Dian Hartati's Blog

February 11, 2014

Lomba Resensi Upacara Bakar Rambut

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2014 05:28

Meresapi 30 Riwayat Napas

Meresapi 30 Riwayat Napas*
Oleh Rohyati Sofjan

Memasuki belantara kata terkadang membuat kita sesat dalam ketakjuban atau kebingungan. Lalu hanyut dialun rasa asing. Sebuah dunia tak dikenal telah kita masuki, tempat belajar mengenal perasaan dan pengalaman orang lain. Dan memasuki wilayah puisi adalah pengalaman turut serta berbagi dengan penyair.

Mengenal Dian Hartati secara pribadi membuat saya subjektif menilai puisinya. Ia pernah berbagi hari, hari-hari sulit dan rungsing sampai hari-hari tenang penuh kedamaian. Begitu pun saya terhadapnya.

Dunia kami yang berbeda terkadang membuat saya iri pada kemampuan dan kemajuannya mengolah alur rasa dan pikir sedemikian subtil. Saya tercengang membaca CV-nya sebagai penyair. Begitu banyak karya yang diterbitkan. Dan jelang usia kepala tiga, sadar atau tidak, ia seakan telah menerapkan prinsip penting dalam hidup: jangan mubazir!
Membaca Upacara Bakar Rambut, saya menyesali diri karena tak berbuat banyak untuk melipur lara karib yang berduka. Saya adalah pembaca yang “turut-serta” sekaligus in absentia. Dan sekarang, saya sedang berhadapan dengan autobiografinya. Nuansa muram begitu pekat, sepekat dukacita. Namun saya harap Dian tak berlarat-larat dalam duka semacam itu. Marilah, masih banyak tangan untuk digenggam, atau bahu untuk bersandar; sekadar menguatkan.
Jika Putu Arya Tirtawirya berpendapat bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. Saya merasa Dian berjiwa bebas dalam menulis puisi. Mengikuti alur yang diteorikan oleh Putu Arya Tirtawirya, namun bisa juga sebaliknya bermain dalam ranah eksplisit sekaligus denotatif. Kentara baginya bahwa puisi adalah bagian dari keseharian, tempat mendedah perasaan, sebagai perempuan yang terkadang dipaksa tegar oleh keadaan.

Dan membaca 30 puisi dalam Upacara Bakar Rambut bukanlah perkara mudah bagi saya untuk memahaminya. Terkadang Dian membawa saya ke dalam dunianya yang seolah surealis, ngungun dialun mimpi. Kata-kata boleh diungkapkan secara sederhana, namun makna seringkali tersembunyi dalam relung gelap yang sulit dijelajahi pembaca awam macam saya.
Puisi semacam itu bukanlah ditujukan untuk menyesatkan pembaca; tak lebih dari semacam kabut kesadaran yang sedang menyelubungi penyair kala ia dihinggapi stimung hingga trance mendedah rasa, membelah jiwa, agar menjelma makna.

dari sebuah semadi, aku menajamkan panca indra/ meragas kata-kata/ meniup matahari menjadi nyala sebelah/ dan ujung-ujung rambutku terbakar sedikit demi sedikit/ sulur-sulur yang membelit tubuh berlesapan// selepas matahari benar-benar padam/ rambut baru bertumbuhan/ warna tembaga berdesis ngilu/ bau sisa pembakaran// di dalam semadi,/ aku merasakan kematian yang dingin/ tangan maut terus menarik akar rambut/ aku melihat si pemilik mata merah/ wajah bengisnya merontokkan segala usaha// hangat tubuh mengelilingi ruang semadi/ ternyata angin tak dapat meredam semua/ tangis tak memiliki arti/ dan warna kehidupan mengacaukan isi kepala// aku membuka mata/ melihat cahaya berkedipan/ mencari pintu, jalan keluar yang tak juga terbuka// SudutBumi, 2013 (“Upacara Bakar Rambut”).

Dian seolah menjadikan puisi sebagai napas kesehariannya. Hidup dengan bernapaskan puisi membutuhkan kepekaan yang harus senantiasa diasah, terus-menerus. Mencermati peristiwa, bahwa hal remeh ternyata berharga. Dan cinta bukanlah perkara remeh-temeh semata. Kalaupun dianggap remeh bagi orang lain, Dian mengolahnya agar kita mengenal dimensi kehidupan bahwa empati dan simpati janganlah mati.

aku sedih/ begitu aku berbisik di telingamu/ kau masih saja bertahan di pembaringan/ berteman dengan hangat tubuh dan batuk/ padahal tadi pagi kita telah/ melakukan perjalanan panjang/ bercerita pada laut yang sedang bergelora/ berkisah tentang sakitmu/ pada ikan-ikan dan pasir pantai// sedang menulis puisi/ begitu aku berbisik di telingamu/ sedikit berbohong karena sepanjang/ siang aku banyak melamun/ memikirkan kamu, rumah,/ dan tabungan yang hampir habis/ segalanya telah kuupayakan/ bahkan aku telah lupa cara/ berkeluh di hadapanmu/ cara menangis yang sebelumnya/ kukemas manis// duduk di hadapanmu/ aku diam/ meraba seluruh wajah dan tubuh/ aku ingin waktu cepat berlalu/ dan kau sehat seperti waktu-waktu lampau/ berjalan pongah dengan lelucon yang siap/ ditembakkan// aku mencintaimu/ begitu aku berbisik di telingamu// Bumiwangi, 2012 (“Begitu Aku Berbisik di Telingamu”)

Baiklah, membaca 30 puisi Dian Hartati dalam antologi ini seakan meresapi 30 riwayat napas hidup sang penyair. Sangat kentara warna kelabunya. Seperti langit di bulan November ini, yang lebih sering mendung. Anggap saja Dian telah membukukan sebagian dari bab kehidupannya, bahwa kenangan adalah jejak langkah di masa silam demi langkah lain ke masa depan. Semoga kelak Dian tetap berkarya, mencipta, dan tidak melulu tentang duka.

Ada hal penting yang lagi-lagi harus diperhatikan agar tak cepat berpuas diri, kritik tetap harus mengiringi karya. Kalaupun ada yang harus saya kritisi adalah soal terlalu cairnya Dian membahasakan puisi. Butuh kehati-hatian ekstra agar irama tak dikebiri. Ya, rima dalam persajakan bagaimanapun memberi ruh bagi puisi agar tak cuma enak dan indah diresapi, juga menguatkan makna. Jadi, janganlah demi mengejar momen puitik lantas mengabaikan bangunan estetik.

Jika Ralph Waldo Emerson bilang, “Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.” Berbahagialah penyair. Mencipta puisi di tengah gebalau dan bising peristiwa adalah hal istimewa, sebab kita telah menjadikannya ada, mengabadi dalam kata.

* Dimuat Jawa Pos, 5 Januari 2014
Upacara Bakar Rambut by Dian Hartati
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2014 05:22

August 4, 2011

Puisi sebagai Pernyataan Merdeka

Dalam tataran dunia perpuisian, nama Dian Hartati bukanlah nama yang asing. Mengapa tidak, sepak terjangnya karyanya yang gesit, kerap merambah koran-koran lokal dan nasional serta beberapa antologi puisi bersama. Tidak hanya itu, Dian juga kerap memenangkan lomba cipta puisi, baik tataran universitas maupun tingkat nasional, hal inilah kemudian membuat nama dan karyanya sedemikian akrab dalam dunia perpuisian tanah air.

Kali ini Dian Hartati menerbitkan buku antologi puisi tunggalnya yang terbaru berjudul Kalender Lunar. Dian memulai proses kreatif yang intens sejak kuliah, sepertinya tidak kehilangan akal dan tidak akan kehilangan kreatif imajinatif, terutama dalam proses penciptaan karya.

Lihat saja judul demi judul, bait demi bait, kalimat demi kalimat serta diksi demi diksi yang ditawarkannya dalam setiap puisi, menghadirkan suatu istilah-istilah baru dalam khazanah perpuisian tanah air. Pastinya, setiap karya yang dihasilkan adalah karya yang lahir atas kondisi, perasaan, kegelisahan, keharuan, kejadian, dan hal lain, baik yang dialami oleh diri pribadi maupun yang dialami orang lain atau pun tempat (kota/kampung) lain. Penyair yang tumbuh pada era 2000-an tersebut banyak menghidangkan kemerdekaan, kejujuran, kebebasan, serta pernyataan dalam berkarya.

Hal tersebut dapat dibuktikan dari puisinya yang berjudul "Prelude". Ibarat rumah aku adalah pagar//gerbang karat tanpa kunci//kau hanya menatap tanpa memberi//isyarat untuk masuk//bahkan tak segera meninggalkan//aku takkan pergi karena aku hanya kata//yang akan melarati embusan angin//menepis setiap kabut//aku takkan pergi//karena aku hanya kata//muncul diam-diam//di setiap ingatan. Dengan segala perasaan, dengan segala ketelitian serta kehati-hatian, Dian mencoba merekam kondisi untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah pernyataan yang merdeka, yang disempurnakan dalam sebuah sikap kata-kata.

Bisa jadi pernyataan puisi tersebut tidak sekadar ditujukan pada dirinya, atau bahkan pernyataan puisi tersebut juga akan atau sedang terjadi pada orang lain. Suatu pernyataan yang bisa mewakili kondisi hidup dan kehidupan manusia, tanpa harus dibatasi oleh tembok-tembok ruang dan waktu apalagi jender, agama, atau bahkan politik yang memabukkan. Setiap kata mengalir membasahi makna. Setiap kata terlihat sedang melakukan kerja sama masif dalam mendudukkan kalimat-kalimat yang utuh, sampai membuat jadi kesatuan yang sempurna.

Kesempurnaan tersebut selanjutnya dapat diselidiki dalam karya Dian yang berjudul Kalender Lunar. Suatu karya yang selanjutnya dijadikan judul buku antologi puisi tunggalnya. Demikianlah bunyinya, Mencermati bulan//gerak putar yang tak pernah diduga//tibatiba purnama//kau selalu bercerita//tentang malam dan serigala//manusia dan petaka//sesuatu yang bernama kala//di setiap bentukan bulan//kau memandang langit mahabintang//tibatiba gerhana.

Kalender Lunar atau Kalender Bulan ini banyak sekali mengentalkan cerita, terkadang dia juga tak lupa untuk mengingatkan kita agar selalu siaga. Sebab di dunia yang labil ini, apa saja bisa terjadi, yang baik bisa tiba-tiba menjelma serigala, panas bisa berubah menjadi malam dan sunyi. Dan puisi kini benar-benar menjadi kalender perekam segala kondisi juga sebagai pengingat, agar tetap berhati-hati. Singkat dan padat adalah salah satu karakter yang ditawarkannya dalam antologi puisi tersebut.

Artinya, buku ini adalah bagian dari perjalanan hidup penyairnya. Perjalanan yang banyak memberikan makna, pesan, dan pembelajaran. Perjalanan dalam menemu usia demi usia, hingga pada waktu yang tidak ditentukan. Rangkuman sikap yang memuncak pada setiap maknanya, yaitu sebagai sebuah pernyataan yang merdeka. ***


Peresensi adalah Frans Ekodhanto, Penyair, bekerja sebagai wartawan Seni Budaya Koran Jakarta.

Judul : Kalender Lunar
Penulis : Dian Hartati
Penerbit: Dian Rakyat-Jakarta
Tahun : I, Maret 2011

Sumber: http://koran-jakarta.com/index.php/de... Kalender Lunar by Dian Hartati
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 04, 2011 01:43

Kalender Lunar Dian

Ada 82 puisi dalam antologi Kalender Lunar yang ditulis Dian Hartati terbit bulan Maret tahun ini yang siap menjadi bahasan menarik. Buku yang berisi sepilihan puisi yang Dian tulis sekitar tahun 2004 sampai 2009 ini, telah diberi kata pengantar oleh dosen saya, yakni Nenden Lilis A. Kemudian, buku antologi puisi Kalender Lunar ini terbagi atas tiga bagian: Prelude, Dongeng Cinta, dan Serat Waktu. Seluruh puisi Dian Hartati tidak terbatas oleh satu tema, begitulah kira-kira dosen saya mengawali kata pengantarnya di buku puisi Dian Hartati, Kalender Lunar.
Ketika saya membaca puisi-puisi Dian Hartati, saya pribadi jadi teringat beberapa tahun lalu, di mana dipertemukannya saya dengan penyair tersebut dalam sebuah ajang lomba. Dian perempuan yang cenderung asyik diajak ngobrol, berbicara soal apa saja, apalagi soal puisi. Ia tidak segan-segan meminta saran atau masukan untuk perkembangan puisinya. Dian adalah pendengar yang baik sekaligus setia, apalagi kalau sudah berhadapan dan mengobrol dengan teman-teman seperjuangannya. Hingga sampailah, Dian yang mandiri dan telaten, saya tangkap dari pertama kali bertemu, setidaknya itu yang saya ambil sedikit kesimpulannya.
Puisi-puisi Dian rupanya tidak jauh dari pembacaan sekilas terhadap penyairnya, puisi-puisinya tidak membuat kita berkerut kening ketika membacanya, Dian tidak suka bersusah-payah dalam mengungkapkan ide dan gagasan dalam puisinya. Terbukti dari pemilihan diksi, gaya ucap dan gaya bahasa, puisi-puisi Dian begitu lugas dan rapi tanpa lupa untuk memerhatikan unsur-unsur puitik.
Hampir seluruh puisi dalam Kalender Lunar, adalah puisi yang tercipta atas kesadaran dimensi waktu, apakah itu masa lalunya sebagaimana lekatnya berbagai kenangan-kenangan, masa sekarang atau masa yang sedang dihadapinya sebagai penyair, juga masa depan dipandang sebagai harapan dan impiannya.
Misalnya pada Puisi seperti “Prelude”, dengan gamblang Dian berbicara persoalan eksistensi dirinya sebagai bentuk dari jelmaan kata yang hidup dari masa lalu dari ingatan. Dalam bagian ke II puisi itu Dian menulis : aku takkan pergi/ karena aku hanya kata/ yang akan melarati embusan angin/ menepis setiap kabut/ aku takkan pergi/ karena aku hanya kata/ muncul diam-diam/ di setiap ingatan. Juga bisa ditemukan pada puisi pendek “Solitude”, berikut lengkap puisinya :

biarlah dirimu mewujud hujan
dan aku mencermati deraimu
di balik etalaseetalase

aku pun menjelma pelangi
setelah ketiadaanmu

SudutBumi, 2006

Pada puisi “Aku Ingin Menunda Waktu” Dian berhadap-hadapan dengan persoalan kerinduan. Memandang pertemuan akan berakhir pada batasan-batasan keumuman, yakni menyisakan kesepian. Puisi itu jelas menyalin peristiwa yang sedang dialami penyairnya sendiri. Sekali ini aku ingin menunda waktu/ menghentikan detik yang terus melaju/ memahat bisu dalam setiap tubuh lugu/ mengentalkan kenangan/ menjelagakan kerinduan. Bila masih belum cukup dengan puisi ini masih banyak puisi yang ditulis dengan nafas kerinduan lainnya seperti puisi “Perjalanan Rindu” dan “Sebuah Rindu”.
Puisi-puisi seperti “Rencana Sepuluh Hari ke Depan” adalah puisi Dian yang kuat akan gagasan pentingnya harapan dalam pandangan penyair tersebut, meskipun selalu akhirnya penyair membuat keputusan dengan bersikap pesimistis. Ruang itu hilang sudah/ tenggelam bersama harapan/ petak kenangan yang tak mungkin hadir kembali. Hampir senada dengan puisi “Di Bawah Jembatan Pasupati” yang melulu mengisyaratkan persoalan kemanusiaan.
Dian termasuk salah satu penyair yang telaten dalam menciptakan pola suatu puisi, hingga tidak salah Acep Zamzam Noor dalam sampul belakang buku ini menilai ia termasuk seorang yang memiliki intensitas terjaga. Dian menulis puisi penuh dengan semangat dan gairah akan kesederhanaan memandang persoalan yang sebenarnya sudah rumit melanda kita. Dian mempunyai pandangan dalam puisinya sesuatu yang rumit itu, baik persoalan sosial, cinta, dan ketuhanan, harus disampaikan dengan cara berbeda, yakni tidak perlu membuat orang untuk kembali kesulitan memahaminya. Tetapi bukan tanpa pertimbangan membiarkan puisi-puisinya tidak memiliki kekuatan atau nilai-nilai puitis.
Kalender Lunar, adalah puisi-puisi yang ditulis dengan berbagai jenis puisi, tetapi tetap menggunakan cara dan daya ungkap yang sama, yaitu kebernasan.
Namun seandainya Dian mau berhati-hati kembali dalam menulis puisi, mungkin ia harus lebih memerhatikan kembali cara ia memosisikan kata kerja dalam penggunaan diksi. Pada puisi “Mengasah Pisau” kata ‘gamit’ di larik : padanganmu terus saja menggamit mata pisau. Pada puisi “Tentang Perempuan yang Ingin Kau Kenal” kata ‘cecar’ pada larik : sementara matamu masih mencecar setiap ujar. Adakalanya setiap penyair menemukan suatu kata, baik lewat pencarian di kamus atau pembacaan lainnya, dan itu harus melewati seleksi yang ketat. Agar puisi tidak terbebani menjadi satu media mengenalkan pembendaharaan kata baru, secara paksa. Atau meskipun pada wilayah ini lebih ‘intim’ ke persoalan gaya bahasa ciri khas penyair, ada baiknya mempertahankan keampuhan atau tidaknya, juga pertimbangan logika bahasa.
Terlepas dari semua itu barangkali, penyair-penyair khususnya penyair yang menulis di usia muda di Jawa Barat, bisa banyak belajar dari proses kepenyairan Dian Hartati lewat Kalender Lunar. Dian Hartati adalah penyair yang banyak menciptakan puisi tidak hanya mengandalkan bakat bawaan, lingkungan di mana ia berada atau bahkan ilham yang seringkali dituduh sebagai awal mula lahirnya puisi. Dian adalah penyair yang mampu belajar dengan sabar, telaten mengukur sesenti demi sesenti peristiwa dan menemukan satu demi satu celah untuk menjadikan semua itu dalam sebuah puisi. Sebab Dian memilih menjadi rajin menyilangi hari-hari proses di kalendernya, yang dipandu oleh bulan. Sekali lagi selamat kepada penyairnya, dan kepada yang lainnya selamat kita bisa menikmati Kalender Lunar.


Faisal Syahreza alias Mugya Syahreza Santosa, Penyair kini bergiat di ASAS UPI.

Sumber: Radar Tasikmalaya, 3 Juli 2011Kalender Lunar
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 04, 2011 01:35 Tags: apresiasi