Debbie Widjaja's Blog - Posts Tagged "meter-second"
The Unpublished Scene of Meter/Second [Filia]
Aku yakin bahkan Gurun Sahara pun lebih sejuk daripada ini. Begitu aku mulai membungkus diriku dengan kostum dan topeng besar ini, aku mengutuki orang bodoh yang punya usul menjadikan nyata maskot Cactus yang menjadi tajuk Unity Cup. Lalu aku teringat bahwa orang bodoh itu adalah sahabatku sendiri, Rhea.
Baru sepuluh menit kemudian, aku sudah mulai megap-megap. Sekarang giliran aku mengutuki yang merancang bagian kepala kostum ini. Lubang hidung cuma sebesar lubang jarum. Mana bisa orang bernapas dengan normal!
Dari jaring lubang mata aku melihat keramaian pengunjung Unity Cup, ajang pertandingan futsal, basket, dan modern dance yang diselenggarakan sekolahku. Hari ini hari keenam Unity Cup, tinggal sehari sebelum penutupan. Antusiasme mulai menurun, panitia juga sudah lelah. Yang seru hari ini hanya pertandingan semifinal futsal. Karena tim basket kami sudah kalah dari awal, semua warga Unity International School berbondong-bondong menyemangati tim futsal kami yang syukurnya berhasil lolos.
Dan aku bernasib sue sekali untuk mendapat giliran memakai topeng ini, tepat sebelum jam pertandingan. Mana bisa jadi cheerleader berteriak dan melonjak untuk Irvandy. Jatah oksigenku sudah tipis begini.
Sialan.
Aku berkeliling sekitar lapangan, mengamati para pemain yang sedang pemanasan sambil melambai-lambaikan tangan dan menggeolkan pantat, salah satu signature move maskot ini. Di ujung lapangan ada Rhea sedang mengobrol sambil minum teh botol. Ohh, dan di sebelahnya ada sang ketua Student Council yang baru terpilih bulan lalu, Augustin. Cuih. Rhea memang paling gak bisa ngeliat cowok cakep nganggur sedikit.
Aku berlari ke arah mereka, tapi perjalananku distop oleh beberapa pengunjung centil yang ingin berfoto denganku. Memang maskot ini lumayan imut sih, senyum kaktusnya unyu dengan bantalan duri.
Well. Setidaknya dalam wujud ini aku jadi bisa dengan percaya diri merangkul cowok ganteng dari SMA Permata yang bertanding melawan Unity di semifinal ini. Kalau dalam kondisi normal, kayaknya gak bakalan ada cowok yang mengajakku foto.
Kelar berfoto-foto alay, aku kembali celingak-celinguk mencari Augustin dan Rhea. Loh. Tapi yang ada di situ tinggal Rhea, duduk sendirian. Ke mana Augustin? Rasanya langka sekali ada cowok yang rela cepat-cepat pergi saat sudah mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan Rhea. Jangan-jangan Augustin gay…?
BUK!
Mendadak kurasakan hantaman dari pinggir kepalaku dan sekilas kulihat bola basket bergulir. Aku oleng, tangan kaktusku spontan memegangi kepala untuk menstabilkannya. Seketika aku merasa mual. Aku langsung meraih topeng kepalaku, berusaha melepaskannya.
Kampret, nyangkut pula. Aku masih berkutat saat ada tangan yang membantuku meraih resleting di bagian belakang. Dengan sentakan keras ia berhasil membuka topengku.
Udara! Kelegaan yang kurasakan hanya bisa disandingkan seperti sudah menahan kebelet pipis selama tiga jam di mobil karena macet dan akhirnya ketemu toilet. Aku menghirup udara dalam-dalam dengan sumringah.
Puas bernapas, aku berbalik untuk melihat penolongku. Augustin. Ia nyengir dengan tampang bersalah. “Sori yah. Gue yang tadi nimpuk elo.”
Wah. Pantesan dia baik banget nolongin aku buka topeng. Taunya dia juga yang nimpuk.
Aku menggerutu dan siap untuk menumpahkan omelanku, tapi lalu sebuah ide cemerlang melintas.
“Aduh, kepala gue pusing banget nih,” aku memegangi kepalaku dengan tangan. Tapi tanganku masih terbungkus kostum kaktus, dan tentu jemariku tak bisa dipakai untuk memijit-mijit keningku. Ekspresi Agus langsung berubah cemas. “Sini deh, lepasin dulu aja kostum lo. Nanti lo malah pingsan kepanasan lagi.”
“Tapi, Gus,” aku pura-pura menolak, “ini kan masih shift gue. Peraturannya kan sejam penuh ga boleh dilepas.”
Agus membimbingku jalan ke area kantin, sambil bolak-balik menatapku cemas. “Nanti gue yang ngomong sama Rhea,” katanya tegas.
Sampai di kantin, ia membantuku melepas kostum. Setelah memastikanku duduk dengan aman, ia ke tukang minuman dan kembali dengan membawa sebotol minuman vitamin C yang manis bersoda. Wah. Baik juga dia. Kelihatan cuek tapi lumayan gentle, aku mencatat poin plus itu dalam hati.Aku nyaris tak dapat menahan cengiran senangku, tapi lalu aku ingat bahwa aku masih harus berpura-pura lemas.
“Thanks, Gus,” ujarku lemah, sambil membuka botolnya perlahan.
“Gimana? Udah enakan? Kira-kira bisa lanjutin shift lo ga?”
Aku tinggal selangkah lagi menuju kebebasan bisa menonton semifinal futsal dan menyemangati Irvandy sepuasnya. Aku tinggal memainkan peranku dengan hati-hati, sekali lagi. Aku menggeleng dan memasang tampang memelas. “Kayaknya gue gak kuat deh.”
“Kalo gitu lo istirahat dulu aja,” katanya prihatin.
“Tapi kita kan udah komit untuk ada maskot setiap jam, Gus. Nanti berantakan dong.”
Agus mendengus. Akhirnya ia mengeluarkan kalimat yang sedari tadi kutunggu. “Ya udah. Gue gantiin deh.”
YEAAYY! Dengan sukacita aku membantunya memakai kostum kaktus itu. Begitu yakin aku sudah lolos dari tugas, aku menepuk-nepuk kepala kaktusnya, dan melambaikan tangan sebelum ngacir ke lapangan futsal.
Aku yakin kalau si kaktus bisa meluncurkan duri sungguhan untuk menembakku, Agus akan melakukannya dengan geram ketika sadar ia sudah ditipu.
Baru sepuluh menit kemudian, aku sudah mulai megap-megap. Sekarang giliran aku mengutuki yang merancang bagian kepala kostum ini. Lubang hidung cuma sebesar lubang jarum. Mana bisa orang bernapas dengan normal!
Dari jaring lubang mata aku melihat keramaian pengunjung Unity Cup, ajang pertandingan futsal, basket, dan modern dance yang diselenggarakan sekolahku. Hari ini hari keenam Unity Cup, tinggal sehari sebelum penutupan. Antusiasme mulai menurun, panitia juga sudah lelah. Yang seru hari ini hanya pertandingan semifinal futsal. Karena tim basket kami sudah kalah dari awal, semua warga Unity International School berbondong-bondong menyemangati tim futsal kami yang syukurnya berhasil lolos.
Dan aku bernasib sue sekali untuk mendapat giliran memakai topeng ini, tepat sebelum jam pertandingan. Mana bisa jadi cheerleader berteriak dan melonjak untuk Irvandy. Jatah oksigenku sudah tipis begini.
Sialan.
Aku berkeliling sekitar lapangan, mengamati para pemain yang sedang pemanasan sambil melambai-lambaikan tangan dan menggeolkan pantat, salah satu signature move maskot ini. Di ujung lapangan ada Rhea sedang mengobrol sambil minum teh botol. Ohh, dan di sebelahnya ada sang ketua Student Council yang baru terpilih bulan lalu, Augustin. Cuih. Rhea memang paling gak bisa ngeliat cowok cakep nganggur sedikit.
Aku berlari ke arah mereka, tapi perjalananku distop oleh beberapa pengunjung centil yang ingin berfoto denganku. Memang maskot ini lumayan imut sih, senyum kaktusnya unyu dengan bantalan duri.
Well. Setidaknya dalam wujud ini aku jadi bisa dengan percaya diri merangkul cowok ganteng dari SMA Permata yang bertanding melawan Unity di semifinal ini. Kalau dalam kondisi normal, kayaknya gak bakalan ada cowok yang mengajakku foto.
Kelar berfoto-foto alay, aku kembali celingak-celinguk mencari Augustin dan Rhea. Loh. Tapi yang ada di situ tinggal Rhea, duduk sendirian. Ke mana Augustin? Rasanya langka sekali ada cowok yang rela cepat-cepat pergi saat sudah mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan Rhea. Jangan-jangan Augustin gay…?
BUK!
Mendadak kurasakan hantaman dari pinggir kepalaku dan sekilas kulihat bola basket bergulir. Aku oleng, tangan kaktusku spontan memegangi kepala untuk menstabilkannya. Seketika aku merasa mual. Aku langsung meraih topeng kepalaku, berusaha melepaskannya.
Kampret, nyangkut pula. Aku masih berkutat saat ada tangan yang membantuku meraih resleting di bagian belakang. Dengan sentakan keras ia berhasil membuka topengku.
Udara! Kelegaan yang kurasakan hanya bisa disandingkan seperti sudah menahan kebelet pipis selama tiga jam di mobil karena macet dan akhirnya ketemu toilet. Aku menghirup udara dalam-dalam dengan sumringah.
Puas bernapas, aku berbalik untuk melihat penolongku. Augustin. Ia nyengir dengan tampang bersalah. “Sori yah. Gue yang tadi nimpuk elo.”
Wah. Pantesan dia baik banget nolongin aku buka topeng. Taunya dia juga yang nimpuk.
Aku menggerutu dan siap untuk menumpahkan omelanku, tapi lalu sebuah ide cemerlang melintas.
“Aduh, kepala gue pusing banget nih,” aku memegangi kepalaku dengan tangan. Tapi tanganku masih terbungkus kostum kaktus, dan tentu jemariku tak bisa dipakai untuk memijit-mijit keningku. Ekspresi Agus langsung berubah cemas. “Sini deh, lepasin dulu aja kostum lo. Nanti lo malah pingsan kepanasan lagi.”
“Tapi, Gus,” aku pura-pura menolak, “ini kan masih shift gue. Peraturannya kan sejam penuh ga boleh dilepas.”
Agus membimbingku jalan ke area kantin, sambil bolak-balik menatapku cemas. “Nanti gue yang ngomong sama Rhea,” katanya tegas.
Sampai di kantin, ia membantuku melepas kostum. Setelah memastikanku duduk dengan aman, ia ke tukang minuman dan kembali dengan membawa sebotol minuman vitamin C yang manis bersoda. Wah. Baik juga dia. Kelihatan cuek tapi lumayan gentle, aku mencatat poin plus itu dalam hati.Aku nyaris tak dapat menahan cengiran senangku, tapi lalu aku ingat bahwa aku masih harus berpura-pura lemas.
“Thanks, Gus,” ujarku lemah, sambil membuka botolnya perlahan.
“Gimana? Udah enakan? Kira-kira bisa lanjutin shift lo ga?”
Aku tinggal selangkah lagi menuju kebebasan bisa menonton semifinal futsal dan menyemangati Irvandy sepuasnya. Aku tinggal memainkan peranku dengan hati-hati, sekali lagi. Aku menggeleng dan memasang tampang memelas. “Kayaknya gue gak kuat deh.”
“Kalo gitu lo istirahat dulu aja,” katanya prihatin.
“Tapi kita kan udah komit untuk ada maskot setiap jam, Gus. Nanti berantakan dong.”
Agus mendengus. Akhirnya ia mengeluarkan kalimat yang sedari tadi kutunggu. “Ya udah. Gue gantiin deh.”
YEAAYY! Dengan sukacita aku membantunya memakai kostum kaktus itu. Begitu yakin aku sudah lolos dari tugas, aku menepuk-nepuk kepala kaktusnya, dan melambaikan tangan sebelum ngacir ke lapangan futsal.
Aku yakin kalau si kaktus bisa meluncurkan duri sungguhan untuk menembakku, Agus akan melakukannya dengan geram ketika sadar ia sudah ditipu.
Tentang Kelanjutan Meter/Second
Kamu tahu, tokoh-tokoh dalam novel fiksi sebenarnya punya kemauan sendiri. Kamu pikir penulislah yang menggerakkan pena dan mengetikkan rangkaian kalimat yang menentukan tindakan si tokoh. Padahal tidak. Si tokoh pun punya keinginan sendiri, ia yang mendadak bertingkah laku di luar dugaan dan sang penulis harus pasrah dipimpin oleh tokoh tersebut.
Aku dan Kent menulis kisah Agus dan Filia di novel Meter/Second. Novel yang sejak awal kurencanakan menjadi novel bersambung. Akhir novel Meter/Second adalah pertemuan Agus dan Filia di bandara. Novel lanjutannya seharusnya mengisahkan perjalanan mereka di sana. Filia akan pacaran dengan Timothee, sahabat Agus. Barulah Agus merasa kehilangan dan sedikit cemburu. Blablabla, hingga mereka berdua pergi ke summer class di Italia dan setelah sebulan keliling Eropa bersama, mereka baru mengakui perasaan masing-masing.
Seharusnya.
Plot sudah dibuat, bahkan setengah novel sekuel Meter/Second sudah rampung ditulis. Tapi lalu tokoh-tokoh ini memberontak. Filia punya jalan lain yang ingin ia tempuh. Ia memang putus dengan Timothee, tapi bukan berarti ia ingin bersama Agus. Filia mulai bekerja part time dan bertemu teman-teman lain yang lebih dewasa dan menarik baginya. Bukan berarti Agus tak cukup baik untuk Filia. Mereka hanya… tumbuh ke arah yang berbeda.
Kamu mungkin pernah juga mengalaminya. Persahabatan semasa SMP yang mulai renggang saat masuk SMA. Kamu tadinya bisa ngobrol berjam-jam di telepon dengan teman baikmu, tapi sekarang terasa garing dan tak senyambung dulu.
It happens. Sometimes when people grow, they grow apart. And sometimes it’s better to quit while you are ahead, while you still have lovely memories to preserve.
Jadi tolong maafkan Filia dan Agus yang tak bisa melanjutkan kisah mereka. Mungkin suatu hari nanti, akan ada kisah tentang Filia seorang. Akan ada kisah tentang Agus seorang. Bahkan bisa jadi, di tahun-tahun mendatang, jalan mereka kembali bersilang. Tapi untuk saat ini… Biarlah mereka melepaskan gandengan tangan, meniti jalan sendiri menuju masa depan yang penuh tanya.
Aku dan Kent menulis kisah Agus dan Filia di novel Meter/Second. Novel yang sejak awal kurencanakan menjadi novel bersambung. Akhir novel Meter/Second adalah pertemuan Agus dan Filia di bandara. Novel lanjutannya seharusnya mengisahkan perjalanan mereka di sana. Filia akan pacaran dengan Timothee, sahabat Agus. Barulah Agus merasa kehilangan dan sedikit cemburu. Blablabla, hingga mereka berdua pergi ke summer class di Italia dan setelah sebulan keliling Eropa bersama, mereka baru mengakui perasaan masing-masing.
Seharusnya.
Plot sudah dibuat, bahkan setengah novel sekuel Meter/Second sudah rampung ditulis. Tapi lalu tokoh-tokoh ini memberontak. Filia punya jalan lain yang ingin ia tempuh. Ia memang putus dengan Timothee, tapi bukan berarti ia ingin bersama Agus. Filia mulai bekerja part time dan bertemu teman-teman lain yang lebih dewasa dan menarik baginya. Bukan berarti Agus tak cukup baik untuk Filia. Mereka hanya… tumbuh ke arah yang berbeda.
Kamu mungkin pernah juga mengalaminya. Persahabatan semasa SMP yang mulai renggang saat masuk SMA. Kamu tadinya bisa ngobrol berjam-jam di telepon dengan teman baikmu, tapi sekarang terasa garing dan tak senyambung dulu.
It happens. Sometimes when people grow, they grow apart. And sometimes it’s better to quit while you are ahead, while you still have lovely memories to preserve.
Jadi tolong maafkan Filia dan Agus yang tak bisa melanjutkan kisah mereka. Mungkin suatu hari nanti, akan ada kisah tentang Filia seorang. Akan ada kisah tentang Agus seorang. Bahkan bisa jadi, di tahun-tahun mendatang, jalan mereka kembali bersilang. Tapi untuk saat ini… Biarlah mereka melepaskan gandengan tangan, meniti jalan sendiri menuju masa depan yang penuh tanya.
Published on March 09, 2016 14:13
•
Tags:
meter-second, sekuel, teenlit


