Yuliani Liputo's Blog: BLOG YULIANI
August 18, 2025
Agustus dan Rosemary
Agustus hujan terus. Saya tidak menyangka cuaca Agustus tahun ini akan seperti ini. Dingin di pagi hari selama musim kemarau memang hal yang biasa di Bandung. Suhu pagi bisa di kisaran 17-20 derajat, lalu siang hari terik dengan suhu bisa tembus 28–30 derajat. Rentang yang cukup lebar. Itu yang saya ingat dari Agustus tahun-tahun sebelumnya.
Read more »Agustus Hujan Terus
Agustus hujan terus. Saya tidak menyangka cuaca Agustus tahun ini akan seperti ini. Dingin di pagi hari selama musim kemarau memang hal yang biasa di Bandung. Suhu pagi bisa di kisaran 17-20 derajat, lalu siang hari terik dengan suhu bisa tembus 28–30 derajat. Rentang yang cukup lebar. Itu yang saya ingat dari Agustus tahun-tahun sebelumnya.
Read more »March 2, 2025
Umak
Umak berangkat pagi-pagi. Pukul enam, ketika kedua jarum jam bertaut lurus ke atas. Lurus seperti jalan hidup beliau. Umak pergi tanpa pesan, tanpa pertanda. Atau, barangkali, kitalah yang tak cukup waspada membacanya.
Read more »February 1, 2025
Gaza: Api yang Tak Padam
Menjelang tidur, saya memikirkan bagaimana Rahaf, Hosam, Karima, akan melewatkan waktu malam ini. Mereka baru saja tiba kembali di Gaza utara setelah pintu lintasan Netzarim akhirnya dibuka pada 26 Januari 2025. Mereka berjalan kaki sejauh tujuh kilometer sambil membawa beban berat barang-barang yang tersisa dari tenda pengungsian yang kelima di selatan.Read more »
December 13, 2024
Akhir adalah Sebuah Awal
Penghujung tahun ini akan menandai berakhirnya sebuah babak penting dalam perjalanan karier saya. Saya akan pensiun per 31 Desember 2024. Pensiun dari pekerjaan yang sudah saya geluti sejak 1994 (dengan jeda pada 2000-2010).
Read more »November 11, 2023
Navigating the Cosmos: Exploring the Harmony Between Islam and Science

In a captivating book discussion, Prof Nidhal Guessoum, PhD, and Dr Zainal Abidin Bagir delved into the intricate relationship between science and Islam. The conversation, sparked by Guessoum’s scientific background and a deep curiosity about the intersection of science and religion, unfolded as a journey through history, philosophy, and the challenges of harmonizing these seemingly disparate realms.
Read more »November 8, 2023
Tiga Penyair Membuka Jaktent
Semalam saya menghadiri acara pembukaan Jaktent. Acaranya berlangsung hanya selama satu jam, tapi sangat mengesankan. Mata acara penghujungnya adalah yang paling menarik. Setelah beberapa percakapan seremonial, tiga penyair tampil untuk membacakan puisi. Satu dari Palestina, Maya al Hayyat. Dua dari Indonesia, Aan Mansyur dan Rebecca Kezia.
Maya al Hayyat baca tiga puisi dalam bahasa Arab karyanya sendiri, dengan terjemahan inggris disorotkan ke layar besar di depan. Aan dan Becca masing-masing baca dua puisi karya penyair Palestina, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Taufiq Ismail.
Jarang saya bisa merasa begitu terpukau menyaksikan sebuah penampilan pembacaan puisi. Puisi bahasa Arab meski terasa asing namun asyik didengar karena rima syairnya, panjang pendek kalimat dan baitnya, membuatnya mengalun seperti musik. Puisi terjemahan Taufiq Ismail berhasil menggali kekayaan daya ekspresi bahasa Indonesia, sehingga tak kalah piawai mendentingkan bunyi dan makna yang menggugah.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Pembacaan oleh Becca secara khusus terasa sangat kuat menyentuh emosi. Puisinya berjudul "Aku Mereka Sekap", karya Fadwa Tuqan.
Becca mengawali pembacaannya dengan suara biasa saat memperkenalkan judul puisi dan nama penyairnya. Tapi, begitu masuk kalimat pertama puisi itu, nada suaranya langsung berubah, seperti berbisik, nada rendah seolah-olah dia takut suaranya terdengar oleh musuh.
Tanpa terasa kita yang mendengar pun menahan napas sepanjang pembacaannya. Tersedot ke dalam atmosfer yang diciptakan nada suara yang sayup namun tegas. Ketika dia tiba di kalimat terakhir, dari ruangan terdengar hembusan napas panjang, seolah-olah melepas tekanan yang sempat tertahan dua menit.
Ini puisinya. Singkat, tapi dahsyat.
| Aku Mereka Sekap | Taufiq Ismail | Fadwa Tuqan |
Aku mereka sekap
Dalam sel yang gelap
Jeroanku menggelegak
Dengan panas seribu obor
Nomorku mereka tulis di dinding
Dinding itu
berubah jadi
lapangan bola
Muka algojoku
Mereka gambar di dinding
muka itu meleleh
menetes habis
Peta bumimu
kugambar dengan gigi
di dindingmu
Dan kutulis lagu
Malam yang biru
Dan kusepak
kekalahanku
Cerai-berai
Dan tanganku
Menyinarkan cahaya
Mereka mana menang
Mana
Mereka memasang
Gempa.
Tiga Penyair Membuka Jaktent 2023
Semalam saya menghadiri acara pembukaan Jaktent. Acaranya berlangsung hanya selama satu jam, tapi sangat mengesankan. Mata acara penghujungnya adalah yang paling menarik. Setelah beberapa percakapan seremonial, tiga penyair tampil untuk membacakan puisi. Satu dari Palestina, Maya al Hayyat. Dua dari Indonesia, Aan Mansyur dan Rebecca Kezia.
Maya al Hayyat baca tiga puisi dalam bahasa Arab karyanya sendiri, dengan terjemahan inggris disorotkan ke layar besar di depan. Aan dan Becca masing-masing baca dua puisi karya penyair Palestina, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Taufiq Ismail.
Jarang saya bisa merasa begitu terpukau menyaksikan sebuah penampilan pembacaan puisi. Puisi bahasa Arab meski terasa asing namun asyik didengar karena rima syairnya, panjang pendek kalimat dan baitnya, membuatnya mengalun seperti musik. Puisi terjemahan Taufiq Ismail berhasil menggali kekayaan daya ekspresi bahasa Indonesia, sehingga tak kalah piawai mendentingkan bunyi dan makna yang menggugah.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Pembacaan oleh Becca secara khusus terasa sangat kuat menyentuh emosi. Puisinya berjudul "Aku Mereka Sekap", karya Fadwa Tuqan.
Becca mengawali pembacaannya dengan suara biasa saat memperkenalkan judul puisi dan nama penyairnya. Tapi, begitu masuk kalimat pertama puisi itu, nada suaranya langsung berubah, seperti berbisik, nada rendah seolah-olah dia takut suaranya terdengar oleh musuh.
Tanpa terasa kita yang mendengar pun menahan napas sepanjang pembacaannya. Tersedot ke dalam atmosfer yang diciptakan nada suara yang sayup namun tegas. Ketika dia tiba di kalimat terakhir, dari ruangan terdengar hembusan napas panjang, seolah-olah melepas tekanan yang sempat tertahan dua menit.
Ini puisinya. Singkat, tapi dahsyat.
| Aku Mereka Sekap | Taufiq Ismail | Fadwa Tuqan |
Aku mereka sekap
Dalam sel yang gelap
Jeroanku menggelegak
Dengan panas seribu obor
Nomorku mereka tulis di dinding
Dinding itu
berubah jadi
lapangan bola
Muka algojoku
Mereka gambar di dinding
muka itu meleleh
menetes habis
Peta bumimu
kugambar dengan gigi
di dindingmu
Dan kutulis lagu
Malam yang biru
Dan kusepak
kekalahanku
Cerai-berai
Dan tanganku
Menyinarkan cahaya
Mereka mana menang
Mana
Mereka memasang
Gempa.
August 16, 2023
Asal-Usul dan Arti Kata "Rest in Peace"
Photo by Gayatri Malhotra on Unsplash“Death is not extinguishing the light; it is putting out the lamp because the dawn has come.”- Rabindranath TagoreRead more »
August 10, 2023
Tamasya Sastra Melalui Narasi Pasca-Kolonial Abdulrazak Gurnah
Penikmat sastra di Indonesia menyambut gembira diluncurkannya edisi Indonesia novel Paradise, yang ditulis oleh pengarang berkebangsaan Tanzania-Britania, Abdulrazak Gurnah. Buku yang pertama terbit di Inggris pada 1994 itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Malkan Junaidi dan diterbitkan oleh Mizan pada Juli 2023.
Read more »

