Ayuwidya's Blog

May 27, 2016

Menulis dengan Bahagia



Beneran. Saya tidak pernah memikirkan apa nilai moral yang untuk pembaca ketika saya menulis novel. Berbeda ketika menulis buku anak. Hal pertama yang saya pikirkan adalah ilmu apa yang anak-anak dapat dari membaca buku saya. Cara itu selalu berhasil bikin saya fokus pada jalur yang benar sampai ceritanya selesai.
Pernah satu kali saya memperlakukan novel dengan cara yang sama seperti buku anak. Saya memikirkan ilmu apa yang bisa pembaca dapat dari baca buku saya. Hasilnya tulisan saya malah nggak karu-karuan. Seperti buku pelajaran yang ditulis dewa. Seperti kitab silat yang udah nggak zaman. Lalu, saya kapok menulis dengan teknik demikian. 
Untuk novel, saya menulis apa saja yang ada di kepala saya. Saya tidak memikirkan nilai pendidikan, moral, kritik sosial, dan lain-lain. Saya hanya ingin menulis dengan bahagia agar pembaca saya bisa tersenyum. Sesimpel itu saja tujuan saya menulis. Ya, tujuan simple dengan proses yang tidak sesimpel kedengarannya, sebenarnya. Menciptakan mood ‘bahagia’ itu yang menjadi tugas terberat saya. Saya kan nggak setiap saat bahagia.
Setiap kisah yang saya tulis adalah potret yang ingin saya tunjukkan pada pembaca, di dalam potret itu ada rekaman perasaan saya, kisah orang-orang di sekeliling saya, dan ide saya yang terlalu liar untuk diwujudkan dalam dunia nyata. Mereka mencuat di belakang belakang sosok khayalan yang disuguhkan huruf demi huruf.
Makanya, saya suka membaca review tentang novel-novel saya. Saya rasa setiap penulis suka membaca review tentang novelnya, mengetahui tanggapan orang-orang yang membacanya. Saya senang ketika pembaca terhibur oleh alur, tokoh, dialog atau ide yang ada pada novel saya. Itu saja. Saya tidak mentargetkan novel saya bisa jadi referensi pendidikan yang hebat, membuka cakrawala pengetahuan, menjadi penggerak perubahan sosial dan semacamnya. Sepertinya ilmu saya tidak sampai situ, hahahaha. Namun, memang, saya sering memberangkatkan ide saya dari terminal isu perempuan dengan bawaan yang tidak terlalu berat. 
Dan, sampai saat ini, saya paling nyaman dengan genre enteng ini.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 27, 2016 21:59

May 18, 2016

Flash Fiction Yummylit

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2016 03:37

Kuis Strawberry Cheesecake

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2016 03:36

April 25, 2016

Tip Menambah Halaman



Sebelum mengirim, sebaiknya penulis ngintip dulu, syarat format pengiriman naskah seperti apa.  Biasanya, untuk novel, syaratnya menggunakan font times new roman, ukuran 12 pt, spasi 1.5 ukuran halaman A4, dan jumlah halaman 70-120 halaman. Ini adalah standar umum, untuk mengetahui standar khusus tiap penerbit, bisa dilihat di website masing-masing penerbit, kolom kirim naskah. Biasanya mereka mencantumkan standar penulisan yang mereka inginkan, termasuk keterangan genre yang sedang dicari. 
   Dari ketentuan format-format di atas, biasanya yang dianggap 'rese' adalah jumlah halaman. Kalau naskah sudah selesai, tapi belum memenuhi kuota halaman gimana?
Ini tip-tip saya, mungkin bisa membantu. 

1. Tambah konflik. Maksudnya, tambah konflik yang merupakan sub dari konflik utama. Bukan menyelesaikan cerita, lalu bikin konflik baru. Editor akan tahu bahwa cerita dipanjang-panjangin, karena rasanya seperti membaca dua buku dalam satu jilid. Jangan lupa, setiap konflik wajib diputuskan secara terhormat. Jangan mentang-mentang udah memenuhi kuota halaman lalu, udah aja, putus di tengah jalan tanpa kepastian. 
2. Jangan memanjangkan kalimat.
Menyempilkan satu dua kata dalam kalimat malah bikin kalimat nggak efektif dan bertele-tele. Jangan juga mengulang kalimat-kalimat yang sebenarnya cukup disampaikan sekali. Editor akan tahu bahwa cerita dipanjang-panjangin dari pengulangan kalimat. Editor tidak akan tertipu, karena naskah dibaca kalimat demi kalimat. Saya pernah nemu naskah yang mengulang-ulang kalimat yang senada. Kuota halaman tercapai, tapi taburan kalimat nggak bermakna itu bikin poin cara penyampaian minus. 

3. Tambah dialog.
Cara ini agak culas sih tapi... yah... kalau penempatannya tepat, ini sangat membantu. Setiap dialog itu, kan berarti baris baru, lumayan kan buat nambah halaman. Tambah dialog bukan berarti dialog nggak penting, Penambahan dialog harus tetap memenuhi aturan menulis dialog, ya. 
4 Cek deskripsi. Cek di bagian mana deskripsi yang masih terasa kurang. Menulis deskripsi bisa melibatkan lima indra, misalnya tadinya deskripsi ruangan hanya dideskripsikan perabot yang ada di dalamnya, bisa ditambahkan bagaimana bau ruangan itu, bagaimana halus/kasar perabotnya itu, dll. Yang perlu diingat adalah, jangan terlalu bertele-tele. Deskripsi berfungsi menarik pembaca hadir di tempat yang kamu ceritakan saja, jangan sampai membuat pembaca ngantuk dan lupa tadi ceritanya sampai mana.
​5 Cek paragraf Kalau dalam naskah ada paragraf yang panjang, coba curigai, jangan-jangan ada dua atau tiga ide pokok. Potong paragraf. Satu ide pokok dalam satu paragraf.  Ya, saya tahu, buat beberapa penulis, ini pelajaran bahasa indonesia anak SD yang masih bikin tertatih-tatih dalam penerapannya sampai sekarang.​ Dengan memotong paragraf panjang jadi dua atau tiga lumayan membantu juga menambah halaman. Selain itu, paragraf yang panjang juga bikin mata pembaca capek. Biasanya satu paragraf berisi sekitar lima baris, ya. 
Lima poin tadi bisa dicoba untuk menambah halaman tanpa mengganggu cerita. Karena jalan cerita sangat penting untuk penulis, dan format pengiriman juga penting buat penerbit. Dengan format yang sudah ditentukan, naskah bisa diramalkan akan jadi berapa halaman setelah dilayout, lalu bagaimana kemasannya, bagaimana nanti ukurannya, jenis kertasnya sampai harga jualnya. Nah, panjang kan kepentingannya, tapi ujung-ujungnya untuk penulis juga, kok. Selamat menulis :)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 25, 2016 23:11

Buku Baru: Strawberry Cheesecake

[image error]
Judul: Strawberry Cheesecake
Halaman: 308
Terbit: April 2016
Penerbit: Bentang Pustaka
Sinopsis:

Selama menjadi artis terkenal, tantangan kali ini benar-benar mengusik Alana. Demi menarik simpati pujaan hati yang tak kunjung menerima cintanya, Alana menerima tantangan itu . Reality show membuat kue! Di sinilah petaka dimulai. Alana bisa melakukan apapun, kecuali memasak! Kalau bukan karena Aidan, mana mungkin ia bersusah-susah melakukan ini.

Ia terpaksa harus berbohong di depan kamera bahwa ia mahir membuat cake. Adonan menjijikkan, kue bantat, dekorasi mengerikan adalah hasil karya Alana selama proses syuting. Untungnya, ia bertemu Regan, seorang karyawan baru di Strawberry Garden Deli, kafe tempat mereka syuting. Alana takjub dengan kemampuan Regan membuat kue. Karenanya, Alana membujuk Regan habis-habisan untuk mengajarinya demi keperluan syuting.

Meski Regan galak dan menyebalkan, Alana terpaksa belajar darinya. Alana benci harus menghadapi Regan yang sok cool itu setiap hari. Alana benci ketika Regan selalu meremehkan kemampuannya, yang sebenarnya memang tidak ada. Alana benci terlihat bodoh di depan Regan. Dan, yang paling tidak disukai Alana adalah ia benci harus menyangkal tunas-tunas perasaan yang tumbuh di hatinya, untuk Regan.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 25, 2016 22:53

April 20, 2016

Perayaan Hari Kartini



Selalu, setiap tahun pada tanggal ini, saya melihat pemandangan anak-anak kecil menggunakan pakaian daerah, kebanyakan pakai konde dan kebaya. Katanya, memperingati hari kartini, biar seperti Ibu Kita Kartini. 
Yah… memang, Kartini memakai konde dan kebaya, tapi menurut saya kurang pas kalau yang dirayakan adalah konde dan kebayanya. Yang mesti kita rayakan bukanlah penampilan luarnya, namun semangatnya. Kartini toh tidak mengajarkan perempuan menggunakan konde dan kebaya. Ia justru mengajarkan kita untuk melepaskan ‘konde dan kebaya’, hal-hal yang mengungkung hak manusia bagi perempuan. Lalu, kenapa sekarang kita malah mendandani anak kita pakai konde dan kebaya?
Kalau memang harus dandan untuk lucu-lucuan peringatan hari ini, saya lebih suka parade kostum. Beberapa sekolah sudah melakukannya. Biarkan anak-anak memilih kostum sesuai cita-citanya. Anak yang mau jadi dokter, pakailah kostum dokter, yang mau jadi polisi, pakailah pakaian polisi, yang mau jadi koki, pakailah celemek. 
Jadikan hari ini momen untuk menularkan ide dan semangat Kartini, agar anak-anak bisa menghargainya (dan orang lain) bukan sebatas penampilan konde-kondean saja. Saya rasa, anak-anak bisa mengerti jika kita menjelaskan siapa Kartini dengan sederhana. Lalau, kita bisa melakukan kegiatan yang mengeksplor cita-cita mereka, dan menanamkan bahwa mereka bisa jadi apa pun yang mereka inginkan. 

NB: Pakaian daerah lebih cocok untuk perayaan 17 agustusan, IMHO
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 20, 2016 19:13

April 15, 2016

Nulis Buku Apa?



Saya penulis, tapi saya nggak suka ditanya nulis buku apa. Saya pikir cuma saya, ternyata, diam-diam beberapa penulis juga begitu. 


Saya terkenang beberapa momen basa-basi di adegan perkenalan, setelah obrolan ngelantur ke sana-ke mari, lalu teman bicara tahu saya penulis, selalu pertanyaan berlanjut dengan entengnya, “Oh, penulis. Nulis buku apa?” Buat saya, ini semacam pertanyaan, “Oh, udah belajar perkalian. Jadi, 9435x4655 berapa?” *ngucurlah keringet dingin
Awal-awal di tanya begini, saya suka nggak ngerti ini pertanyaan arahnya ke mana. Perlu beberapa saat untuk mikirin konteks pertanyaan sederhana berjiwa mewah ini, beneran dia nanya judul bukunya? atau genrenya? atau sinopsisnya? atau penjabaran alurnya? atau nilai moralnya? atau kelebihan bukunya? dia nyuruh saya promosi atau gimana?
Pengalaman mengajarkan, jawaban yang paling aman adalah menjawab genrenya. Contoh, “Novel romance.”
Namun, kadang ada yang kepo juga, “Judulnya apa?”
Saya nyebut buku saya. Sampai sini ada dua kemungkinan yang menetukan nasib obrolan selanjutnya. Kemungkinan pertama adalah kemungkinan mengerikan yang menjatuhkan harga diri seorang penulis, yaitu keningnya berkerut, lalu dia bilang, “Oh....”
Saya balik tanya, “Tahu?”
“Enggak. Em... Aku nggak suka baca.”
Ini ibarat, saya udah ngitung perkalian pake lidi dijejer, udah ketemu hasilnya, lalu saya sodorin angkanya ke dia, “Bener nggak segini hasilnya?” Tapi jawaban dia, “Kalo aku sih belom belajar perkalian.” Pada saat seperti itu saya hanya bisa berdoa semoga diberi ketabahan.
Lupakan dia yang nggak tahu, karena kadang saya beruntung, ketemu orang yang tahu buku saya. Nah, ini kemungkinan kedua, dia tahu buku saya. Lalu, saya biasanya nanya, “Udah baca?”
“Belom. Aku pernah liat buku kamu. Ada di toko buku, kan?”
Ya iyalah, toko buku, masak iya di toko pakan ternak?
“Aku juga taunya dari temenku, dia udah baca loh buku kamu.”
Bagus. “Kamu baca juga dong.”
“Iya, nanti aku pinjem temen aku.”
Diiih, beli kek. 
“Emang ceritanya tentang apa sih?”
Kalo dia udah minta didongengi, repot. Saya nggak suka cerita lewat verbal, saya lebih suka bercerita lewat tulisan.  Rasanya pengen saya sodorin dia gambar cover belakang buku saya, di mana ada blurb di situ. Biar dia baca sendiri. 
Kalau ada pertanyaan begini, saya jawab dengan premis saja. Kalau dia minta lebih, dan suasana hati saya lagi baik, saya kasih cerita singkat. Ada obrolan yang lalu berlanjut, ada pula yang tidak. Indikasinya, kalimat dimulai dengan, “Ooo....” sambil pasang tampang datar.
Ini artinya dia nggak suka buku saya. “Kamu sukanya buku apa?”
“Yah... semacam Harry Potter dan Laskar Pelangi, deh.”
“Oh, aku juga suka. Tulisannya bagus, ya.”
“Em... aku nggak tahu sih tulisannya gimana, aku cuma nonton filmnya.”
Gantian saya yang pasang tampang datar. 
Karena itulah, saya, yang cuma seorang penulis apalah ini, sering menghela napas kalau ada pertanyaan buku saya tentang apa. Jadi, sebelum perjalanan muter-muter yang berujung di gang buntu seperti di atas, kalau saya ngeliat gelagat orang yang nanya cuma basa-basi, mending saya jawab, “Baca sendiri aja, ya.”
Beda kalau yang nanya memang benar-benar ingin tahu. Tentunya, saya dengan senang hati menjawab panjang lebar. Karena saya tahu, jawaban saya akan ada manfaatnya buat saya dan dia. Bukankah apa yang kita bicarakan harus ada manfaatnya?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 15, 2016 00:13

February 24, 2016

Lebih dari Ini



Mengerikan!
Brenda datang dengan rok mini totol-totol yang seakan bilang bahwa dia adalah titisan macan kumbang. Sepatunya, boots semata kaki, tidak seperti sepatu petugas kebersihan  memang, kuakui sepatu itu sangat keren, tapi rasanya tidak pas saja, memakai sepatu semacam itu di Indonesia, walaupun ini musim hujan. Aku memutuskan untuk tutup mulut, tidak berkomentar, takut dikira kampungan. Siapa tahu sekarang ini boots semacam itu lagi trend? Aku kan tidak pernah lagi menyentuh majalah mode setelah menikah. 
“Hai… gils!” ia mencium pipiku, Berlian, dan Juwita satu per satu.  
“Gile, mau sirkus di mana?” Berlian menyuarakan kalimat yang tak berani kukatakan.
“Ck.. kampungan,” kata Brenda, “kayak baru kenal aja. Animal print, kan selera gue dari dulu….” kata Brenda sambil berputar memamerkan rok sepan mininya. Aku tidak tertarik dengan roknya, fokusku pada pinggang kecil yang kontras dengan pinggulnya. Dulu, ukuranku segitu. Beberapa kali aku meminjam rok nya, tentu yang modelnya lebih waras. Dulu, kami sama-sama kerja di sebuah majalah wanita. Kami berempat tes, diterima, dan training bersama. 
Brenda dulu jadi supeeer junior di bagian mode, sekarang sudah jadi senior editor mode. Karir yang cepat melonjak, perusahaan menghargai bakatnya. Karena itu juga aku tidak berani komentar, walau seaneh apapun pakaian yang dikenakannya.
“Mungkin laki-laki takut deket-deket sama elu, gara-gara animal print elu itu, rrrr!” Berlian memeragakan macan mengaum yang akan mencakar. Pandanganku spontan ke kuku-kukunya. Spontan saja, karena aku sering mengagumi kuku-kuku Berlian.  Dulu, Berlian sangat suka bereksperimen dengan nail art, saat nail art belum mem-booming seperti sekarang. Ia menggunakan ujung lidi untuk menggambar macam-macam, lalu, favoritnya, melapisinya dengan top coat bergliter.
Brenda menghela napas, terdengar berat. Wajahnya menjadi suram. Aku menyenggol Berlian. Upps,gumam Berlian. “Sorry, Bren, gue cuma bercanda.”
Brenda memajukan bibirnya yang berlapis lipstick ungu. Mungkin ini juga tren zaman sekarang yang kulewati. “Gimana, dong…”
“Gimana apanya?” tanya Juwita sambil mengulurkan buku menu pada Brenda. Kami semua sudah memesan.
“Berlian bener, udah umur segini, masak belom ada cowok yang mau sama gue?” kata Brenda menatap kami satu-per satu. Ia tampak tidak tertarik dengan buku menu yang digeletakkannya di meja. “Umur gue udah tiga tiga sekarang. Tujuh tahun lagi, rahim gue expired!”
Seketika, Juwita yang sedang minum tersedak. Ia terbatuk-batuk hingga beberapa saat. Menyadari tisu di meja kami habis, Brenda berlari ke meja sebelah, menyambar kotak tisu, dan memberikannya pada Juwita dengan ekspresi bersalah. 
“Maaf….” Setelah Berlian, kali ini giliran Brenda yang minta maaf.  Juwita sudah menikah enam tahun dan belum memiliki anak. Suaminya salah satu lelaki terganteng di dunia, menurutku. Ia punya perusahaan sendiri yang bisa menghidupi hingga tujuh keturunannya. Juwita tidak perlu bekerja sebenarnya, ia bisa tiap hari ke salon tanpa bangkrut. Dan terlebih dari itu, suaminya terlihat sangat menyayanginya. Sempurna, diam-diam, kami sering mengaguminya.
“Nggak apa-apa,” kata Juwita. “Udah pada lupa, ya, kita udah menghapus tata krama mengucapkan sorry dan makasih.”
“Udah, syukuri apa yang ada,” kataku untuk menetralkan keadaan. Ketiga temanku malah tertawa. Termasuk Juwita.
“Basi!” kata Berlian. “Gue nggak perlu elu untuk ngomong begituan. Emang siapa sih yang nggak bersyukur. Ini bukan masalah bersyukur apa enggak.”
“Kalimat yang udah nggak sakti lagi buat gue,” kata Juwita. 
“Apalagi gue,” kata Brenda memutar bola matanya. “Gue kesini untuk ketemu temen, bukan bu ustad. Apa yang mau gue syukuri? Laki nggak ada, anak nggak ada.”
“Lu punya karir yang bagus, lu bertiga,” kataku menatap mereka. Aku - ibu rumah tangga tanpa pekerjaan selain mengurus dua anak kembar ini- rasanya ingin menoyor jidat ketiga temanku ini. “Lu bertiga bisa menentukan jalan sendiri, nggak tergantung sama suami,” kataku menggebu. “Setidaknya, lu semua masih punya kehidupan sendiri.”
“Emang lu nggak punya kehidupan?”
“Nggak. Semenjak gue punya anak dan berhenti kerja, hidup gue sembilan puluh persen untuk anak, sepuluh persennya lagi untuk suami gue. Buat gue, nol persen. Gue udah nggak punya waktu untuk ngurus diri sendiri. Keramas aja gue buru-buru!”
“Gue juga,” kata Berlian. Ia punya satu anak dan masih bekerja. Tapi tidak di majalah kami dulu. Ia keluar begitu punya anak, dan mencari pekerjaan yang kantornya dekat, walaupun secara karir suram. Yang penting dekat dan uangnya lumayan untuk tamba-tambah. Kantornya hanya satu jam dari rumah dan bukan jalur macet. Dengan begitu, dia tidak pernah pulang terlambat dan membayar charge extra babby sitter-nya. Pekerjaannya pun tidak menguras otaknya. Ia tidak perlu membawa semua otaknya ke kantor. Ia bisa meninggalkan separuh di rumahnya. Untuk seorang Berlian yang cum laud, pekerjaannya yang sekarang hanya memerlukan seperempat otaknya saja. 
“Setengah hari lebih gue jadi buruh, sisanya gue jadi babu di rumah. Gue sampai nggak tahu hidup gue ini mau ke mana. Berkarir enggak, ibu yang bener juga enggak.”  Berlian menggigit bibirnya. “Harusnya gue bisa lebih dari ini.”
Kami terdiam, sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Brenda yang mungkin memimpikan lelaki idaman, Berlian yang meragukan arah hidupnya, Juwita yang berharap punya anak, dan aku yang merindukan berkarya, diakui semua orang, bukan cuma dua anakku. Apakah aku terlalu tamak?   
“Kita bisa lebih dari ini, lebih dari kita yang sekarang.” Mereka menatapku. “Kalau kita mau mengorbankan apa yang kita punya sekarang. Mau?” mereka terdiam, aku juga.


NB: Buat mama-mama yang lagi perang full time mom dan working mom, sama-sama ada yang kita korbankan. Semakin menyerang, saya semakin curiga, pengorbanan Anda nggak ikhlas.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 24, 2016 23:44

February 9, 2016

Dinosaurus di Taman Legenda Keong Emas, Taman Mini


​Rencana awal wisata ke Taman Mini, papa mau nostalgia naik kereta gantung taman mini yang legendaris itu, si dedek mau foto sama badut. Sedangkan ​saya, nggak punya cita-cita sebelum ada mas-mas bagi-bagi free ticket untuk 1 orang ke Taman Legenda Keong Emas dengan gambar dinosaurus di depannya.


Singkat cerita setelah papa sama dedek berhasil ke tempat tujuan mereka, kami ke Taman Legenda Keong Emas, taman bermain yang tergolong baru di Taman Mini ini. Semua wahana masih bagus, cat nya masih kinclong dan tempatnya bersih. Segmen mainannya untuk anak-anak. Semacam dufan mini junior lah.

Di loket, mbak-mbaknya nanya, mau naik wahana apa? di atas loketnya ada sih tulisan nama-nama wahana, tapi karena ini baru pertama kalinya, kami nggak ada gambaran wahana yang namanya 'ini' bentuknya kayak gimana. Setelah liat menu wahana yang kita juga nggak mudeng, akhirnya kita cap cip cup kembang kuncup, "ya udah, kita mau naik kereta anak-anak sama liat dinosaurus yang di brosur."

Lalu, kita kita dipinjemin gelang canggih yang berfungsi semacam kartu debit berisi uang sejumlah yang kita depositkan 10 ribu untuk jaminan kalau gelang canggihnya hilang. Setiap masuk wahana, nanti gelangnya tinggal ditempel aja di pintu, kalau masih ada saldonya, pintu kebuka, kalo enggak, bisa ngisi lagi di dalam arena bermain. Range harganya 15 ribu sampai 30 ribu untuk satu wahana. Kalau udah pengin pulang tapi masih ada saldonya, bisa diuangkan lagi kok.

Karena menyambut imlek, kami dikasih angpau loh! saya langsung menargetkan natal dan lebaran datang lagi, mungkin ada kado. Kami disuruh milih dan ambil sendiri amplop merah yang digantung di pohon. Ternyata suami saya dapet tiket naik wahana Mata Legenda, yang ternyata adalah roda raksasa gila semacam bianglala di dufan. Hiii... naik aja sendiri sana, gue ogah! lalu, saya membuka amplop angpau saya. Ah.. mudah-mudahan dapet setrikaan atau hairdryer (Eh, Bu! Situ panjat pinang aja dulu). Eng... ing... eng... ternyata amplop berisi tiket naik wahana begituan juga!

Ya sudahlah, karena nggak mau rugi, akhirnya kami naik. Nggak tinggi-tinggi amat kok... keliatannya. Ketika udah mau sampai paling atas, baru nyesel kenapa tadi naik. Lalu,ada bunyi bunyi kreek halus, yang entah dari mana. Mungkin bunyi normal karena roda berputar, mungkin halusinasi. Si papah yang tadi cengengesan masang tampang kaku, kami pandang-pandangan, sama sekali nggak romantis, ini tatapan horor. Sementara si dedek farel lompat-lompat gembira, saya mau pingsan. Jadi, saya nggak bisa deskripsiin apa yang saya lihat di atas karena sibuk berdoa.

Ternyata memang nggak ada apa-apa kok, aman. Begitu mau sampai bawah papah nyeletuk, "Kayaknya mas-mas nya yang bukain pintu sibuk, mungkin kita akan kelewatan dan naik satu putaran lagi." Cukup!

Setelah itu ada wahana yang namanya Kereta Beoz, ini adalah kereta-keretaan mini yang bisa keliling tanpa rel. Meski nggak keliling satu taman penuh, tapi lumayan lah buat seneng anak-anak karena papa mamanya juga bisa naik.

Jalur kereta ini melewati wahana yang diloket tadi tertulis 'Kapal Bajak Laut' yang sejatinya adalah kolam renang anak-anak yang ditengahnya ada kapal bajak laut berperosotan. Like father like son, si dedek langsung narik-narik kaos pengen buka baju begitu liat kubangan air. Si papah juga memutuskan, "Abis ini kita berenang!" 

He? saya nggak bawa sunblock di siang yang kelewat panas ini. Tapi alasan 'sunblock' nggak akan ngaruh buat si papa. Dua lawan satu, saya harus memikirkan alasan lain yang lebih rasional dan saya harus menang! "Dedek nggak bawa ban renang.""Itu ada yang jual." Sial. Kereta ngelewatin semacam toko perlengkapan renang nggak jauh dari kolam."Kita nggak bawa baju! Lagian aku nggak mau berenang panas-panas!""Iya papa ngerti. Yang berenang kan dedek sama papa. Kamu nunggu aja di bawah pohon."What? Emang gue ondel-ondel! "Bisa-bisanya! %*^#$@*&!" Debat berlanjut dan ibu-ibu selalu menang ^^. 

Setelah itu kami masuk ke Taman Dinosaurus. Wahana ini top banget deh buat anak-anak. Kita seperti masuk hutan yang di kiri kanannya ada dinosourus. Dinosurusnya keren, robot ini bisa gerak di tempat dan ada suaranya. Malah ada yang bisa nyiram kita pakai air. Nggak saya kasih tahu ya yang mana biar situ kesemprot juga haha! Buat anak yang lebih besar, ada keterangan dinosaurus ini namanya apa dan info lainnya. Buat mama-mama yang males jalan nggak usah takut capek, hutannya nggak lebar kayak kebon raya kok. Sepertinya sudah dipertimbangkan untuk bisa ditempuh anak-anak yang bisa jalan sendiri. Keren.

Untuk menjaga agar tetap keren, jangan lupa peringatkan anak-anak untuk tidak menyentuh dino ya, termasuk melempar, memukul, menyubit apalagi menganiaya untuk sekedar tahu itu dino betulan atau enggak. Ini dino palsu alias robot yang dibuat untuk bermain dan belajar.

Biar nggak sekedar ngobrol-ngobrol nggak jelas gini, tadinya saya sudah nyimpen brosur yang ada harga dan petanya untuk share detailnya, sayangnya raib. Mungkin dibuang sama si papa yang rajin beres-beres atau ketelen dedek, astaga! Mungkin nanti pas kami berenang di sana (ambisi si papa dan dedek yang belom kesampean) saya ambilin brosurnya. 

Tips buat mama-mamanya:- kalo mainnya siang, bawa payung, di sana pohonnya nggak banyak. Nggak apa-apa dibilang emak-emak rempong juga (tapi nggak usah bawa termos), yang penting nggak migren kepanasan.- kalau bawa dedek bayi, jalanannya rata, jadi troli bisa masuk.- kalo nggak mau bolak-balik ngisi gelang, deposit aja banyakan, nanti ada kembaliannya.- buat mama-mama yang males bawa bekel, ada kantin di dalam, bersih dan adem. Rasa makanannya nggak nyoba sih, saya minum doang. Begitu minuman saya abis, tiga detik kemudian ada mas-mas yang ngambilin botol dan bersihin meja. Keren.- di toko souvenir ada dinosaurus lucu-lucu! mungkin kalau kita bisa menghasut anak kita minta dibeliin, papanya akan luluh ^^

di dalam area Taman Legenda Keong Emas
menuju area permainan
mata legenda yang saya ceritain tadi
komidi putar dengan kuda yang lucu-lucu
mas! mas! nyari apa? tolong itu payungnya ganggu!
dino dan papan info identitas dan fakta uniknya
dinosaurus! rrrr!

kantinnya bersih dan adem
dikasih marshmallow dinosaurus sama ibu-ibu karena farel ngeliatin anaknya yang pegang jajanan ini.
ini yang namanya kereta beoz, fotonya sambil ngejar bocah, jadi ga fokus
farel di dalam mata legenda. anteng-anteng aja




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 09, 2016 22:15

June 29, 2015

Cupikan Mermaid Melody #3



 Sabrina, Fans Jung WooBisa-bisanya dia membawa Oppa dengan cara menyetirnya yang seperti itu. “Kejar terus!” teriakku. Aku bahkan sudah tidak peduli pada rambutku keriting sebelah. “Kita harus menyelamatkan Oppa!”
Alea Kei, PengangguranOppa? Jung Woo? Jung Woo penyanyi Korea itu?Aku tahu Jung Woo, dia pemeran utama Rain All Day, drama Korea yang sedang disiarkan di TV. Artis Korea itu sebenarnya bisa saja menjadi idolaku kalau perannya di drama itu bukan sebagai cowok egois. Aku juga bisa menyanyikan beberapa lagu Jung Woo yang menjadi soundtrack-nya. Selain karena video klipnya sering muncul di TV, kemarin aku juga menjadi usher (9) di acara meet & greet, juga konsernya. Aku sempat melihatnya dari kursi VVIP paling depan, jadi aku cukup mengenal wajah Jung Woo yang sebenarnya.
(9) Petugas yang mengantar penonton ke tempat duduk sesuai tiketnya.
Hah … cewek-cewek tadi pasti sudah gila. Cowok yang duduk di sampingku ini jelas-jelas bukan Jung Woo. Baiklah, agak mirip memang. Dari rembesan cahaya pinggir jalan yang masuk ke mobilku yang gelap aku bisa mengamati cowok yang memang posturnya mirip cowok Korea. Wajahnya pun mirip Jung Woo. Tapi, kan mirip bukan berarti dia Jung Woo dan perlu dikejar-kejar edan kayak tadi.
Mana mungkin Jung Woo berkeliaran sendiri di malam seperti ini? Dengan kepala berbalut handuk pula. Belum lagi, wajahnya berminyak. Mana mungkin Jung Woo nggak mampu beli kertas wajah? Dan, perbedaan yang paling signifikan adalah kumis dan jenggotnya yang berantakan. Kalaupun Jung Woo punya kumis dan jenggot, dia pasti jadi seksi, bukan terlihat seperti om-om pedofil begini.
“Geunde, gejjokeun nuguseyo? Jeoneun hamburo sarameul taewojuji anhgodeunyo. Geurigo, eodiro garyeogo haseyo? Wae gapjagi nameui chareul thasigo, tto wae geu yeojadeuri geujjokeul dwijjochasseoyo? (10)” tanyaku. Kalau dia benar Jung Woo, dia pasti bisa jawab.

(10) Siapa kamu sebenarnya? Aku nggak mau mengangkut orang sembarangan. Oh, dan mau ke mana? Kenapa kamu tiba-tiba masuk mobilku dan kenapa cewek-cewek itu ngejar kamu?
  “Neon jilmun manhi haetteora (11),” jawabnya.
(11) Pertanyaan kamu banyak.
“Oke, satu-satu. Kamu ini siapa?” tanyaku sambil menjaga kecepatan.“Jung Woo,” katanya penuh percaya diri.“Maksudku dengan ‘nggak mau ngangkut orang sembarangan’ bukan berarti kamu harus ngaku-ngaku jadi Jung Woo.”Alisnya bertaut menatapku, “Kamu nggak percaya?”
“Ya jelas nggak percaya. Kamu pikir aku nggak pernah ketemu Jung Woo, heh? Kemarin aku ini usher di acara meet & greet dan konsernya, lho! Asal kamu tahu, aku minta tanda tangan langsung dari Jung Woo dan kami foto bareng. Aku udah pernah ngeliat Jung Woo dari dekat, aku hafal lekukan mukanya! Jadi, kamu jangan ngaku-ngaku Jung Woo. Cewek-cewek itu mungkin bisa tertipu, tapi aku nggak!” kataku memberi peringatan “Oh, kamu usher acaraku? Sugohasyeosseoyo (12).”
 (12) terima kasih sudah bekerja keras.  “Aku tidak perlu terima kasih darimu. Agensi sudah membayarku tepat waktu, itu sudah cukup. Aku mau lihat KTP kamu! Buktikan kalau kamu memang Jung Woo!”“KTP apa?”“KTP! KTP! Identity card!”“Oh, ada copy paspor. Sebentar.” Cowok itu lalu merogoh kantong belakang celananya. Keningnya berkerut, matanya bergerak-gerak panik, wajahnya tampak ketakutan. Jangan sampai dia menangis di sini. Dia merogoh sebelah kanan, kiri, kantong depan. Gerakannya mulai gelisah. Ah … dia pasti mengelak untuk memperlihatkan identitasnya. “Dompet saya hilang!” “Ha … ha … ha … alasan! Kamu enggak bisa membuktikan kalau kamu Jung Woo, kan?”
“Aku Jung Woo!” pekiknya hampir menangis.Aktingnya lumayan bagus. Harusnya dia masuk ke mobil Ram Punjabi, bukan mobilku.“Ini lihat!” dia melepas handuk yang ada di kepalanya. Rambutnya lepek berlepotan krim hijau menjijikkan. Dia kemudian menarik sesuatu di dagunya. Terlepaslah jenggot buatan dan kumisnya. Dia memang punya sudut rahang tegas tapi dagu yang lembut. Matanya yang agak bulat bersinar cemerlang seperti mata kelinci, sangat khas Jung Woo. Tapi tetap saja, dia bukan Jung Woo.
“Kenyataan bahwa Jung Woo tiba-tiba masuk sendiri ke mobilku terlalu manis untuk jadi kenyataan,” kataku. “Mimpi dan kenyataan dua hal yang berbeda. Ketika kamu tidak tidur, lupakan mimpi. Kamu tidak akan bisa jalan kalau kamu terus terpejam.” Pengalaman membuatku mahir untuk membedakan mana kenyataan dan mana mimpi. Kalau memang dia Jung Woo berarti aku sedang bermimpi. Kalau ini kenyataan, maka dia bukan Jung Woo. Itu saja pilihannya.
“Mimpi dan kenyataan memang dua hal yang berbeda, tapi mimpi membuatmu jadi nyata,” dia membalas dengan yakin. “Kalau kamu tidak pernah bermimpi, maka kamu tidak akan pernah hidup. Kamu bangun karena kamu pernah tidur.”
“Baiklah, Jung Woo,” aku mengikuti permainannya. “Kenapa cewek-cewek itu mengejar kamu?”“Karena mereka tahu aku Jung Woo. Aku sudah menyamar dengan kumis, jenggot, kaca mata hitam dan topi. Biasanya ini berhasil. Tapi, waktu di salon tadi aku harus melepas kacamata dan topiku. Aku tidak menduga mereka mengenaliku.” Wah … wah … wah … cowok ini juga berbakat menulis skenario sinetron.“Aku panik, lari. Kebetulan mobilmu terbuka tadi, jadi aku ….” Kata-katanya terpotong oleh dering ponsel.






 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 29, 2015 00:13