Muhammad Khambali's Blog
December 28, 2024
Monster, Kore-eda Hirokazu
“Jika otak kita diganti dengan otak babi, apakah kita akan tetap menjadi manusia?"
Di mulai dari sudut pandang Saori, ibu dan orang tua tunggal dari Minato, yang kebingungan dengan perubahan sikap anak laki-lakinya yang seperti bermasalah dan sulit dimengerti. Saori bingung dengan Minato yang menggunting rambutnya, kehilangan sepatunya, dan telinganya yang terluka. Dia marah mengetahui anak mengaku telah dibully dan dipukul oleh gurunya, tetapi pihak sekolah seperti berusaha menutupi kasus tersebut. Selanjutnya kita akan tahu, kasusnya jauh lebih kompleks, cerita yang bertentangan, dan tidak seperti yang kita duga sebelumnya.
Persis seperti judulnya yang mungkin membuat kita tersesat dan keliru, film Monster (2023) adalah film yang mengajak penonton untuk menyadari bahwa perspektif dapat mengelabuhi kita tentang kebenaran. Segala prasangka yang muncul di bagian 1&2, akan terjawab di bagian 3 film. Satu demi satu kebenaran yang mengejutkan diungkap. Tapi bukan itu saja yang membuat bagian 3 menjadi bagian paling saya suka dari film ini.
Bagian 3 film menceritakan hubungan antara Minato dan Yori, dua anak yang berusaha bertahan dari dunia yang memukuli mereka, membully, membuang, dan tidak menerima kehadiran mereka. "Otak babi! Otakku diganti dengan otak babi!" Betapa kata-kata yang dilontarkan oleh orang tua, dapat terinternalisasi ke dalam diri anak. Anak-anak menganggap dirinya babi atau monster, hanya untuk mendapatkan alasan dan pembenaran atas perlakuan orang-orang dewasa terhadap mereka.
Lalu siapakah monsternya? Mungkin monster yang sebenarnya adalah society: keluarga, sekolah. Minato dan Yori adalah anak-anak pada umumnya: menyimpan rahasia dan mencari kebahagiaan dengan kabur dan menciptakan dunia imajiner mereka. Kita akan dibuat hancur di akhir film. Monster (2023) adalah film yang begitu indah, lembut, tetapi di saat yang sama juga menyakitkan.
Di mulai dari sudut pandang Saori, ibu dan orang tua tunggal dari Minato, yang kebingungan dengan perubahan sikap anak laki-lakinya yang seperti bermasalah dan sulit dimengerti. Saori bingung dengan Minato yang menggunting rambutnya, kehilangan sepatunya, dan telinganya yang terluka. Dia marah mengetahui anak mengaku telah dibully dan dipukul oleh gurunya, tetapi pihak sekolah seperti berusaha menutupi kasus tersebut. Selanjutnya kita akan tahu, kasusnya jauh lebih kompleks, cerita yang bertentangan, dan tidak seperti yang kita duga sebelumnya.
Persis seperti judulnya yang mungkin membuat kita tersesat dan keliru, film Monster (2023) adalah film yang mengajak penonton untuk menyadari bahwa perspektif dapat mengelabuhi kita tentang kebenaran. Segala prasangka yang muncul di bagian 1&2, akan terjawab di bagian 3 film. Satu demi satu kebenaran yang mengejutkan diungkap. Tapi bukan itu saja yang membuat bagian 3 menjadi bagian paling saya suka dari film ini.
Bagian 3 film menceritakan hubungan antara Minato dan Yori, dua anak yang berusaha bertahan dari dunia yang memukuli mereka, membully, membuang, dan tidak menerima kehadiran mereka. "Otak babi! Otakku diganti dengan otak babi!" Betapa kata-kata yang dilontarkan oleh orang tua, dapat terinternalisasi ke dalam diri anak. Anak-anak menganggap dirinya babi atau monster, hanya untuk mendapatkan alasan dan pembenaran atas perlakuan orang-orang dewasa terhadap mereka.
Lalu siapakah monsternya? Mungkin monster yang sebenarnya adalah society: keluarga, sekolah. Minato dan Yori adalah anak-anak pada umumnya: menyimpan rahasia dan mencari kebahagiaan dengan kabur dan menciptakan dunia imajiner mereka. Kita akan dibuat hancur di akhir film. Monster (2023) adalah film yang begitu indah, lembut, tetapi di saat yang sama juga menyakitkan.

Published on December 28, 2024 00:34
•
Tags:
kore-eda-hirokazu, monster
Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan
Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan hadir di tengah-tengah pembaca non-difabel-normatif untuk memberikan suara dari pinggir, suara kepada mereka yang sering terpinggirkan, terutama dalam konteks disabilitas. Esai-esai dalam buku ini mendedahkan pada kita bagaimana ableism beroperasi, mulai dari masalah aksesibilitas, penggunaan bahasa yang eufemistis, hingga konsep inklusi yang sering kali hanya menguntungkan non-difabel. Buku ini juga membahas representasi tokoh disabilitas dalam sastra kontemporer dan tantangan yang dihadapi dalam kurikulum pendidikan kiwari.
Muhammad Khambali, seorang pengajar pendidikan khusus, menawarkan pada kita cara pandang sederhana untuk melihat disabilitas–yang selama ini melulu terpinggirkan. Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan adalah kacamata baru untuk kita kenakan bersama dan memandang disabilitas dengan cara yang sebaik-baiknya, selayak-layaknya.
__
Penulis: Muhammad Khambali
Tebal: xii + 90 halaman
Ukuran: 13 × 19 cm
ISBN: 978-623-99244-9-2
Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan
Muhammad Khambali, seorang pengajar pendidikan khusus, menawarkan pada kita cara pandang sederhana untuk melihat disabilitas–yang selama ini melulu terpinggirkan. Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan adalah kacamata baru untuk kita kenakan bersama dan memandang disabilitas dengan cara yang sebaik-baiknya, selayak-layaknya.
__
Penulis: Muhammad Khambali
Tebal: xii + 90 halaman
Ukuran: 13 × 19 cm
ISBN: 978-623-99244-9-2
Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

Published on December 28, 2024 00:16
•
Tags:
disabilitas