Dwi Cipta's Blog
September 29, 2025
Impunitas Kekal Israel
Oleh: Eduardo Galeano

Untuk menjustifikasi dirinya sendiri, terorisme negara memproduksi para teroris: ia menanam kebencian dan memanen alibi. Segala sesuatunya mengindikasikan bahwa rumah pejagalan Gaza, yang menurut pencipta kejahatan dijadikan sebagai tempat pematangan para teroris, akan menjadi saksi dari tercapainya tujuan tersebut.
***
Sejak 1948, kehidupan orang-orang Palestina dikutuk tenggelam dalam penistaan abadi. Mereka tak bisa menghirup napas tanpa permisi. Mereka kehilangan negerinya, tanah, air, kebebasan; mereka kehilangan segala yang jadi miliknya. Mereka bahkan tak punya hak untuk memilih pemerintah mereka. Ketika mereka memilih orang-orang yang tak semestinya, mereka diganjar hukuman. Gaza kini tengah mendapatkan ganjaran semacam itu. Wilayah ini dirubah menjadi perangkap tikus tanpa jalan keluar semenjak Hamas memenangi Pemilu 2006. Ini mirip dengan peristiwa tahun 1932 ketika Partai Komunis memenangkan Pemilu di El Salvador. Dengan tubuh berlumuran darah, orang-orang El Salvador menebus perilaku yang dianggap buruk, dan sejak saat itu mereka hidup dalam ketiak kediktatoran militer. Demokrasi menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.
***
Roket-roket yang ditujukan pada kaum militan Hamas di Gaza, di tanah yang dulu menjadi hak milik orang-orang Palestina dan kini dikangkangi oleh orang Israel, bagaikan bocah-bocah lemah syahwat. Dan keputusasaan, di tepi kegilaan sekarat, adalah ibu dari ancaman-ancaman yang menyangkal hak eksisnya Israel di Gaza. Jerit tanpa kesan, yang disangkal selama bertahun-tahun oleh Israel lewat perang pemusnahan yang sangat efisien, menjelma menjadi hak paling shahih atas eksisnya Palestina.
Palestina kini hanya sebuah noktah kecil. Setahap demi setahap Israel menghapusnya dari peta dunia.
Kaum kolonialis menyingkirkan tapal batas, lalu serdadu mereka menyerbu. Peluru-peluru dimuntahkan untuk menyucikan barang rampasan. Muntahan peluru dideklarasikan sebagai usaha bertahan yang masuk akal.
Tak ada perang agresif yang tidak dibualkan sebagai usaha mempertahankan diri. Hitler menginvasi Polandia untuk mencegah Polandia menginvasi Jerman. George Bush menginvasi Irak untuk mencegah Irak menginvasi dunia. Dalam tiap perang defensif, Israel menelan bagian demi bagian wilayah Palestina: pesta terus berlanjut. Pengganyangan ini dijustifikasi oleh tanah yang dijanjikan pada Israel di dalam Al Kitab, sebagai imbalan karena selama dua ribu tahun orang-orang yahudi mengalami penderitaan; pengganyangan yang akan terus melahirkan kepanikan dalam diri orang-orang Palestina entah sampai kapan.
***
Israel adalah sebuah negara yang tak pernah sesuai dengan rekomendasi resolusi PBB, yang tak pernah mematuhi putusan-putusan pengadilan internasional, yang mengejek hukum-hukum internasional, dan juga menjadi satu-satunya negara yang mengesahkan penyiksaan pada tahanan.
Siapa yang telah menghadiahkan hak untuk membatalkan semua hak-hak? Darimana asal impunitas yang bisa dipakai Israel untuk melakukan pembantaian di Gaza ini? Pemerintah Spanyol tak bisa membom wilayah Basque untuk menghentikan ETA; pemerintah Inggris juga tak bisa menggunakan bom untuk menghancurkan Irlandia dan melikuidasi IRA. Mungkinkah tragedi holocaust menjustifikasi kebijakan impunitas yang tak kenal batas waktu ini? Ataukah lampu hijau ini berasal dari negara adikuasa yang telah mengangkat Israel sebagai tangan kanan terpercayanya di wilayah Arab ini?
***
Serdadu Israel, — serdadu yang paling modern dan paling canggih di dunia — tahu siapa yang dibantainya. Meraka tak membantai tanpa sengaja. Berdasarkan kamus perang-perang imperial, korban sipil disebut kerusakan tak disengaja (collateral damages). Di Gaza, 3 dari sepuluh kerusakan tak disengaja ini adalah bocah-bocah polos. Dan jumlah orang yang terluka bertambah jadi ribuan. Mereka adalah korban dari mutilasi manusia yang diciptakan oleh industri perang dalam operasi pemusnahan etnis ini.
Dan seperti yang sudah-sudah, hal yang sama terjadi: di Gaza, satu nyawa orang Israel ditebus dengan seratus nyawa orang Palestina.
Orang-orang Israel yang berbahaya inilah yang bertanggungjawab atas manipulasi media agar kita percaya bahwa tiap nyawa orang Israel layak dibayar dengan seratus nyawa orang Palestina. Dan media-media tersebut mengarahkan kita untuk berpikir bahwa dua ratus bom atom yang dimiliki Israel berperikemanusiaan, sementara sebuah bom nuklir yang dimiliki Iran adalah bom yang telah meluluh-lantakkan Hiroshima and Nagasaki.
***
Lalu apakah yang kita sebut sebagai komunitas Internasional itu benar-benar ada?
Apakah yang kita sebut sebagai komunitas internasional itu tak lebih dari sekumpulan pedagang, bankir, dan pencipta perang? Apakah komunitas internasional itu hanya sebuah nama artistik yang dipakai oleh Amerika Serikat ketika ia masuk ke dalam panggung sandiwara?
Di hadapan tragedi Gaza, kemunafikan tampil sekali lagi. Seperti biasa, sikap acuh tak acuh, wacana kosong, deklarasi hampa, deklamasi yang memekakkan telinga, dan sikap ambigu memberikan penghargaan tertingginya pada impunitas sakral Israel ini.
Di hadapan tragedi Gaza, negeri-negeri Arab cuci tangan. Selalu begitu. Dan, seperti yang sudah-sudah, negeri-negri Eropa sbuk meremas tangannya sendiri.
Eropa yang renta, yang begitu terampil berperang dan melakukan kekejaman, hanya meneteskan airmata sembari diam-diam ikut merayakan perbuatan kejam ini. Dulu orang-orang Eropa punya kebiasaan memburu dan membantai yahudi. Namun setengah abad kemudian hutang sejarah yang dimiliki orang-orang Eropa ini dilimpahkan begitu saja pada orang Palestina yang sama semit-nya dengan yahudi dan tak pernah bersikap anti-semit. Orang Palestina membayar, dengan darah, dosa-dosa yang dilakukan orang lain.
(Esai ini ditulis oleh Eduardo Galeano dan didedikasikan untuk sahabat-sahabat yahudinya yang dibantai oleh diktator Amerika Latin. Para diktator itu terus berkuasa di Amerika Latin berkat konsultan terpercaya mereka: Israel. Edisi Bahasa Inggris dari esai ini diterbitkan di website New Internationalist pada 21 Januari 2009 (https://newint.org/features/special/2009/01/21/israels-eternal-impunity). Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Dwi Cipta)
[image error]September 8, 2025
Dua Puluh Perwujudan Birokrasi
Oleh Mao Zedong
[image error]Kate Ausburn di Unsplash" src="https://cdn-images-1.medium.com/max/1..." />Foto oleh Kate Ausburn di Unsplash1. Orang yang berada di puncak birokrasi berpengetahuan sangat sedikit; mereka tak memahami apa yang diungkapkan massa rakyat; mereka tak menyelidik dan mempelajari sesuatu hal; mereka tak paham kebijakan- kebijakan spesifik; mereka tak melakukan kerja-kerja politis dan ideologis; mereka tercerai dari kenyataan, dari massa rakyat, dan dari kepemimpinan partainya; mereka selalu mengeluarkan perintah-perintah, dan biasanya perintah yangsalah, sehingga secara meyakinkan mereka tengah menyesatkan negeri dan rakyatnya; paling tidak mereka merintangi kepatuhan konsisten pada garis partai dan kebijakan-kebijakannya; dan mereka tidak bisa bertatap muka dengan massa rakyat.
2. Mau berwatak sombong atau baik, mereka mendiskusikan politik tanpa arah. Selain subyektif dan memandang sesuatu dari satu sisi, mereka tak memahami pekerjaan mereka sendiri; mereka ceroboh; mereka tak mendengar suara rakyat; mereka garang dan sewenang-wenang; mereka suka memaksakan perintah; mereka tak peduli pada kenyataan; mereka mempertahankan kontrol buta. Inilah yang disebut birokrasi otoriter.
3. Mereka sangat sibuk dari subuh hingga tengah malam dan bekerja sepanjang tahun; mereka tak pernah terlibat dengan massa rakyat dan tak menyelidiki berbagai persoalan; mereka tak mempelajari kebijakan; mereka tak menyandarkan diri pada massa; mereka tak mempersiapkan pernyataan- pernyataannya; mereka tak merencanakan pekerjaannya. Inilah birokrasi bebal dan salah urus. Dengan kata lain, inilah yang disebut rutinisme.
4. Perilaku birokratis mereka menyebar kemana-mana; namun tak bertujuan sama sekali; mereka egois; mereka memukul gong atau membunyikan klakson hanya supaya orang menyingkir; mereka membikin orang takut hanya dengan menatap mereka; Mereka melakukan berbagai bentuk kekerasan pada rakyat; gaya kerja mereka mentah; mereka tak memperlakukan orang secara setara. Inilah yang dinamakan birokrasi pertuanan.
5. Mereka acuh-tak acuh; mereka malu bertanya apa pun yang tidak mereka ketahui; mereka suka berlebihan dan berdusta; mereka suka keliru; mereka menimpakan berbagai macam kesalahan pada rakyat sementara mengaku- aku segala yang baik dari dirinya sendiri; mereka menipu pemerintah pusat; mereka menipu orang-orang atasan dan membodohi para bawahan; mereka menyembunyikan berbagai kekeliruan dan tutup-mata atassemua perbuatan salah. Inilah birokrasi yang tak jujur.
6. Mereka tak paham politik. Mereka mangkir dari pekerjaan; mereka menarik berbagai hal dari jamahan orang lain; mereka tak menjalankan tanggungjawabnya; mereka suka tawar-menawar; mereka suka menahan- nahan berbagai hal; mereka bengak dan kehilangan kewaspadaan. Inilah yang disebut birokrasi yang tak bertanggungjawab.
7. Mereka lalai terhadap berbagai hal; mereka bertahan dengan berbagai cara; mereka tak punya kaitan apa pun dengan massa rakyat; mereka selalu membuat kekeliruan; mereka menawarkan diri mereka secara terhormat kepada atasan dan abai pada para bawahan; mereka sangat berhati-hati dalam setiap aspek; mereka bisa malih rupa dan selicin belut. Inilah birokrasi dari mereka yang bekerja sebagai pejabat dan hidup dari jabatannya.
8. Mereka tak mempelajari politik secara penuh; mereka tak pernah mengalami kemajuan dalam kerjanya; cara bicara mereka tak bercitarasa; mereka tak memiliki arah dalam kepemimpinan; mereka mengabaikan kewajiban kantornya meski terus menarik gaji tiap bulan; mereka mengolah berbagai hal supaya tampak indah dari luar. Para pemalas ini (misalnya tuan tanah) tidak mau ambil inisiatif; mereka hanya berkonsentrasi pada kemalasannya; mereka yang bekerja, yang berbuat kebajikan, dan yang tidak berbuat seperti para pejabat itu diperlakukan dengan buruk. Inilah yang disebut dengan birokrasi penuh kepalsuan, birokrasi muspra.
9. Mereka pandir; mereka kebingungan; mereka tak punya pikiran orisinal; mereka juga benar-benar tak rajin, berbuat seenaknya dan acuh tak acuh. Inilah yang disebut birokrasi pandir yang muspra.
10. Mereka ingin orang lain membaca dokumen; sementara orang lain membaca, mereka justru tidur; mereka mengkritik tanpa menyaksikan lebih dulu; mereka mengkritik segala yang keliru dan menyalahkan orang lain; mereka menunjukkan diri mereka tak berhubungan dengan kekeliruan itu; mereka tak mendiskusikan segala sesuatu; mereka menyingkirkan hal-hal itu dan mengabaikannya; mereka berprasangka telah memahami orang-orang yang ada di bawahnya, ketika benar-benar tak memahaminya, mereka berpaling; dan mereka menyembunyikan ketidaksetujuan dengan para pejabat yang setara dengan mereka. Inilah yang disebut birokrasi pemalas.
11. Kantor-kantor pemerintah tumbuh makin besar; berbagai urusannya jadi makin membingungkan; jumlah orang lebih banyak dibandingkan dengan pekerjaan. Mereka berputar-putar di tempatnya; mereka bertengkar dan cekcok; mereka tak sudi mengerjakan pekerjaan tambahan; mereka tak memenuhi kewajiban spesifiknya. Inilah birokrasi kantor pemerintahan.
12. Dokument berlimpah; inilah birokrasi, instruksi terus berkembang biak; ada bertumpuk laporan tak terbaca yang tak dikritisi; banyak tabel dan jadwal dibuat dan tak terpakai; berbagai pertemuan digelar tapi tak ada yang dihasilkan; dan ada berbagai asosiasi yang berdekatan namun tak ada yang dipelajari. Inilah birokrasi atas birokrasi dan birokrasi formalistik.
13. Mereka mengejar kesenangan namun jerih pada kerja keras; mereka membikin kesepakatan di belakang pintu; satu orang menjadi pejabat dan seluruh anggota keluarga memeroleh manfaatnya; satu orang mencapai nirwana dan semua antek-anteknya ikut juga terjunjung sampai ke surga; berbagai pesta dan hadiah disuguhkan. Inilah yang disebut birokrasi pengecualian.
14. Makin tinggi karirnya, makin buruk pula temperamennya; tuntutan untuk mendukung dirinya sendiri makin tinggi; rumah dan perlengkapannya jadi makin mewah; aksesnya pada berbagai hal makin lebih mudah. Mereka yang berada di strata lebih tinggi memeroleh bagian yang lebih besar sementara antek-antek bawahannya memeroleh bayaran tinggi; ada keroyalan dan kesukaan menghambur-hamburkan sesuatu. Inilah birokrasi penempatan jabatan di atas awan.
15. Mereka egois; mereka memuaskan tujuan-tujuan pribadinya dengan sarana umum; ada penggelapan dan spekulasi; makin banyak melahap, mereka makin lapar; dan mereka tak pernah mundur atau menyerah. Inilah yang disebut birokrasi egoistik.
16. Mereka berkelahi di antara mereka sendiri untuk mendapatkan kekuasaan dan uang; mereka meluaskan pengaruhnya ke partai; mereka menginginkan ketenaran dan keberuntungan; mereka menginginkan posisi dan, kalau tak mendapatkannya, rasa tak puas menjalari diri mereka; mereka memilih jadi gemuk dan kurus; mereka memberi perhatian besar pada besaran gaji; mereka begitu perhatian saat berada di lingkungan temannya namun tak peduli pada massa. Inilah birokrasi yang memperjuangkan kekuasaan dan uang.
17. Kepemimpinan yang majemuk tak bisa disatukan secara selaras; mereka masuk lewat berbagai arah, dan mereka bekerja ketika keadaan kacau-balau; mereka berusaha saling menggerombol, yang berada di jabatan paling tinggi diceraikan dari mereka yang berada di jabatan paling rendah dan tak ada sentralisasi maupun demokrasi. Inilah birokrasi yang tercerai-berai.
18. Tak ada organisasi; mereka mempekerjakan teman-teman pribadinya; mereka mempraktekkan faksionalisme dan memelihara hubungan-hubungan feodal; mereka membentuk klik untuk makin menanamkan kepentingan pribadi mereka sendiri; mereka saling melindungi, individu ini berdiri di atas segala sesuatu; pejabat kecil ini menyakiti massa rakyat. Inilah yang disebut sebagai birokrasi sektarian.
19. Kemauan revolusioner mereka lemah; politik mereka telah membusuk dan mengubah karakternya; mereka memuji-muji para pejabat; mereka tak pernah menguji pikiran dan tangannya. Mereka memangsa jatahnya setiap hari; mereka menghindar dari kerja keras dengan mudah; mereka memanggil dokter walaupun tak sakit; mereka mengambil waktu libur ke pegunungan atau pantai. Mereka melakukan hal-hal dangkal; mereka kecewa kalau kepentingan pribadinya tak tercapai namun tak kecewa ketika kepentingan nasional dalam bentuk apa pun tak tercapai. Inilah yang disebut birokrasi yang membusuk.
20. Mereka mempromosikan tendensi-tendensi yang ironis dan spirit reaksioner; mereka berkomplot dengan orang-orang jahatdan menolerir situasi yang buruk; mereka berhubungan dengan para bajingan dan menyelewengkan hukum; mereka berhubungan dengan spekulasi; mereka ancaman bagi partai dan negara; mereka menggencet demokrasi, mereka melawan dan melakukan balas dendam, mereka menerabas hukum dan peraturan; mereka melindungi yang buruk; mereka tak mampu membedakan diri kita dengan musuh-musuh. Inilah birokrasi dengan tendensi-tendensi dan reaksi ironis.
Tulisan Mao Zedong ini diterjemahkan oleh Dwi Cipta dari teks Bahasa Inggris dengan judul “Twenty Manifestations of Bureaucracy.” Mao Zedong menulisnya pada bulan Februari 1970. Penerjemah menerbitkan kembali tulisan yang pernah dipublikasikan di kalamkopi.wordpress.id ini untuk melihat kembali wajah elite ekonomi-politik dan birokrasi di Indonesia dan relasinya dengan rakyat yang mestinya berposisi sebagai tuan namun dalam praktiknya diposisikan sebagai obyek penderita dari mereka yang berada di pusat dan lingkaran kekuasaan.Versi bahasa Inggris dari tulisan ini ada di website www.marxists.org.[image error]August 24, 2025
EROS DJAROT DAN BADAI YANG PASTI BERLALU

Awal/intro: Musik Indonesia dan usaha menyambung kembali nafas Revolusi
Setelah era Wage Rudolf Supratman, Ismail Marzuki, Ibu Sud, H Mutahar, Cornell Simanjuntak dan para komponis jempolan zaman bergerak hingga era revolusi Indonesia, siapakah musisi yang bisa mengawinkan dengan indah antara visi revolusi dan kebangsaannya dengan karya-karya musikalnya? Boleh jadi ini pertanyaan yang terlalu mengada-ada bagi sebagian penikmat musik. Namun bagiku, pertanyaan ini harus terjawab tuntas, demi menemukan pemahaman yang lebih utuh pada sesuatu yang terus menerus menghantuiku: revolusi. Kesenanganku untuk terus memutar lagu-lagu perjuangan dari para komponis pada zaman bergerak hingga era revolusi fisik telah memicu pertanyaan itu selama bertahun-tahun. Sampai hari ini, misalnya, aku tak habis pikir bagaimana peristiwa kematian ayahnya yang tak pernah ia dengar hingga beberapa hari sang ayah dimakamkan membuat Ismail Marzuki mampu menciptakan lagu perjuangan yang begitu menggetarkan, Gugur Bunga. Peristiwa personal itu, kematian ayah Ismail Marzuki, mampu ia jahit dengan gelora revolusi fisik yang mengharu-biru Indonesia selama tahun-tahun 1940-an, yaitu gugurnya para pahlawan di medan perang.
Inilah era dimana komponis begitu ajur-ajer bersama situasi dan semangat zamannya sehingga karya-karyanya, di samping bisa dinikmati secara personal, juga membawa muatan sosio-kultural serta semangat zaman yang kuat. Para komponis legendaris di atas bisa menciptakan sebuah musik dengan lirik-lirik romantik yang mudah menghanyutkan sepasang kekasih yang sedang hanyut oleh gelombang asmara, tentang matahari, kabut pagi, senjakala magis yang mampu menyatukan diri manusia dengan alam maupun Tuhannya. Namun pada saat bersamaan karya-karya mereka juga memiliki simetri yang nyaris tanpa cela pada fenomena dan kenyataan sosial yang ada di sekeliling kita. Karya musik semacam itu menjadi penanda dan kunci-kunci yang diperlukan bagi generasi selanjutnya untuk membaca zaman dimana lagu itu lahir. Ia bisa pula menjadi alat-ukur bagi pendengarnya untuk membaca gerak zamannya saat ini dan menjadi mercusuar bagi perjalanan diri personal dan diri sosialnya di masa depan.
Saat hampir putus-asa menemukan musisi yang bisa mewarisi secara kreatif semangat para komponis di atas aku menemukan secercah harapan lewat pertemuan tak sengaja dengan lagu-lagu dalam album “Badai Pasti Berlalu” — selanjutnya disingkat BPB. Pertamakali menyimaknya aku sudah curiga dengan pilihan kata yang terus berulang hampir di sebagian besar lagu yang ada di album ini. Ada apakah dengan diri para pencipta lagu ini sehingga kata-kata ‘matahari,’ ‘musim,’ ‘fajar,’ ‘mega-mega,’ dan ‘kabut’ bisa terus menerus bermunculan? Kalau pun tujuan penciptaan lagu ini untuk soundtrack film dengan judul yang sama dengan album lagunya, benarkah lagu-lagu dalam album ini hanya untuk memenuhi kebutuhan film saja?
Aku dilahirkan persis ketika album Badai Pasti Berlalu dirilis untuk pertamakalinya. Begitu aku memiliki telinga yang cukup mampu untuk mendengar dengan baik, kakek dan nenek tak pernah berhenti melolohkan kisah-kisah pertempuran fisik antara Belanda dan seluruh rakyat Indonesia demi membela jengkal demi jengkal tanah negeri ini. Dengan penuh kebanggaan mereka bercerita bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buah pengorbanan rakyat, bukan hanya kerja segelintir orang yang di masa-masa selanjutnya mengklaim diri sendiri sebagai pemilik negeri ini. Di sela-sela ceritanya, mereka mengisahkan betapa memukaunya sosok sang pemimpin besar revolusi saat ia berpidato di alun-alun kota kami. Seiring pertumbuhanku, beberapa tahun setelah masuk Sekolah Dasar, aku terjerumus ke dalam bacaan buku-buku sejarah palsu yang diterbitkan oleh rezim Otoriter-birokratik-militeristik Orde Baru — selanjutnya disebut rezim OBM Orde Baru. Dua arus narasi sejarah ini terus bertabrakan dalam diriku dan membayangi benak sampai aku memasuki masa studi di Universitas. Di kampus, satu demi satu pertanyaan tentang proses penghancuran Indonesia sejak era Orde Baru hingga sekarang mulai menemukan jawabannya. Pertemuan dengan lagu-lagu dalam album BPB tak akan menjadi bagian pijakan eksistensiku di dunia ini kalau aku tak memiliki masa lalu demikian. Pekerjaan membangun narasi tentang kemengadaanku itulah yang justru menjadi alasan paling personal bagiku dalam menelisik kisah-kisah di balik lahirnya album monumental ini.
Aku telah mendengar sendiri bagaimana Eros Djarot begitu mengagumi sosok dan ajaran-ajaran Soekarno. Sosok Soekarno pula yang hampir selalu diceritakan kakek, nenek, dan ayahku di waktu-waktu senggang mereka. Dari cara Eros mencipta lagu “Bunga Sedap Malam” itulah aku mulai menelusuri setiap lirik dan alunan musik lagu-lagu di album BPB. Maka, dihadapkan pada pilihan apakah akan merakit atau tidak berbagai peristiwa yang terjadi di luar diriku, dengan album ini aku memutuskan untuk merakit narasi yang ditawarkan oleh album ini dengan kemengadaanku di bumi Indonesia dan mau tidak mau menerima diri personal dan diri sosialku sebagai orang Indonesia.”
Perabaan dalam konteks politik apa lagu-lagu Eros lahir berlangsung lewat penyimakan terhadap salah satu video yang menceritakan latarbelakang dan proses lahirnya lagu-lagu Eros sendiri. Aku hanya membaca sejumput artikel dari pengamat musik Denny Sakrie yang membahas tentang album yang legendaris itu maupun artikel-artikel yang memaparkan Eros Djarot sebagai seorang musisi. Di luar hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan Eros dan lagu-lagu besutannya, aku membaca faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan kultural yang menjadi habitat dan lingkungan tempat tumbuhnya lagu-lagu itu.
Aku bukan musisi. Bukan pula kritikus musik yang bisa menilai sebuah album dan lagu-lagu para musisi pertama-tama berangkat dari kajian musikologi sebelum melebar ke bidang lain. Aku hanya seorang penikmat musik amatiran, yang memahami musik dari seluruh pengetahuan yang kumiliki. Jadi kalau dari kajian permusikan analisisku salah, dengan hati dan pikiran terbuka aku mau menerima seluruh kesalahanku dan belajar memperbaikinya. Sebagai orang yang sedang mencoba merakit berbagai potongan narasi kebangsaan yang tercerai-berai sejak Orde Baru berkuasa dan dalam ikhtiar untuk menyuntikkan semangat revolusi para pendiri bangsa lewat lagu-lagu yang telah secara sistematis dibabat oleh kelompok nekolim dengan pisau pembunuh bernama kapitalisme, aku berusaha menemukan siapakah musisi yang bisa bertahan dari babatan pisau itu. Berkebalikan dengan kerja para seniman profesional, aku justru memasuki dunia kesenian dan kebudayaan lewat pintu pengetahuan sejarah, ekonomi, dan politik. Aku sengaja memakai cara kapitalisme dalam menghantam lawan-lawannya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Fernand Braudel: “Ketika kapitalisme ditendang keluar pintu, ia akan masuk lagi lewat jendela.” Ide-ide revolusi Indonesia — yang bertentangan secara diametral dengan kapitalisme — di masa sekarang tidak bisa disuntikkan secara langsung lewat kesenian atau kebudayaan karena para pelakunya telah mengalami kelumpuhan untuk keluar dari ruang keseniannya dan masuk ke gelanggang ekonomi-politik-sosial demi mengamalkan prinsip ajur-ajer dalam berkesenian. Doktrin Braudel segera memasuki benakku: Bagaimana kalau kita memasuki ruang kesenian/kebudayaan lewat pintu politik, ekonomi, dan sosial untuk menghidupan kembali ruh revolusioner dalam bidang kebudayaan?
Penghubung/Bridge: Jalan menuju penciptaan musik Eros Djarot
Berangkat dari pikiran itu, aku mulai menyelidik kehidupan Eros Djarot dan lingkaran teman-temannya. Perhatianku tertuju pada Eros Djarot karena lelaki yang dilahirkan pada 22 Juli 1950 inilah yang menjadi otak utama dari album BPB. Ia tipe lelaki serba bisa: menguasai ilmu teknik kimia, paham sejarah dan politik, dan mengolah bakatnya di dunia film dan jurnalistik sebelum mencoba ajur-ajer dalam dunia politik. Seluruh kemampuan itu hanya bisa lahir dari kehidupan seseorang yang bermandikan pengetahuan yang hampir total pada setiap segi kehidupan negerinya. Namun dari seluruh kemampuan yang ada pada dirinya, sesungguhnya ia hanya mencurahkan kemampuan terbaiknya di bidang musik. Ia sadar cara kembali pada ideal-ideal revolusi yang bergelora jauh di kedalaman jiwanya hanya bisa lewat musik. Kenapa? Karena rezim pemerintahan yang berkuasa sejak ia remaja sampai mungkin menjelang akhir hayatnya adalah rezim yang telah menghancurkan kehidupan yang ia idealkan. Keyakinannya ini terhitung menggelikan karena oleh teman-temannya, seperti Jockie Suryoprajogo dan Merde Christian — dikemudian hari dikenal sebagai Chrisye — Eros tak begitu paham musik. Dalam kisah kilas-baliknya tentang proses penciptaan album BPB, baik Jockie maupun Chrisye bercerita bagaimana lelaki pengkhayal ini mendiktekan nada-nada yang muncul begitu saja dari dalam benaknya kepada mereka berdua yang lebih menguasai akor dan notasi musik. Ia sendiri asyik bernyanyi dengan suara yang sumbang, menggerakkan jemarinya dengan lagak orang kesurupan, dan sering tak menyadari kalau dua teman karibnya itu menghentikan permainan gitar maupun keyboard mereka.
Bagaimana orang yang tak begitu memahami akor atau notasi musik bisa melahirkan musik pop yang agung ini? Dengan apa ia mencipta karya-karya musiknya tanpa pemahaman tentang teknik musik standar? Untuk menemukan titik pijakan yang tepat dalam menjelaskan siapa sebenarnya orang ini, kita harus menemukan masa-masa kegelisahan eksistensialnya dan cara yang ia lakukan untuk mengatasi kegelisahan eksistensial itu.
Aku selalu merasa Eros tengah dilanda badai eksistensialnya yang mengerikan di tahun-tahun menjelang lahirnya album badai pasti berlalu. Pusaran badai itu berasal dari ingatannya atas hari-hari sesudah peristiwa 1 Oktober 1965, yang di kemudian hari oleh rezim OBM Orde Baru disebut peristiwa G-30-S/PKI. Badai kehidupan yang meluluh lantakkan Indonesia nyaris di berbagai bidang itu jelas mengguncang diri Eros karena salah satu korban dari pusaran badai itu adalah Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia hingga beberapa saat pasca peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut. Lewat pengakuannya sendiri, Eros begitu terpengaruh Soekarno: mulai dari ajaran-ajaran nasionalisme dan revolusinya, kecintaan sang presiden pada kesenian dan budaya Indonesia, hingga watak romantisnya pada kaum perempuan. Lagu “Bunga Sedap Malam,” menurut penuturan Eros sendiri, adalah perwujudan dari seluruh ajaran Bung Karno yang terus menerus membayanginya.
Keguncangan dalam dirinya itu tak sekedar lahir dari kecintaannya pada sosok dan ajaran Soekarno. Dalam kehidupan riilnya, ia akrab bergaul dengan Bambang Triatmojo, salah satu anak Jenderal Soeharto. Kedua-duanya bersekolah di tempat yang sama, yaitu SMA Budi Utomo, yang lebih dikenal sebagai SMA Budut. Dan kita tahu apa hubungan antara Jenderal Angkatan Darat yang satu ini dengan Soekarno: dialah orang yang menyungkurkan sang tokoh pujaan beserta ajaran-ajarannya ke dalam kubangan sejarah kelam negerinya selama 32 tahun lebih lewat kudeta merangkak-nya. Pembunuhan ideal-ideal revolusi di negerinya sendiri dan hubungan problematiknya dengan putra Jenderal Soeharto serta anak-anak dari orang yang secara culas membunuh dunia utopian yang kelak membentuknya itulah yang memaksanya berangkat ke Jerman dan melarikan diri pada pelajaran-pelajaran Teknik Kimia. Sialnya, selama tinggal di Jerman, ia mengalami Dilema Sitor Situmorang: Ia merasa menemukan keindonesiaan dalam dirinya justru ketika hidup di negeri orang. Sebabnya tak lain karena perlakuan sebagian besar orang Eropa yang menganggap ia dan kawan-kawannya sebagai orang kelas dua. Anggapan semacam itu sudah cukup meniadakan hak-hak sosialnya sekaligus kemampuan personalnya di hadapan pihak lain. Perlakuan rasialis itu yang kemudian menumbuhkan romantisme dalam dirinya tentang Indonesia. Lirik-lirik lagu “Tanah Airku” karya Ibu Sud mengambang terus menerus dalam benaknya. Biar pun aku pergi jauh, tidak akan hilang ia (Indonesia) dari kalbu…
Di Jerman Eros membentuk grup band yang dinamai Kopfjaeger sebelum berganti nama menjadi Barong’s Band untuk lebih menonjolkan keindonesiaannya. Tak bisa dipungkiri kalau selama di Jerman ia menenggelamkan diri pada musik klasik dan menyerap banyak elemen-elemen musik klasik dalam proses penciptaan lagu-lagunya. Namun pergaulannya dengan Guruh Soekarno Putra, salah satu putra Soekarno, makin menyadarkan siapa dirinya dan bagaimana ia harus melahirkan karya-karya musiknya. Keprihatinannya terhadap band-band rock di negerinya yang kebarat-baratan dan lebih memuja lagu-lagu berlirik Barat melahirkan reaksi kreatif: ia membeli kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta dan bertekad melahirkan lagu-lagu dengan lirik dari bahasa Indonesia yang puitis tanpa terkesan mendayu-dayu.
Sepulang dari Jerman, Eros memulai petualangannya di dunia musik. Ia bergaul rapat dengan Nasution bersaudara — Keenan, Debby, dan Oding — , Jockie Suryoprajogo, Merde Christian, Guruh Soekarno Putra, dan para musisi yang biasa berkumpul di Gang Pegangsaan. Sejak pulang dari Jerman pekerjaan yang dilakukannya adalah mengumpulkan dan menyimak album-album musik yang dirilis saat itu. Ia menjadi saksi bagaimana grup-grup band yang ada saat itu hanya menjadi sapi perah dari industri rekaman. Sebagian besar lagu-lagu yang muncul saat itu terjerumus pada ketunggalnadaan dan lirik yang cengeng. Kritik pedasnya terhadap soundtrack dari film-film Teguh Karya membuat sineas kondang itu menantang Eros untuk menunjukkan bakat bermusiknya lewat pengisian soundtrack film. Eros memang telah menunggu-nunggu momen ini sejak pulang dari Jerman dan mendapati kenyataan bahwa lagu-lagu dengan lirik bahasa Indonesia dianggap najis di negerinya sendiri. Pengalamannya selama di Jerman bersama Guruh telah melahirkan kepercayaan diri tinggi: selain pengaruh musik klasik yang membasahi setiap relung jiwanya, ia telah belajar memanfaatkan keindahan bahasa Indonesia untuk dipadukan dengan music-musik garapannya. Itulah sebabnya, meski oleh Jockie dan Chrisye ia sering diejek karena tak begitu piawai memainkan musik namun ia tak memedulikannya. Ada suara dalam dirinya yang bersabda lebih murni daripada kemampuan teknis dalam bermusik.
Sabda apakah yang lebih kuat dari kemampuan teknisnya dalam bermusik itu? Berikut ini penjelasannya.
Nada inti/Chorus: Muatan politik dari lagu-lagu di album Badai Pasti Berlalu
Setali tiga uang dengan lagu “Bunga Sedap Malam,” yang lewat pernyataan Eros sendiri terinspirasi oleh sosok Soekarno, lagu-lagu dalam album BPB begitu kental dengan simbolisme yang melekat pada diri Soekarno dan masa keemasan revolusi Indonesia. Bagi orang yang tak menyusuri patahan-patahan narasi sejarah Indonesia mungkin agak sulit melihat kaitan antara album BPB dengan kisah Soekarno, masa-masa revolusi Indonesia, hingga masa-masa awal berkuasanya rezim OBM Orde Baru. Namun pengalaman langsung Eros Djarot selama masa hamil besarnya Ibu Pertiwi dan peristiwa pengaborsian massal anak-anak revolusi yang kejam oleh rezim OBM Orde Baru begitu meninggalkan bekas mendalam pada diri Eros Djarot. Paling tidak kita bisa mengenalinya lewat kata-kata dalam lirik-lirik lagu dalam album BPB. Hampir di sepanjang lagu terdapat kata “matahari,” Fajar, “rimba kabut pagi,” “mega-mega,” “awan,” “daun layu,” dan lain sebagainya. Simak musik dan lirik lagu “Merpati Putih.” Dalam lagu itu kita bisa melihat gambaran diri Eros Djarot sebagai merpati putih yang terbang berarak pulang-pergi ke Jerman dengan menerjang badai dalam pencarian basis eksistensialnya sebagai manusia Indonesia. Kepergiannya ke Jerman, selain karena alasan studi, pada dasarnya adalah usahanya untuk menyelamatkan dirinya dari keganasan rangkaian dampak peristiwa 1 Oktober 1965 yang mengerikan. Ia terbang tinggi di awan hanya untuk menghilang di langit hitam kekuasaan Orde Baru yang militeristik dan otoriter. Dengan nada yang begitu syahdu ia mengucapkan selamat berpisah pada sosok yang dicintainya, sosok Soekarno. Namun, dengan nada lagu ini yang menikam, tak menyurutkan diri si merpati untuk terbang tinggi menerjang awan, meniti karir kesenian dan politiknya yang di kemudian hari terbukti monumental.
Apa pandangan Eros tentang masa-masa revolusi, terutama masa-masa dari 1957–1965, ketika sosok yang begitu menginspirasinya itu menemukan perwujudan yang nyaris sempurna? Aku tak bisa menemukan romantisme yang lebih indah selain dalam lagu “semusim” di album BPB. Lagu ini tercipta di rumah Guruh Soekarno Putra yang notabene adalah anak Sang Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno. Lewat lagu ini, secara sadar atau tidak, ia menganggap bahwa pada periode 1957–1965 merupakan semusim paling indah dimana bunga-bunga bersemi atau bermekaran dalam kelembutan cakrawala senja. Lewat lembaran-lembaran sejarah kelam negeri ini kita tahu kalau bunga-bunga yang bersemi dan bermekaran di senja hari kekuasaan sang presiden — generasi terbaik dari manusia yang pernah dimiliki oleh Indonesia sejak era kemerdekaan — secara mengerikan sedang digiring menuju penghancuran oleh kekuatan-kekuatan nekolim dan antek-antek kompradornya di Indonesia. Dalam lirik lagu ini, pagi yang benderang diikuti dengan jernihnya semesta. Inilah pagi bagi generasi manusia Indonesia yang menikmati alam kemerdekaan yang membanggakan, ketika semesta — lewat pengakuan Negara-negara di berbagai penjuru dunia atas kehebatan Indonesia dalam membangun negeri serta keberaniannya menentang kekuatan imperialis Barat — tampak jernih di mata mereka. Suasana benderang dan kejernihan semesta inilah yang membuat nyaris di berbagai penjuru tanah air bagai terbaluri wangi bunga menyambut para insan yang tengah bercinta dengan nafas revolusi Indonesia. Lewat amsal sepasang manusia yang tengah dimabuk asmara, Eros menghayati semua masa-masa itu sebagai pagutan bibir seseorang yang membakar peluh pasangannya sehingga menciptakan gelora tak terlukiskan. Sukma dan dan jiwa mereka berpadu mesra dalam kabut cinta abadi. Untuk selamanya. Oh, betapa romantiknya!
Di lagu “Matahari” aku kembali tergoda untuk menghubungkan lirik-lirik lagu ini dengan Eros dan masa lalu kelam negeri ini. Dengan simbolisme ‘musim,’ ‘masa,’ ‘matahari,’ dan “daun layu” ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawabnya dan harapannya agar rezim yang tengah berkuasa segera berganti. Saat impian semusimnya lenyap, dan jiwanya kembali pada kenyataan faktual di depannya, Eros menyadari bahwa segala yang ada di sekitarnya bukan miliknya lagi. Era kekuasaan Orde Baru tak memberikan ruang pada idal-ideal revolusi sebagaimana yang diajarkan oleh Soekarno dalam buku-buku maupun pidato-pidato politiknya. Kalau sudah demikian adanya, bagaimana ia bisa terus menjalani kehidupan yang telah membuat sukmanya serasa tak memiliki apa-apa itu? Kebuntuan itu masih diikuti dengan pertanyaan penuh gugatan tentang ribuan korban pembantaian simpatisan Soekarno dan PKI demi tegaknya kekuasaan Jenderal Soeharto. Lewat permainan bahasanya yang cemerlang, dengan penuh keberanian Eros bertanya dimana seluruh mayat-mayat korban pembantaian 65 itu berada: dimana kau timbun daun yang layu (itu)? Kalau sedikit mau kurang ajar, sesuai dengan bidang ilmu Teknik Kimia yang dipelajari Eros Djarot sewaktu di Jerman (Teknik Kimia), kita bisa saja menghubungkan lirik ini dengan proses biokimia dimana daun-daun layu yang ditimbun baik secara paksa atau sukarela itu lewat proses kimia akan menjadi unsur hara yang menyuburkan tanah. Dengan kata lain, korban-korban dari serangkaian pembantaian pasca 1 Oktober 1965 itu pada suatu waktu bisa menyuburkan jiwa manusia Indonesia. Pertanyaan soal penguburan ‘daun layu’ itu diiringi dengan kegelisahannya menanti matahari pagi yang tersembunyi dalam rimbun kabut pagi 1 Oktober yang meluluh-lantakkan seluruh persendian tubuhnya (sekaligus persendian bangsanya).
Harapan Eros Djarot itu diikuti dengan kekhawatiran yang ia suguhkan begitu romantik lewat lagu “Khayalku.” Ia, yang tengah berdiri di malam kelam awal kekuasaan otoritarian Soeharto — di malam kelam kebudayaan Indonesia saat itu yang tengah gemar-gemarnya melap-lap lagu Barat dan menganggap lagu-lagu dengan lirik bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang najis — , menganggap bahwa harapannya untuk bertemu sosok pujaan beserta ajaran-ajarannya yang terejawantah di berbagai bidang kehidupan di negeri ini sebagai sebuah khayalan. “Juwita dambaan jiwa” Eros (Soekarno) itu berada pada suatu tempat yang terhalang dinding membentang dan terpisah selebar samudera. Kemustahilan untuk mencapainya itu membuat hati dan jiwanya merasakan kehausan yang meronta-ronta. Untuk kesekian kalinya, ia meyakinkan diri untuk menanti hari dan fajar baru tiba. Dengan penyajian lagu-lagu seperti inilah wacana subversif terhadap rezim OBM yang ganas tak bisa lagi dikenali. Ia tetap bisa menumpahkan semua uneg-unegnya dalam musik dan lirik yang romantik bagi pandangan kaum awam sekaligus menyampaikan pesan revolusi yang tengah sekarat pada mereka yang mampu menghidupkannya suatu hari nanti.
Album Eros ini ditutup dengan lagu “Badai Pasti Berlalu” dan musik instrumental “Merpati Putih” yang legendaris. Dalam lagu Badai Pasti Berlalu inilah kukira optimisme berbalut kekeraskepalaan Eros Djarot dalam membangun utopianya sendiri begitu kental terasa. Ia telah melangkah jauh, sejarak satu dekade lebih dari peristiwa 1 Oktober 1965 yang merupakan awal pembantaian ratusan ribu hingga jutaan orang yang dianggap PKI dan pengikut setia Soekarno. Ia tahu awan hitam terus bergelayut di atas kepalanya. Ia tahu daun-daun jatuh berguguran satu demi satu ke pangkuan ibu pertiwi, asal-muasal sekaligus tempat kembali yang sejati bagi daun-daun layu itu. Ia menyadari bahwa dirinya terus menerus berada dalam dekapan peristiwa masa lalu yang begitu romantik. Berdiri di bawah awan hitam di atas kepala dan awan hitam yang menyelubungi hati (dan jiwanya) hingga menimbulkan gelombang kegelisahan maha hebat, tegak di atas tanah tempat dipangkunya daun-daun layu itu hingga membusuk dan terurai menjadi zat asalnya, dan kukuh memanggul kenangan masa lalu yang romantik, Eros membuat pengakuan tegar bahwa segala yang ada di sekitarnya bukan lagi miliknya, musim dimana saat itu ia berada bukan lagi musimnya, dan sang matahari memang telah berganti. Di tengah-tengah pengakuan itu, ia merasakan kehausan tak terkira pada tetes embun pagi sekaligus menyaksikan matahari baru yang begitu garang menghabisi siapa pun yang punya nyali untuk melawannya, matahari kekuasaan rezim OBM yang terus menjatuhkan korban-korban baru.
Di tengah berbagai hal yang tak mendukungnya itu, Eros hanya bergantung pada keyakinannya sendiri, sekali pun keyakinan itu tampak rapuh di dalam lingkungan yang kejam. Dalam keheningan yang asing, dikepung situasi ekonomi dan politik yang makin otoriter, dihadapkan dengan produk-produk kebudayaan yang makin tak berkarakter, Eros menumbuhkan mantera yang terus menerus diulangnya: Badai pasti berlalu, badai pasti berlalu, badai pasti berlalu… Maka, serupa merpati putih, ia berarak pulang pada kenyataan. Ia terbang menerjang badai ingatan akan masa kejayaan revolusi dan masa kelam sejak peristiwa 1 Oktober 1965 hingga satu dekade tegaknya kekuasaan otoriter-birokratik-militeristik Soeharto yang mendaku dirinya sebagai Orde kekuasaan Baru. Ia terus terbang melewati dekade 1980-an hingga dekade 1990-an sebelum menyaksikan tumbangnya kekuasaan otoriter-birokratik-militeristik Soeharto dan Orde Barunya. Pertanyaan Eros Djarot tentang sampai kapan ia harus menunggu hari bahagia seperti dulu, masa kejayaan revolusi di paruh kedua 1950-an hingga paruh pertama 1960-an, itu menemukan titik terangnya pada 21 Mei 1998 saat Jenderal Soeharto turun dari kursi kepresidenan.
Penutup: Menuju era musik progresif-revolusioner
Lagu-lagu Eros Djarot, seperti pengakuannya sendiri, selalu memiliki cerita. Jadi, di samping menumpahkan citarasa musikalnya, Eros secara sadar menyisipkan narasi tentang porak-porandanya sendi-sendi kehidupan Indonesia pasca kekacauan politik 1965 kepada publik. Tak menutup kemungkinan pula kalau lewat lagu-lagu garapannya Eros memberi ruang pada orang lain untuk menyisipkan cerita dari lagu-lagu besutannya. Intensi Eros untuk menyisipkan cerita dalam lagu-lagunya itulah yang mengundangku untuk masuk dan menyisipkan narasi lain dari album yang semula ditujukan sebagai soundtrack dari film garapan Teguh Karya dengan judul serupa dengan judul album musiknya, “Badai Pasti Berlalu.”
Satu tahun sesudah runtuhnya rezim OBM Orde Baru, seorang musisi berbakat berusaha menggubah lagu-lagu dalam album BPB. Musisi berpenampilan sederhana ini — Erwin Gutawa — , yang lebih banyak mengawali gubahan lagunya dengan gaya sederhana, sadar bahwa nada pedih yang begitu kental dalam album BPB versi Eros dan teman-temannya harus menemukan konteksnya yang tepat di era pasca otoritarian dan alam kebebasan. Ia tak lagi mengusung nada pesimis yang puitik sebagaimana yang ada dalam album pertama. Sebaliknya, dengan penuh keberanian Erwin menyuntikkan optimisme dalam citarasa musikalnya yang begitu megah. Berlainan dengan Eros yang sangat kental dengan citarasa musik klasiknya, Erwin berusaha memadukan unsur-unsur musik India, Jawa, dan lain-lainnya ke dalam lagu-lagu yang ia aransemen ulang tanpa kehilangan unsur-unsur klasik yang menjadi ciri pokok sebagian besar lagu-lagu dalam album BPB. Lagu Badai Pasti Berlalu inilah yang di tahun 2014, dalam mengenang 40 tahun karir Eros Djarot, disajikan dengan begitu agung dan megah. Lengkingan vokal Berlian Hutauruk di usia paruh bayanya, dalam dukungan musik yang agung dan megah, bagai mengobarkan api yang membakar jiwa-jiwa pendengarnya. Lewat mata batinnya, para penikmat musik yang menyadari muatan politis dari musik dan lengkingan vokal Berlian dalam membawakan lagu Badai Pasti Berlalu bisa menyaksikan api dari lagu itu tengah berusaha menghancur-leburkan virus distopia mematikan yang menyerang generasi manusia Indonesia pasca Orde Baru. Jika pada akhir 1970-an Berlian membacakan mantera ‘badai pasti berlalu’ dengan nada penuh ketidakpastian, maka pada enam belas tahun pasca reformasi ia menyanyikan dengan penuh kepercayaan diri, nyaris dengan kekuatan yang mampu mengajak pendengarnya untuk menghadapi hari-hari tanpa badai kehidupan yang mengerikan seperti sebelum-sebelumnya.
Cara yang sama dipakai Erwin Gutawa ketika ia menggarap lagu “Semusim.” Dibuka dengan sekali petikan gitar dan drum ala dangdut yang mampu membuat tubuh pendengarnya untuk menggoyangkan tubuh dan suara seruling yang mampu meniupkan ruh kehidupan baru, Erwin seolah ingin membalik cara pandang Eros bahwa semusim paling indah bagi manusia Indonesia tidak berada di masa lalu, namun di hari-hari yang akan datang. Ruh kehidupan baru ini dipanggil oleh nada-nada seruling dari berbagai penjuru arah, sebelum digembleng dengan dentuman drum dan ketukan kendang yang saling bersahutan. Vokal lembut Chrisye, yang biasanya tak memiliki tenaga keriangan berlebihan, di tangan Erwin Gutawa bisa berubah memiliki intonasi yang tegas tanpa mengurangi karakter khasnya. Kegilaan Erwin dalam menggubah lagu ini, yang tak pernah kutemukan di lagu-lagu garapannya sebelumnya, barangkali diletupkan oleh sosok yang ingin ia lampaui: Eros Djarot. Barangkali lewat gubahan Erwin-lah kita bisa membuka lembaran kehidupan baru yang pernah dikhayalkan oleh Eros Djarot. Lewat sentuhan tangan Erwin pula, kita bisa berharap ruh revolusi yang pernah begitu menggelora sejak awal abad sampai paruh pertama tahun 1960-an kembali menemukan ruang hidupnya kembali. Dengan demikian, Sang Merpati Putih, yang dulu terbang berarak menerjang badai dan awan kelam, kini bisa menghadapi langit biru terang dan angin yang semilir. Badai memang telah berlalu, Eross…
Catatan: Tulisan ini hanya sebuah lanturan dari seorang anak desa berpendidikan pas-pasan yang terlalu mencintai Indonesia tanpa mampu berbuat sesuatu ketika negeri tercinta ini dikuasai oleh segelintir elite politik-ekonomi yang terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri.
[image error]July 27, 2025
Novel Keren dari Penulis Muda Indonesia

Dalam dua bulan ini secara kebetulan aku membaca tiga novel yang ditulis oleh tiga penulis muda di Indonesia. Dua novel kubaca karena tuntutan pekerjaanku sebagai book reviewer (lebih tepatnya manuscript reviewer): diminta mengulas draf novel yang baru selesai dia tulis dan satunya karena diminta untuk menerjemahkan beberapa bagiannya ke Bahasa Inggris. Sementara satunya kubaca karena rekomendasi salah satu teman di Threads.
Dari ketiga novel tersebut, ada satu yang menurutku sangat menonjol: naskah novel yang baru selesai ditulis. Secara teknis, naskah novel yang baru selesai ditulis ini dikerjakan mendekati sempurna. Sangat jarang aku menemukan naskah novel penulis muda yang secara teknis ditulis dengan matang. Logika ceritanya hampir rapat, alurnya sangat runtut, porsi kehadiran tokoh-tokohnya dalam tiap bagian cerita begitu seimbang, dan caranya mengakhiri ceritanya sangat menarik. Kukira sastra Indonesia akan sangat senang menyambut novel bagus ini ketika akhirnya ia diterbitkan.
Novel ini bukannya tanpa kritik atau tanpa cela. Namun karena masih draf atau manuskrip, penulisnya masih punya waktu untuk menutup celah itu, terutama setelah mendapatkan masukan dari pembaca sepertiku yang memang secara profesional dibayar untuk mencari celah-celah kelemahan novelnya. Lagi pula dengan jujur aku bilang pada penulisnya novel itu belum sampai taraf menggetarkan seperti halnya karya penulis hebat. Namun ia punya modal sangat bagus untuk menulis karya-karya hebat di masa depan.
Aku beruntung karena sampai hari ini masih terus terkoneksi dengan teman-teman penulis muda yang sedang bergulat menulis karya terbaik mereka (baik cerpen maupun novel). Dari interaksiku dengan mereka itulah aku jadi tahu berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi dalam menulis dan sedikitnya ruang untuk menajamkan ide-ide mereka. Sayang tidak semua penulis itu punya cukup uang untuk membayar reviewer novel profesional, atau bahkan tidak berpikir untuk ‘bertempur’ dengan batas aman dirinya ketika berkarya dengan meminta komentar pihak lain setelah novelnya ditulis. Bagiku, yang menyukai karya-karya bermutu, kemauan atau kebutuhan untuk meningkatkan skill dan kualitas tulisan itu sebuah keharusan. Kalau tidak punya uang untuk membayar orang ya harus berproses menulis lebih keras. Tanpa melakukan itu semua, seorang penulis mesti menerima nasib mempublikasikan karya yang belum tentu bisa diterima oleh banyak pihak atau mandah saja kalau dibilang kualitas tulisannya biasa-biasa saja.
Nasib karya atau ‘anak rohani’ seorang penulis memang tidak pernah bisa diperkirakan siapa pun. Namun ini tidak berarti seorang penulis tidak berikhtiar melahirkan karya terbaiknya. Justru sebaliknya, paling tidak seorang penulis sudah menghasilkan karya yang ditulis dengan baik — kalau tidak dikatakan sangat baik — sebelum mendapatkan keberuntungan karyanya akan laku seperti kacang goreng. Meledak atau tidaknya sebuah novel di pasaran ditentukan oleh banyak hal. Namun sebuah novel yang ditulis dengan sangat baik, apalagi kalau ide ceritanya sudah menarik, akan lebih mudah diapresiasi publik pembaca dibandingkan dengan novel yang dikerjakan sebisanya atau secukupnya saja.
Pengalaman membaca tiga novel dari penulis muda di Indonesia ini semakin menyadarkanku satu hal: novel yang ditulis dengan sangat baik ini masih sangat langka di Indonesia. Memang susah menulis novel semacam itu. Selain penulisnya punya kesabaran revolusioner dalam jangka panjang, ia juga punya kemauan dan kemampuan untuk belajar menulis lebih baik, termasuk menantang diri sendiri untuk melewati batas-batas aman dirinya.
Salah satu kebahagiaanku adalah menemukan penulis-penulis muda seperti itu. Aku tidak tahu apakah penerbit-penerbit buku di Indonesia punya kemampuan untuk mengendus bakat-bakat terbaik di negeri ini. Bagi kalian yang merasa punya naskah bagus, tidak usah ragu-ragu untuk mengontakku. Secara profesional aku bekerja untuk membaca karya-karya seperti itu dan mencoba sebaik mungkin untuk memberi masukan agar karya kalian menjadi lebih baik. Ini kukerjakan dengan segenap kemampuanku. Menjadi kebanggaan tersendiri di ruang sunyiku kalau karya kalian kelak bisa diterima dengan sangat baik oleh publik pembaca di Indonesia. Dengan penuh kepuasan aku akan menyeruput kopi dan menikmati batang-batang rokokku bila bisa membantu melahirkan karya bagus dan bisa diterima publik, meski publik pembaca tidak tahu kontribusi kecilku di karya-karya bagus itu. Contohnya: kepuasan yang kuperoleh ketika naskah novel yang kureview itu kelak akan dianggap sebagai novel yang sangat bagus.
[image error]November 26, 2024
Janji Pertemuan
Tips Bangun Tidur Tanpa Alarm Buat Para Penulis
Disclaimer: Tips ini berasal dari pengalaman pribadiku. Kalau tidak cocok, artinya lebih baik menyalakan alarm jam atau minta dibangunkan…
November 25, 2024
Pernahkah Kamu Mengolok-Olok Dirimu Sendiri Lewat Tulisanmu?
Sebagai seorang peniru menyedihkan, aku merasa tak pernah memiliki ide orisinal.
November 23, 2024
Hanya Si Buta Yang Bisa Melihat Dengan Jelas
Siapa orang buta yang menghantui benakku sampai hari ini? Tanpa ragu aku akan menjawab:Tulus! Ya, orang itu bernama Tulus. Meski aku tak…
November 22, 2024
Apakah Kamu Masih Memelihara Jiwa Anak-Anak Dalam Dirimu?
Kalau aku iya, karena jiwa anak-anak dalam diriku yang membantuku menjadi lebih kreatif.