AmouraXexa's Blog
August 13, 2017
Akhir Perburuan Visa Jerman
Akhirnya setelah melewati fase stress ngga dapat Termin buat bikin visa, aku sampai juga di fase leyeh-leyeh dengan stiker visa nasional Jerman di pasporku. Yuhuu!!
Visa BFD
Selain itu, visa kali ini adalah visa dengan proses pembuatan tercepat dalam sejarah pembuatan segala macam jenis vIisa yang sudah pernah kulakukan. Cuma dua minggu sejak tanggal penggajuan visa dan voila.. visaku sudah jadi dan aku sudah bisa ambil di kedutaan Jerman di Wina. Proses dalam pengajuannya pun yang paling minim stress (tanpa mengabaikan betapa stress dan down-nya nyari Termin kosong).
Email dari Deutsche
Botschaft WienSetelah dapat email dari kedutaan Jerman yang memberitahukanku bahwa visaku sudah jadi dan bisa diambil, aku memberitahukan kabar baik ini pada keluargaku di Indonesia dan host family-ku di sini. Host family-ku menawarkan padaku untuk mengantarkan ku mengambil visaku karena kebetulan Minggu depan mereka Urlaub (libur) jadi aku tidak perlu repot-repot naik kereta api. Terang saja aku langsung mengiyakan, lumayan juga menghemat sekitar 18€ tiket kereta api PP dari Böheimkirchen ke Wien HBF (stasiun kereta api).
Kalau di kedutaan Jerman di Wina, yang diperlukan untuk pengambilan visa hanya menunjukkan kartu asuransi kesehatan atau bukti pengajuan asuransi kesehatan di Jerman. Jika belum ada, bisa menunjukkan kartu asuransi kesehatan milik kita di Austria. Dalam kasusku, karena aku sudah punya kartu asuransi kesehatan di Jerman (aku pakai AOK Bayern), aku tinggal menunjukkan ini pada petugas kedutaan.
Di Wina, visa bisa diambil hari itu juga ketika kita menyerahkan paspor. Jadi kita datang dua kali di hari yang sama dalam pengambilan visa. Pertama kita datang pagi hari, diantara jam 9 pagi dan jam 12 siang untuk menyerahkan paspor dan bukti asuransi kesehatan di Jerman, lalu kita datang lagi pada sore hari di antara jam 3 sore dan jam 4 sore di hari yang sama untuk mengambil paspor dan visa. Saranku sih, datang aja sebelum jam 3 karena sore hari adalah jam sibuknya kedutaan. Pengajuan visa, pengambilan visa dilakukan di sore hari, pagi hari hanya diperuntukkan bagi warga Jerman yang ingin mengurus atau memperbarui KTP mereka atau mengurus paspor mereka. Jadi antrean sore hari itu astaga naga deh, aku datang jam 3 sore tepat dan dapat antrean nomer 43 sementara yang sedang dilayani masih nomer 23. Mpret ah!
Nomer Antrean. Tolong Bersabar Ya!
Ah satu lagi, pengambilan visa di kedutaan Jerman di Wina hanya bisa dilakukan pada hari Senin, Rabu dan Kamis. Lalu jangan lupa juga bawa print out email dari kedutaan yang memberitahukan bahwa bisa kita sudah bisa diambil, tanpa bukti itu, ngga bakal diizinkan masuk sama petugas keamanan di kedutaan.
Buat kalian yang masih dalam proses pengajuan visa Jerman (apa pun jenisnya), semangat ya!!
Alamat kedutaan Jerman di Wina :
PS. Visaku berlaku selama 12 bulan. Biasanya Visa cuma berlaku 3 bulan, lalu setelah di Jerman kita perpanjang sendiri sekalian mengajukan dan mengambil Aufenthaltstitel (Kartu Residen Permit).
Visa BFDSelain itu, visa kali ini adalah visa dengan proses pembuatan tercepat dalam sejarah pembuatan segala macam jenis vIisa yang sudah pernah kulakukan. Cuma dua minggu sejak tanggal penggajuan visa dan voila.. visaku sudah jadi dan aku sudah bisa ambil di kedutaan Jerman di Wina. Proses dalam pengajuannya pun yang paling minim stress (tanpa mengabaikan betapa stress dan down-nya nyari Termin kosong).
Email dari Deutsche Botschaft WienSetelah dapat email dari kedutaan Jerman yang memberitahukanku bahwa visaku sudah jadi dan bisa diambil, aku memberitahukan kabar baik ini pada keluargaku di Indonesia dan host family-ku di sini. Host family-ku menawarkan padaku untuk mengantarkan ku mengambil visaku karena kebetulan Minggu depan mereka Urlaub (libur) jadi aku tidak perlu repot-repot naik kereta api. Terang saja aku langsung mengiyakan, lumayan juga menghemat sekitar 18€ tiket kereta api PP dari Böheimkirchen ke Wien HBF (stasiun kereta api).
Kalau di kedutaan Jerman di Wina, yang diperlukan untuk pengambilan visa hanya menunjukkan kartu asuransi kesehatan atau bukti pengajuan asuransi kesehatan di Jerman. Jika belum ada, bisa menunjukkan kartu asuransi kesehatan milik kita di Austria. Dalam kasusku, karena aku sudah punya kartu asuransi kesehatan di Jerman (aku pakai AOK Bayern), aku tinggal menunjukkan ini pada petugas kedutaan.
Di Wina, visa bisa diambil hari itu juga ketika kita menyerahkan paspor. Jadi kita datang dua kali di hari yang sama dalam pengambilan visa. Pertama kita datang pagi hari, diantara jam 9 pagi dan jam 12 siang untuk menyerahkan paspor dan bukti asuransi kesehatan di Jerman, lalu kita datang lagi pada sore hari di antara jam 3 sore dan jam 4 sore di hari yang sama untuk mengambil paspor dan visa. Saranku sih, datang aja sebelum jam 3 karena sore hari adalah jam sibuknya kedutaan. Pengajuan visa, pengambilan visa dilakukan di sore hari, pagi hari hanya diperuntukkan bagi warga Jerman yang ingin mengurus atau memperbarui KTP mereka atau mengurus paspor mereka. Jadi antrean sore hari itu astaga naga deh, aku datang jam 3 sore tepat dan dapat antrean nomer 43 sementara yang sedang dilayani masih nomer 23. Mpret ah!
Nomer Antrean. Tolong Bersabar Ya!Ah satu lagi, pengambilan visa di kedutaan Jerman di Wina hanya bisa dilakukan pada hari Senin, Rabu dan Kamis. Lalu jangan lupa juga bawa print out email dari kedutaan yang memberitahukan bahwa bisa kita sudah bisa diambil, tanpa bukti itu, ngga bakal diizinkan masuk sama petugas keamanan di kedutaan.
Buat kalian yang masih dalam proses pengajuan visa Jerman (apa pun jenisnya), semangat ya!!
Alamat kedutaan Jerman di Wina :
Deutsche Botschaft Wien
-Visastelle-
Besucheradresse: Strohgasse 14c, 1030 Wien
Postanschrift: Postfach 60, 1037 Wien
Fax: 0043-(0)1 / 711 54 272 E-Mail: visa@wien.auswaertiges-amt.de Internet : www.wien.diplo.de Öffnungszeiten : Mo, Mi, Do, Fr: 9 - 12 Uhr, Di: 13 - 16 Uhr
PS. Visaku berlaku selama 12 bulan. Biasanya Visa cuma berlaku 3 bulan, lalu setelah di Jerman kita perpanjang sendiri sekalian mengajukan dan mengambil Aufenthaltstitel (Kartu Residen Permit).
Published on August 13, 2017 11:28
August 6, 2017
Siapa Suruh Datang Eropa? Duka Tinggal di Eropa (Jerman dan Austria)
Ngga kerasa hampir dua tahun sudah aku tinggal di Eropa, setahun di Jerman, lalu pulang ke Indonesia demi ngejar ijasah sarjana, lalu balik Eropa dan tinggal hampir setahun di Austria. Ngga sedikit teman dan kenalan yang berkomentar, "Enak ya tinggal di Eropa.". Tanggapan paling normal yang aku berikan biasanya seperti ini, "Ada enak dan ngga enaknya juga.". Lalu seperti apa sebenarnya rasanya tinggal di Eropa, benua yang jaraknya belasan ribu kilometer dari rumah?
Tentunya rasanya lebih nano-nano dari permen nano-nano yang cuma anak 90-an yang paham. Banyak suka duka yang dirasakan dan kebanyakan dirasakan sendirian. Well, karena peribahasa di Indonesia mengatakan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, maka aku bakal bahas yang ngenes-ngenes lebih dulu sebelum kita masuk ke bagian hura-huranya. So, apa sih dukanya tinggal di Eropa?
Pertama, jelas kendala bahasa. Karena kebetulan aku tinggal di Jerman dan Austria yang kebetulan sama-sama menggunakan bahasa Jerman, tantangan pertama ketika tinggal di sini jelas mempelajari bahasa Jerman. Jangan dikira bahasa Jerman ini gampang dikuasai, karena buatku gramatikal bahasa Jerman ini susahnya lebih parah daripada ngapalin huruf kanji Jepang dengan belasan cara penulisan. Selain itu, orang Jerman juga banyak yang ngga terlalu suka menggunakan bahasa Inggris meskipun mereka bisa. Aku pernah punya pengalaman tentang hal ini, dulu ketika baru seminggu tinggal di Jerman, aku pernah nanya ke orang di stasiun pakai bahasa Inggris. Eh malah di balas dengan kalimat bahasa Jerman yang kurang lebihnya seperti ini, "Kamukan di Jerman, kamu harus bisa berbahasa Jerman. Salah tidak apa-apa, kami juga mengerti.". Akhirnya setelah itu aku nanya pakai bahasa Jermanku yang masih dasar banget dan dia menjawabnya dengan tersenyum dan menyemangatiku setelahnya untuk bisa lebih semangat belajar bahasa Jerman. Selain itu, kecuali di kota-kota besar, banyak informasi-informasi dan rambu-rambu penting yang hanya disampaikan atau ditulis dalam bahasa Jerman. Well, karena tinggal di negara berbahasa Jerman, aku jelas harus bisa (dan berupaya) memahami dan mengerti bahasa Jerman untuk bisa survive hidup di sini.
Kedua, perbedaan budaya dan adat istiadat. Ini sudah jelas, seperti kata pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Meskipun aku berasal dari negara dengan budaya timur yang kental, tapi aku juga harus belajar dan menghargai budaya di sini, tempat dimana aku tinggal sekarang. Hal pertama yang aku pelajari di sini tentunya tentang The Do's and Don'ts in Germany and Austria alias apa yang boleh dan tidak boleh aku lakuin selama tinggal di Jerman dan Austria. Sebagai pendatang, aku jelas harus menghargai dan menghormati budaya mereka meskipun kadang terasa asing dan aneh bagiku. Toleransi, tenggang rasa, eh tapi ngomong-ngomong kayaknya dua sifat yang aku sebutin tadi, lagi perlu banget buat semakin diperkuat di Indonesia ya? Sedih banget kalau lagi baca berita tentang banyak kasus soal budaya dan SARA di Indonesia. Oh astaga, maaf curcol.
Nah yang ketiga adalah masalah hukum. Secara beda negara, beda pula hukum yang berlaku. Tinggal jauh dari negara kelahiran, jangan sampai bikin malu karena terkena kasus hukum di negara tinggal. Aku sendiri kadang gedeg sendiri sama hukum di Jerman dan Austria. Saking ribet dan kerennya, kadang banyak hal yang bagi aku, orang Indonesia, terlihat aneh bin ajaib yang sayangnya kalau dinalar kitanya bakal bilang, oh iya ya bener juga. Kayak misalnya peraturan soal keramaian, jangan harap kamu bisa setel stereo kenceng-kenceng di Jerman macam orang lagi punya hajatan karena kalau tetanggamu merasa terganggu dan dia lapor polisi, kamu bisa dipenjara. Atau mungkin hati-hati kalau sepedaan sambil makan pisang, nanti kamu ditilang (btw orang mana mau sepedaan sambil makan pisang?). Jangan harap juga bisa bawa mobil kenceng-kenceng meskipun lagi di jalan tol, karena di Austria, di jalan tol juga ada batas kecepatan, kalau melebihi 130 km/jam, siap-siap saja menerima surat tilang plus dendanya yang bisa sampai 300€ di kotak pos rumahmu. Kalau mau ngebut, di Jerman saja. LoL.
Yang keempat, kehidupan bersosialisasi. Sebagai makhluk sosial, jelas sosialisasi sangat diperlukan. Lalu apakah kehidupan bersosialisasi orang Jerman dan Austria sama dengan kehidupan bersosialisasi orang Indonesia? Jelas saja enggak. Kebanyakan orang Jerman dan Austria yang kukenal, jarang yang bisa diajak ngerumpi atau ngobrol receh. Kalau sama mereka, obrolannya berat-berat. Jelas beda banget sama orang Indonesia, yang hobi banget sama obrolan dan humor receh. Bahkan seringnya waktu buat ngerumpi ngga penting dan curhat-curhat manja bisa lebih panjang dari waktu produktif tiap harinya. Kita, orang Indonesia, terbiasa hidup di lingkungan sosial yang bisa diajak haha hihi dengan senang hati, ngalor ngidul kongkow-kongkow kemana-mana (yang penting hati senang). Nah di Jerman dan Austria, boro-boro bisa begitu, nemu teman yang sepikiran aja susah. Mau ngajak ke sana kemari juga gak bisa tiba-tiba datang dan pasang senyum cengengesan di depan rumah orang, yang ada kamu bisa dimarahi dan diusir. Ngajak jalan musti dari jauh-jauh hari. Serasa bikin Termin alias janji gitu. Kita juga ngga bisa curhat receh sama mereka, yang ada malah dipandang aneh. Nanti bukannya hilang stress, kita malah tambah stress.
Lalu yang kelima bagiku adalah cuaca dan musim. Temen-temenku paling banyak bilang ke aku, "Wah enak ya, bisa lihat dan main salju.". Aku versi fake biasanya cuma haha hihi sambil iya iyain aja. Aku versi sarkastik dan sinis ngedumel dalam hati, "Gundulmu ta enak?" Uppss! Serius deh, salju itu cuma enak dilihat. Dirasain? Sepurane, engga banget. Belum lagi ribetnya kalau mau pergi pas musim dingin. Lima belas menit sendiri buat make baju dan tetek bengek macam sarung tangan, syal, tutup kepala, atau bahkan longjohn kalau dinginnya ekstrem banget. Nah begitu keluar, salju tinggi banget sampai buat jalan aja, kamu butuh energi super. Soalnya kadang-kadang ada jalanan buat pejalan kaki yang ngga dibersihin dan malah dijadikan tempat tumpukan kerukan salju dari jalan utama. Ini kampret banget sumpah. Belum lagi winter depresi dan perubahan mood yang adugile di musim dingin karena tubuh kurang cahaya matahari. Tapi selain salju dan dinginnya yang bisa sampai MINUS 23°C, ada juga musim gugur yang membuat aku merasa teraniaya tinggal di Eropa. Sebenarnya, kalau diantara empat musim, musim gugur selalu jadi favorit aku. Bayangin aja daun-daun memerah dan daun-daun yang berwarna kuning jatuh berguguran tertiup angin. Lalu kita gandengan jalan di taman sama pacar dengan romantisme musim gugur yang aduhai. Duh, serius deh, di tampilan tv ataupun di gambar, musim gugur itu seromantis-romantisnya musim yang ada. Eittss, tapi tunggu dulu sampai kamu ngerasain angin musim gugur. Bagiku, angin musim gugur itu racun. Sekali kena, langsung kepalaku pusing dan bisa kena migrain sampai rasanya nangis aja udah gak sanggup. Aku sendiri selama tinggal di Indonesia jarang banget sakit kepala, tapi sejak di sini, ngga ada satu hari pun di musim gugur yang aku ngga nangis-nangis karena sakit kepala. Angin musim gugur itu serius dingin banget, lebih dingin daripada salju di MINUS 23°C.
Nah, sementara ini, lima hal di atas yang menjadi duka prioritas selama tinggal di Eropa, khususnya Jerman dan Austria. Aku yakin masih banyak yang lainnya, tapi recehan lain di simpan saja untuk diceritakan ke Tuhan. Tapi jangan takut buat tinggal di Eropa, karena kepuasan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang didapat di sana juga bakal seimbang dengan sedih-sedihnya tinggal jauh dari tanah lahir, tinggal jauh dari keluarga dan sahabat.
Last but not least, jangan jadikanlah jarak dan kata jauh menjadikan alasan untuk berhenti bermimpi. Pergilah sejauh mungkin untuk meraih cita-citamu jika itu memang yang kamu yakini, dan nanti ketika kamu kembali, kamu mungkin juga tahu seberapa dalam arti kata pulang.
Ciao!
Published on August 06, 2017 15:40
Remember Us - Rencana Luca
Suara langkah kakinya menggema di sepanjang lorong kastil. Suara tapak kaki yang keras dan tegas itu menggambarkan betapa si pemilik sedang terburu pergi. Langkah itu perlahan menghilang digantikan suara pintu yang dibuka paksa dengan keras.
"Kau jelaskan padaku sekarang, Luca!"
Tiga sosok yang tengah bicara dengan serius itu menoleh bersama ke arah pintu tempat Edna berdiri menjulang dengan wajah memerah marah. Luca menghela nafas, beralih ke arah Nerethir dan Victoria, "Tinggalkan kami." Ucapnya pelan, namun tegas.
Keduanya mengangguk dan bangkit dengan cepat, bersyukur dalam hati. Tak ada satupun yang mau berada satu ruangan dengan seorang putri api yang sedang terlihat marah besar. Edna hanya menatap sinis saat Nerethir dan Victoria melewatinya setelah mereka berdua mengangguk hormat pelan padanya. Dia melangkah maju dan membanting pintu di belakangnya saat dia benar-benar telah sendirian dengan Luca.
"Tidak bisakah kau menunggu?"
Edna menggeram, sepenuhnya mengabaikan suara lembut penuh kesabaran milik Luca, "Kau sudah melewati batasmu, Luca "
"Batas mana yang tengah kita bicarakan?"
"Apa kau baru akan mendengarkanku dengan benar setelah aku membakar seluruh barak di luar sana?" tantang Edna.
Dia mengamati ekspresi Luca sebelum akhirnya membuka mulutnya kembali, "Kau beruntung karena aku bisa menguasai diriku tadi, jika tidak, aku sudah membakar hidup-hidup semua prajuritmu di luar sana ketika tak satu pun dari mereka mau mengatakan padaku kemana ribuan dari mereka akan pergi. Kau membungkam mulut busuk mereka. Bagaimana bisa kau tidak memberitahuku rencana perang yang sesungguhnya?"
Luca berdiri dari duduknya, berjalan pelan menghampiri Edna yang memandangnya dengan tatapan seolah dia bisa menelannya hidup-hidup, "Aku berusaha melindungimu."
Edna tertawa sarkastik, "Kau melindungiku?" Ulangnya masih diantara derai tawanya, "Simpan alasan sampah itu. Sejak kapan aku membutuhkan seseorang untuk melindungiku? Jika kau perlu kuingatkan, akulah yang telah membantumu lahir secara sempurna dari kegelapan lautan. Aku cukup kuat untuk membunuh Tatriana, ibumu, untuk memberimu kehidupan. Aku, Edna, dan bukan orang lain. Dan sekarang kau berusaha menyingkirkanku dari semua urusan ini dengan alasan kau ingin melindungiku?" Dia menggeleng, "Kau salah pada langkahmu."
"Edna--"
"Aku tahu kau berbohong padaku tentang kaum vampir," sergah Edna, "Aku tahu kau membiarkan Vlad dan Victoria hidup dan melempar mereka ke dunia lain karena kau membutuhkan imbalan dari mereka. Kau bahkan mengawasi mereka sejak awal. Tidakkah aku benar, Luca?"
Mata gelap Luca melucuti seluruh tubuh Edna. Tapi tak sedikitpun dari ekspresi di wajahnya yang menunjukkan bagaimana isi kepalanya sekarang. Dia sekali lagi menghela nafas, "Aku tahu kau tahu semua itu, jika tidak apa kau pikir aku akan mengizinkan Trisha ikut campur dalam urusan yang kuperintahkan pada Reven?"
Edna diam, menunggu.
"Aku melarang mereka semua memberitahumu apa rencana perangku sesungguhnya karena itu hanya urusan remeh. Aku ingin melindungimu agar kau tidak perlu berhadapan langsung dengan keturunan si penyihir Rhaegar. Kau tahu betapa licik mereka. Selain itu, apa kau benar-benar ingin terlibat langsung dengan para penyihir rendahan itu?" Luca menggeleng, "Aku ingin memberimu kehormatan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Harusnya aku memberitahu lebih awal. Kau jelas bukan seseorang yang bisa diminta menunggu dan bersabar, meski hanya sebentar."
"Sesuatu yang lebih besar?" Suara Edna melembut.
Luca mengangguk, lalu maju dan memeluk Edna erat, "Sherena Audreista, perempuan keturunan penyihir itu akan menjadi bidak utama yang menyenangkan untuk bisa kau mainkan." Bisiknya di lekukan leher Edna.
***
Berhenti menyalahkannya atas apapun yang terjadi pada dirimu. Noura menyelamatkanmu. Begitu juga aku.
Suara itu terus terngiang di kepalaku sampai esok hari. Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku barang sekejap karena wajah sial milik Reven dan kata-katanya yang kemarin tumpah ruah dengan senang hati dari mulutnya terus menerus menggerus batas sabarku.
Sial.
"Reven meminta kita untuk bersiap kembali ke hutan Merrz."
Aku mengubur sisa-sisa makianku ketika Trisha masuk ke ruangan kami dengan wajah gusar. Seluruh kelompok kami yang tersisa mengangkat wajah dengan mata menyipit.
"Para elf utara itu menolak permintaan Luca?" Sahut Higraj langsung dengan wajah marah.
"Aku tahu ini hanya ide konyol ketika Luca meminta kita datang berbaik-baik. Harusnya kita langsung menghanguskan tanah ini tanpa repot-repot." Brigoth bangkit dengan wajah tak kalah menyeramkan dari wajah aslinya.
Trisha terlihat tak bernafsu menjawab atau menjelaskan apapun dan hanya bergegas mengumpulkan barang-barangnya dalam kantong kulit miliknya.
"Apa mereka memang menolak apa yang telah Reven tawarkan dengan baik-baik?" Tanyaku seraya berjalan mendekat ke arah Trisha.
"Entahlah," jawab Trisha tanpa memandangku, "Reven terlihat marah dan dia berdebat sengit dengan Foster dan Lord Landis."
Aku menoleh ke arah Ritta ketika mendengar dengusan kerasnya, "Wajah dan suasana hati pemimpin bangsa vampir itu sudah buruk sekali sejak kemarin malam. Kurasa tidak butuh waktu lama sampai dia akan menyerang salah satu dari mereka." Ucap Ritta dengan wajah kesal setengah mati.
Aku langsung memalingkan muka dan bergegas mengikuti Trisha ketika dia memberi tanda kami untuk pergi sekarang. Aku yakin kami semua menebak-nebak apa yang akan kami temui setelah kami sampai di tempat Reven berada. Dan ketika akhirnya kami sampai di aula utama, baik Lord Landis, Reven maupun Elegyar Foster, berdiri di tengah aula dan wajah mereka bertiga jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan jelas sedang terjadi. Banyak elf penjaga berdiri di tepian aula, baik para elf liar maupun para elf dari Merendef.
"Kau akan menyesali pilihanmu ini, Lord Landis." Suara Reven dalam dan sarat akan kemarahan yang ditahannya. Aku tidak yakin jenis pembicaraan seperti apa yang berlangsung sebelumnya, tapi itu jelas sudah menghilangkan keinginan Reven untuk bermanis dengan kata-kata seperti yang sebelumnya dia lakukan.
"Kau yang akan menyesali hal-hal lain, Reven." Kali ini suara Foster terdengar. Lebih angkuh dan pongah.
Lord Landis terlihat menghela nafas, seorang elf perempuan yang kuduga adalah pasangan lord Landis memandangi ketiganya dengan wajah khawatir. Aku menghitung dalam hati berapa lama waktu yang diperlukan untuk melihat jawabanku menerjang tidak sabar pada mereka.
Tapi aku terpaksa harus menghentikan apa yang sedang kulakukan tanpa suara, ketika Reven beralih memandang kami dan berjalan dengan wajah mengerikan ke arah kami, "Kita pergi."
Begitu saja? Aku menoleh ke lainnya, tapi mereka mengikuti Reven dengan wajah sama bingungnya seperti aku. Bahkan Higraj dan Brigoth mengekor saja karena tidak tahunya apa yang seharusnya dilakukan. Kurasa sebagian dari kami ingin protes, tapi wajah Reven terlalu mengerikan untuk dibantah.
Aku menoleh ke belakang sebelum mengikuti Reven, dan wajah angkuh Foster menatapku. Oh yang benar saja, aku benar-benar menantikan untuk bisa menggantikan wajah angkuh itu dengan ekspresi menyedihkan. Tunggu saja, Elegyar Foster.
***
Luca berjalan pelan masuk ke ruangan luas yang hanya diterangi cahaya remang-remang beberapa obor yang terlihat kekurangan minyak. Dia melangkah masuk dan mengangguk hormat pelan. Alzarox mengangkat tangannya dan Luca maju semakin dekat ke arah Alzarox yang duduk di antara kegelapan di sekitarnya.
"Landis menolak bergabung dengan kita, sesuai dengan yang kuperkirakan." Ucap Luca pelan.
Alzarox mengangguk dan tidak terlihat tertarik, "Lalu bagaimana dengan rencanamu pada vampir perempuan itu?"
"Waktunya sudah semakin dekat. Kita hanya perlu mendengar hasil dari Victoria Lynch dan setelahnya kita sudah siap."
"Kau percaya pada Victoria?"
Luca tersenyum tipis, "Dia tidak akan berani mengkhianati kita lagi."
"Aku mempercayakan semuanya padamu, Luca. Aku sungguh tidak sabar melihat wajah Mevonia dan kaumnya setelah semua ini berakhir. Kuharap kau benar pada semuanya, jangan sampai tergelincir sedikit pun."
"Pasti, Alzarox." Luca menatap penuh keyakinan pada Alzarox yang menyambutnya dengan senyum penuh makna.
<< Sebelumnya
"Kau jelaskan padaku sekarang, Luca!"
Tiga sosok yang tengah bicara dengan serius itu menoleh bersama ke arah pintu tempat Edna berdiri menjulang dengan wajah memerah marah. Luca menghela nafas, beralih ke arah Nerethir dan Victoria, "Tinggalkan kami." Ucapnya pelan, namun tegas.
Keduanya mengangguk dan bangkit dengan cepat, bersyukur dalam hati. Tak ada satupun yang mau berada satu ruangan dengan seorang putri api yang sedang terlihat marah besar. Edna hanya menatap sinis saat Nerethir dan Victoria melewatinya setelah mereka berdua mengangguk hormat pelan padanya. Dia melangkah maju dan membanting pintu di belakangnya saat dia benar-benar telah sendirian dengan Luca.
"Tidak bisakah kau menunggu?"
Edna menggeram, sepenuhnya mengabaikan suara lembut penuh kesabaran milik Luca, "Kau sudah melewati batasmu, Luca "
"Batas mana yang tengah kita bicarakan?"
"Apa kau baru akan mendengarkanku dengan benar setelah aku membakar seluruh barak di luar sana?" tantang Edna.
Dia mengamati ekspresi Luca sebelum akhirnya membuka mulutnya kembali, "Kau beruntung karena aku bisa menguasai diriku tadi, jika tidak, aku sudah membakar hidup-hidup semua prajuritmu di luar sana ketika tak satu pun dari mereka mau mengatakan padaku kemana ribuan dari mereka akan pergi. Kau membungkam mulut busuk mereka. Bagaimana bisa kau tidak memberitahuku rencana perang yang sesungguhnya?"
Luca berdiri dari duduknya, berjalan pelan menghampiri Edna yang memandangnya dengan tatapan seolah dia bisa menelannya hidup-hidup, "Aku berusaha melindungimu."
Edna tertawa sarkastik, "Kau melindungiku?" Ulangnya masih diantara derai tawanya, "Simpan alasan sampah itu. Sejak kapan aku membutuhkan seseorang untuk melindungiku? Jika kau perlu kuingatkan, akulah yang telah membantumu lahir secara sempurna dari kegelapan lautan. Aku cukup kuat untuk membunuh Tatriana, ibumu, untuk memberimu kehidupan. Aku, Edna, dan bukan orang lain. Dan sekarang kau berusaha menyingkirkanku dari semua urusan ini dengan alasan kau ingin melindungiku?" Dia menggeleng, "Kau salah pada langkahmu."
"Edna--"
"Aku tahu kau berbohong padaku tentang kaum vampir," sergah Edna, "Aku tahu kau membiarkan Vlad dan Victoria hidup dan melempar mereka ke dunia lain karena kau membutuhkan imbalan dari mereka. Kau bahkan mengawasi mereka sejak awal. Tidakkah aku benar, Luca?"
Mata gelap Luca melucuti seluruh tubuh Edna. Tapi tak sedikitpun dari ekspresi di wajahnya yang menunjukkan bagaimana isi kepalanya sekarang. Dia sekali lagi menghela nafas, "Aku tahu kau tahu semua itu, jika tidak apa kau pikir aku akan mengizinkan Trisha ikut campur dalam urusan yang kuperintahkan pada Reven?"
Edna diam, menunggu.
"Aku melarang mereka semua memberitahumu apa rencana perangku sesungguhnya karena itu hanya urusan remeh. Aku ingin melindungimu agar kau tidak perlu berhadapan langsung dengan keturunan si penyihir Rhaegar. Kau tahu betapa licik mereka. Selain itu, apa kau benar-benar ingin terlibat langsung dengan para penyihir rendahan itu?" Luca menggeleng, "Aku ingin memberimu kehormatan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Harusnya aku memberitahu lebih awal. Kau jelas bukan seseorang yang bisa diminta menunggu dan bersabar, meski hanya sebentar."
"Sesuatu yang lebih besar?" Suara Edna melembut.
Luca mengangguk, lalu maju dan memeluk Edna erat, "Sherena Audreista, perempuan keturunan penyihir itu akan menjadi bidak utama yang menyenangkan untuk bisa kau mainkan." Bisiknya di lekukan leher Edna.
***
Berhenti menyalahkannya atas apapun yang terjadi pada dirimu. Noura menyelamatkanmu. Begitu juga aku.
Suara itu terus terngiang di kepalaku sampai esok hari. Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku barang sekejap karena wajah sial milik Reven dan kata-katanya yang kemarin tumpah ruah dengan senang hati dari mulutnya terus menerus menggerus batas sabarku.
Sial.
"Reven meminta kita untuk bersiap kembali ke hutan Merrz."
Aku mengubur sisa-sisa makianku ketika Trisha masuk ke ruangan kami dengan wajah gusar. Seluruh kelompok kami yang tersisa mengangkat wajah dengan mata menyipit.
"Para elf utara itu menolak permintaan Luca?" Sahut Higraj langsung dengan wajah marah.
"Aku tahu ini hanya ide konyol ketika Luca meminta kita datang berbaik-baik. Harusnya kita langsung menghanguskan tanah ini tanpa repot-repot." Brigoth bangkit dengan wajah tak kalah menyeramkan dari wajah aslinya.
Trisha terlihat tak bernafsu menjawab atau menjelaskan apapun dan hanya bergegas mengumpulkan barang-barangnya dalam kantong kulit miliknya.
"Apa mereka memang menolak apa yang telah Reven tawarkan dengan baik-baik?" Tanyaku seraya berjalan mendekat ke arah Trisha.
"Entahlah," jawab Trisha tanpa memandangku, "Reven terlihat marah dan dia berdebat sengit dengan Foster dan Lord Landis."
Aku menoleh ke arah Ritta ketika mendengar dengusan kerasnya, "Wajah dan suasana hati pemimpin bangsa vampir itu sudah buruk sekali sejak kemarin malam. Kurasa tidak butuh waktu lama sampai dia akan menyerang salah satu dari mereka." Ucap Ritta dengan wajah kesal setengah mati.
Aku langsung memalingkan muka dan bergegas mengikuti Trisha ketika dia memberi tanda kami untuk pergi sekarang. Aku yakin kami semua menebak-nebak apa yang akan kami temui setelah kami sampai di tempat Reven berada. Dan ketika akhirnya kami sampai di aula utama, baik Lord Landis, Reven maupun Elegyar Foster, berdiri di tengah aula dan wajah mereka bertiga jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan jelas sedang terjadi. Banyak elf penjaga berdiri di tepian aula, baik para elf liar maupun para elf dari Merendef.
"Kau akan menyesali pilihanmu ini, Lord Landis." Suara Reven dalam dan sarat akan kemarahan yang ditahannya. Aku tidak yakin jenis pembicaraan seperti apa yang berlangsung sebelumnya, tapi itu jelas sudah menghilangkan keinginan Reven untuk bermanis dengan kata-kata seperti yang sebelumnya dia lakukan.
"Kau yang akan menyesali hal-hal lain, Reven." Kali ini suara Foster terdengar. Lebih angkuh dan pongah.
Lord Landis terlihat menghela nafas, seorang elf perempuan yang kuduga adalah pasangan lord Landis memandangi ketiganya dengan wajah khawatir. Aku menghitung dalam hati berapa lama waktu yang diperlukan untuk melihat jawabanku menerjang tidak sabar pada mereka.
Tapi aku terpaksa harus menghentikan apa yang sedang kulakukan tanpa suara, ketika Reven beralih memandang kami dan berjalan dengan wajah mengerikan ke arah kami, "Kita pergi."
Begitu saja? Aku menoleh ke lainnya, tapi mereka mengikuti Reven dengan wajah sama bingungnya seperti aku. Bahkan Higraj dan Brigoth mengekor saja karena tidak tahunya apa yang seharusnya dilakukan. Kurasa sebagian dari kami ingin protes, tapi wajah Reven terlalu mengerikan untuk dibantah.
Aku menoleh ke belakang sebelum mengikuti Reven, dan wajah angkuh Foster menatapku. Oh yang benar saja, aku benar-benar menantikan untuk bisa menggantikan wajah angkuh itu dengan ekspresi menyedihkan. Tunggu saja, Elegyar Foster.
***
Luca berjalan pelan masuk ke ruangan luas yang hanya diterangi cahaya remang-remang beberapa obor yang terlihat kekurangan minyak. Dia melangkah masuk dan mengangguk hormat pelan. Alzarox mengangkat tangannya dan Luca maju semakin dekat ke arah Alzarox yang duduk di antara kegelapan di sekitarnya.
"Landis menolak bergabung dengan kita, sesuai dengan yang kuperkirakan." Ucap Luca pelan.
Alzarox mengangguk dan tidak terlihat tertarik, "Lalu bagaimana dengan rencanamu pada vampir perempuan itu?"
"Waktunya sudah semakin dekat. Kita hanya perlu mendengar hasil dari Victoria Lynch dan setelahnya kita sudah siap."
"Kau percaya pada Victoria?"
Luca tersenyum tipis, "Dia tidak akan berani mengkhianati kita lagi."
"Aku mempercayakan semuanya padamu, Luca. Aku sungguh tidak sabar melihat wajah Mevonia dan kaumnya setelah semua ini berakhir. Kuharap kau benar pada semuanya, jangan sampai tergelincir sedikit pun."
"Pasti, Alzarox." Luca menatap penuh keyakinan pada Alzarox yang menyambutnya dengan senyum penuh makna.
<< Sebelumnya
Published on August 06, 2017 01:20
July 23, 2017
Apply Visa BFD (Bundesfreiwilligendienst) Part 2
Akhirnya saya dapat janji temu buat bikin visa!
Setelah penantian panjang, galau setiap harinya dan deg-degan gak jelas. Akhirnya saya dapat juga janji temu buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Lega, seneng, masih seperempat galau, dan macam-macam rasanya waktu itu. Bayangkan saja, saya dapat kontrak kerja pertanggal 4 September, dan sejak pertengahan Juni sampai September awal, ngga ada janji kosong tertera di laman resmi kedutaan Jerman di Wina, alias sudah full-booked semua. Saya bahkan email dan telpon mereka, dan jawaban mereka hanya saya diminta cek laman Terminvergabe Visa beberapa kali dalam sehari, siapa tahu ada yang membatalkan janji temu visa dan saya bisa menggantikan mereka. Lalu singkat cerita, Alhamdulillah-nya saya dapat termin tanggal 13 Juli 2017.
Baca juga apply visa BFD part 1 .
Well, akhirnya saya siapkan semua dokumen-dokumen yang diminta kedutaan. Jangan lupa untuk mengkopi semua dokumen asli menjadi rangkap DUA ya! Sepertinya hal ini juga berlaku jika kalian mengajukan permohonan visa BFD di Jakarta. Lalu, untuk dokumen-dokumen yang diperlukan adalah sebagai berikut :
2 lembar formulir pengajuan izin tinggal (Anträge auf Erteilung einer Aufenthaltserlaubnis) yang telah diisi dan ditandatangani. Formulir ini dapat diunduh di www.wien.diplo.de atau diambil di kantor kedutaan Jerman.2 lembar surat pernyataan Belehrungen gemäß § 54 AufenthG yang telah ditandatangani. Surat pernyataan ini dapat diunduh di www.wien.diplo.de atau diambil di kantor kedutaan Jerman.2 pas foto yang dapat dicetak langsung di kedutaan dengan harga 7€ per empat lembar foto. Ada mesin foto otomatis di sana yang ketentuan cetaknya sesuai dengan yang diminta kedutaan Jerman. Jika kalian mencetak foto sendiri, wajib mengunakan latar putih.Uang 60€ tunai yang nantinya akan dibayarkan di loket pengajuan visa.Paspor Republik Indonesia karena saya warga negara Indonesia.Meldebestätigung der österreichischen Meldebehörde (Meldezettel) atau surat bukti pendaftaran kependudukan di Austria. Surat ini saya dapat ketika pertama datang di Austria dan melakukan daftar diri atau lapor diri di kantor kependudukan setempat.Österreichischer Aufenthaltstitel atau izin tinggal di Austria.Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Austria.Kontrak atau perjanjian kerja di Jerman. Karena saya mengajukan visa BFD, maka kontrak kerja saya juga harus ditandatangani oleh Bundesamt für Familie und Zivilgesellschaftliche Aufgaben (In English: Federal Office of Family and Civic Duties).Daftar riwayat hidup lengkap.Surat motivasi lengkap.Dokumen tentang status saya di Austria seperti misalnya kontrak Aupair, atau konfirmasi penerimaan di sekolah bahasa atau universitas di Austria.Ijasah sekolah terakhir saya. Awalnya saya ngga yakin apa saya memang perlu membawa ijasah saya. Tapi akhirnya sebagai jaga-jaga saya bawa saja dan ternyata memang diminta.
Ingat! Semua dokumen di atas harap dikopi dua rangkap ya! Jangan lupa untuk mencetak bukti janji temu untuk mengajukan visa yang telah dikirim oleh kedutaan Jerman melalui e-mail.
Kantor Kedutaan Jerman di WinaSekitar jam setengah dua siang saya sampai di kantor kedutaan Jerman di Wina yang beralamat di Strohgasse 14C 1030 Wien. Saya masuk ke sana bersama dengan dua perempuan asal Georgia yang akan mengajukan visa pelajar di Jerman. Kami langsung menuju ke lantai dasar tempat pengajuan visa, namun pintu kantornya malah terkunci rapat. Kami bertiga jelas bingung, karena sesuai jadwal harusnya sudah buka, dan sudah ada dua orang sebelum kami yang mungkin sedang melakukan proses pengajuan visa.
Setelah ngobrol dengan dua perempuan Georgia ini, kami memutuskan untuk naik ke lantai satu yang diperuntukkan sebagai kantor konsulat Jerman. Nah, setelah sedikit berbicara (dan berdebat) dengan petugas di lantai dua yang mengatakan bahwa pengajuan visa hari itu hanya dilakukan pagi hari, mereka akhirnya menyuruh kami kembali ke lantai dasar karena dia akan memanggilkan petugas visa ke lantai dasar setelah kami menunjukkan bukti janji temu yang dikirim kedutaan ke e-mail kami.
Setelah menunggu beberapa menit, seorang petugas keamanan membuka pintu pengajuan visa dari dalam dan menanyakan nama kami. Tak lama kemudian dia dan seorang petugas keamanan lain mempersilakan kami masuk.
Karena tidak ada orang lain selain kami bertiga yang akan mengajukan visa, dua petugas keamanan tersebut langsung mempersilakan kami ke loket visa. Saya menunggu dua perempuan Georgia itu selesai dengan proses visa mereka, sebelum akhirnya giliran saya. Petugas loket visa yang melayani saya adalah seorang perempuan Jerman yang sangat ramah. Selain mengecek semua dokumen saya, dia juga mewawancarai saya terkait pengajuan visa BFD saya, seperti apa rencana saya setelah masa BFD saya selesai, dan apakah saya punya pacar di Jerman atau tidak.
Proses pengajuan visa yang saya lakukan berlangsung tidak sampai 15menit. Setelahnya petugas loket visa mengembalikan paspor saya dan memberikan saya bukti pengajuan visa dan nomer pengajuan visa saya. Dia mengatakan bahwa saya akan mendapatkan telpon atau email dari kedutaan jika visa saya telah selesai.
Alhamdulillah. Saya keluar dari kantor kedutaan Jerman dengan nafas lega. Setidaknya saya sudah melakukan pengajuan visa. Tinggal menunggu beberapa waktu dan saya harap visa saya segera selesai. Biasanya berlangsung sekitar 2-8 minggu (hasil riset nanya sana sini), kalau sesuai dengan yang tertera di laman resmi kedutaan, proses pembuatan visa berlangsung sekitar 1-3 bulan. Woh!
Nah, sampai di sini postingan kali ini. Buat pejuang visa di seluruh dunia, SEMANGAAAAATTTTTT!!!!!!
Ps. Terima kasih buat kalian semua yang sudah mendoakan supaya saya bisa dapat janji temu bikin visa. I do love you, guys. xoxo, Ree
Setelah penantian panjang, galau setiap harinya dan deg-degan gak jelas. Akhirnya saya dapat juga janji temu buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Lega, seneng, masih seperempat galau, dan macam-macam rasanya waktu itu. Bayangkan saja, saya dapat kontrak kerja pertanggal 4 September, dan sejak pertengahan Juni sampai September awal, ngga ada janji kosong tertera di laman resmi kedutaan Jerman di Wina, alias sudah full-booked semua. Saya bahkan email dan telpon mereka, dan jawaban mereka hanya saya diminta cek laman Terminvergabe Visa beberapa kali dalam sehari, siapa tahu ada yang membatalkan janji temu visa dan saya bisa menggantikan mereka. Lalu singkat cerita, Alhamdulillah-nya saya dapat termin tanggal 13 Juli 2017.
Baca juga apply visa BFD part 1 .
Well, akhirnya saya siapkan semua dokumen-dokumen yang diminta kedutaan. Jangan lupa untuk mengkopi semua dokumen asli menjadi rangkap DUA ya! Sepertinya hal ini juga berlaku jika kalian mengajukan permohonan visa BFD di Jakarta. Lalu, untuk dokumen-dokumen yang diperlukan adalah sebagai berikut :
2 lembar formulir pengajuan izin tinggal (Anträge auf Erteilung einer Aufenthaltserlaubnis) yang telah diisi dan ditandatangani. Formulir ini dapat diunduh di www.wien.diplo.de atau diambil di kantor kedutaan Jerman.2 lembar surat pernyataan Belehrungen gemäß § 54 AufenthG yang telah ditandatangani. Surat pernyataan ini dapat diunduh di www.wien.diplo.de atau diambil di kantor kedutaan Jerman.2 pas foto yang dapat dicetak langsung di kedutaan dengan harga 7€ per empat lembar foto. Ada mesin foto otomatis di sana yang ketentuan cetaknya sesuai dengan yang diminta kedutaan Jerman. Jika kalian mencetak foto sendiri, wajib mengunakan latar putih.Uang 60€ tunai yang nantinya akan dibayarkan di loket pengajuan visa.Paspor Republik Indonesia karena saya warga negara Indonesia.Meldebestätigung der österreichischen Meldebehörde (Meldezettel) atau surat bukti pendaftaran kependudukan di Austria. Surat ini saya dapat ketika pertama datang di Austria dan melakukan daftar diri atau lapor diri di kantor kependudukan setempat.Österreichischer Aufenthaltstitel atau izin tinggal di Austria.Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Austria.Kontrak atau perjanjian kerja di Jerman. Karena saya mengajukan visa BFD, maka kontrak kerja saya juga harus ditandatangani oleh Bundesamt für Familie und Zivilgesellschaftliche Aufgaben (In English: Federal Office of Family and Civic Duties).Daftar riwayat hidup lengkap.Surat motivasi lengkap.Dokumen tentang status saya di Austria seperti misalnya kontrak Aupair, atau konfirmasi penerimaan di sekolah bahasa atau universitas di Austria.Ijasah sekolah terakhir saya. Awalnya saya ngga yakin apa saya memang perlu membawa ijasah saya. Tapi akhirnya sebagai jaga-jaga saya bawa saja dan ternyata memang diminta.
Ingat! Semua dokumen di atas harap dikopi dua rangkap ya! Jangan lupa untuk mencetak bukti janji temu untuk mengajukan visa yang telah dikirim oleh kedutaan Jerman melalui e-mail.
Kantor Kedutaan Jerman di WinaSekitar jam setengah dua siang saya sampai di kantor kedutaan Jerman di Wina yang beralamat di Strohgasse 14C 1030 Wien. Saya masuk ke sana bersama dengan dua perempuan asal Georgia yang akan mengajukan visa pelajar di Jerman. Kami langsung menuju ke lantai dasar tempat pengajuan visa, namun pintu kantornya malah terkunci rapat. Kami bertiga jelas bingung, karena sesuai jadwal harusnya sudah buka, dan sudah ada dua orang sebelum kami yang mungkin sedang melakukan proses pengajuan visa. Setelah ngobrol dengan dua perempuan Georgia ini, kami memutuskan untuk naik ke lantai satu yang diperuntukkan sebagai kantor konsulat Jerman. Nah, setelah sedikit berbicara (dan berdebat) dengan petugas di lantai dua yang mengatakan bahwa pengajuan visa hari itu hanya dilakukan pagi hari, mereka akhirnya menyuruh kami kembali ke lantai dasar karena dia akan memanggilkan petugas visa ke lantai dasar setelah kami menunjukkan bukti janji temu yang dikirim kedutaan ke e-mail kami.
Setelah menunggu beberapa menit, seorang petugas keamanan membuka pintu pengajuan visa dari dalam dan menanyakan nama kami. Tak lama kemudian dia dan seorang petugas keamanan lain mempersilakan kami masuk.
Karena tidak ada orang lain selain kami bertiga yang akan mengajukan visa, dua petugas keamanan tersebut langsung mempersilakan kami ke loket visa. Saya menunggu dua perempuan Georgia itu selesai dengan proses visa mereka, sebelum akhirnya giliran saya. Petugas loket visa yang melayani saya adalah seorang perempuan Jerman yang sangat ramah. Selain mengecek semua dokumen saya, dia juga mewawancarai saya terkait pengajuan visa BFD saya, seperti apa rencana saya setelah masa BFD saya selesai, dan apakah saya punya pacar di Jerman atau tidak.
Proses pengajuan visa yang saya lakukan berlangsung tidak sampai 15menit. Setelahnya petugas loket visa mengembalikan paspor saya dan memberikan saya bukti pengajuan visa dan nomer pengajuan visa saya. Dia mengatakan bahwa saya akan mendapatkan telpon atau email dari kedutaan jika visa saya telah selesai.
Alhamdulillah. Saya keluar dari kantor kedutaan Jerman dengan nafas lega. Setidaknya saya sudah melakukan pengajuan visa. Tinggal menunggu beberapa waktu dan saya harap visa saya segera selesai. Biasanya berlangsung sekitar 2-8 minggu (hasil riset nanya sana sini), kalau sesuai dengan yang tertera di laman resmi kedutaan, proses pembuatan visa berlangsung sekitar 1-3 bulan. Woh!
Nah, sampai di sini postingan kali ini. Buat pejuang visa di seluruh dunia, SEMANGAAAAATTTTTT!!!!!!
Ps. Terima kasih buat kalian semua yang sudah mendoakan supaya saya bisa dapat janji temu bikin visa. I do love you, guys. xoxo, Ree
Published on July 23, 2017 04:58
July 22, 2017
Sampai Kapan Pun
"R, lo gak apa-apa?"
Aku bisa merasakan cengkraman tangan di kedua lenganku dan suara samar-samar di dekatku. Aku mencoba mengangkat kepalaku namun rasanya berat sekali.
"R, lo bisa denger gue?"
Cengkraman di lenganku menguat dan aku merasa tubuhku bergoyang. Apa ada gempa bumi? Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendongak, dan samar, wajah kalut penuh khawatir yang kukenali sebagai milik D memenuhi pandanganku.
Bagaimana dia bisa ada di apartemenku?
Aku terkikik pelan, Bodoh, aku menelponnya tadi.
Lalu bagaimana dia bisa masuk ke sini?
Ah, sial. Aku lupa lagi. D tahu kode kunci apartemenku. Hanya D dan Leon yang ta--
Leon?
"D.." panggilku serak tiba-tiba sebab rasa sakit yang ada sebelum gelas keempat belas wine merah kutenggak habis, menghantamku kembali. Melihat D membuatku ingin kembali menangis.
"D.." suara parauku memanggilnya kembali. Lalu kurasakan cengkraman di lenganku melonggar, ketika kulihat kedua tangan D bergerak ke wajahku dan menghapus tetes demi tetes air mataku
"D.." panggilku semakin tenggelam dalam isakan yang semakin keras. Lebih keras daripada suara musik yang kuputar sejak awal aku masuk ke apartemen ini dengan berbotol-botol wine di pelukanku--yang kuduga sekarang sudah kosong.
D tidak bertanya apapun dan hanya memelukku. Membiarkanku membasahi kemejanya dan menebar aroma alkohol di tubuhnya yang berbau segar musk khasnya. Aku bisa merasakan hangat tangannya melingkari punggungku erat-erat.
Ada jeda bermenit-menit dalam pelukan D yang rasanya lebih menenangkan daripada menenggelamkan diriku dalam ketidaksadaran dan keheningan semu oleh alkohol sebelum D melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipiku yang lembab basah.
"Lo gak perlu nangis cuma buat cowok brengsek seperti Leon. Lo punya gue, R."
"Lo gak akan ninggalin gue?"
D menggeleng tegas, "Gue gak akan pernah ninggalin lo. Gue akan selalu ada buat lo sampai kapan pun selama hidup gue."
Aku menatap iris gelap D dan melihat betapa dalam kejujuran yang ada di sana. Mengejutkan, jika selama ini aku bahkan tidak menyadari seperti apa perasaan D untukku.
"Sampai kapan pun, D?" lirihku. Seluruh diriku kehilangan keseimbangan, seolah tenggelam dalam mata D yang semakin merapatkan jaraknya padaku.
"Sampai kapan pun." Suara D serak saat bibirnya sudah mencapai bibirku. Aku memejamkan mata ketika D merasakanku. Sentuhan D lembut dan aku mengernyit terkejut pada betapa manisnya bibir D. Tidak ada aroma rokok di sana, tidak seperti bibir Leon. Tidak ada aroma bibir perempuan lain di sana, tidak seperti bibir Leon.
Tidak seperti bibir Leon?
Aku mendorong D kuat-kuat dengan mendadak dan mengabaikannya yang terjatuh terduduk tak jauh dariku. Aku tidak bisa sepenuhnya melihat ekspresi D karena pandanganku menggelap dan kepalaku semakin berat.
Aku merangkak menggapai D yang langsung meraih tanganku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku tadi mendorong D menjauh.
"Sorry, R.. gue--gue tadi gak bermak--"
Tapi tak ada suara selanjutnya keluar dari bibir D karena aku sudah membungkamnya dengan milikku. Aku mengecup D dalam sebab aku ingin menghilang selamanya bersama D. Aku bisa merasakan keterkejutan D, namun dengan cepat dia menguasai dirinya karena aku bisa merasakan hangat balasan D, bibir D.
D dan bukan Leon. Jika Leon saja bisa mencium dan tidur dengan siapa saja tanpa peduli padaku, kenapa aku tidak bisa melakukan itu juga padanya? Mulai sekarang, persetan dengannya.
"D, lo mau tidur sama gue?" bisikku tersesat diantara gerakan D dan panas tubuhku
Dan tak ada jawaban apapun setelahnya. Kami berdua tenggelam bersama.
Aku bisa merasakan cengkraman tangan di kedua lenganku dan suara samar-samar di dekatku. Aku mencoba mengangkat kepalaku namun rasanya berat sekali.
"R, lo bisa denger gue?"
Cengkraman di lenganku menguat dan aku merasa tubuhku bergoyang. Apa ada gempa bumi? Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendongak, dan samar, wajah kalut penuh khawatir yang kukenali sebagai milik D memenuhi pandanganku.
Bagaimana dia bisa ada di apartemenku?
Aku terkikik pelan, Bodoh, aku menelponnya tadi.
Lalu bagaimana dia bisa masuk ke sini?
Ah, sial. Aku lupa lagi. D tahu kode kunci apartemenku. Hanya D dan Leon yang ta--
Leon?
"D.." panggilku serak tiba-tiba sebab rasa sakit yang ada sebelum gelas keempat belas wine merah kutenggak habis, menghantamku kembali. Melihat D membuatku ingin kembali menangis.
"D.." suara parauku memanggilnya kembali. Lalu kurasakan cengkraman di lenganku melonggar, ketika kulihat kedua tangan D bergerak ke wajahku dan menghapus tetes demi tetes air mataku
"D.." panggilku semakin tenggelam dalam isakan yang semakin keras. Lebih keras daripada suara musik yang kuputar sejak awal aku masuk ke apartemen ini dengan berbotol-botol wine di pelukanku--yang kuduga sekarang sudah kosong.
D tidak bertanya apapun dan hanya memelukku. Membiarkanku membasahi kemejanya dan menebar aroma alkohol di tubuhnya yang berbau segar musk khasnya. Aku bisa merasakan hangat tangannya melingkari punggungku erat-erat.
Ada jeda bermenit-menit dalam pelukan D yang rasanya lebih menenangkan daripada menenggelamkan diriku dalam ketidaksadaran dan keheningan semu oleh alkohol sebelum D melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipiku yang lembab basah.
"Lo gak perlu nangis cuma buat cowok brengsek seperti Leon. Lo punya gue, R."
"Lo gak akan ninggalin gue?"
D menggeleng tegas, "Gue gak akan pernah ninggalin lo. Gue akan selalu ada buat lo sampai kapan pun selama hidup gue."
Aku menatap iris gelap D dan melihat betapa dalam kejujuran yang ada di sana. Mengejutkan, jika selama ini aku bahkan tidak menyadari seperti apa perasaan D untukku.
"Sampai kapan pun, D?" lirihku. Seluruh diriku kehilangan keseimbangan, seolah tenggelam dalam mata D yang semakin merapatkan jaraknya padaku.
"Sampai kapan pun." Suara D serak saat bibirnya sudah mencapai bibirku. Aku memejamkan mata ketika D merasakanku. Sentuhan D lembut dan aku mengernyit terkejut pada betapa manisnya bibir D. Tidak ada aroma rokok di sana, tidak seperti bibir Leon. Tidak ada aroma bibir perempuan lain di sana, tidak seperti bibir Leon.
Tidak seperti bibir Leon?
Aku mendorong D kuat-kuat dengan mendadak dan mengabaikannya yang terjatuh terduduk tak jauh dariku. Aku tidak bisa sepenuhnya melihat ekspresi D karena pandanganku menggelap dan kepalaku semakin berat.
Aku merangkak menggapai D yang langsung meraih tanganku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku tadi mendorong D menjauh.
"Sorry, R.. gue--gue tadi gak bermak--"
Tapi tak ada suara selanjutnya keluar dari bibir D karena aku sudah membungkamnya dengan milikku. Aku mengecup D dalam sebab aku ingin menghilang selamanya bersama D. Aku bisa merasakan keterkejutan D, namun dengan cepat dia menguasai dirinya karena aku bisa merasakan hangat balasan D, bibir D.
D dan bukan Leon. Jika Leon saja bisa mencium dan tidur dengan siapa saja tanpa peduli padaku, kenapa aku tidak bisa melakukan itu juga padanya? Mulai sekarang, persetan dengannya.
"D, lo mau tidur sama gue?" bisikku tersesat diantara gerakan D dan panas tubuhku
Dan tak ada jawaban apapun setelahnya. Kami berdua tenggelam bersama.
Published on July 22, 2017 14:09
July 21, 2017
Remember Us - Elegyar Foster
Apakah janjiku pada Noura masih berlaku?
Aku masih bertanya-tanya tentang hal itu sepanjang waktu meski aku berusaha untuk mengenyahkannya. Aku, entah bagaimanapun berhutang cukup besar pada Noura. Dia menyelamatkanku, memberiku kehidupannya yang sialnya tidak bisa dikatakan mudah.
Dia meninggalkan hatinya, bayangannya dan sisa-sisa keberadaannya untuk kutempati. Bahkan setelah waktu demi waktu juga dunia yang berbeda, aku tidak bisa sepenuhnya berbangga hidup sebagai pengganti Noura. Namun aku tidak punya pilihan, bukan? Aku, sejujurnya saja, cukup berterima kasih padanya, meskipun aku juga berkali-kali memakinya. Dia, satu-satunya alasan kenapa aku bisa jatuh pada Reven, makhluk menyebalkan tidak tahu diri itu. Karena jiwanya yang kala itu bersemayam di dalam diriku menarikku dalam pesona Reven. Aku sering memikirkan apa jadinya jika aku sepenuhnya berada dalam kendaliku sendiri? Apakah aku akan tetap jatuh hati pada makhluk keras kepala itu?
Mungkin tidak. Mungkin aku akan tetap berada dalam kenyamanan dekapan seorang Deverend Corbis. Mungkin aku juga tidak akan pernah kehilangan dia. Mungkin saja..
"Apa yang dilakukan makhluk kegelapan sendirian di bawah terang bulan? Kurasa cahaya bulan tidak melahirkan kebahagiaan untuk jenismu."
Aku menoleh terkejut. Menyadari bahwa aku tenggelam terlalu dalam dalam pikiranku sendiri sampai aku tidak menyadari kehadiran asing di dekatku. Kali ini mataku menyipit melihat sosok yang berjalan mendekat ke arahku.
"Aku pikir kau sudah pergi dari sini, tuan Elf dari Merendef." Sahutku tanpa peduli apa yang diucapkannya sebelumnya.
"Namaku Elegyar Foster, nona."
"Dan aku Rena. Kau bisa ingat itu." Aku mencoba tersenyum tipis meski wajah Foster tidak terlihat terlalu bersahabat.
"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya... Rena." Ucapnya menyebut namaku dengan hati-hati.
"Oh, kau memperhatikanku? Apa kau tertarik padaku?"
Aku tertawa melihat perubahan ekspresi di wajah Foster. Matanya menyipit aneh dan aku bisa melihat dia memandangiku seolah aku makhluk aneh. Aku tidak tahu bahwa para elf adalah makhluk yang sangat kaku dalam masalah ini.
"Makhluk kegelapan benar-benar tidak beretika."
"Kau hanya tidak tahu bagaimana menikmati hidupmu saja." Sahutku masih diantara tawaku, "Kau tidak akan sekaku itu jika kau sudah mengalami banyak hal sepertiku. Sedikit bermain-main dan menggoda makhluk tak ekspresif seperti kalian bisa sangat menyenangkan."
Foster yang berhenti beberapa langkah dariku, masih menatapku dengan ekspresi merendahkanku, "Kurasa aku hidup lebih lama darimu dan kau tidak akan tahu apa saja yang sudah kulalui."
"Begitulah?" Aku tidak peduli.
Dia mendengus mengejek, "Kesalahanku adalah menyapamu dan berpikir kau berbeda dari Trisha."
Aku mengangkat kedua alisku, "Kami sama, Elegyar Foster." Kedua tanganku terlipat ke dada dan berfokus menatapnya, "Apa tujuanmu berbicara denganku?"
"Kau bukan sepenuhnya makhluk kegelapan, bukan?" Dia sekali ini tersenyum, sialnya bukan jenis senyuman yang membuatku senang namun membuatku ingin melemparkannya dari ketinggian tebing ke jurang dalam.
"Ap--?"
"Aku mendengar kedatangan kembali kaum vampir yang dulu dibuang oleh Alzarox ke dunia lain." Foster memotong ucapanku dengan cepat, "Dan ketika pertama kali melihatmu, aku tahu kau bagian dari kaum yang kembali itu. Hanya saja, kau terlihat berbeda. Seolah aku melihat sesuatu lain di dirimu."
"Dan kau sudah menyadari sekarang bahwa tidak ada yang berbeda dariku, bukan?" Aku tersenyum sinis.
"Pada akhirnya kau sama." Dia berkata pelan, "Kau, Trisha, Ritta dan makhluk kegelapan lainnya. Luca sudah mengotori hati kalian. Tapi aku masih melihat ada sisi lain di dirimu yang mungkin tidak akan bisa dilihat mereka."
Ada jeda yang lama sebelum Foster kembali membuka mulutnya, "Kau juga seorang penyihir."
Tanganku menggenggam udara kosong erat-erat, aku benci mendengar Foster mengatakan hal itu seolah aku adalah kesalahan diantara para kaumku. Aku tahu benar bahwa aku memang keturunan seorang penyihir, dan Damis memperingatkanku dengan hati-hati bahwa tak boleh ada satupun yang tahu selain kami yang memang sudah mengetahuinya. Dia bilang Alzarox mungkin bisa langsung membunuhku tanpa perlu tahu banyak hal lainnya seperti bahwa hanya darahku saja yang mungkin membawa nafas penyihir, selain semua itu, aku sepenuhnya vampir. Sudah lebih dari cukup buruk ketika dulu Luca datang dan mengatakan secara langsung bahwa dia juga tahu.
"Bagaimana kau tahu?"
Foster tertawa kecil, "Tierraz adalah tanah sihir, Rena. Ketika kau hidup di dalamnya, sedikit apapun sihir dalam dirimu, dia berkembang dan berbahagia. Dan aura yang muncul dalam perkembangan sihir terdalam seringkali bisa dilihat oleh beberapa yang beruntung bisa melakukannya. Lalu milikmu, berkembang terlalu cepat. Auramu.. berbeda."
"Berhenti mengkhayal," aku berkata keras, "Yang benar hanya aku lahir dari salah satu dari bagian mereka. Tapi diriku, sepenuhnya vampir sekarang. Kau tidak akan bisa memanipulasiku untuk apapun itu."
"Aku tidak berniat melakukan apapun." Dia tertawa pendek, yang sudah jelas bukan tawa yang mengartikan sesuatu yang baik, "Aku hanya kasihan padamu."
Lalu begitu saja dan dia berbalik meninggalkanku yang menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan kebingungan. Aku memaki keras-keras ketika sadar dia hanya mengejekku.
***
"Aku tidak pernah menyarankanmu berpisah dari kelompok, Sherena Audreista."
Aku berhenti berjalan dan menatap sosok yang menatapku dengan tidak suka itu. Dia tengah bersandar pada salah satu pohon besar yang bayangannya menenggelamkan tubuhnya dalam kegelapan. Aku memaki dalam hati, bersumpah bahwa aku tidak akan mencekik laki-laki itu karena kesal pada nada bicaranya yang memuakkan itu.
Aku masih dalam keadaan marah, dan sepenuhnya terbawa pada percakapanku dengan Elegyar Foster. Lalu sekarang setelah memutuskan kembali ke ruangan yang disediakan para elf utara untuk kami, aku masih harus menghadapi yang satu ini. Aku menarik nafas panjang. Semoga tidak hilang kesabaranku kali ini, erangku dalam kepalaku.
"Oh, Reven. Aku hampir tidak bisa melihatmu. Apa yang kau lakukan di kegelapan? Apa kau mengikutiku?" Aku tertawa mengejek, "Apa kau begitu ingin tahu apa yang kulakukan? Apa kau masih tidak bisa mengenyahkan perasaan lamamu padamu?"
Dia berjalan meninggalkan kegelapan di sekitarnya, dan maju ke arahku.
"Kau masih di bawah tanggung jawabku, Rena." Suaranya dalam, menahan apapun itu yang sedang dirasakannya, "Kau katakan padaku untuk tahu batas diantara kita. Dan sekarang aku berbicara sebagai pemimpinmu."
"Kuharap begitu."
"Kau harus belajar menaruh hormatmu pada siapa yang berdiri lebih tinggi darimu, Rena. Jika kau terus menerus bersikap seolah kau tidak peduli pada apa yang sering kuperingatkan padamu sebagai pemimpin, jangan salahkan aku jika sesuatu yang buruk terjadi padamu." Dia berbalik, tidak menunggu jawabanku dan pergi dengan angkuhnya.
"Kau memang memuakkan, Rev." Ucapku singkat, dan itu berhasil membuat Reven menghentikan langkahnya tapi tidak berbalik ke arahku. Dia hanya berhenti. Seolah menunggu apa yang akan kukatakan selanjutnya.
"Dan aku berharap aku tidak perlu lagi menepati janjiku pada Noura."
"Kau tidak berjanji apapun padanya. Kau bahkan tidak pernah benar-benar tahu siapa dirinya." Dia berbalik dan kegelapan iris biru matanya tajam menusukku, yang entah kenapa membuat sesuatu di dadaku bergetar menahan sesak.
"Kau tidak pernah benar-benar tahu siapa Noura sebenarnya, Sherena Audreista. Kau tidak tahu apa-apa dan kau tidak pernah menjanjikan apapun padanya. Berhenti menyalahkannya atas apapun yang terjadi pada dirimu. Noura menyelamatkanmu. Begitu juga aku."
Seluruh tubuhku bergetar, dan mataku memanas. Aku bahkan tak sanggup menemukan suaraku sampai Reven meninggalkanku dan lenyap di balik salah satu lengkung masuk kastil.
Sialan kau, Rev.
***
"Apa kau mencariku?" Damis bergerak duduk ke salah satu kursi kayu di ruangan itu. Di sudut lain, Victoria hanya mengangkat wajahnya sebentar sebelum kembali menenggelamkan dirinya pada sebuah buku tua besar yang berada di pangkuannya.
"Kau sudah bertemu dengan Lucia, kurasa." Ucap Damis kembali setelah dia merasa bahwa Victoria tidak akan mengatakan apapun, "Apa yang dikatakannya padamu?"
"Penolakanmu." Sahut Victoria tanpa meninggalkan pandangannya pada bukunya.
"Ah," Damis mengangguk, "Aku tahu apa yang akan kau katakan kalau begitu."
"Kau tidak tahu." Suara buku yang ditutup membuat Damis menoleh, dan sekarang Victoria sepenuhnya menatapnya, "Kau tidak tahu apa yang akan kukatakan padamu." Lanjutnya.
"Kau berada di pihaknya?"
"Berada di pihak siapa? Lucia?" Tawa Victoria terdengar setelahnya dan Damis harus menahan diri untuk tidak mengerutkan keningnya tidak suka.
Kedua tangan Victoria menangkup bukunya, matanya lurus pada Damis, "Aku hanya berada di pihak Luca." Ucapnya datar dan kali ini Damis tersenyum tipis.
"Lalu, apa sebenarnya yang ingin kau katakan padaku?"
"Memperingatkanmu," jawabnya, "Sherena Audreista akan menjadi seseorang yang kelak dibutuhkan Luca. Aku hanya tidak ingin melihatmu tenggelam dalam kehilangan untuk kedua kalinya. Cukup Lyra Corbis bagimu dan Sherena hanya permainan baru, bukan begitu?"
Damis menggeleng, "Aku tidak mengerti." Katanya pelan, "Apa kau baru saja memperingatkanku agar aku menjauh dari Rena karena Luca tengah merencanakan sesuatu untuknya?"
Victoria tersenyum dan tak mengatakan apapun sementara Damis langsung membelalakkan matanya tidak percaya, "Kau tidak boleh menyeret Rena dalam apapun itu rencana Luca yang mungkin membahayakannya, Victoria."
"Satu-satunya alasan kenapa Luca membiarkan kita kembali dan hidup adalah keberadaan Rena, Damis. Dia adalah perisai pelindung kita."
Rahang Damis mengeras, menahan rasa marah yang membuncah di seluruh tubuhnya, "Dia adalah bagian dari kita dan bukan tumbal untuk kita, Victoria Lynch."
"Apa aku berkata bahwa Luca akan melukainya? Apa kau tahu apa yang mungkin saja akan dilakukan Luca pada Rena?"
"Aku tidak peduli apa yang akan dilakukan Luca, asal bukan Rena, aku tidak akan pernah ikut campur. Tapi jika ini menyangkut Rena, aku bersumpah Victoria. Aku bersumpah bahkan aku akan menyerahkan jiwaku jika itu untuk melindunginya."
"Damis--"
"Apa Reven tahu tentang hal ini?"
Victoria menghela nafas, "Apa kau pikir aku akan memberitahunya?"
"Maka jangan libatkan dia, aku sendiri sanggup melindungi Rena."
"Melindungi dia dari siapa? Luca?" Suara tawa Victoria menggema di ruangan ini, "Kau tidak tahu apa yang baru saja kau katakan, Damis."
Victoria berdiri, melangkah pelan ke arah Damis dan berkata pelan dan dalam, "Kau.. tidak tahu benar seperti apa sosok Luca sebenarnya."
<< Sebelumnya
Aku masih bertanya-tanya tentang hal itu sepanjang waktu meski aku berusaha untuk mengenyahkannya. Aku, entah bagaimanapun berhutang cukup besar pada Noura. Dia menyelamatkanku, memberiku kehidupannya yang sialnya tidak bisa dikatakan mudah.
Dia meninggalkan hatinya, bayangannya dan sisa-sisa keberadaannya untuk kutempati. Bahkan setelah waktu demi waktu juga dunia yang berbeda, aku tidak bisa sepenuhnya berbangga hidup sebagai pengganti Noura. Namun aku tidak punya pilihan, bukan? Aku, sejujurnya saja, cukup berterima kasih padanya, meskipun aku juga berkali-kali memakinya. Dia, satu-satunya alasan kenapa aku bisa jatuh pada Reven, makhluk menyebalkan tidak tahu diri itu. Karena jiwanya yang kala itu bersemayam di dalam diriku menarikku dalam pesona Reven. Aku sering memikirkan apa jadinya jika aku sepenuhnya berada dalam kendaliku sendiri? Apakah aku akan tetap jatuh hati pada makhluk keras kepala itu?
Mungkin tidak. Mungkin aku akan tetap berada dalam kenyamanan dekapan seorang Deverend Corbis. Mungkin aku juga tidak akan pernah kehilangan dia. Mungkin saja..
"Apa yang dilakukan makhluk kegelapan sendirian di bawah terang bulan? Kurasa cahaya bulan tidak melahirkan kebahagiaan untuk jenismu."
Aku menoleh terkejut. Menyadari bahwa aku tenggelam terlalu dalam dalam pikiranku sendiri sampai aku tidak menyadari kehadiran asing di dekatku. Kali ini mataku menyipit melihat sosok yang berjalan mendekat ke arahku.
"Aku pikir kau sudah pergi dari sini, tuan Elf dari Merendef." Sahutku tanpa peduli apa yang diucapkannya sebelumnya.
"Namaku Elegyar Foster, nona."
"Dan aku Rena. Kau bisa ingat itu." Aku mencoba tersenyum tipis meski wajah Foster tidak terlihat terlalu bersahabat.
"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya... Rena." Ucapnya menyebut namaku dengan hati-hati.
"Oh, kau memperhatikanku? Apa kau tertarik padaku?"
Aku tertawa melihat perubahan ekspresi di wajah Foster. Matanya menyipit aneh dan aku bisa melihat dia memandangiku seolah aku makhluk aneh. Aku tidak tahu bahwa para elf adalah makhluk yang sangat kaku dalam masalah ini.
"Makhluk kegelapan benar-benar tidak beretika."
"Kau hanya tidak tahu bagaimana menikmati hidupmu saja." Sahutku masih diantara tawaku, "Kau tidak akan sekaku itu jika kau sudah mengalami banyak hal sepertiku. Sedikit bermain-main dan menggoda makhluk tak ekspresif seperti kalian bisa sangat menyenangkan."
Foster yang berhenti beberapa langkah dariku, masih menatapku dengan ekspresi merendahkanku, "Kurasa aku hidup lebih lama darimu dan kau tidak akan tahu apa saja yang sudah kulalui."
"Begitulah?" Aku tidak peduli.
Dia mendengus mengejek, "Kesalahanku adalah menyapamu dan berpikir kau berbeda dari Trisha."
Aku mengangkat kedua alisku, "Kami sama, Elegyar Foster." Kedua tanganku terlipat ke dada dan berfokus menatapnya, "Apa tujuanmu berbicara denganku?"
"Kau bukan sepenuhnya makhluk kegelapan, bukan?" Dia sekali ini tersenyum, sialnya bukan jenis senyuman yang membuatku senang namun membuatku ingin melemparkannya dari ketinggian tebing ke jurang dalam.
"Ap--?"
"Aku mendengar kedatangan kembali kaum vampir yang dulu dibuang oleh Alzarox ke dunia lain." Foster memotong ucapanku dengan cepat, "Dan ketika pertama kali melihatmu, aku tahu kau bagian dari kaum yang kembali itu. Hanya saja, kau terlihat berbeda. Seolah aku melihat sesuatu lain di dirimu."
"Dan kau sudah menyadari sekarang bahwa tidak ada yang berbeda dariku, bukan?" Aku tersenyum sinis.
"Pada akhirnya kau sama." Dia berkata pelan, "Kau, Trisha, Ritta dan makhluk kegelapan lainnya. Luca sudah mengotori hati kalian. Tapi aku masih melihat ada sisi lain di dirimu yang mungkin tidak akan bisa dilihat mereka."
Ada jeda yang lama sebelum Foster kembali membuka mulutnya, "Kau juga seorang penyihir."
Tanganku menggenggam udara kosong erat-erat, aku benci mendengar Foster mengatakan hal itu seolah aku adalah kesalahan diantara para kaumku. Aku tahu benar bahwa aku memang keturunan seorang penyihir, dan Damis memperingatkanku dengan hati-hati bahwa tak boleh ada satupun yang tahu selain kami yang memang sudah mengetahuinya. Dia bilang Alzarox mungkin bisa langsung membunuhku tanpa perlu tahu banyak hal lainnya seperti bahwa hanya darahku saja yang mungkin membawa nafas penyihir, selain semua itu, aku sepenuhnya vampir. Sudah lebih dari cukup buruk ketika dulu Luca datang dan mengatakan secara langsung bahwa dia juga tahu.
"Bagaimana kau tahu?"
Foster tertawa kecil, "Tierraz adalah tanah sihir, Rena. Ketika kau hidup di dalamnya, sedikit apapun sihir dalam dirimu, dia berkembang dan berbahagia. Dan aura yang muncul dalam perkembangan sihir terdalam seringkali bisa dilihat oleh beberapa yang beruntung bisa melakukannya. Lalu milikmu, berkembang terlalu cepat. Auramu.. berbeda."
"Berhenti mengkhayal," aku berkata keras, "Yang benar hanya aku lahir dari salah satu dari bagian mereka. Tapi diriku, sepenuhnya vampir sekarang. Kau tidak akan bisa memanipulasiku untuk apapun itu."
"Aku tidak berniat melakukan apapun." Dia tertawa pendek, yang sudah jelas bukan tawa yang mengartikan sesuatu yang baik, "Aku hanya kasihan padamu."
Lalu begitu saja dan dia berbalik meninggalkanku yang menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan kebingungan. Aku memaki keras-keras ketika sadar dia hanya mengejekku.
***
"Aku tidak pernah menyarankanmu berpisah dari kelompok, Sherena Audreista."
Aku berhenti berjalan dan menatap sosok yang menatapku dengan tidak suka itu. Dia tengah bersandar pada salah satu pohon besar yang bayangannya menenggelamkan tubuhnya dalam kegelapan. Aku memaki dalam hati, bersumpah bahwa aku tidak akan mencekik laki-laki itu karena kesal pada nada bicaranya yang memuakkan itu.
Aku masih dalam keadaan marah, dan sepenuhnya terbawa pada percakapanku dengan Elegyar Foster. Lalu sekarang setelah memutuskan kembali ke ruangan yang disediakan para elf utara untuk kami, aku masih harus menghadapi yang satu ini. Aku menarik nafas panjang. Semoga tidak hilang kesabaranku kali ini, erangku dalam kepalaku.
"Oh, Reven. Aku hampir tidak bisa melihatmu. Apa yang kau lakukan di kegelapan? Apa kau mengikutiku?" Aku tertawa mengejek, "Apa kau begitu ingin tahu apa yang kulakukan? Apa kau masih tidak bisa mengenyahkan perasaan lamamu padamu?"
Dia berjalan meninggalkan kegelapan di sekitarnya, dan maju ke arahku.
"Kau masih di bawah tanggung jawabku, Rena." Suaranya dalam, menahan apapun itu yang sedang dirasakannya, "Kau katakan padaku untuk tahu batas diantara kita. Dan sekarang aku berbicara sebagai pemimpinmu."
"Kuharap begitu."
"Kau harus belajar menaruh hormatmu pada siapa yang berdiri lebih tinggi darimu, Rena. Jika kau terus menerus bersikap seolah kau tidak peduli pada apa yang sering kuperingatkan padamu sebagai pemimpin, jangan salahkan aku jika sesuatu yang buruk terjadi padamu." Dia berbalik, tidak menunggu jawabanku dan pergi dengan angkuhnya.
"Kau memang memuakkan, Rev." Ucapku singkat, dan itu berhasil membuat Reven menghentikan langkahnya tapi tidak berbalik ke arahku. Dia hanya berhenti. Seolah menunggu apa yang akan kukatakan selanjutnya.
"Dan aku berharap aku tidak perlu lagi menepati janjiku pada Noura."
"Kau tidak berjanji apapun padanya. Kau bahkan tidak pernah benar-benar tahu siapa dirinya." Dia berbalik dan kegelapan iris biru matanya tajam menusukku, yang entah kenapa membuat sesuatu di dadaku bergetar menahan sesak.
"Kau tidak pernah benar-benar tahu siapa Noura sebenarnya, Sherena Audreista. Kau tidak tahu apa-apa dan kau tidak pernah menjanjikan apapun padanya. Berhenti menyalahkannya atas apapun yang terjadi pada dirimu. Noura menyelamatkanmu. Begitu juga aku."
Seluruh tubuhku bergetar, dan mataku memanas. Aku bahkan tak sanggup menemukan suaraku sampai Reven meninggalkanku dan lenyap di balik salah satu lengkung masuk kastil.
Sialan kau, Rev.
***
"Apa kau mencariku?" Damis bergerak duduk ke salah satu kursi kayu di ruangan itu. Di sudut lain, Victoria hanya mengangkat wajahnya sebentar sebelum kembali menenggelamkan dirinya pada sebuah buku tua besar yang berada di pangkuannya.
"Kau sudah bertemu dengan Lucia, kurasa." Ucap Damis kembali setelah dia merasa bahwa Victoria tidak akan mengatakan apapun, "Apa yang dikatakannya padamu?"
"Penolakanmu." Sahut Victoria tanpa meninggalkan pandangannya pada bukunya.
"Ah," Damis mengangguk, "Aku tahu apa yang akan kau katakan kalau begitu."
"Kau tidak tahu." Suara buku yang ditutup membuat Damis menoleh, dan sekarang Victoria sepenuhnya menatapnya, "Kau tidak tahu apa yang akan kukatakan padamu." Lanjutnya.
"Kau berada di pihaknya?"
"Berada di pihak siapa? Lucia?" Tawa Victoria terdengar setelahnya dan Damis harus menahan diri untuk tidak mengerutkan keningnya tidak suka.
Kedua tangan Victoria menangkup bukunya, matanya lurus pada Damis, "Aku hanya berada di pihak Luca." Ucapnya datar dan kali ini Damis tersenyum tipis.
"Lalu, apa sebenarnya yang ingin kau katakan padaku?"
"Memperingatkanmu," jawabnya, "Sherena Audreista akan menjadi seseorang yang kelak dibutuhkan Luca. Aku hanya tidak ingin melihatmu tenggelam dalam kehilangan untuk kedua kalinya. Cukup Lyra Corbis bagimu dan Sherena hanya permainan baru, bukan begitu?"
Damis menggeleng, "Aku tidak mengerti." Katanya pelan, "Apa kau baru saja memperingatkanku agar aku menjauh dari Rena karena Luca tengah merencanakan sesuatu untuknya?"
Victoria tersenyum dan tak mengatakan apapun sementara Damis langsung membelalakkan matanya tidak percaya, "Kau tidak boleh menyeret Rena dalam apapun itu rencana Luca yang mungkin membahayakannya, Victoria."
"Satu-satunya alasan kenapa Luca membiarkan kita kembali dan hidup adalah keberadaan Rena, Damis. Dia adalah perisai pelindung kita."
Rahang Damis mengeras, menahan rasa marah yang membuncah di seluruh tubuhnya, "Dia adalah bagian dari kita dan bukan tumbal untuk kita, Victoria Lynch."
"Apa aku berkata bahwa Luca akan melukainya? Apa kau tahu apa yang mungkin saja akan dilakukan Luca pada Rena?"
"Aku tidak peduli apa yang akan dilakukan Luca, asal bukan Rena, aku tidak akan pernah ikut campur. Tapi jika ini menyangkut Rena, aku bersumpah Victoria. Aku bersumpah bahkan aku akan menyerahkan jiwaku jika itu untuk melindunginya."
"Damis--"
"Apa Reven tahu tentang hal ini?"
Victoria menghela nafas, "Apa kau pikir aku akan memberitahunya?"
"Maka jangan libatkan dia, aku sendiri sanggup melindungi Rena."
"Melindungi dia dari siapa? Luca?" Suara tawa Victoria menggema di ruangan ini, "Kau tidak tahu apa yang baru saja kau katakan, Damis."
Victoria berdiri, melangkah pelan ke arah Damis dan berkata pelan dan dalam, "Kau.. tidak tahu benar seperti apa sosok Luca sebenarnya."
<< Sebelumnya
Published on July 21, 2017 07:11
July 20, 2017
Jangan Jatuh Cinta Lagi
"Lo bakal nikah di umur dua puluh enam tahun."
Aku menoleh, terkejut, ada kerutan jelas di dahiku, "Lo mabok?"
Dia terkekeh. Memutar kepalanya menatapku, dan menyipitkan matanya setelah selesai dengan tawanya yang absurd, "Lo ngga percaya omongan gue?"
"Pulang gih. Lo udah mabok."
Dia terkekeh lagi, makin keras, "Sepertinya lo bener. Mungkin gue uda mabok. Arrghh," dia menyentuh kepalanya dan perlahan menjatuhkan tubuhnya pada rerumputan di belakangnya. Matanya terpejam dan satu tangannya masih tertangkup di atas dahinya. Tumpukan kaleng bir berserakan di sekitar kakinya. Aku sendiri masih mengenggam satu kaleng bir yang sudah tidak lagi dingin sambil meliriknya sekilas.
"Lo kenapa?" tanyaku santai.
"Gue ngerasa lo dan gue bakal selesai sebentar lagi."
Aku langsung memutar kepalaku dan menatapnya benar-benar. Dia tidak pernah mengoceh aneh kalau dia memang sedang mabuk.
"Kadang, gue ngerasa gue bisa ngelihat masa depan."
"Lo ngomong apa sih? Gak lucu tau."
Ada cengiran tertahan di bibirnya sementara matanya masih terpejam, "Gue takut."
Aku diam. Tidak tahu harus bereaksi apa.
"Gue ngerasa sebentar lagi lo bakal pergi dari gue."
"Kampret! Lo nyumpahin gue mati."
Kali ini dia membuka matanya dan tertawa, "Bukanlah, bego."
"Terus?"
"Gue ngerasa lo bakal jatuh cinta lagi sebentar lagi. Bulan depan. Di bulan Maret. Gue rasa lo bkal jatuh cinta lagi di bulan Maret."Aku benar-benar ingin melempar kaleng birku ke kepalanya agar apapun itu yang sedang berproses di otaknya segerai terurai.
"Gila lo."
"Jangan jatuh cinta lagi ya, R. Lo sama gue aja terus. Jangan jatuh cinta lagi."
Mataku menyipit. Berusaha menemukan sesuatu di matanya. Namun dia kembali memejamkan matanya. Tak mengucapkan apapun lagi setelahnya. Jeda bisu menelan kami dalam pikiran kami masing-masing. Jujur saja aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku bahkan tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dikatakannya.
Jangan jatuh cinta lagi ya, R. Lo sama gue aja terus. Jangan jatuh cinta lagi.
Aku menoleh, terkejut, ada kerutan jelas di dahiku, "Lo mabok?"
Dia terkekeh. Memutar kepalanya menatapku, dan menyipitkan matanya setelah selesai dengan tawanya yang absurd, "Lo ngga percaya omongan gue?"
"Pulang gih. Lo udah mabok."
Dia terkekeh lagi, makin keras, "Sepertinya lo bener. Mungkin gue uda mabok. Arrghh," dia menyentuh kepalanya dan perlahan menjatuhkan tubuhnya pada rerumputan di belakangnya. Matanya terpejam dan satu tangannya masih tertangkup di atas dahinya. Tumpukan kaleng bir berserakan di sekitar kakinya. Aku sendiri masih mengenggam satu kaleng bir yang sudah tidak lagi dingin sambil meliriknya sekilas.
"Lo kenapa?" tanyaku santai.
"Gue ngerasa lo dan gue bakal selesai sebentar lagi."
Aku langsung memutar kepalaku dan menatapnya benar-benar. Dia tidak pernah mengoceh aneh kalau dia memang sedang mabuk.
"Kadang, gue ngerasa gue bisa ngelihat masa depan."
"Lo ngomong apa sih? Gak lucu tau."
Ada cengiran tertahan di bibirnya sementara matanya masih terpejam, "Gue takut."
Aku diam. Tidak tahu harus bereaksi apa.
"Gue ngerasa sebentar lagi lo bakal pergi dari gue."
"Kampret! Lo nyumpahin gue mati."
Kali ini dia membuka matanya dan tertawa, "Bukanlah, bego."
"Terus?"
"Gue ngerasa lo bakal jatuh cinta lagi sebentar lagi. Bulan depan. Di bulan Maret. Gue rasa lo bkal jatuh cinta lagi di bulan Maret."Aku benar-benar ingin melempar kaleng birku ke kepalanya agar apapun itu yang sedang berproses di otaknya segerai terurai.
"Gila lo."
"Jangan jatuh cinta lagi ya, R. Lo sama gue aja terus. Jangan jatuh cinta lagi."
Mataku menyipit. Berusaha menemukan sesuatu di matanya. Namun dia kembali memejamkan matanya. Tak mengucapkan apapun lagi setelahnya. Jeda bisu menelan kami dalam pikiran kami masing-masing. Jujur saja aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku bahkan tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dikatakannya.
Jangan jatuh cinta lagi ya, R. Lo sama gue aja terus. Jangan jatuh cinta lagi.
Published on July 20, 2017 00:20
July 19, 2017
Surat Untuk Suami
Hei, kamu... Suami. Apa kabar?
Apakah disana—dimanapun kamu berada—kamu baik-baik saja? Aku selalu berdoa agar kamu baik-baik dan selalu seperti itu. Sebab aku berharap, ketika Tuhan akhirnya mempertemukan kita dalam tegas suaramu di akad kita, kamu menjadi yang terbaik yang selalu Tuhan janjikan untukku. Dan sampai saat itu tiba. Aku akan menunggu dengan (sedikit) sabar di sini.
Sejujurnya malah, aku sama sekali tidak sabar. Aku ingin kita bertemu. Aku ingin kita jatuh cinta. Dan aku.. ingin kita menikah. Sehingga bisa kusebut kamu, suamiku. Laki-laki yang dihalalkan untukku. Ah, halal. Pasti sangat membahagikan jika seperti itu, bukan?
Tapi sekarang aku masih belum tahu. Aku tidak tahu dimana kamu atau—siapa kamu. Hanya keyakinan yang membuatku tegar menunggu hingga saat ini. Aku ingin menyebutmu jodoh. Tapi jodoh belum tentu suami. Dan suami sudah pasti jodoh. Jadi kupanggil saja kamu begitu.
Suami..
Aku berharap kita segera bisa dipertemukan. Semoga benang merah yang dilukis Tuhan segera jelas untukku. Aku sudah lelah bermain-main. Aku sudah lelah berdosa. Aku ingin punya bahumu, suami. Agar aku bisa bersandar dan merasa aman di sana. Dunia ini kadang kejam. Aku takut di dalamnya sendirian. Jadi kehadiranmu, keberadaann nyatamu. Akan menenangkanku dan membuat dunia terasa baik.
Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Tidak ada paras cantik seperti dewi-dewi Yunani, Mesir atau Romawi. Tidak ada tubuh sesintal perempuan-perempuan yang biasanya ada di majalah yang dibeli kaummu. Tapi aku punya hati. Ini masih baru. Aku punya hati yang baru yang akan kupersembahkan untukmu. Satu, sepenuhnya, sampai Tuhan membimbingku kembali kepadaNya. Hati baru ini milikmu, suami. Yang lama sudah berserak, hancur dan entah—mungkin luluh. Jadi ini yang baru. Punyamu.
Segala yang terbaik juga akan kuberikan padamu, dan pada keluarga kecil kita nanti. Aku sudah belajar memasak. Kamu pasti akan menyukai masakanku. Kuharap kamu suka pedas, karena nyaris semua masakanku tak lepas dari cabe. Selain itu aku juga sudah punya metode-metode yang akan kugunakan untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak kita. Kamu tahu, aku ingin punya tiga anak. Bahkan yang satu—untuk yang tercantik—aku sudah punya nama untuknya.
Ahh, membayangkan anak-anak kita membuatku ingin menangis. Sepupuku baru melahirkan anak pertamanya kemarin. Dia seumuran denganku, teman sepermainanku dulu, dan bayi kecilnya adalah bayi perempuan yang cantik. Membayangkan betapa bahagianya dia membuatku menyusutkan air mata. Aku juga ingin segera punya bayi. Pasti sangat menyenangkan mengetahui ada kehidupan mungil yang demikian rapuh berasal dari rahimku. Aku harus menyelesaikan topik ini sekarang. Aku sudah menangis.
Suami, kamu tahu tidak? Aku punya metode belajar yang unik untuk mereka nanti. Semua yang terbaik yang sanggup kuberikan untuk malaikat-malaikat kecil yang akan menjadi cahaya di rumah kita. Aku akan membuat mereka tahu dunia dengan lebih baik. Pengetahuan akademik, bakat, agama, seni dan apapun yang akan membawa mereka hidup dengan baik dan berakhir dengan baik dalam surga bersama Rasullullah. Aku mau yang terbaik untuk mereka.
Jadi suami, kelak kita harus jadi orangtua yang baik, ya. Jangan hanya aku. Jangan hanya kamu. Tapi kita. Karena mereka kelak akan menjadi surga, penyelamat dan sumber kebahagiaan tak terbatas.
Ah, aku masih menangis.
Sudah. Sudah. Ini hampir tengah malam. Aku tidak akan menganggumu lagi. Tidurlah nyenyak, sayangku. Tidurlah dan semoga Tuhan memberikanmu mimpi yang indah. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan membimbingmu mendekat padaku. Suami.. ketahuilah. Aku akan belajar bersabar dan menunggu. Kamu juga. Sampai pada waktu yang tepat, dimana Tuhan menjalin kita berdua. Aku akan di sini dalam doaku tentangmu.
Semoga esokmu indah. Selamat malam, kekasihku.
Aku menyayangimu.
Istrimu
Apakah disana—dimanapun kamu berada—kamu baik-baik saja? Aku selalu berdoa agar kamu baik-baik dan selalu seperti itu. Sebab aku berharap, ketika Tuhan akhirnya mempertemukan kita dalam tegas suaramu di akad kita, kamu menjadi yang terbaik yang selalu Tuhan janjikan untukku. Dan sampai saat itu tiba. Aku akan menunggu dengan (sedikit) sabar di sini.
Sejujurnya malah, aku sama sekali tidak sabar. Aku ingin kita bertemu. Aku ingin kita jatuh cinta. Dan aku.. ingin kita menikah. Sehingga bisa kusebut kamu, suamiku. Laki-laki yang dihalalkan untukku. Ah, halal. Pasti sangat membahagikan jika seperti itu, bukan?
Tapi sekarang aku masih belum tahu. Aku tidak tahu dimana kamu atau—siapa kamu. Hanya keyakinan yang membuatku tegar menunggu hingga saat ini. Aku ingin menyebutmu jodoh. Tapi jodoh belum tentu suami. Dan suami sudah pasti jodoh. Jadi kupanggil saja kamu begitu.
Suami..
Aku berharap kita segera bisa dipertemukan. Semoga benang merah yang dilukis Tuhan segera jelas untukku. Aku sudah lelah bermain-main. Aku sudah lelah berdosa. Aku ingin punya bahumu, suami. Agar aku bisa bersandar dan merasa aman di sana. Dunia ini kadang kejam. Aku takut di dalamnya sendirian. Jadi kehadiranmu, keberadaann nyatamu. Akan menenangkanku dan membuat dunia terasa baik.
Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Tidak ada paras cantik seperti dewi-dewi Yunani, Mesir atau Romawi. Tidak ada tubuh sesintal perempuan-perempuan yang biasanya ada di majalah yang dibeli kaummu. Tapi aku punya hati. Ini masih baru. Aku punya hati yang baru yang akan kupersembahkan untukmu. Satu, sepenuhnya, sampai Tuhan membimbingku kembali kepadaNya. Hati baru ini milikmu, suami. Yang lama sudah berserak, hancur dan entah—mungkin luluh. Jadi ini yang baru. Punyamu.
Segala yang terbaik juga akan kuberikan padamu, dan pada keluarga kecil kita nanti. Aku sudah belajar memasak. Kamu pasti akan menyukai masakanku. Kuharap kamu suka pedas, karena nyaris semua masakanku tak lepas dari cabe. Selain itu aku juga sudah punya metode-metode yang akan kugunakan untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak kita. Kamu tahu, aku ingin punya tiga anak. Bahkan yang satu—untuk yang tercantik—aku sudah punya nama untuknya.
Ahh, membayangkan anak-anak kita membuatku ingin menangis. Sepupuku baru melahirkan anak pertamanya kemarin. Dia seumuran denganku, teman sepermainanku dulu, dan bayi kecilnya adalah bayi perempuan yang cantik. Membayangkan betapa bahagianya dia membuatku menyusutkan air mata. Aku juga ingin segera punya bayi. Pasti sangat menyenangkan mengetahui ada kehidupan mungil yang demikian rapuh berasal dari rahimku. Aku harus menyelesaikan topik ini sekarang. Aku sudah menangis.
Suami, kamu tahu tidak? Aku punya metode belajar yang unik untuk mereka nanti. Semua yang terbaik yang sanggup kuberikan untuk malaikat-malaikat kecil yang akan menjadi cahaya di rumah kita. Aku akan membuat mereka tahu dunia dengan lebih baik. Pengetahuan akademik, bakat, agama, seni dan apapun yang akan membawa mereka hidup dengan baik dan berakhir dengan baik dalam surga bersama Rasullullah. Aku mau yang terbaik untuk mereka.
Jadi suami, kelak kita harus jadi orangtua yang baik, ya. Jangan hanya aku. Jangan hanya kamu. Tapi kita. Karena mereka kelak akan menjadi surga, penyelamat dan sumber kebahagiaan tak terbatas.
Ah, aku masih menangis.
Sudah. Sudah. Ini hampir tengah malam. Aku tidak akan menganggumu lagi. Tidurlah nyenyak, sayangku. Tidurlah dan semoga Tuhan memberikanmu mimpi yang indah. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan membimbingmu mendekat padaku. Suami.. ketahuilah. Aku akan belajar bersabar dan menunggu. Kamu juga. Sampai pada waktu yang tepat, dimana Tuhan menjalin kita berdua. Aku akan di sini dalam doaku tentangmu.
Semoga esokmu indah. Selamat malam, kekasihku.
Aku menyayangimu.
Istrimu
Published on July 19, 2017 12:30
Apa Kabar Remember Us, Kak?
Hallo semuanya..
Saya balik lagi. Sayangnya kali ini bukan untuk posting cerita baru Remember Us atau Xexa, tapi pengen kasih tahu sesuatu. Berhubung saya kurang waktu untuk menyelesaikan RU maupun Xexa bersamaan, saya putuskan untuk menunda Xexa sampai saya selesai menulis RU.
Well, kali ini saya pengen fokus dengan RU. Akhir-akhir ini banyak banget yang nanyain kabar Rena Reven dan sayanya ngga bisa kasih jawaban pasti. Sedih juga, soalnya rasanya hampa. Saya seneng nulis dan sekarang saya bahkan ngga punya waktu buat banyak menulis lagi. Kerjaan di Eropa menyedot habis inspirasi saya dalam berfantasi. Astaga astaga, sepertinya ngga sepenuhnya salah perbedaan prioritas. Hanya saja, saya sedang dalam usaha untuk menyelesaikan satu kewajiban saya pada orangtua. Dan itu membuat saya sepenuhnya harus sibuk dengan pekerjaan dan sekolah.
Tapi saya janji, saya akan tetap menulis. Saya akan melanjutkan Remember Us Dan Xexa sampai selesai meskipun itu akan memakan waktu yang lama. Dan saya juga ingin berbagi dengan kalian tentang apa yang saya kerjakan atau apa yang saya nikmati di Eropa melalui tulisan. Saya berdoa semoga saya ngga tenggelam dalam kesibukan saya yang sudah melelahkan hati dan fisik saya sehingga imajinasi saya jadi tumpul.
Nah, mungkin masalah aslinya ini, imajinasi saya menua dan tumpul, dan saya menyalahkan waktu.
Ah, manusia.
Kasten, 19 Juli 2017
Ps. Tetap sabar dan jangan berpaling dari abang Reven ya, guys.Pss. Tema Blogku Baruuu!!! I do love it. ❤
Saya balik lagi. Sayangnya kali ini bukan untuk posting cerita baru Remember Us atau Xexa, tapi pengen kasih tahu sesuatu. Berhubung saya kurang waktu untuk menyelesaikan RU maupun Xexa bersamaan, saya putuskan untuk menunda Xexa sampai saya selesai menulis RU.
Well, kali ini saya pengen fokus dengan RU. Akhir-akhir ini banyak banget yang nanyain kabar Rena Reven dan sayanya ngga bisa kasih jawaban pasti. Sedih juga, soalnya rasanya hampa. Saya seneng nulis dan sekarang saya bahkan ngga punya waktu buat banyak menulis lagi. Kerjaan di Eropa menyedot habis inspirasi saya dalam berfantasi. Astaga astaga, sepertinya ngga sepenuhnya salah perbedaan prioritas. Hanya saja, saya sedang dalam usaha untuk menyelesaikan satu kewajiban saya pada orangtua. Dan itu membuat saya sepenuhnya harus sibuk dengan pekerjaan dan sekolah.
Tapi saya janji, saya akan tetap menulis. Saya akan melanjutkan Remember Us Dan Xexa sampai selesai meskipun itu akan memakan waktu yang lama. Dan saya juga ingin berbagi dengan kalian tentang apa yang saya kerjakan atau apa yang saya nikmati di Eropa melalui tulisan. Saya berdoa semoga saya ngga tenggelam dalam kesibukan saya yang sudah melelahkan hati dan fisik saya sehingga imajinasi saya jadi tumpul.
Nah, mungkin masalah aslinya ini, imajinasi saya menua dan tumpul, dan saya menyalahkan waktu.
Ah, manusia.
Kasten, 19 Juli 2017
Ps. Tetap sabar dan jangan berpaling dari abang Reven ya, guys.Pss. Tema Blogku Baruuu!!! I do love it. ❤
Published on July 19, 2017 06:32
June 30, 2017
Apply Visa Bundesfreiwilligendienst
Hallo,
Gue nih, tapi sorry ya postingan kali ini bukan tentang chapter baru Remember Us atau Xexa. Btw, serius guys, saking lamanya draft dua cerita ini ngendap di Fire HD gue, gue sampe lupa gimana jalan ceritanya. Ah, sial sial, ngomongin soal nulis malah bikin makin down.
Ngomong-ngomong gue lagi pengen curhat dikit tentang betapa ribetnya apply visa Jerman. Serius duarius, selalu banyak makan ati, banyak-banyak ngehela dan narik nafas dalam-dalam dan bad-mood kalau udah urusan sama dokumen-dokumen melelahkan ini.
Nangis-nangis gue hari ini sambil ngirim email ke kedutaan Jerman di Wina. Ngga ada beberapa jam akhirnya dapat balasan dari mereka, kayak gini :
Intinya mereka bilang emang ngga ada janji kosong sampai Agustus. Tapi gue disuruh cek web mereka sering-sering, siapa tahu ada yang batalin janji mereka dan gue bisa ambil tempatnya. Masalahnya ngga ada yang bisa jamin, iya kalau emang ada yang batalin, kalau engga? Balik ke Indonesia dong???Aaaarrggg!! Serius jangan dulu. Gue emang ngga pengen menetap selamanya di Eropa, tapi gue punya banyak kewajiban dan tujuan yang belum tercapai di sini. Gue gak bisa balik dan gak boleh balik ke Indonesia dulu.
Tapi kalau gue ngga apply visa dekat-dekat ini, gue ngga bisa ambil kerjaan gue di Jerman yang mulai per tanggal 4 September di salah satu Kindergarten (Taman Kanak-Kanak) di München. Proses dari apply visa sampai jadi, bisa sampe 2 bulan. Dan notabene sekarang (atau besok) udah bulan Juli.
*nangis di pojokan*
Oke skip, nangis ngga menyelesaikan masalah. Jadi gue musti punya plan B buat cadangan kalau (jangan sampe, Ya Allah, gue mohon) ngga dapat janji buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Well, akhirnya memutuskan kalau gue harus ngeaupair lagi (lain kali gue jelasin tentang bagian ini, oke?).
Tapi dimana?
......
Netherlands dan Belgia? Oke fix. Ambil yang paling gampang. Setengah tahun aupair di salah satu negara itu, lalu apply langsung visa buat Ausbildung di Jerman (tujuan utama Jerman). Oke. Plan B : FIX.
Sejujurnya, ngenes ngebikin plan B kayak gini. Tapi gue gak bisa stuck sama satu rencana yang gamang. Gue gak bisa. Sejak dulu kayak gitu. Kayak awal apply visa aupair ke Austria, gue juga punya plan B soalnya gue juga ragu apa gue bisa lolos bikin visa atau enggak. Notabene bulan-bulan itu gue lagi dikejar sama deadline skripsi. Antara gue bisa lulus dari Unair ngga atau gue bisa bikin visa ke Austria ngga?
Dan sekarang, terulang lagi.. sama kaya dulu. Gue juga berharap kali ini gue gak perlu pakai plan B gue. Gue udah terlanjur jatuh cinta sama (calon) tempat kerja gue di München dan sama rencana-rencana gue selama di München entar (oke fix, gue emang orangnya seneng bikin rencana). Minta doanya ya, guys.
Serius deh, kalau nanti gue bisa bikin visa Bundesfreiwilligendienst gue, dan dapat itu visa tepat waktu, gue bakal lebih hati-hati sama urusan visa. Dan mungkin gue bakal kirim-kirim kartu pos dari München ke beberapa dari kalian secara acak. Gue tahu kalian mampir ke blog gue buat ngecek apa RU uda ada chapter barunya apa belom, tapi please, ngga ada salahnya kan lo juga ngedoain gue (desperate). Serius, guys, gue selalu percaya keajaiban doa. Gue tadi udah SMS ke orangtua gue, ngga nelpon karena di Indonesia sekarang masih pagi buta, buat minta doa sama mereka biar gue bisa dapat janji buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Orangtua gue, keluarga gue, sahabat-sahabat gue, dan lo semua, semua doa kalian. Terima kasih. Apalah gue tanpa kalian (sedaaap).
Ketjup,
Amouraxexa
Published on June 30, 2017 12:33


