-orang Kristen dari daerah lain untuk beribadah bersama. Bukan berarti rumah itu mau dijadikan gereja, tetapi sekadar digunakan untuk ibadah bersama sesekali.
Pemeluk agama lain mungkin memandangnya aneh. Lebih tepatnya: berbeda. Praktik ibadah orang beragama lain sudah sewajarnya berbeda dari praktik ibadah kita, bukan?
Praktik ibadah yang berbeda itu mungkin terkesan ribut dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemeluk agama lain. Namun, kalau perbedaan tersebut dianggap sebagai ancaman, gangguan, bahkan sumber keresahan sosial yang mau tidak mau harus segera dihentikan, bukankah respons semacam itu terlalu berlebihan? Bukankah perbedaan itu bagian dari realitas kebhinnekaan kita, yang semestinya dirayakan, bukan dicurigai?
Bagaimanapun, negara ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah "menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Frasa itu belum diubah menjadi "menurut izin, keikhlasan, dan kesepakatan warga dan ormas setempat," bukan?
Kalau memang si tuan rumah lalai tidak minta izin kepada ketua RT atau warga setepat, mestinya bisa ditegur, diajak berbicara secara baik-baik, misalnya diminta menurunkan volume suara ibadah. Masakan harus digeruduk, dibubarkan, dan diancam-ancam dengan senjata tajam seolah-olah menghadapi gerombolan kriminal?


