Shin Haido's Blog

September 7, 2021

APA KABAR?



Hai, semuanya. Sudah lama sekali terakhir saya menyapa para pembaca. Bahkan email-email dan inbox yang masuk, baik di facebook, wattpad dan sosmed saya yang lain tidak sempat saya jawab, karena mungkin sudah terlalu lama, dan emailnya sudah hangus karena kelamaan tidak pernah saya buka. Jadi kemungkinan email-email yang masuk dulu kehapus. 


Sekarang, saya mulai main sosmed lagi, kalau ada teman-teman yang ingin sekedar mengobrol, atau mungkin bertanya-tanya, atau berkenalan, bisa hubungi saya di beberapa akun saya, antaranya: 

Facebook: Shin Haido 
FB Page: myowndramastory
Instagram: Shin Haido 
Wattpad: Shin Haido
Karyakarsa: Shin Haido 
Twitter: Shin Haido 
Email: myowndramastory@gmail.com 

Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat dan masih bertahan dalam keadaan yang tidak pasti ini. Badai pasti akan berlalu, dan kita akan sanggup melewatinya. Semangat, semuanya!!! 


Salam, 

Shin Haido. 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 07, 2021 04:34

February 13, 2016

Hai, dear lovely Readers...



Halo semuanya yang masih setia mampir ke sini untuk membaca kembali ataupun yang baru berjumpa dengan blog myowndramastory, apa kabarnya semua? 
Mungkin ada yang bertanya-tanya, kapan nih cerita-cerita di sini akan dilanjutkan (di-tamat-kan), atau kenapa sih penulisnya gak bikin cerita baru lagi, dan berbagai pertanyaan lain yang mungkin terbersit saat teman-teman mampir ke sini, dan bahkan menyibukan diri untuk sekedar mengirim email ke email penulis. Well... saya hanya bisa mengucapkan terima kasih untuk perhatian dan penghargaannya. Namun apa daya saya sendiri sudah merasa tidak ingin menulis lagi. Keinginan itu sudah jauh terpendam mungkin karena belum menemukan sebuah kekuatan ataupun passion untuk menuliskan khayalan yang masih terpenggal itu untuk menjadikannya lengkap. 

Saya tentu juga menyayangkan hal itu. Karena pada saat menulis, saya bisa mengungkapkan banyak hal di dalam hasil tulis itu. Baik itu berupa cerita, buah pikiran, imajinasi, ataupun hal-hal yang bisa dipetik hikmahnya oleh pembaca. 
Tapi kadang kala ketika suatu hal sudah tidak bisa dinikmati lagi, hasil yang tercipta (apabila tetap dipaksakan untuk dilakukan) tidak akan memberikan sesuatu yang memuaskan. Bahkan bisa dikata, hasilnya sama sekali tidak mampu menceritakan sebuah kisah sebagaimana pantasnya kisah itu diceritakan. Sehingga saya merasa sangat tidak adil bagi kisah itu dan tokoh-tokoh di dalamnya apabila saya memaksakan cerita yang terpaksakan itu kepada mereka. 
Hei... saya memang menganggap tokoh-tokoh itu hidup walau hanya di dalam khayalan belaka. Tapi kalian juga merasakannya, bukan? Saat dimana hati menjadi berat ketika ikut bergabung di dalam dunia sebuah kisah, melihat kesedihan, bahagia melihat keindahan... karena mereka memang hidup, dan kita semualah yang menghidupkan mereka di dalam hati dan khayalan kita. 

Hingga hari ini, detik ini... saya belum sanggup memberikan sebuah akhir yang pantas untuk mereka sehingga saya menunda dan entah kapan mungkin penantian itu berakhir. Hingga hari itu tiba, saya hanya berharap para pembaca yang telah setia selama ini masih menyisakan ruang walau setitik bagi kedatangan akhir itu. 
Salam 

Shin Haido 
p.s I read the emails, but maybe I won't reply it as soon as possible. I'm totally tired of writing.... 
 •  2 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 13, 2016 03:43

January 20, 2015

FANFIC Topeng Kaca - Langit Sejuta Bintang - Part 4


Masumi menatap hasil ikan tangkapannya dengan puas. Walau dia bermaksud untuk memanggang semua hasil tangkapan ikan itu, tapi dia tidak yakin bila mereka bisa menghabiskan semuanya.
“Apa yang harus aku lakukan pada ikan-ikan ini?” tanyanya bingung. Dia melihati ikan-ikan itu dengan tak berdaya. Meski demikian, Masumi yang pernah belajar membersihkan ikan dari tukang kebun yang dulu sering membersihkan kolam ikan di rumah Hayami, dengan mudah merobek perut ikan-ikan itu untuk membersihkannya dari kotoran. Hanya dalam sepuluh menit Masumi telah berhasil melakukan pekerjaan yang cukup bagus.
“Lalu ranting-ranting ini bisa kugunakan untuk memanggang ikan-ikan ini. Hm.. mungkin mengasapinya sehingga bisa kami makan untuk esok hari?” tanyanya kurang yakin.
“Pak Masumi, anda sedang apa?” tanya Maya yang muncul dari balik pintu gubuk.
Masumi berbalik menghadap ke arah Maya yang baru saja kembali dari danau. Masumi terpana untuk beberapa saat sebelum mengatupkan bibirnya lagi. Dia belum pernah melihat penampilan Maya seperti yang dia lihat sekarang. Bahkan untuk membayangkannya pun Masumi tidak berani.
Maya dengan rambut hitam berkilaunya yang basah sehabis mandi, dengan kain menutup dadanya hingga ke batas lutut –yang dia dapatkan dari lemari usang di dekat ranjang papan, gadis itu tidak tahu betapa hebat pengaruh yang dia tancapkan pada Masumi. Pria dewasa itu pun menelan ludahnya.
“A...aku sedang memanggang ikan-ikan ini. Kau ada ide bagaimana kita akan memasaknya selain dipanggang?” tanya Masumi, mengalihkan pandangannya kembali ke arah ikan-ikan malang itu.
Dengan lincah, Maya menghampiri Masumi, berjongkok di sampingnya tanpa sedikit pun pikiran negatif menghampiri. Maya tidak pernah menyadari bahaya apa yang bisa terjadi bila dia hanya berduaan dengan seorang pria. Dan pria itu adalah seorang Masumi Hayami, yang walaupun terkenal dingin terhadap wanita, namun bukanlah alasan bagi Maya untuk tidak bersiaga. Mereka hanya berduaan di lembah itu, dan apa pun bisa terjadi.
“Mungkin kita bisa merebusnya? Aku melihat sebuah guci dari tanah liat di sebelah gubuk ini. Mungkin penjaga kuil memakainya untuk merebus air minum?” tanya Maya pada Masumi, memberikan sarannya.
Masumi mengangkat alisnya, bukan karena mendengar saran brilian dari Maya, melainkan karena melihat lekuk yang tak sepantasnya dia lihat ketika melirik ke arah Maya. Dia pun menjawab dengan gelagapan.
“Me...merebus dengan guci?”
Maya mengangguk, seringaian lebar terlukis di wajahnya, dengan riang dia berdiri dan keluar dari gubuk, mencari guci yang dilihatnya tadi.
“Aku sudah membersihkan guci ini dengan air hujan yang tertampung di kendi, mungkin kita bisa merebus air dulu untuk kita minum? Aku rasa di dalam lemari juga terdapat beberapa gelas dari bambu. Rupanya dulu penjaga kuil pernah menginap di sini,” jelas Maya.
Dia membuka lemari, mengeluarkan dua buah gelas dari bahan bambu, dua buah piring dari tembikar, bahkan dia menemukan sebuah ceret teh yang terbuat dari tanah liat.
“Lihat, ada kotak kayu cukup besar di dalam sini. Akan aku keluarkan,” kata Maya bersemangat.
Dengan tubuh mungilnya dia berusaha menarik kotak kayu yang berat itu. Dia kewalahan, hampir tersungkur ke belakang bila saja Masumi tidak sigap menangkapnya.
“Huft!! Kau tak apa-apa?” tanya Masumi, otomatis tubuh mereka saling bertubrukan, dan Masumi dapat merasakan lembutnya tubuh Maya menempel pada tubuhnya. Dua kali dia menelan ludahnya.
Maya menggigiti bibirnya, dia mengira memiliki cukup tenaga untuk menarik kotak itu, rupanya dia salah perkiraan.
“Kotak itu berat,” jawabnya.
“Biar aku yang mengeluarkannya.”
Masumi melepaskan tangannya dari pundak Maya, tubuhnya yang bergetar akibat sentuhan tubuh mereka coba disembunyikannya. Dia merutuki dirinya karena begitu mudahnya terpengaruh hanya dengan sentuhan kecil itu.
“Itu bukan sentuhan kecil. Aku menangkap dada mungilnya,” bisik Masumi dalam hati.
Kata-kata yang timbul di dalam kepalanya hanya menambah kegelisahan Masumi akan penyangkalan tubuhnya yang tertarik dengan Maya. Selama ini dia bisa bertahan, seharusnya dia bisa bertahan semalam lagi.
Kotak itu berat, tapi Masumi berhasil mengeluarkannya. Kotak yang tidak bergembok itu dengan mudah dibuka, dimana terdapat sebuah selimut dan beberapa kain di dalamnya. Mereka cukup beruntung bisa menghabiskan malam ini tanpa kedinginan ekstrem.
“Selimut ini cukup untuk kita berdua,” ujar Masumi sembari menoleh ke arah Maya sebelum melanjutkan, “...hanya bila kita duduk berdampingan,” lanjutnya.
Tidak ada ekspresi terkejut pada mata Maya, alih-alih, Masumi lah yang merasa tak nyaman dengan ide itu. Bukan, dia tidak keberatan membagi selimut itu bersama Maya, bahkan, dia ingin memberikan selimut itu untuk Maya meski dirinya mati kedinginan. Namun, berdekatan dengan Maya akan membangkitkan sesuatu yang telah lama dia kekang, belasan tahun, dan itu waktu yang cukup lama untuk seorang pria dewasa sepertinya.
Sejak Masumi mengenali cintanya pada Maya, dia kerap mendapatkan mimpi yang tidak bisa dia tolak. Saat terbangun di pagi hari, Masumi merutuki dirinya karena tidak mampu mengontrol tubuhnya. Sekeras apa pun dia berusaha untuk mengekang satu ‘hal’ itu, Masumi tidak bisa membohongi tubuhnya. Sejak saat itu pulalah Masumi selalu melakukan apa yang seharusnya dia lakukan bila tidak ingin pengurus rumah tangganya curiga dengan apa yang mereka temukan pada selimutnya di pagi hari.
“Aku akan merapikan selimut dan kain-kain ini. Setelah itu, aku akan bergabung denganmu memanggang ikan-ikan itu. Kelihatannya menyenangkan,” ujar Maya yang telah melupakan keberadaan mereka yang terkunci di dalam lembah tanpa akses keluar.
Maya berusaha melupakan kemalangan mereka. Saat dia berenang seorang diri di dalam danau, Maya memutuskan untuk menggunakan waktu berharga ini bersama Masumi. Karena dia tahu, apa yang terjadi di dalam lembah ini tidak akan terjadi lagi di luar sana. Masumi akan kembali menganggapnya anak kecil, hanya sebuah obyek yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomis bagi perusahannya, sebuah nama yang bisa diatur dengan kekuasaannya.
Maya menolak untuk diatur. Dia adalah seorang manusia. Seorang gadis yang memiliki perasaan. Hatinya milik Masumi, dan Maya ingin melakukan yang benar, setidaknya di dalam lembah Bidadari Merah ini. Untuk sekali saja dalam hidupnya, Maya ingin memberanikan diri untuk menggapai cintanya, seperti bidadari merah yang melepaskan jati dirinya untuk hidup bersama orang yang dicintainya. Itulah pengorbanan Maya untuk cintanya. 
Part 3 
DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 20, 2015 22:47

Cinta Tak Perlu Benar - Chapter 3


Pukul tiga dini hari, Kenzo turun dari kamarnya untuk mencari segelas air dingin dari dalam kulkas. Dia hampir melupakan letak setiap ruangan di dalam rumah itu. Namun satu ruangan tak akan pernah dilupakannya.
Dengan langkah perlahan, Kenzo menuju sebuah kamar di sudut lantai dua, pada sudut jauh dari kamarnya sendiri. Pada ruangan yang dulu sering dikunjunginya pada jam-jam tertentu di kala malam telah larut.
Pintu itu terkunci, namun Kenzo tahu bagaimana cara membuka kunci kamar itu. Dia telah memiliki kunci cadangannya yang telah disimpannya rapat-rapat dan tersembunyi di sebuah celah pada lubang di tembok yang ditutupinya.
Ruangan itu diterangi lampu remang-remang yang bersinar dari lampu di atas meja belajar. Lampu temaram itu menerangi sebuah wajah yang tengah tidur terlelap di atas ranjang berseprai hijau muda, warna kesukaan wanita itu.
Tangan Kenzo meneliti setiap pigura dengan foto-foto di dalamnya. Foto wanita itu sedang tersenyum. Senyum kecil, seringaian kecil, senyum kecil lagi, bahkan saat seharusnya semua orang tertawa lebar, wanita di dalam foto itu hanya tersenyum kecil. Tak ada lagi senyum lebar dan tawa terbahak-bahaknya, semua disebabkan oleh dirinya, oleh Kenzo yang begitu bengis padanya, pada Karina, adik seayahnya.
Ditariknya sebuah kursi ke pinggir ranjang, diperhatikannya dengan seksama wajah itu, wajah yang tak akan pernah mampu dienyahkannya dari ingatannya, dari hatinya. Tangannya menyentuh sebelah tangan wanita itu, mengelusnya dengan sayang, dengan penuh kerinduan, lalu dikecupnya pelan. Dibawanya telapak tangan wanita itu ke pipinya, merasakan lembutnya tangan itu pada kulitnya, mencium wangi bunga melati dari jari jemarinya yang lentik, jari jemari yang dulu adalah miliknya, yang selalu dikecupnya saat mereka masih belum mengetahui kenyataan menyakitkan itu.
Perlahan kelopak mata lentik itu membuka, tangannya masih digenggam erat oleh Kenzo yang menatapnya tanpa kedip, ekspresi dinginnya masih di sana, masih menyelimuti bola mata berwarna coklat kelam itu.
“Kenzo? Apa yang kau lakuka...?” tanya Karina namun tak berhasil menyelesaikan kalimatnya karena telapak tangan Kenzo telah menutupi mulutnya.
“Shhh... Kalau kau berjanji tidak bersuara, aku akan melepaskan tanganku. Kau mau diam?” tanya Kenzo.
Karina mengangguk, mendengar suara Kenzo telah membangkitkan kerinduan dalam hatinya akan laki-laki di depannya, meskipun dia tahu kesakitan apa yang akan menunggu kemudian.
Kenzo melepaskan dekapan tangannya dari bibir Karina, namun tangannya yang masih menggenggam tangan gadis itu tak dilepasnya. Kenzo masih memegangi tangan kanan Karina dengan erat.
“Apakah kau merindukanku?” tanya Kenzo tiba-tiba.
Karina bingung dengan pertanyaan itu. Dia begitu ingin menjawab, namun mengingat perbuatan dan penghinaan Kenzo padanya dulu, Karina tak berani asal bicara. Dia tidak ingin Kenzo menyakitinya lagi. Karina masih ingat dengan jelas bagaimana laki-laki di depannya ini menyakitinya meski hanya dengan kata-kata tajam yang selalu keluar setiap kali mereka bersama.
Ketika bibirnya bergerak hendak menjawab pun, Kenzo telah memotongnya, “No... no... tak usah kau jawab. Bukankah sudah kukatakan dulu, kau tak perlu menjawab setiap pertanyaanku, karena aku tak ingin mendengar suaramu yang buruk itu,” dengus Kenzo sinis.
Tangannya mengelus pipi Karina, dengan cibiran sinis dia mendekatkan wajahnya pada wajah Karina hingga mata mereka tertaut sempurna.
“Kau pasti merindukanku, kan? Karena aku tahu kau masih tidak bisa melupakanku. Dasar wanita jalang!!” sungut Kenzo marah.
Dihempaskannya tangan Karina yang tengah dipeganginya dan mengunci dagu wanita itu dengan kasar.
“Kenapa kau tidak bisa melupakanku, hah? Tidakkah ada laki-laki yang mengisi hatimu? Atau setidaknya melirikmu? Laki-laki yang bisa membuatmu melupakanku?!” Dengan kasar Kenzo mencium bibir Karina, ciuman kasar yang selalu diberikannya pada adiknya itu, ciuman kasar yang selalu berubah menjadi lembut dan membutuhkan, ciuman yang membabat habis segala kebencian dalam hati Kenzo, ciuman yang menggantikan kebencian dengan sakit hati.
“Kenapa kau tidak bisa melupakanku meskipun sudah banyak laki-laki yang kau tiduri, Karina?” Tangan Kenzo bergetar menyentuh bibir Karina, mengelus bibir basah itu dan mengecupnya pelan. “Kau... mengapa kau tidak bisa melepaskan hatiku dan membebaskanku? Mengapa kau mengurung hatiku dalam dirimu? Mengapa?? Apa yang harus kulakukan agar bisa melupakanmu? Agar bisa mengenyahkanmu dari hidupku?!!!” desis Kenzo marah, desisan yang lebih berupa isakan tangis penuh kesakitan.
Mereka berdua menangis, air mata berlinang-linang pada Karina, dan mata yang berkaca-kaca pada Kenzo dan gertakan giginya yang semakin mengeras.
Kenzo menjatuhkan kepalanya ke samping kepala Karina, menangis terisak sambil memeluk tubuh gadis itu, isakan yang mengiris-iris hati keduanya, isakan yang selalu mereka perdengarkan selama lima bulan lamanya dulu mereka bersama di dalam rumah ini sebelum akhirnya Kenzo pergi ke Amerika.
“Kau kejam, Karina... Kau tidak ingin mengembalikan hatiku... Kau juga tidak ingin membuangnya.... Mengapa...?? Mengapa kau mencintaiku begitu dalam, Karina....???”  
Karina menangis lagi, dipeluknya tubuh Kenzo yang bergetar di atasnya. Tubuh Kenzo jatuh tak berdaya memeluk Karina, mereka menangis bersama hingga dentang pukul empat pagi berbunyi.
Kenzo pun melepaskan pelukan mereka. Tanpa mengusap air matanya, Kenzo pergi meninggalkan kamar Karina, meninggalkan sebuah kalimat yang dia tujukan untuk melukai gadis yang ditinggalkannya. Kalimat yang sama yang dulu selalu dia ucapkan sebelum pergi dari kamar itu.
“Jangan cintai aku lagi, karena aku sudah tak mencintaimu.”
Pintu itupun tertutup dengan tubuh Kenzo merosot dan menangis terisak di baliknya. Kedua tangannya memeluk lututnya, tubuhnya bergetar menahan isak tangis yang mendesak keluar. Hingga setengah jam lamanya Kenzo masih duduk tak berdaya di sana, dia kembali ke kamarnya hanya untuk mengambil sebungkus rokok yang dihisapnya di teras depan seorang diri. Pukul enam pagi, Susi pun bangun dan bersiap-siap pergi ke pasar dengan pembantu rumah tangga mereka.
Suasana pagi pertama di Indonesia setelah lima tahun lamanya Kenzo pergi tak juga dapat merubah suasana hati pria muda itu yang telah hancur berkeping-keping.
Tak akan pernah ada jalan bagi cinta mereka dan Kenzo hampir gila memikirkannya.
~*~*~*~
“Aku berangkat, Ma, Pa,” ujar Karina yang terburu-buru dari tangga kamarnya.
“Lho, gak makan dulu?” tanya Susi pada anaknya.
“Enggak, Ma. Enggak keburu. Harus ke apotik dulu beli obat buat persediaan kemping nanti juga. Jadi harus nunggu angkot yang lebih pagi.”
Alis Kenzo berjengit mendengar Karina masih memakai angkot sebagai kendaraannya. Sebagai anak dari pengusaha kaya, Karina bisa saja mengendarai mobil mewah keluaran terbaru. Kenyataan itu menarik perhatian Kenzo. Namun Deddi telah mendahuluinya.
“Kok gak minta dianterin Kenzo aja? Ken, anterin adikmu, lah,” pinta Deddi pada Kenzo yang masih mengupas pisang dengan santai.
Kenzo tak menjawab hingga Karina telah mencapai pintu luar ketika dia berteriak, “Tunggu! Biar aku yang ngantar.” Kenzo kemudian menyambar kunci Mercedes Benz yang tergantung paling pinggir.
“Ver, gak ikut? Sekalian jalan-jalan,” panggil Kenzo pada Veronica yang masih sibuk mengoleskan selai coklat pada roti tawarnya.
“Tapi aku masih makan,” rengek Veronica manja.
“Nanti saja makan di luar. Kalau tidak, aku tak akan mengantarkanmu kemana-mana,” ketus Kenzo lagi. Dia telah keluar mencari mobil yang baru saja selesai dicuci oleh sopir rumah mereka.
“Kau duduk di belakang saja,” ujarnya pada Karina, lalu menoleh ke arah Veronica, “Ver, depan,” perintah Kenzo pada Veronica yang cemberut namun duduk dengan patuh.
Di dalam mobil mereka tidak banyak bicara, hanya cuap-cuap Veronica yang mewarnai perjalanan. Sesekali Kenzo akan mencium pipi Veronica yang risih karena Kenzo melakukannya di depan Karina, namun gadis itu memalingkan wajahnya, tak ingin melihat. Bahkan saat di pemberhentian lampu merah, Kenzo sengaja melumat bibir Veronica dengan rakus hanya untuk menyakiti Karina yang kemudian keluar dari mobil karena tidak tahan dengan perbuatan Kenzo.
Kenzo tidak mengejarnya, dia melepaskan ciumannya dari Veronica tepat setelah Karina berhasil keluar dari mobil. Karina berlari ke arah keramaian dan menghilang di sebuah gang tak jauh dari rumah penduduk. Di sana Karina mengeluarkan segala isi hatinya, tangisannya begitu pilu dan tak mampu ditanggungnya lagi.

Dengan tangan erat mencengkeram kemudinya, Kenzo meninggalkan Karina seorang diri di dalam keramaian itu. 
Part 2 
DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 20, 2015 10:38

January 2, 2015

Cinta Tak Perlu Benar - Chapter 2


Di dalam kamar president suite hotel Nirwana, sebuah hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Timur, Windy dan seorang pria muda baru saja menghabiskan sore yang panas selama tak kurang dari lima jam lamanya.
Meski usianya yang sudah empat puluh empat tahun dan memiliki seorang anak berusia dua puluh dua tahun, Windy tetap menjaga penampilan tubuhnya dengan aktivitas gym yang teratur. Sudah lima tahun lamanya sejak suaminya menikahi istri keduanya, Susi.
Mereka dulu bersahabat baik, meskipun Windy mengakui dia sengaja merebut Deddi walau tahu Susi juga memiliki perasaan yang sama terhadap laki-laki itu. Tapi Windy beranggapan, siapa cepat, dialah yang akan memenangkan perebutan itu. Windy menang dan Susi kalah, wanita itu menghilang setelah mengetahui Windy hamil terlebih dulu.
Windy berdecak sinis, dia tidak peduli dengan perbuatan suaminya di luaran. Dari awal mereka menikah, Windy telah mengetahui perbuatan serong suaminya yang senang bermain wanita. Dari gadis-gadis remaja hingga sekretarisnya pernah ditiduri oleh Deddi dan Windy hanya memandang dengan sebelah mata. Selama suaminya itu tidak mencampuri hobinya, Windy tak akan mempermasalahkan kelakuan suaminya. Rumah tangga mereka berdiri pun hanya sebagai penguat status sosial di masyarakat walaupun ranjang mereka telah lama dingin.
Windy tidak memerlukan Deddi lagi untuk menghangatkan ranjangnya. Telah banyak laki-laki muda yang dipelihara Windy yang mampu memuaskan hasrat seksualnya, dia tidak perlu suaminya untuk urusan itu. Meski sebagian kecil hatinya terluka ketika mengetahui bagaimana Deddi berubah setelah menikahi Susi, suaminya itu tidak pernah lagi bermain wanita. Nampaknya Deddi telah bertobat dan cukup dengan seorang Susi.
“Huh!! Laki-laki di mana-mana sama saja. Kalau ada yang lebih bagus, yang lama pasti ditinggalkan!!” ketusnya kesal.
Billy, seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta mengelus pundak Windy dengan mesra, “Kamu masih kesal dengan suamimu? Bukankah sudah lima tahun lamanya mereka menikah?” ujarnya sembari mengecup pundak wanita itu.
Windy tertawa renyah, dia sangat suka ketika Billy menciumi tubuhnya, memperlakukannya seperti seorang gadis remaja yang baru saja mengenal cinta. Billy pada usianya yang ke dua puluh empat tahun, telah mengenal begitu dalam dunia seperti ini.
Sebelum bertemu dengan Windy, Billy hanyalah seorang mahasiswa drop out yang bekerja sebagai instruktur gym di tempat Windy berlatih. Mereka bertemu dan bercakap-cakap hampir setiap hari. Dari sanalah kemudian Windy tertarik padanya dan menawarkan kesempatan yang tak akan pernah diimpikan oleh Billy sebelumnya.
Billy cukup tampan dan gagah, dengan otot kokoh dan tubuh yang terbentuk sempurna dengan latihan gymnasium setiap hari, dadanya yang bidang, Billy adalah dambaan para wanita yang berlatih di sana. Namun hanya seorang Windy yang berhasil membujuknya untuk menjalin hubungan istimewa dan terlarang itu yang telah berjalan selama dua tahun lamanya.
Billy adalah gigolo keenam yang dipelihara Windy setelah sebelumnya Maestro ditendangnya karena laki-laki itu tertangkap tangan sedang mencuri perhiasan milik Windy.
Selama dua tahun mereka berhubungan, Billy terbukti sebagai pria yang pengertian dan menyayangi Windy, dia tidak bisa mengharapkan perlakuan yang lebih baik dari pria muda ini.
“Kau memang tahu bagaimana membuat perasaanku sejuk, Bil... Sudahkah aku bilang betapa aku beruntung bertemu denganmu?” tanya Windy senang, tangannya membelai dada bidang pria muda itu dengan genit, mengalungkan kedua tangannya pada leher kokohnya.
“Setiap saat, Sayang... kau mengatakannya setiap saat. Dan aku tidak akan pernah bosan mendengarnya.”
Windy terkikik senang, mereka bergulingan di atas ranjang, saling cumbu, saling rayu, sesekali berciuman dengan mesra.
“Ayo... sudah sore, kita akan melihat mobil yang kubelikan untukmu. Kau pasti suka. Zaman sekarang anak-anak muda sangat senang menggunakan mobil seperti ini,” ajak Windy sembari menarik bangun tangan Billy yang masih menggeliat di atas ranjang.
“Hm... apa kita harus? Aku masih ingin berduaan denganmu di sini, Sayang...” rengek Billy manja.
“Kau harus, Baby.... Aku sudah bosan pergi ke hotel terus, sekalian melihat rumah baru kita. Lengkap!! Kau pasti betah mengerjakan tugas-tugas kuliahmu di sana, dan aku akan menungguimu seharian,” kikik Windy senang. Dia mengenakan perhiasan dan pakaiannya kembali.
Dengan malas Billy memungut pakaiannya dan mengikuti Windy menuju ruang tamu kamar hotel itu.
“Kau tidak harus melakukannya, Sayang. Aku tidak ingin kau merasa aku hanya memanfaatkanmu.” Billy mengerutkan dahinya, meskipun dia menyadari statusnya hanya sebagai pemuas nafsu Windy, Billy tidak pernah berharap akan mendapatkan kemewahan dari wanita itu. Mencukupi biaya hidup dan kuliahnya pun Billy telah bersyukur, dia tidak pernah meminta apa pun dari Windy, itulah yang membuat wanita setengah baya ini begitu menyayanginya.
“Kau tahu aku melakukannya karena aku ingin. Bila menunggu kau memintanya dariku, aku sudah keburu miskin, Billy Sayang....”
Billy menghela nafasnya menyerah, dia sungguh tidak bisa mendebat wanita ini. Billy mencintai Windy, meskipun setengah dari perasaannya hanyalah perasaan sayang kepada seorang ibu yang tak pernah dimilikinya. Billy tersenyum hangat pada wanita itu, senyuman yang mampu melelehkan hati beku siapapun.
“Baiklah kalau kau bersikeras,” jawab Billy akhirnya. Windy menyeringai senang dan menggamit lengan Billy menuju lobi hotel.
Di kejauhan, seorang laki-laki muda baru saja keluar dari koridor lain hotel itu. Dia menggandeng seorang wanita yang berusia dua tahun lebih muda darinya. Saat melihat Windy dan Billy bergandengan tangan dengan riang, tubuhnya membeku. Seberapa lama dia hanya diam, namun setelah pasangan itu menghilang, dia mendengus.
“Huh... memang semua sudah rusak!!” dengusnya kesal.
Wanita yang berdiri di sampingnya tertawa pelan, “Mengapa kau bilang begitu? Bukankah itu ibumu, Ken?” tanya wanita itu.
“Ya, dia ibuku...,” jawabnya dingin.
Kenzo dan wanita itu kemudian masuk ke dalam sebuah mobil Mercedes Benz yang telah menunggu selama dua jam di depan lobi hotel.
“Tuan Kenzo....”
“Apa Daddy ada nelphone?” tanya Kenzo pada sopirnya.
“A...ada Tuan, saya bilang seperti yang Tuan suruh,” jawab sopirnya gelagapan.
Kenzo berdecak sinis, “Bagus,” jawabnya datar.
“Kau yakin tidak apa-apa kita menginap dulu di hotel sebelum pulang ke rumahmu, Ken?” tanya wanita itu lagi.
“Sudahlah, Ver. Aku punya alasan mengapa aku melakukannya, tak usah banyak tanya!”
Veronica, wanita yang duduk di samping Kenzo itu hanya mengangkat bahunya tak peduli, dia memperbaiki riasan wajahnya yang sebenarnya tak perlu diperbaiki, hanya karena itu adalah kebiasaannya saja. “Whatever...”jawabnya dengan logat American English.
Kenzo membuka jendela di samping tempatnya duduk, menghembuskan rokoknya keras-keras. Sudah lima tahun dia meninggalkan negara ini untuk kuliah di Amerika, bahkan tak sekalipun dia pulang meski untuk menjenguk ayah atau ibunya.
Kenzo tidak bisa pulang, dia tidak ingin pulang. Hatinya sakit bila harus memikirkan bertemu dengan orang yang paling dibencinya, orang yang paling ingin dibunuhnya bila dia sanggup.
Orang yang telah menghancurkan hati dan harapannya akan cinta.
Orang yang paling dicintainya.
“Karina...,” bisik Kenzo lirih.
~*~*~*~
“Tuan Kenzo, sudah sampai,” ujar sopir pada Kenzo yang masih larut dalam dunianya sendiri.
Kenzo mengerjapkan matanya, memandang pada penampilan rumahnya yang baru. Selama lima tahun ini telah banyak renovasi yang dilakukan Deddi pada rumah keluarga mereka. Menambah jumlah kamar, melebarkan beberapa kamar, hanya untuk menyesuaikan dengan anggota baru rumah itu.
Susi dan Karina. Ibu – anak yang paling dibenci oleh Kenzo.
Meski dia tidak menampakkan kebenciannya secara langsung pada Sang Ibu, namun kebencian Kenzo dengan gamblang terlihat pada Karina. Kenzo tak akan pernah memaafkan wanita itu, meski dia tidak ingin memikirkan mengapa rasa benci itu begitu besar hingga menghancurkan dirinya.
“Kau yakin ingin aku tinggal di sini?” tanya Veronica lagi. Mereka telah berdiri di undakan menuju ruang depan rumah mewah itu.
“Kenapa? Kau ingin pulang ke Amerika? Bukankah di sini kau tidak memiliki siapapun?” tanya Kenzo acuh.
“Ehm... entahlah, aku rasa kau segan mengajakku tinggal di sini,” ujar Veronica tak mempedulikan air muka Kenzo yang berubah.
You’re too much talking bullshit!” ketus Kenzo lagi. Veronica hanya menjulurkan lidahnya pada laki-laki itu.
Kenzo dan Veronica telah berhubungan selama dua tahun lamanya. Mereka berkenalan di kampus tempat mereka kuliah. Kenzo yang lulus tahun ini, sedangkan Veronica masih harus menempuh dua tahun lagi untuk mendapatkan sertifikat kelulusannya.
Pintu ruang tamu itu terbuka, keluarlah sepasang suami istri, Deddi dan Susi yang menyambut kedatangan Kenzo dan Veronica. Deddi memeluk tubuh anaknya yang kaku mendapat sambutan hangat itu. Deddi menyadari mengapa Kenzo begitu dingin padanya, namun dia tak mempermasalahkan hal itu, Deddi tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki hubungannya dengan Kenzo. Deddi hanya berharap waktu lima tahun akan mampu membuat Kenzo melupakan dan memaafkan anggota baru keluarga mereka.
“Kau sehat?” tanya Deddi pada anaknya.
“Ya, cukup sehat,” jawab Kenzo acuh. “Kenalkan, Veronica. Kekasihku.”
Deddi bersiul senang, dia tidak menyangka Kenzo akan mampu melupakan Karina. Dia justru sangat senang melihat anaknya telah move on dari sakit hati cinta monyetnya.
“Senang berkenalan dengan kekasih anakku. Aku Deddi, ayahnya Kenzo. Dan ini, Susi, ibunya Kenzo.”
“Ibu tiri, ralat,” ketus Kenzo sambil masuk ke dalam rumah, meninggalkan tiga orang di belakangnya dengan wajah terguncang dan salah tingkah.
Deddi yang paling pertama mencairkan suasana, “Maafkan dia, Kenzo biasa ceplas-ceplos. Dulu dia tidak seperti ini, mungkin pergaulannya di luar negeri membuatnya seperti ini,” ujar Deddi meminta maaf.
Veronica hanya mengangguk-angguk memaklumi, mereka kemudian masuk ke dalam rumah menyusul Kenzo yang telah menaiki tangga menuju kamar lamanya.
Dibukanya pintu kamarnya, hanya lebar kamar itu yang berubah, beserta satu set home theater yang ditambahkan oleh ayahnya. Kenzo hanya mendengus.
“Bagaimana? Kau suka? Kamarmu lebih luas dan ada home theather, satu set komputer canggih sudah Daddy pasang juga satu tivi flat screen yang menempel di tembok. Kau bisa bermain game sepuasmu sekarang dengan layar lebar!” Deddi tertawa terbahak-bahak namun Kenzo tak berkomentar, dia menuju tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya sebelum memeluk sebuah bantal guling kesayangannya.
“Aku ingin tidur, kalian keluarlah. Kecuali Veronica, dia akan tinggal denganku di kamar ini,” kata Kenzo.
Deddi dan Susi hanya bisa saling pandang tanpa mengomentari ucapan Kenzo. Meski mereka terkejut dengan perubahan Kenzo, namun Deddi meninggalkan kamar itu dan mengucapkan selamat malam pada Veronica.
“Apa kau tidak terlalu keras pada orang tuamu, Ken?” tanya Veronica yang kini duduk di sisi ranjang Kenzo.
Laki-laki itu menggeliat, “Sudahlah. Aku tidak ingin kau mengajariku. Aku tahu apa yang aku lakukan.”
Kenzo menarik tubuh Veronica mendekat hingga wajah mereka berjarak beberapa senti, “Aku akan melakukan apa pun yang aku inginkan. Bila kau tidak suka, kau bisa kembali ke Amerika kapanpun kau ingin.” Lalu diciumnya bibir wanita itu dengan penuh minat. Ciuman itu lama dan panas, kedua pasang mata mereka terpejam.
Namun saat Kenzo mendengar suara kaki melangkah melewati kamarnya, matanya terbuka. Dia melihat sepasang mata yang terguncang sedang memperhatikan perbuatan mereka. Mata itu kemudian berkaca-kaca, dipenuhi air mata yang siap untuk runtuh kapanpun juga.
Kenzo tak peduli, dia tetap melanjutkan ciuman mereka sebelum meminta Veronica untuk menutup pintu dan melanjutkan apa yang mereka tunda sebelumnya.

Part 1 
Part 3 
DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 02, 2015 20:12

December 21, 2014

Selamat Hari Natal 2014


I Wish You All A Merry Christmas....... Ho... Ho... Ho... Ho....!!!
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 21, 2014 07:33

November 28, 2014

CERMIN - Mimpi Kanaya oleh Yunita Azifa Savitri



MIMPI KANAYAWritten by +Yunita Azifa Savitri  
Aku mengerjapkan mataku, berusaha untuk melihat diantara kegelapan malam ini. Sesosok wanita menatapku dengan tersenyum, seolah merasa begitu bahagia melihatku. Tatapan lembutnya membuat hatiku terselubungi kehangatan. Rasanya, seperti aku sudah mengenalnya begitu lama. Dia mengulurkan tangannya padaku, memintaku untuk mendekat padanya. Tanpa ragu-ragu, setengah berlari aku menghampirinya.Kegelapan itu datang lagi, memisahkan kami. Aku berteriak-teriak penuh frustasi, memanggil-manggilnya. Namun, dia tidak terlihat lagi.-**-Aku terengah-engah, mimpi itu terasa begitu nyata. Kuseka keringat diwajahku. Aku kebingungan, siapa wanita yang ada dalam mimpiku. Aku merasa seperti begitu mengenalnya, seolah dia selalu ada dalam hatiku.Seolah-olah aku begitu mencintainya, menyayanginya dengan segenap hatiku. Namun, bagaimana hal itu mungkin terjadi. Aku bahkan tidak mengenalnya.-**-“Kanaya..”Aku menggigit bibirku untuk menahan seringai konyolku. Aku berbalik dan menatap orang yang memanggilku tadi.“Angga, ada apa?”“Emm, hari ini kamu juga dijemput?”Kuanggukkan kepala, ”Ya sama seperti hari-hari biasanya.”“Ya sudah kalau begitu, aku pulang duluan, Nay.”Aku tersenyum padanya. Andai saja dia tahu, percakapan satu menit kami ini membuat jantungku bertalu-talu lebih cepat dari biasanya.“Udah Nay, jangan senyum-senyum gitu. Nanti orang-orang pada salah ngira kamu naksir Angga. Mau dikemanain tuh Kak Tera??”Aku memutar mataku, Lina, sahabatku ini memang paling pintar merusak suasana. Kucepatkan langkahku menuju gerbang sekolahku. Biasanya mama sudah menungguku didepan gerbang.“Nay, tungguin dong, jangan cepet-cepet jalannya,” pinta Lina.“Makanya nggak usah ngomong yang aneh-aneh, Lin. Aku ngobrol sama Angga sebentar kok, kamu nyangkut-nyangkutin sama Kak Tera,” gerutuku.“Iye Nay. Maaf deh. Abisnya aku heran deh Nay, Kak Tera itu lagi ngejar-ngejar kamu kayak gitu, tapi kamu cuek aja. Aku malah ngerasa kamu ada rasa lebih ke Angga kan?? Hayo ngaku!!!” Lina tertawa terbahak-bahak. Sepertinya dia begitu puas melihat wajahku memerah bak kepiting rebus karena godaannya.“Eh beneran kamu suka sama Angga, Nay??” tanyanya lagi.“Lina!! Udah ah, aku pulang aja daripada kamu godain aku terus.”Sebagai murid kelas dua SMA, mungkin aku satu-satunya gadis yang belum pernah berpacaran sama sekali. Hal-hal yang menyangkut perasaan seperti ini membuatku malu. Aku tidak terbiasa membuka hatiku pada siapapun. Terkecuali pada kedua orangtuaku. Aku selalu menceritakan apapun yang kurasakan maupun yang kualami.Aku masuk kedalam mobil dan mama menyambutku dengan pelukan singkat. Memang, kedua orangtuaku termasuk orangtua yang sedikit kolot bila menyangkut soal aku. Mungkin itu disebabkan karena aku adalah anak satu-satunya. Beberapa kali mama mengalami keguguran.Setiap hari mereka selalu meluangkan waktu untuk mengantar jemputku di sekolah. Bahkan merekalah yang boleh mengantar kemanapun aku pergi. Sepertinya itulah yang membuat teman-temanku seringkali mengejekku sebagai anak manja. Namun, aku tidak pernah ambil pusing. Aku selalu nyaman-nyaman saja dengan semua perlakuan kedua orangtuaku.Pernah ada beberapa laki-laki yang mencoba dekat denganku. Menyadari mereka tidak bisa mengantarku pulang, mereka mencoba menggunakan cara yang lain. Main ke rumah. Namun, sekali lagi, tidak ada dari mereka yang berhasil. Ayah dan mama, dengan alasan ingin mengobrol dengan temanku, mereka selalu ikut menemui temanku. Hingga akhirnya mereka berhenti untuk mencoba mendekatiku.Ayah dan mama selalu mengatakan, lelaki yang baik pasti akan bisa mengakrabkan diri dengan keluarga wanita yang mereka cintai. Bila suatu saat lelaki seperti itu muncul, maka mereka baru akan memberikan kepercayaan padanya.Kak Tera sudah lebih dari dua kali datang ke rumah. Sepertinya saat ini dia masih bertahan, hanya saja, aku tidak memiliki perasaan lebih padanya. Ada orang lain yang sudah memiliki hatiku.Aku kembali tersenyum konyol ketika mengingat obrolan singkat dengan Angga.Aku tidak tahu apa yang membuatku jatuh cinta padanya. Ketika kelas satu, hampir setahun aku duduk semeja dengannya. Seringkali kami berbagi canda, berbagi cerita dan juga berbagi ilmu. Kami memiliki banyak kesamaan. Salah satunya kami sangat mencintai buku sampai-sampai kami dijuluki kutu buku kembar. Kami sering menukar koleksi bacaan kami, membahas setiap buku bacaan kami hingga bahkan tidak jarang kami bertengkar karena itu. Mungkin kebiasaan itu yang membuatku merindukan saat-saat itu. Kami berada di kelas yang berbeda di kelas dua. Sangat sulit mencari kesempatan untuk mengobrol seperti dulu lagi. Maka dari itu, obrolan singkat kami tadi mampu menyinari hariku.“Kenapa Nay, dari tadi senyum-senyum sendiri?”Aku tertawa malu. “Nggak apa-apa, ma.”“Angga, ya?”Rasa maluku semakin bertambah ketika mama bisa menebak dengan tepat.“Kok dia belum pernah main ke rumah, Nay?”Aku memutar mataku. “Buat apa ma? Sekarang ngobrol aja jarang, masak tahu-tahu dia main ke rumah.”“Mama penasaran deh sama dia sebagai satu-satunya cowok yang bisa ngebuat anak mama senyum-senyum gini.”“Mama!!!” pekikku. Mama terkekeh melihat sikapku yang memalukan ini.-**-Aku menutup buku yang sudah selesai kubaca. Kulirik jam dinding kamarku, pantas saja aku sudah mengantuk. Rupanya sekarang sudah cukup malam.Pikiranku kembali melayang pada mimpiku kemarin malam. Aku benar-benar tidak ada ide siapa wanita itu dan kenapa dia ada dalam mimpiku. Rasa kehilangan besar kembali terasa direlung hatiku ketika aku tidak menemukan jawaban semua pertanyaanku. Aku merasakan bahwa wanita itu adalah seseorang yang sangat penting bagiku.-**-Aku berusaha keras menggapai udara. Nafasku begitu sesak, sesuatu menutupi wajahku. Menghalangiku mendapatkan pasokan oksigen. Aku mencoba untuk berteriak, tetap tidak sedikit pun suaraku terdengar. Senandung nina bobo terdengar cukup nyaring ditelingaku. Aku merasakan jiwaku mulai melayang pergi meninggalkan jasadku.Seseorang berteriak cukup keras, memanggil namaku. Namun, kesadaranku pun mulai menghilang.-**-Seseorang memanggil namaku cukup keras. Aku membuka mataku. Nafasku terengah-engah. Aku mencengkeram selimutku. Mimpi itu kali ini begitu menakutkanku. Perlahan aku mulai menyadari bahwa aku sudah tidak lagi berada dalam alam mimpi. Mama dan ayah sudah berada di kamarku. Mama memelukku, berusaha menenangkanku.“Sayang, Nayla. Itu cuma mimpi. Tenangkan dirimu.”Nafasku mulai teratur. Dalam pelukan mama adalah tempat teramanku. Tidak ada orang yang akan menyakitiku bila aku berada disini.“Nay, tadi kamu mimpi apa?” Ayah bertanya padaku.Aku menggelengkan kepala. Mimpi ini terlalu menakutkan untuk kembali kuceritakan.Mama menyodorkan gelas untukku. Dalam beberapa tegukan, air didalam gelas itu sudah habis kuminum.Kukuatkan diriku. Mimpi ini memang menakutkan, tetapi aku merasa mimpi ini berkaitan dengan mimpiku sebelumnya. Dan juga kurasa, aku harus bisa mengingat wanita itu. Hatiku menyatakan betapa aku merindukannya.“Yah, ini adalah mimpi kedua yang kualami dalam dua malam berturut-turut. Kurasa kedua mimpi ini saling berhubungan,” ucapku.Dengan tersendat-sendat, cerita tentang mimpi itu mengalir dari bibirku. Aku merasa bingung mendapati ayah dan mama memandang dengan raut wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya.“Apakah ayah dan mama mengenal siapa wanita itu?”“Tidak,” pekik mama lantang.“Tidak sayang, mama tidak mengenalnya. Itu hanyalah bunga tidurmu saja. Jangan terlalu kamu pikirkan.”“Tapi, ma..”“Kanaya, cobalah untuk tidur lagi, ini sudah malam. Ayah dan mama akan menemanimu disini,” potong mama.Aku menganggukkan kepala walaupun aku tidak yakin bisa kembali tidur. Setidaknya aku ingin menenangkan mama. Mama memelukku sepanjang malam membuatku teringat kenanganku kecil. Mama seringkali menemaniku dikamar, menyenandungkan lagu nina bobo ataupun membacakan buku dongeng.Mataku sudah hampir terpejam ketika mendengar ayah berbisik pada mama.“Ma, Kanaya pasti akan mencari tahu siapa wanita itu. Dia pasti tidak tenang sebelum mengetahui siapa dia. Mungkin sudah saatnya dia tahu.”“Ayah, kita hanya ingin melindunginya seperti janji kita dulu.”Sudah kuduga pasti ayah dan mama mengetahui sesuatu yang terkait dengan mimpiku. Kubuka telingaku lebar-lebar. Namun sepertinya ayah dan mama sama-sama sudah memutuskan untuk tidak membahas hal itu lagi.-**-Beberapa kali guru menegurku karena aku banyak melamun, sesuatu yang tidak pernah kulakukan dalam kelas. Namun, aku begitu memikirkan mimpi-mimpi itu. Aku merasa sangat tidak tenang selama belum memahami arti dibalik mimpi itu.Aku bahkan tidak berselera untuk ke kantin ketika jam istirahat tiba. Semakin lama aku berpikir, kepalaku semakin pusing. Tidak ada apapun yang bisa membuka pikiranku.Aku terperangah ketika mendapati kursi depanku berderit. “Hayo, ngelamunin apa, Nay.”“Angga??”Angga hanya tersenyum tak berkata apa-apa.“Ngapain kamu ada disini?”Angga menggaruk-garuk kepalanya. “Err, aku...ya tadi nyariin kamu di kantin, tapi kata Lina kamu ada di kelas.”“Oooh,” jawabku singkat.“Nay, ada sesuatu yang bisa kamu bagi ke aku?”Aku terdiam, kutatap matanya dalam-dalam dan kutemukan ketulusan yang dulu selalu kulihat setiap aku bercerita dengannya. Aku meragu, ini adalah sesuatu yang rumit dan terasa sangat pribadi bagiku. Aku tidak terbiasa membagikan cerita pribadiku ke orang lain selain kedua orangtuaku. Namun, kali ini aku harus membaginya dengan orang lain sebelum kepalaku pecah. Hal yang semakin diperumit dengan kediaman ayah dan mama.“Ngga, kamu percaya bahwa mimpi terkadang mengandung sesuatu yang belum kamu ketahui dalam dunia nyata?”“Maksudmu seperti de javu?”“Ya, hampir seperti itu. Entahlah, aku juga bingung.”“Ceritakanlah padaku secara lengkap, Nay. Kamu sudah tahu bahwa aku memahami semua kerumitan pola pikirmu, kan.”Aku tertawa pelan mendengar ucapannya. Dulu memang dia sering mengataiku sebagai orang dengan pola pikir terumit.Kutarik nafas dalam-dalam, “suatu malam aku memimpikan seorang wanita asing, Ngga. Namun hatiku menyatakan wanita itu bukanlah orang asing bagiku. Besok malamnya, aku bermimpi sesuatu yang sangat berbeda dan juga begitu menakutkan.”“Menakutkan seperti apa, Nay?”“Aku bermimpi wanita itu seperti ingin menghabisi nyawaku. Namun, aku semakin merasa bahwa aku sangat mencintai wanita itu, menyayanginya setulus hatiku.”“Kamu sudah menanyakannya pada orangtuamu?”Aku menganggukkan kepala. “Sudah, Ngga. Aku merasa mama dan ayah mengetahui sesuatu, tetapi mereka tidak mau mengatakan apa-apa padaku.”“Nay, ada waktu dimana kebenaran akan terbuka bagi kita. Bersabarlah hingga waktu itu tiba.”“Tapi, Ngga. Aku tidak bisa tenang sebelum aku memahami semuanya.”“Kanaya.” Angga menyentuh tanganku ragu-ragu.“Orangtuamu pun pasti memiliki alasan. Cobalah untuk mengalihkan fokus pikiranmu pada hal yang lain sembari kebenaran itu perlahan terbuka. Apapun yang nantinya akan terbuka, aku akan selalu berada didekatmu untuk mendukungmu, Nay.”“Terima kasih, Angga.” Semua ucapannya membuatku lebih tenang.-**-Aku mengerutkan kening ketika mendapati ayah yang menjemputku. “Ayah, kok tumben?” tanyaku.“Iya, sayang. Kebetulan ayah sedang tidak terlalu sibuk jadi ayah bisa menjemputmu.”Aku tahu, tanpa ayah katakan pun, sikap ayah ini ada hubungannya dengan mimpiku.“Ngomong-ngomong ayah ingin membawamu ke suatu tempat. Mama sudah menunggu kita disana.”“Kemana, Yah?”“Ayah dan mama akan menjelaskan semuanya disana, Naya.”Aku terdiam. Jantungku berdebar-debar sangat kencang, sepertinya inilah waktunya. Aku semakin kebingungan ketika melihat ayah membawaku ke sebuah rumah sakit jiwa.“Ayah??”“Ayo, kita turun, Naya. Mama menunggu kita didalam.”Ragu-ragu aku turun dari mobil. Ayah mengulurkan tangannya. Dalam genggaman tangan ayah, aku berjalan memasuki rumah sakit itu. Ayah membawaku ke sebuah ruangan. Aku semakin bingung mendapati mama sudah menungguku dengan seorang wanita yang berpakaian seperti dokter.“Selamat siang, Kanaya. Kamu sudah besar rupanya. Sudah menjadi wanita cantik.”Aku menatap mama dengan kebingungan.“Ah, maaf saya lupa memperkenalkan diri. Pasti kamu tidak mengingat saya. Saya dokter Manda. Psikiater disini.” Dokter Manda mengulurkan tangan padaku.Ku jabat tangannya. “Maaf dokter, saya merasa bingung. Saya benar-benar tidak mengenali anda.”“Ma,” panggilku.Mama mendekatiku. “Sayang, ada sesuatu yang ingin kami semua ceritakan. Ini semua berkaitan dengan mimpimu.”Aku mengerjapkan mata. Jadi benar orangtuaku mengetahui sesuatu.“Kanaya, disini saya ingin bercerita padamu, ”ucap dokter Manda.Aku tetap membisu menunggu seseorang segera mengatakan sesuatu.“Beberapa tahun lalu saya memiliki seorang pasien. Dia baru berusia lima belas tahun ketika keluarganya membawanya pada saya. Saat itu kondisinya tidak baik. Dia sedang hamil dalam kondisi kejiwaan yang tidak stabil. Dia memiliki suatu trauma yang sangat buruk yang membuat kondisinya seperti itu.” Dokter Manda menghela nafas panjang. “Dia diperkosa.”Aku terperanjat mendengar cerita dokter Manda. Betapa kejamnya laki-laki itu sudah memperkosa gadis yang masih sangat muda seperti itu.“Sesekali ketika sadar, dia mengatakan betapa dia sangat mencintai bayi yang ada dalam kandungannya. Namun ketika emosinya memuncak, dia mencoba untuk membunuh janin itu. Hingga akhirnya dia melahirkan putrinya. Perjuangan yang sangat luar biasa bagi gadis semuda itu. Sejak dia melahirkan, kami tidak pernah memberinya kesempatan untuk bertemu dengan putrinya. Kami tidak berani memberikan resiko pada bayi itu bila sewaktu-waktu dia lepas kendali.”Sebuah kenyataan perlahan mulai menyingkap tabir kegelapan yang kurasakan. Perlahan aku mulai memahami maksud cerita dokter Manda.“Siapa wanita itu, Dokter?” Dengan suara bergetar, aku memberanikan diri untuk bertanya.“Bayi perempuan itu adalah kamu, Kanaya. Wanita itu adalah mamamu.”Nafasku tercekat. “Mama, apa maksudnya?”Mama memelukku begitu erat. “Ma??” tanyaku lagi.Mama melepaskan pelukannya dan berjongkok didepanku. Dengan menggenggam tanganku mama mulai mencoba untuk berbicara.“Kanaya sayang. Wanita itu adalah adikku, Nina. Wanita yang kamu lihat dalam mimpimu adalah dia. Dia..dia wanita yang melahirkanmu. Namun selamanya, kamu adalah putriku,” isak mama.Aku menatap mama tak percaya. Kebohongan apa ini. Bagaimana mungkin aku bukan anak kandung mereka???!!“Maafkan mama sayang. Sebenarnya kami tidak ingin mengatakannya padamu. Tapi, mimpi-mimpi itu mulai datang menghampirimu. Kami merasa mungkin sudah waktunya bagimu untuk mengetahui semuanya.”“Tidak..tidak, ma. Aku akan selalu mencari tahu jawaban dari semua mimpi itu. Bila mama tidak segera memberitahuku, akan jauh lebih menyakitkan bila aku mengetahuinya bukan dari kalian. Terima kasih mama sudah mau mengatakannya padaku.”Hatiku begitu hancur berkeping-keping. Kenyataan ini menghantam dunia indahku. Aku menangis tersedu-sedu. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk berpikir jernih.“Lalu dimana sekarang mama kandungku, dokter?”Dokter Manda menatap ayah dan mama bergantian. “Dia ada di rumah sakit ini, Kanaya.”“Aku ingin bertemu dengannya,” putusku.“Jangan memaksakan diri, Kanaya. Kamu baru saja mendapatkan kenyataan baru dalam hidupmu.”“Dokter, aku ingin menemuinya. Sejak mimpi itu, hatiku mengatakan bahwa aku sangat menyayangi wanita itu.”Dokter Manda terdiam sejenak, alisnya menaut menandakan ia sedang mengambil keputusan.“Baiklah, Kanaya. Aku akan mengantarmu bertemu Nina.”Rumah sakit ini terasa begitu sunyi, hanyalah suara sepatu yang beradu dengan lantai yang terdengar. Walaupun menyakitkan, tetapi sepertinya aku mulai bisa menerima kenyataan. Setidaknya aku jauh lebih beruntung daripada anak-anak lain yang tidak memiliki ibu. Aku bahkan memiliki dua orang ibu.Berjalan dalam lorong ini menimbulkan suatu rasa yang sangat familiar, seolah dulu aku pernah berada disini. Gelombang kerinduan tiba-tiba menyergapku. Mama, mungkin aku belum pernah bertemu denganmu, mengingat wajahmu pun aku tidak bisa. Namun, aku sangat yakin bahwa di sudut hati terdalamku, hatiku tetap mengingat betapa aku mencintaimu.Dokter Manda membuka pintu sebuah kamar perawatan. Seorang wanita sedang duduk membelakangi kami. “Nina,” panggil dokter Manda.Wanita itu merespon panggilan dokter Manda. Perlahan-lahan da membalikkan tubuhnya menghadap kami. Rasanya aku ingin berlari untuk memeluknya. Mengatakan padanya bahwa aku adalah putrinya.Sisa-sisa kecantikan masih terlihat di wajahnya. Dia menatap kami semua dengan kebingungan.“Nina,” kali ini mama yang memanggil.Mama Nina mengerutkan keningnya. “Kak Naura?”“Nina aku ingin memperkenalkan seseorang denganmu.”Ragu-ragu, mama menggandengku untuk mendekati mama Nina. Air mataku menetes begitu deras. Ingin rasanya aku memanggilnya dengan sebutan mama, memberitahunya bahwa aku adalah putrinya.“Nina, ini adalah Kanaya, putriku.”Mama Nina menatapku dengan penasaran. Namun, senyum lembut terukir di wajahnya.“Kanaya, sapa tante Nina,” pinta mama.“Tante Nina,” panggilku.Tangan mama Nina terulur padaku. Dia mengusap-usap rambutku.“Putrimu sangat cantik, Kak.” Mama Nina menatapku. ”Bila putriku masih hidup, mungkin dia juga akan secantik kamu, Kanaya.”Aku menggigit bibir untuk menahan isakan keluar dari bibirku. Kesedihanku adalah tidak bisa mengatakan padanya bahwa aku adalah putrinya.Menurut Dokter Manda, saat ini jauh lebih aman untuk memperkenalkanku sebagai keponakannya saja karena tidak ada yang bisa menebak reaksinya bila tahu aku adalah putrinya. Saat ini yang bisa kulakukan hanyalah berdoa bahwa ibu kandungku akan segera sembuh hingga suatu saat nanti aku bisa memanggilnya dengan sebutan mama.-**- 
CERMIN LAIN 
DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 28, 2014 08:20

November 26, 2014

CERMIN - Endless Love oleh Parameswari Primadita


ENDLESS LOVE Written by +Parameswari Primadita  15 Tahun Lalu " Kasih Ibu kepada Beta...tak terhingga sepanjang masa.Hanya memberi,tak harap kembali.Bagai sang surya menyinari dunia!"      Terdengar suara canda,tawa, hingga gema tepuk tangan yang berasal dari dalam mobil honda putih itu.Sebuah keluarga kecil  tengah dalam kondisi suka cita,mereka sedang perjalanan untuk piknik,di sebuah  Minggu pada sebuah akhir pekan.Meski cuaca sangat mendung dan gerimis mulai turun membasahi bumi,tidak juga mengurungkan semangat mereka.      Soraya Ambarwati,si Ibu muda yang tampak sangat amat cantik dan penuh vitalitas di usia menjelang 25 tahun itu, menoleh ke jok belakang sesekali untuk melihat kondisi sepasang anak kembarnya.Felishia dan Saga Gunantara sedang asyik bermain merebut cemilan.      "Feli,Saga jangan rebutan ya Nak,Bunda masih punya banyak kok camilannya" kata Soraya.      Wanita itu memutar badan,mengambil sesuatu dari dalam tas besarnya,terdengar bunyi gemerisik sesaat,tangannya meraup beberapa buah wafer coklat dan bersiap memberikannya kepada para buah hatinya.      "Jangan terlalu banyak makanan manis sayang,nanti kamu protes lagi kalau kesehatan gigi mereka terganggu" tukas Aldian Gunantara.Suami Soraya sekaligus Ayah dari si kembar.      Soraya menolehkan lehernya,memandangi lelaki berumur 30 tahun yang sangat amat manis dan memiliki sepasang lesung pipit sedalam palung samudra ketika tersenyum itu.      "Tenang saja sayang aku cuma memberikan anak-anak camilan seperti ini sekali dalam seminggu,yaitu hari minggu sebagai hadiah" jawab Soraya.Melemparkan senyum lebar yang memperlihatkan seluruh kecantikannya bak malaikat.      Aldi meleleh seketika.6 tahun sudah mereka menikah,namun Aldi masih saja terpukau dan terpesona pada Istrinya itu seolah-olah dirinya masih menjadi remaja yang sedang kasmaran.Aldian jelas-jelas teramat sangat memuja Soraya dengan segenap hatinya.      "Kamu betul-betul berpikir hingga sejauh itu ya sayang.Hemmm aku benar-benar beruntung dan tidak salah memilih Istri" kata Aldi sungguh-sungguh.Membuat Soraya tersipu malu.      Aldi menjulurkan tangannya.Meletakkan tangannya di atas punggung tangan kanan Istrinya yang diletakkan di atas paha kanan. Kemudian meremasnya lama.      "I love You honey" Aldi mengucapkannya keras-keras.      Soraya menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya.Menunduk.Dibalasnya geng-gaman tangan Suaminya semakin erat."I love you always" jawab Soraya dengan pipi mero-na.Yang membuat Aldi makin gemas.      "Bunda dan Ayah sedang apa?" Feli mendadak muncul di antara Soraya dan Aldi.      Malaikat kecil nan cantik itu menatap penasaran ke arah tangan kedua Orang Tuanya yang saling berpegangan erat.Pipinya yang tembam menggembung dan mengempis bergantian.      "Bunda Saga lapelll" si sulung menjulurkan kepalanya secara mengejutkan.Tangan-tangan mungilnya terjulur kemudian dikalungkan erat ke leher wajahnya.      "Iya Saga sayang ini wafer buat kamu tapi bagi dengan adil ya sama adek" kata Soraya di barengi seulas senyum manis.     "Mana adek duluan" tanpa basa-basi Feli merebut semua wafer itu dari tangan Bundanya.     "Ahhh adekkk apaan sih..itu kan ada yang buat Kakak juga!"     "Kakak ngalah dong sama Feli!"     " Adek curang Bunda huaaaa!"      "Kakak,adek jangan ribut dong.Sini Bunda yang bagiin aja kalo gitu"     "Sayang jangan rebutan ya" Aldi menoleh,mencoba meredakan keributan akibat aksi saling dorong sepasang anak kembarnya.Karena bisa mengusik konsentrasinya menyetir.     "Nggak mau ini punya Feli semua pokoknya     Dinnnn...dinnn....Bunyi klakson dari arah depan mobil. Memandang ke depan.Aldi terkejut setengah mati saat melihat dirinya sudah keluar jalur dan ada truk besar dari arah lain melaju dengan kecepatan kencang.Refleks Aldi membanting stir ke kiri lagi,tapiiii.....      "Ayahhhhh!!!!!" Soraya,Saga,dan Feli menjerit bersamaan.      Benturan.Bunyi besi retak dan ditabrak.Kaca pecah berserakan ke mana-mana.      Lalu segalanya menggelap baik bagi Aldi maupun Soraya.***************      Surabaya.Masa Sekarang.      "Maaf saya terlambat" Satria Wibisono terengah-engah sembari memakai celemek-nya,memasuki dapur.     "Kebiasaan deh kamu Sat..." Felishia Gunantara mendengus sebal seraya berkacak pinggang.     "Sori banget,semalem aku ngelesin anak-anak SMU sampai malem banget,bis gitu bantu-bantu Ibu Panti nambal genteng karena ada yang bocor.Bentar lagi kan musim ujan kesian ntar anak-anak Panti" kata-kata Satria berhamburan.      Feli tertegun menatap wajah tampan lelaki berbadan ramping atletis di hadapannya. Per-juangan hidup seorang Satria Wibisono merupakan alasan utama tergugahnya hati Feli,berubah dari sosok manja menjadi seorang gadis tangguh dan mandiri seperti sekarang. Padahal Feli adalah pewaris tunggal dari seluruh kekayaan jutawan besar penguasa perkebunan minyak kelapa sawit,Gunantara Company milik keluarganya.Namun Feli tidak malu harus menghabis-kan musim panasnya dengan bekerja sambilan sebagai Kasir di sebuah coffe shop ternama di bilangan Surabaya pusat.       Satria benar-benar sudah membawa banyak perubahan positif dalam kehidupan Feli.Tiada lagi Feli si sellfissh,tuan putri arogan.Feli sekarang adalah wanita muda peka,kuat,serta mampu menghadapi masalahnya tanpa harus bergantung terus-menerus pada Orang Tuanya.Itu juga alasan Feli jatuh cinta pada sosok Satria.      Namun,bukan hanya itu saja alasan ketertarikan Feli pada Satria.Pada  pertemuan pertama mereka di hari orientasi mahasiswa baru,di sebuah perguruan tinggi negeri Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.Feli tahu ada yang berbeda dalam diri Satria,lelaki itu terlihat spesial di mata Feli.      Sikap rendah hati,kepintaran dan pastinya rupa fisik, membuat Satria menjadi pusat perha-tian banyak gadis di kampus.Bagi Feli,Satria adalah medan magnet.Ke manapun ia memandang dan melihat,hanya ada wajah Satria terbayang di kepalanya.      Feli merasa yakin 100%,itulah yang disebut cinta pada pandangan pertama.Meski penasa-ran,Feli mempertahankan harga dirinya sebagai perempuan dan tak mau melemparkan diri begitu saja ke pelukan Satria secara sembarangan.Dia menunggu,hingga waktu itu tiba.Ketika Satria secara mengejutkan mengajaknya berkenalan sekaligus meminta Feli menjadi kekasihnya di akhir pekan masa orientasi siswa di luar kota. Satria mampu meyakinkan Feli kalau lelaki itu serius padanya.Rupanya sama seperti Feli, Satria juga sudah menaruh hati pada gadis itu sejak perjumpaan pertama mereka.      Masa 2 tahun berpacaran tidaklah mudah.Dunia Feli dan Satria amat berbeda,terutama di masalah status ekonomi.Namun Feli tak pernah menyerah,seperti Satria yang tidak berhenti memperjuangkan hubungan mereka meskipun sifat Feli amat sangat mengesalkan kala itu.Perlahan tapi pasti,Feli berubah ke arah lebih benar,dan menjadi manusia lebih baik lagi.      "Sayang,kok kamu sekarang malah melamun sih?" Satria mengibaskan tangannya di depan wajah Feli hingga gadis itu terkesiap kaget.      "Ah ya...sori sori sayang tadi ngomong apaan?" tanya Feli,sambil meringis malu.      Satria hanya tersenyum geli dibuatnya."Pasti lagi banyak pikiran?Ya sudah ayo mulai kerja,ntar kalau bos tahu kita masih asyik ngobrol di sini bisa kena potong gaji loh"       Kedua tangan Satria memutar lembut bahu Feli,sedikit mendorong gadis itu hingga keluar dari dapur. "Tapi jangan ngelamun lagi ya,bisa-bisa pembukuannya berantakan nanti kalau mikirin pacarmu yang paling ganteng sedunia ini" canda Satria.      "Idiiihhh ge-er amat situ.Siapa juga yang mikirin kamu" bantah Feli dengan pipi memerah.       "Pacar aku kalau merona tambah cantik deh"       "Satria!" Feli memukul lengan kekasihnya.      Satria tertawa melihat kelakuan malu-malu tapi mau perempuan di hadapannya. Feli beranjak meninggalkan Satria sambil bersungut-sungut,namun tanpa sepengetahuan lelaki itu sesungguhnya Feli diam-diam tersenyum dan harinya terasa lebih riang.***************Maybe it's intuition.But some things you just don't question.  Like in your eyesI see my future in an instant,and there it goes.  I think I've found my best friend I know that it might sound more than.A little crazy but I believe ### I knew I loved you before I met you. I think I dreamed you into life I knew I loved you before I met you. I have been waiting all my life        Satria sadar betul kalau dirinya tengah di amati sejak beberapa menit terakhir oleh sese-orang. Jenis tatapan menusuk yang bisa membakar tubuhmu. Awalnya Satria berusaha bersikap biasa bahkan cenderung cuek,dia sudah sering begitu selama di kampus bila menghadapi kerumunan fansnya.Namun masalahnya kali ini berbeda.Satria dapat merasakan getaran kuat,hingga mampu merasuk jauh ke dalam inti sel di dalam dirinya hanya melalui tatapan.      Pada akhirnya Satria menyerah kepada rasa penasarannya.Menegakkan tubuh,lelaki itu mencari sumber dari kegelisahannya. Dan dia menemukannya.      Seorang wanita yang duduk di dekat meja display cronout dan cheese cake.Wanita tersebut adalah salah satu perempuan tercantik,selain Feli pastinya,yang pernah Satria lihat dan temui secara langsung.      Tubuhnya mungil berlekuk,tertutupi sackdressselutut  berbahan wol lengan panjang berwarna merah tua.Rambut bergelombang mencapai bahu dengan helaian poni miring membingkai rahang ovalenya.Tulang pipi tinggi,bibir mungil kemerahan,alis lebat asli berwarna gelap,di padu sepasang bola mata besar seperti langit ketika fajar.      Satria terpesona pada kecantikannya,bahkan dari jarak sedemikian jauh Satria bisa melihat detail terkecil wajah wanita itu nyaris tanpa cela ataupun kurang akibat keriput. Padahal menurut tebakan Satria,wanita itu tak kurang dari menjelang akhir kepala 3.      Satria semakin yakin kalau dirinyalah pusat perhatian si wanita.Sebab sejak tadi perempuan itu tak berkedip sedikitpun sambil terang-terangan memandanginya.Mendesah panjang,Satria memutuskan untuk melakukan sesuatu. Meletakkan tumpukan bon di atas meja,Satria mengambil buku pemesanan beserta pulpennya lalu berjalan keluar dari balik meja kasir menuju meja si wanita.      "Permisi Ibu,ada yang bisa saya bantu?mungkin anda ingin memesan lagi?" tanya Satria ramah. Wanita itu malah melongo,menatapnya terpaku.      Berdeham keras,Satria mengamati sekitar kafe sekilas melalui kedua sudut matanya.Setelah memastikan kondisi aman,Satria nekad maju dan menepuk lembut pundak wanita berbaju terusan merah tua itu. Wanita itu terlonjak kaget di atas kursinya,membuat Satria meringis merasa bersalah.Wanita cantik tersebut berkedip dua kali hingga sepenuhnya sadar.      "Ma...maafkan saya,apa adik tadi bicara dengan saya?" tanya wanita itu tergagap.Sorot matanya memancarkan rasa malu.      "Ehm,iya.Saya bertanya pada Ibu apa ada yang bisa saya bantu lagi?mengisi refill teh melatinya mungkin?" tawar Satria ramah.      Wanita itu menggeleng pelan."Tidak perlu Nak,aku hanya menunggu putriku,dia bekerja di sini.Tapi dari tadi aku belum melihatnya,mungkin adik mengenalnya.Namanya Felishia Gunantara"        Seketika jantung Satria berdegup kencang ketika mendengar nama kekasihnya di sebut.       Mendadak Satria jadi ingat,alasan kenapa dirinya merasa familiar dengan wajah Ibu-ibu di hadapannya ini.Wanita itu pastilah Soraya Gunantara,Ibu kandung Felishia! Ya tak salah lagi,beberapa kali Feli pernah memperlihatkan foto kedua Orang Tuanya pada Satria.Pantas saja Satria merasa tidak asing.      "Apa anda Ibu Soraya?Ibunda Feli?" tanya Satria ragu-ragu.      "Ya!" mata Soraya berbinar cerah." Jadi,adik ini teman putriku ya?"       Satria mengangguk." Feli tadi memang ada Tante,tapi sekarang dia sedang sibuk di gudang belakang mengecek bahan yang baru tiba.Itu sebabnya saya menggantikan posisinya di bagian kasir" jawabku lancar.Mencoba tidak tampak bodoh di hadapan Ibunda tercinta pacarku.      "Oh begitu pantesan.Eh ya nama kamu siapa?" tanya Soraya penasaran.      "Ehmm,saya Satria Wibisono.Ibu"       Kedua pupil Soraya melebar seketika."Jadi,kamu toh yang namanya Satria.Feli sering cerita tentang kamu loh.Pantas saja Feli betah kerja di sini" kemudian tawanya terlepas.       Ucapan terus terang Soraya justru membuat Satria salah tingkah.Kaki Satria bergerak-gerak sendiri di tempat,tidak menyangka akan mendapat sambutan seriang ini dari Nyonya jutawan terhormat seperti Soraya Ambarwati Gunantara.      "Jangan panggil Ibu,panggil saja Tante Raya seperti kebanyakan teman Feli memanggil" Soraya menjulurkan tangannya ke hadapan Satria.      Meski sempat bimbang,Satria mengulurukan tangannya juga."Ah iya Tante Raya"  Satria menjabat tangan Soraya dengan mantab.Saat itu juga sesuatu terjadi.      Satria merasakan sentakan energi kuat mengalir ketika kulit mereka bersentuhan.Seperti arus setruman kekuatan listrik yang mampu menghanguskan tubuh Satria hingga ke sel-sel tulang sum-sumnya.Kepalanya mendadak penuh,berkabut dan menggelap.Perlahan-lahan gambaran aneh muncul secara bertahap di dalam kepalanya.      Tapi justru Sorayalah yang pertama kali melepaskan jalinan ikatan di antara mereka dengan menarik tangannya.Wanita itu secara mendadak bangkit dari kursinya,sepasang iris sehitam jelaga milik Soraya melebar dalam,kapasitas maksimal.      "Sa..saya lupa mendadak harus pergi,ada janji dengan orang.Bisa tolong sampaikan pada Feli,kalau saya tadi mencarinya?" tanya Soraya.Kalimatnya terbata-bata.Ekspresi wanita itu sepucat seperti habis melihat hantu.      "Ah..eh iya Tante,akan saya sampaikan" jawab Satria.Kedua alisnya bergerak-gerak, pikiran-nya dipenuhi berbagai pertanyaan.      "Ya,terima kasih kalau begitu" Soraya terdiam beberapa waktu.Matanya mengisyaratkan begitu banyak pertanyaan sekaligus kebingungan.      "Satria!kamu ngapain di situ?sini tempat pembayaran nggak ada yang urus" teriakan Store Manager,Pak Burhan membuyarkan segalanya.      Menoleh,Satria meringis dan berkata."Iya Pak,mohon maaf sebentar lagi saya akan ke sana"       Pak Burhan mendengus kesal,jika marah lelaki kurus paruh baya itu mengingatkan Satria pada tokoh Severus Snape dalam Harry Potter karena model dan panjang rambutnya yang serupa.Membuat Satria ingin tertawa sendiri.      Satria kembali menolehkan kepalanya ke depan,namun Soraya sudah menghilang.Kabur begitu saja bagaikan angin. Mendesah panjang.Satria membereskan bekas cangkir Soraya seraya mengelap meja dengan tisue dan kembali tempatnya di belakang meja dan mesin pembayaran.Dalam hati mengingatkan diri sendiri agar tidak lupa memberitahu Feli perihal kedatangan Ibunya ke Kafe barusan.*************      Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan Satria dan Ibunda Feli.Soraya.Semenjak hari itu Feli bercerita pada Satria kalau Bundanya menyukai Satria dan ingin mengenal lelaki itu lebih dekat.Karena itulah Satria di undang untuk acara makan malam Jumat ini.Untungnya setiap satu minggu pegawai Kafe di ijinkan mengambil libur dua kali,dan Satria sengaja meliburkan dirinya hari ini juga hari Minggu mendatang.       Sekarang Satria sedang dalam perjalanan pulang dari kampus menuju rumah Feli.Satria sudah sejak lama mengetahui alamat rumah Feli,lelaki tampan itu juga cukup sering mengan-tarkan Feli hingga di depan gerbang rumahnya selama mereka pacaran.Namun tak sekalipun Satria berani menampakkan diri di hadapan Orang Tua Feli,karena Satria merasa malu,rendah diri sekaligus sadar kalau dirinya masih belum menjadi apa-apa.Sehingga dia berencana mendatangi rumah Feli nanti,saat dirinya merasa sudah matang,mapan sehingga bisa langsung sekaligus melamar kekasih pujaan hatinya itu.      Namun siapa sangka nasib berkata lain.Ibunda Feli terlanjur mengetahui dirinya, dan kini beliau ingin bertemu dirinya sekaligus  ingin mengenal Satria lebih dekat lagi.Jadi,bagaimana Satria bisa menolak itikad baik itu.      Satria hanya bisa pasrah,menyiapkan mental dan hati serta banyak-banyak berdoa.Yang lelaki itu perlukan hanyalah menjadi dirinya sendiri nanti,di saat bertemu kedua Orang Tua Feli.      Satria melewati jalanan tikus salah satu jalan pintas menuju perumahan mewah tempat tinggal Feli di Surabaya Utara.Ketika itulah Satria melihat sebuah kendaraan mewah mogok terbengkalai di tepian kanan jalan.Sang pemilik tampak frustasi sampai-sampai duduk di atas batu dengan kepala tertunduk dan kedua tangan diselipkan di antara helaian rambut.Merasa kasihan,tanpa berpikir dua kali Satria segera meminggirkan kendaraannya untuk menolong lelaki tersebut.       Lelaki itu terlonjak kaget karena mendengar deru sepeda motor Satria.Pandangan mata pria dalam balutan kemeja lengan panjang,berkerah biru itu bersirobok dengan mata gelap Satria.Bagai di sambar petir,Satria terkejut setengah mati saat menyadari kemiripan dirinya dengan lelaki di hadapannya,seolah-olah mereka adalah masa lalu dan masa depan yang bertemu. Menelan ludahnya,Satria berjuang agar bisa tetap berfikir rasional.      "Maaf mobil Bapak mogok ya?" tanya Satria ramah,di barengi seulas senyum lembut.      Pria tampan di hadapan Satria diduga berumur pertengahan kepala 4.Terkesiap kaget,dia berdeham,sedikit bingung namun segera angkat suara.      "Eh ya,anu itu...kendaraan saya bermasalah,cylinder heatnya panas dan melengkung seper-tinya sudah turun mesin, butuh di derek.Masalahnya ponsel saya hanya satu yang terbawa dan itupun mati karena baterai lemah.Mau pergi memanggil bantuan jaraknya sangat jauh" tukas lelaki tersebut sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.     "Ehm,kalau begitu begini saja.Bapak telpon jasa penderek memakai ponsel saya,kalau Bapak mau pulang bisa saya antarkan.Apa Bapak mau ke daerah Citraland?kalau iya kebetulan saya juga sedang mau ke sana" tawar Satria.      Ucapan Satria barusan memberikan angin segar pada lelaki tersebut. "Anda serius Nak?benar tidak merepotkan?" tanya Lelaki tersebut dengan mata berbinar karena menemukan jawaban atas permasalahnnya.      Satria menggeleng pelan."Tidak ada  namanya kerepotan dari menolong orang lain yang benar-benar membutuhkan Bapak.Nah ini ponsel saya bisa Bapak pakai"Satria menjulurkan handphonenya yang diterima lelaki itu dengan gembira.      Beberapa menit kemudian lelaki berpenampilan seperti seorang pria sukses dan kaya di depan Satria tampak sudah sibuk berbicara serta memberikan instruksi mengenai lokasi kendaraannya pada jasa penderek prosfesional.Setelah selesai diberikannya kembali ponsel tersebut kepada Satria.     "Terima kasih ya Nak,bersyukur masih ada anak muda sebaik dirimu di zaman sekarang" ucap lelaki itu sungguh-sungguh,wajahnya tampak sangat letih.      "Bukan masalah besar kok Pak.Ya sudah mari kalau begitu saya antar,tapi Bapak bisakah jadi navigatornya juga?"     "Tentu saja Nak.Ah tunggu sebentar aku harus menutup dan mengunci pintu mobilku" tukas Lelaki tersebut.      Satria menunggu lelaki tersebut menyelesaikan urusannya dengan sabar.       "Nah mari Nak. Oh ya sampai lupa, nama saya Aldi"      "Ah ya,saya Satria Wibisono Pak"      "Satria,nama yang bagus.Tindakanmu mencerminkan namamu" kata Aldi. Menerawang.      Satria hanya bisa meringis mendengar pujian dari orang asing yang baru dikenalnya itu. Hatinya entah kenapa terasa nyaman berada di dekat Bapak bernama Aldi ini.      "Ayo Pak,kebetulan saya selalu membawa cadangan helm ke mana-mana siapa tahu diperlukan" Satria menyerahkan helm sport berwarna kuning kepada Aldi dan segera di pasangnya.      Satria mulai menstater kendaraan,Aldi duduk di belakangnya,berpegangan erat pada san-daran di belakang.  Bunyi mesin meraung makin kencang.Pada hitungan kelima Satria mulai memacu motornya. Dia harus berusaha tidak telat malam ini jika masih mau menyelamatkan mukanya di hadapan Orang Tua Feli.***************        Satria tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan, dirinya yakin segala sesuatu di dunia ini sudah di atur oleh Tuhan. Termasuk, bagian yang satu ini.        “ Kenapa kamu tidak bilang dari tadi kalau kamu temannya Feli” kata Aldi sambil menepuk bahu kanan Satria.       Aldian  Gunantara, alias  Ayah Felishia, baru mengetahui kalau Satria adalah tamu yang akan di undang makan malam oleh Istrinya  hari itu. Setelah Satria dalam kondisi terkaget-kaget memekik kalau tempat tinggal Aldian adalah tujuan kepergiannya ke Citraland hingga bisa bertemu lelaki itu di pinggir jalan. Segera saja Satria di sambut ramah dan hangat di rumah mewah bergaya mediteranian tersebut.      Terlebih lagi setelah Mama Feli, Soraya, muncul dengan kecantikan serta aroma harum untuk menyambut mereka. Wanita itu semaki terpukau pada sifat gentle Satria sesudah mendapatkan laporan dari Suaminya perihal insiden mobil mogok.        “ Terima kasih banyak ya Mas Satria, kalau tidak ada Mas, bisa jadi Papanya Feli kejebak sampai malam di sana. Mana jalanan itu setelah magribh terkenal rawan dan angker” kata Soraya, bahkan sampai bergidik.        Satria hanya bisa tersenyum simpul dan membalas perkataan Soraya. “ Semua sudah di atur oleh Tuhan Tante. Saya memang biasanya lewat jalan kecil itu, pas ketemu dengan Om yang sedang kesusahan. Oh ya, ngomong-ngomong Feli nya di mana ya?”         Leher Satria celingukan mencari sosok gadis mungil dan cantik, kekasih hatinya yang sejak tadi tak kunjung muncul. Padahal sudah ada setengah jam Satria berada di ruang keluarga bersama kedua Orang Tua Feli.        “ Feli lagi masak tuh. Begitu tahu kamu mau datang dia belajar mati-matian dari subuh buat masakin sayur asem, tahu, tempe, ayam bacem, dan orak-arik telur kesukaanmu katanya ya. Kebetulan sekali itu juga makanan Feli dari kecil loh. Kalau tak ada masakan itu seminggu aja, Feli pasti ngambek dan mogok makan. Hahahahhaha sama persis seperti Kakaknya Sa…..” celotehan Soraya seketika berhenti. Sesuatu seperti menghantam dirinya dan ekspresinya mendadak pucat pasi.        Satria tahu benar siapa yang akan di maksud oleh Soraya. Feli pernah bercerita padanya dulu kalau dirinya memiliki seorang saudara kembar bernama Saga,namun meninggal ketika usia mereka masih 5 tahun akibat kecelakaan mobil. Itu sebabnya Feli menjadi trauma menyetir sampai sekarang, Feli bahkan langsung ketakutan jika mendengarkan bunyi guntur atau petir.       Untungnya Aldian dengan cepat bisa merubah suasana, sebuah topik yang di angkat ten-tang kemampuan menyetir Satria segera mengalihkan pikiran Istrinya dari kesedihan menda-lam. Lagi. Setelah itu Aldian pamit sebentar untuk mandi dan bebersih diri sementara Soraya masih menemani Satria.        “ Ngomong-ngomong Mas Satria tinggalnya di mana? Sama siapa?” tanya Soraya kembali ceria. Menyodorkan secangkir teh melati tubruk hangat yang diseduhnya sendiri.        Satria membeku beberapa saat. Ini dia bagian tersulit sekaligus ketakutan Satria. Tidak semua orang bisa menerima anaknya berteman dengan yatim piatu dan tinggal di Panti Asuhan, apalagi keluarga selevel Gunantara. Namun Satria menguatkan tekadnya untuk mengatakan kejujuran.        “ Saya dari kecil yatim piatu Tante Raya. Saya di adopsi oleh pemilik yayasan Panti Asuhan Teratai Ibu di daerah Surabaya Pusat” jawab Satria apa adanya. Wajahnya seketika berubah menjadi sendu, dan matanya lesu. “ Saya sendiri kurang tahu kisah masa lalu saya, yang jelas seseorang menyerahkan saya kepada salah satu perawat di Panti Tersebut dan kini menjadi Ibu angkat saya. Nirma Wibisono. Nama belakang saya juga dari beliau”         Satria menundukkan kepala, menunggu reaksi mengerikan yang bakal di terimanya. Namun di luar dugaannya, Soraya justru menjulurkan tangannya. Iris gelapnya berkabut oleh air mata. Wanita itu berkata. “ Jangan cemas ya sayang, mulai sekarang anggap saja kami keluar-gamu sendiri. Tante tak keberatan sama sekali kalau harus menjadi Mamamu”       Kehangatan luar biasa melelehkan Satria. Di mulai dari mata, tubuh, isi organ dalam badannya hingga hati. Sebuah kekuatan serta perasaan sayang yang takkan pernah mampu Satria jabarkan membanjiri seluruh dirinya. Detik itu juga akhirnya, secara ajaib, Satria merasakan apa itu arti kata cinta seorang Ibu.         Ya, Satria memang mendapatkan hal serupa dari para pengasuhnya di Panti, namun rasanya tetap saja berbeda. Seperti…entah kenapa Satria seolah-olah sudah jatuh cinta dan menyayangi Soraya, bahkan Aldian jauh sebelum mereka bertemu. Bagi Satria semua seperti Dejavu. Perasaan ini sama persis ketika dia memutuskan, menyatakan perasaannya pada Feli 2 tahun silam.         Soraya berpindah duduknya ke samping kanan Satria, menggenggam erat tangan besar anak muda itu. Dan Satria membalas melakukan hal yang sama. Selama beberapa saat mereka hanya saling pandang, tidak mengeluarkan sepatah pun kata. Tapi mata, telah mengatakan segalanya.        Kehadiran Aldian mengejutkan keduanya. Soraya buru-buru mengelap air matanya, Satria cemas kalau Ayah Feli bakal salah paham. Tapi nyatanya tidak, lelaki itu justru memberikan senyum penuh dukungan pada Satria. Kegembiraan Satria saat ini sungguh sulit dijabarkan.        “ Ah, kamu sudah datang rupanya. Pantesan kok aku kayak denger suara kamu. Tapi kayaknya sudah akrab banget sama Ayah Bunda, bikin iri ajaa” celetuk Feli manja, sambil memonyongkan bibirnya.Satria, Soraya, dan Aldian tertawa bersamaan.        “ Princess, makanannya sudah jadi belum? Papa laper nih…” kata Aldian seraya menepuk-nepuk perutnya.       “ Idiihhh Ayah rakuss. Udah tuh di ruang makan. Ayo ke sana semua” Feli beranjak ke hadapan Satria, menarik lengan pemuda itu dan membawanya menuju ruang makan di ikuti kedua Orang Tuanya di belakangnya.        “ Taraaaaaaaaa…..Tahu, tempe, ayam bacem. Orak-arik telur. Plus sayur asem ala Chef Felishia!”         “ Nah, Fel. Ngomong-ngomong sayur asemnya mana yah?” tanya Satria kebingungan. Meneliti satu persatu menu yang ada di atas meja marmer onyx mewah tersebut.        “ Oh iya lupa, masih di dapur. Sebentar ya semua” Feli meringis lalu bergegas melesat ke dapur.        Satria hanya bisa tertawa melihat kelakuan polos Feli yang dari dulu tak berubah. Namun baru beberapa menit Satria mendengarkan jeritan Feli. Segera saja ketiga orang di dalam ruang makan melesat menuju dapur.       “ Ada apa Feli sayang?” tanya Aldi tergopoh-gopoh datang.       “ Berat banget Ayah….” tukas Feli terengah-engah.       Satria melihat tubuh mungil Feli kewalahan mengangkat sepanci besar berisi sayur asem. Menyeringai geli, Satria buru-buru melesat untuk membantu kekasihnya.       “ Sini biar aku sa….”        Byurrr…       “ Ouchhh….”        “ Satriaa!....”       Bahu kanan hingga dada Satria tanpa sengaja terkena tumpahan sayur asem yang masih panas. Rupanya Feli sudah tidak kuat lagi mengangkat panci berat di tangannya.        Satria jatuh ke atas lantai, memegangi bahunya. Feli masih berdiri di tempatnya, campuran shock dan merasa bersalah. Dan yang bergerak pertama kali justru Soraya. Tanpa banyak bicara wanita itu melepaskan paksa baju atasan Satria dan memapah pemuda itu menuju kamar mandi terdekat. Dengan cekatan Soraya menyiramkan air dingin ke atas bekas tumpahan sayur.        “ Papa tolong ambilkan handuk, Feli ambilkan es batu. Cepat!” perintah Soraya.        Kedua orang tersebut segera melakukan yang diperintahkan oleh Nyonya rumah. Aldi datang lebih dulu dengan handuk di tangan, Soraya segera mengeringkan tubuh Satria dan meminta Suaminya mengambilkan salep antiseptic. Sementara itu Soraya memapah Satria kembali duduk di sofa ruang keluarga.        “ Tenang saja, lukamu takkan parah kok” bisik Soraya lembut.        Satria sendiri sebenarnya masih bingung. Campuran kaget terkena tumpahan masakan panas dengan keterkejutan akibat perhatian yang begitu besar dari Orang Tua kekasihnya. Pemuda itu hanya bisa mengangguk dan memasrahkan diri pada Soraya.          Aldi datang sangat cepat, membawa salep yang diminta Istrinya. Namun tepat saat Soraya masih terfokus mengeringkan bahu Satria, sesuatu terjadi.         “ Tanda ini! bagaimana kamu bisa mendapatkan tanda lahir ini?!”teriak Soraya. Tanpa sadar menekan punggung kanan Satria.        Pemuda itu tahu betul apa yang di maksud Soraya. “ Maksud Tante tanda berbentuk hati separuh di punggung kanan saya. Itu memang tanda lahir saya sejak dulu. Apa ada masalah?”        Satria memandangi Soraya dari balik bahunya, terkejut ketika mendapati wanita itu sudah menangis. Tubuh Soraya bergetar hebat. Segera saja Aldi berputar untuk melihat apa yang baru saja di maksudkan oleh Istrinya.        “ Mustahil…ini tidak mungkin. Hanya dua orang yang kami kenal memiliki tanda lahir seperti itu….” Bisik Aldi. Suaranya parau. Gemetar.        Satria akhirnya memaksakan diri berdiri. Menatap bingung kedua orang di hadapannya. Sesuatu dalam kepala Satria menyalakan alarm tanda bahaya.       “ Apa maksud Om dan Tante sebenarnya?” suara Satria tanpa bisa dicegah meninggi.       Soraya berdiri, matanya memerah karena menangis. Bibir bawahnya digigit keras-keras. Dengan rahang terkatup, Soraya berkata.       “ Aku berani yakin dengan seluruh diriku, di dunia ini hanya ada dua orang yang kukenal memiliki tanda lahir hati separuh di punggung kanan mereka, dan bila didekatkan akan membentuk gambar hati secara utuh. Mereka adalah Saga Gunantara dan Felishia Gunantara, Nak. Sepasang anak kembarku…..”        Prankkk!!....       Es batu beserta baskom yang dipegang oleh Feli meluncur begitu saja, jatuh ke atas lantai. Gadis itu baru datang dan tanpa sengaja mendengarkan ucapan Ibunya barusan.        “ Apa maksud Bunda?” tanya Feli. Menatap nanar Ibunya.        “ Nak…” Aldi mulai, berjalan mendekat dan mencoba meraih lengan Satria yang kini terkulai lemas di samping tubuhnya. “ Kamu adalah putra kami sayang…..putra kami yang hilang dan sudah di sangka meninggal dalam kecelakaan maut 15 tahun lalu. Kamu adalah Saga Gunantara. Kakak kembar Felishia…”*******************         Felishia tidak ingin mempercayainya, semuanya bagai mimpi buruk, namun itulah faktanya.       Setelah penemuan mengejutkan tentang tanda lahir di punggung Satria, kekasih Feli oleh kedua Orang Tuanya. Mereka semua segera menuju Panti Asuhan tempat Satria belasan tahun di besarkan. Melalui keterangan Ketua Panti yang baru, Nirma Wibisono. Satria memang ditemu-kan oleh penduduk Sidoarjo setempat di hari naas kecelakaan mobil maut terjadi, 15 tahun lalu. Rupanya Satria alias Saga Gunantara tidak pernah mati terpanggang di dalam mobil sedan tersebut, melainkan terpental jauh dan jatuh pingsan di sekitaran semak-semak.        Tidak ada yang mencurigai atau pun membuat asumsi jika Satria kemungkinan besar salah satu korban kecelakaan. Itulah sebabnya warga yang baik segera mengirimkan Satria ke Panti Asuhan yang dikenalnya, yaitu Teratai Ibu. Menurut Ibu Nirma juga, Satria alias Saga hilang ingatan. Pukulan pada otaknya mengakibatkan trauma yang menutupi seluruh memorinya. Akhirnya Ibu Nirma memutuskan memberikan nama baru yaitu Satria Wibisono, kemudian membesarkan dan melimpahi anak itu dengan cinta dan kasih sayang layaknya anak kecil normal lainnya.         Soraya hanya bisa menangis sesenggukan. Aldian tak hentinya mengucapkan terima kasih pada Ibu Nirma. Ibu Nirma sendiri sama-sama mengeluarkan air mata. Satria alias Saga tampak kesulitan bicara. Namun hanya Felishia yang merasakan sakit hati.        Drama terjadi ketika Felishia membanting kursi dan kabur dari Panti, mengakibatkan kehebohan. Untungnya Satria berhasil mengejarnya, namun kemarahan dan ketidak adilan yang Feli rasakan membuatnya mendorong pemuda itu menjauh darinya.        “ Pergi! Sana kembali ke Orang Tuamu!” teriak Feli, sarat akan kepedihan.        “ Feli jangan begini sayang”        “ Jangan pernah memanggilku begitu lagi. Kamu ini Kakakku demi Tuhan. Kita sedarah dan kita pernah berciuman?!” Feli dibanjiri rasa dosa seketika.        “ Saat itu kita sama-sama tidak tahu dan….”        “ CUKUP! Semuanya sudah jelas Satria, atau perlu kupanggil Kak Saga. Akhir dari hubungan kita sudah jelas. Aku takkan pernah bisa memilikimu seperti yang kita harapkan sebelumnya, dan itu amat menyakitkan…”          “ Aku tahu Feli, apa kamu pikir semua ini tidak menyakitkan buatku!” emosi Satria meledak di udara, tangisnya ikut pecah. Telunjuknya menuding dirinya sendiri.         Feli menggelengkan kepalanya. Terisak. Lalu menghela nafas berat. “ Sekarang semua sudah jelas. Alasan ketertarikanku yang tidak masuk akal kepada dirimu sejak kali pertama kita bertemu, atau sebaliknya. Aku merasa seperti sudah jatuh cinta sangat lama dan mengenalmu jauh sebelum pertemuan pertama kita. Aku merasa kamulah takdirku. Aku merasa itulah yang dinamakan benang takdir. Tapi aku salah besar. Kamu hanyalah bagian dari permainan hidup rancangan Tuhan untukku”       Satria maju hingga jarak tiada lagi di antara mereka. Jemarinya meraih dagu Feli dengan lembut, membawa dahinya begitu dekat lalu mengecup di sana dalam dan lama. Cukup lama hingga keduanya bisa mendengarkan dentuman jantung masing-masing yang seperti kuda liar berpacu di arena.        “ Aku sangat amat mencintaimu Felishia Gunantara. Tapi kini dengan cara yang berbeda, maafkan aku sayang” kata Satria dengan suara tersendat.        Tangis Feli semakin pecah. “ Aku juga….sangat mencintaimu Sat….maksudku Saga…” Feli memundurkan tubuhnya, berjalan beberapa langkah ke belakang dengan dagu tetap terangkat dan mata masih menatap intens ke kedalaman sepasang iris hitam legam Satria.        “ Jangan mencariku lagi setelah ini, aku butuh sendiri. Dan…selamat tinggal…”        Usai berkata begitu, Feli membalikkan tubuhnya dengan cara sangat dramatis lalu berlari secepat dia bisa. Didengarnya sayup-sayup teriakan memanggil-manggil namanya dari belakang. Bukan hanya Satria, namun juga suara memelas kedua Orang Tuanya.        Tapi Feli tak bisa menoleh dan berbalik lagi. Karena saat ini yang Feli butuhkan adalah waktu.*******************Nusa Dua, 4 tahun kemudian.            There's just no rhyme or reason .Only the sense of completion.And in your eyes, I see the missing pieces.I'm searching for I think I've found my way home.I know that it might sound more than a little crazy but I believe...
            Wanita itu berjalan di hadapan altar. Tampak luar biasa cantik dan mempesona di dalam balutan gaun pengantin abu-abu gading vintageberlengan pendek, berenda-renda dengan pita dan bunga-bunga mawar merah menghiasi sekeliling pinggangnya, gaunnya yang terjatuh pas di tubuhnya hanya mencapai sebatas betis.        Rambut wanita itu hanya di ikal alami begitu saja dan dibiarkan terurai, tudung menutupi wajah dan kepalanya, hiasan bunga mawar merah dipadu aster ungu menjadi mahkota di puncak kepala tudungnya.        Dialah Felishia Gunantara. Wanita yang paling dicintai Satria alias Saga Gunantara, kedua, setelah Ibu kandungnya, Soraya. Wanita yang pernah membuat Satria rela menyerahkan seluruh hatinya. Wanita yang telah menghancurkan hatinya sebagai kekasih, namun akhirnya mengobatinya dengan menjadi adik paling berharga.        Feli akhirnya tumbuh dewasa, kuat dan tegar dari sosok gadis menjadi wanita hebat nan tangguh.        Keputusan Feli untuk bersemedi sesudah segala drama terbongkarnya identitas masa lalu Satria, dengan pergi ke New York ternyata memang tepat. Dua tahun kemudian setelah wanita itu kembali, segala sesuatunya menjadi lebih baik. Rasa sakit itu memang masih terpancar di kedua bola mata cantik Feli setiap kali Satria melihatnya, dan begitu juga sebaliknya.      Namun  waktu perlahan menghilangkannya. Waktu menghapus semua duka. Dan waktu juga secara ajaib mengubah kebencian dan ketakutan menjadi cinta lebih murni serta tulus.       Satria bukanlah Rangga, dan Feli apalagi dia bukanlah Cinta. Namun Satria percaya, kehadiran lagi Feli dalam hidupnya adalah murni sebagai adiknya semata.      Feli bekerja bersamanya mengelola perusahaan keluarga. Ayahnya memutuskan akan segera melepaskan semua beban di hari setelah beliau melihat putrinya dipinang orang. Dan itu adalah sekarang.       Feli berhasil menemukan tambatan hatinya di New York, mantan kekasih yang tak sengaja bertemu karena hujan dan terjebak kemacetan di dalam sebuah kafe kopi. Betrand namanya, adalah pria tampan peranakan Chicago dengan Sunda. Betrand mengajarkan Feli hal-hal baru seperti keterbukaan dan keberanian menghadapi luka. Dan di hari kepulangannya ke Indonesia bersama Feli, Betrand tanpa ragu langsung meminang wanita itu. Mengikat adiknya dalam ikatan pertunangan.        Satria dengan tulus mengucapkan selamat serta merasakan kebahagiaan luar biasa untuk adiknya. Terlebih dari itu, dia sendiri sudah menemukan jalannya.        Wanita cantik nan sederhana di sampingnya, yang kini tengah menggengam erat telapak tangannya hingga berkeringat.Seorang keturunan suku jawa asli, berwajah manis bagaikan gula jawa yang membuat ketagihan bila digigit. Dian Kesuma Astuti namanya. Salah satu head manager  di kantor pusat di Surabaya. Pegawai langsung di bawah Satria.       Wanita itu jelas sudah menaruh hati pada Satria di hari pertama pria itu mengambil tanggung jawab sebagai Direktur Pemasaran di kantor pusat. Namun, baru setahun lalu Satria secara berani membuka hati dan memberikan cintanya kepada Dian untuk dijaga serta dilindungi. Sama seperti yang Satria lakukan kepada perempuan cantik itu.        Walaupun untuk saat ini Satria mengaku pada Dian, jika posisinya masih berada di bawah kecintaannya pada Ibu dan Adik perempuannya, namun bukan masalah bagi Dian. Karena yang terpenting dialah penggengam hati seorang Satria Saga Gunantara saat ini dan selamanya.         Prosesi utama mulai berlangsung. Pendeta mengucapkan janji, mempelai saling berhadapan mengatakan sumpah pernikahan dan puisi mereka. Penukaran cincin terjadi. Pengesahan di laksanakan dengan seluruh saksi berdiri, turut mengucapkan janji dan di akhiri tepuk tangan membahana.           Feli mendapatkan dan memberikan ciuman mesra kepada lelaki yang kini sah menjadi Suaminya, setelah tudungnya di buka. Sesudah itu Feli memutar badan dan berlari ke arah keluarganya. Memeluk Ibunya yang menangis tak kurang dari berliter-liter ember sejak semalam. Serta tangis bahagia penuh kebanggaan sang Ayah.         Ketika tiba giliran Satria, Feli tak kuasa lagi membendung isakannya hingga pecah. Satria meraih tubuh mungil adik kembarnya, memeluknya erat-erat dan mengucapkan sebuah kalimat yang akan digunakan Feli sepanjang sisa usianya dan di sampaikan kepada seluruh generasi keturunannya.            “ Cinta itu nyata, ada, dan bisa kau rasa. Cinta tak perlu kau cari, namun kau pahami. Cinta berada tepat di depan dirimu, mengetuk pintu hatimu sejak dulu tapi sering kau mengabaikannya. Cinta sejati bukan ego namun komitmen serta kekuatan ketulusan dan kebenaran yang mendasarinya. Dan paling penting adalah. Hatimu akan selalu tahu, kepada siapa cintamu berada, jauh sebelum kau melihat dan membukanya”
I knew I loved you before I met you. I think I dreamed you into life I knew I loved you before I met you. I have been waiting all my life


A thousand angels dance around you I am complete now that I've found you
I knew I loved you before I met you I have been waiting all my life…. 

CERMIN LAIN 

DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 26, 2014 04:19

November 19, 2014

Surrender In Your Arms - Chapter 10


Telephone di kantor CEO Webb’s Finance berdering hampir tanpa henti sedari pagi hingga sore hari. Elliot sibuk di dalam kantornya, bahkan hampir terlupa dengan makan siangnya. Dia telah memerintahkan Hannah untuk menjadwalkan ulang semua pertemuan bisnisnya per hari ini. Pertemuan dengan klie di atas pukul enam sore telah dia batalkan, digantikan keesokan hari, atau hari lainnya. Dia harus menjemput Missy pukul tujuh malam untuk makan malam di rumahnya.
Missy adalah seorang pemilik butik gaun pengantin di pusat kota. Dalam usianya yang ke dua puluh lima tahun, Missy cukup berhasil dalam bisnisnya. Kliennya terdiri dari artis-artis dan para pejabat yang tidak sedikit. Dengan pengaruh mereka, Missy melebarkan sayapnya pada kelas atas. Dia sedang berusaha untuk itu, hingga iklan dari Elliot mencuri perhatiannya.
“Sir, sudah pukul enam sore. Anda tidak bergegas?” tanya Hannah dari intercom.
Elliot melirik jam tangannya, dia tidak memiliki banyak waktu untuk pekerjaannya. Dengan kesal dia menutup laptopnya, menggamit jas kerjanya dan bergegas keluar dari kantornya. Di depan meja Hannah, Elliot mendiktekan pekerjaan yang harus diselesaikan Hannah.
“Kabari aku nanti malam, Hannah. Jangan segan untuk menelphoneku. Ini adalah transaksi penting. Jangan sampai salah.” Elliot mengenakan jasnya, dia terlihat terburu-buru. Tinggal setengah jam lagi untuk menjemput calon istrinya. Dia tidak boleh terlambat.
Dengan kecepatan tinggi, Elliot memacu mobilnya ke alamat Missy. Sebuah gedung apartemen mewah dengan tarif selangit. Elliot tidak pernah menyangka Missy akan tinggal di tempat seperti ini. Kendati pun dia adalah satu-satunya calon yang paling mendekati kriteria Elliot, dia tidak menyangkanya sama sekali.
“Apartemen nomer tujuh puluh,” terang Elliot pada petugas di lobi. Petugas itu kemudian menghubungi Missy, tak lama, wanita itu turun dan menyapa Elliot di ruang lobi.
Keduanya berpelukan, mencium pipi masing-masing, seolah mereka telah saling mengenal untuk waktu yang cukup lama. Missy tidak pernah terlihat gugup di depan Elliot, kebalikannya, pria itulah yang mendadak guguk di samping Missy. Dia kembali teringat dengan seorang wanita lain yang mungkin akan menyadari arti kedatangan Missy di dalam rumahnya.
“Kita berangkat?” tanya Missy, mereka telah berada di dalam mobil yang belum dinyalakan sama sekali.
Elliot tersadar dari lamunannya, “Ya, kita berangkat.”
Mobil itu pun melaju meninggalkan apartemen menuju kediaman Elliot.
“Kau terlihat cantik,” ujar Elliot. Mobil masih melaju di jalanan ramai.
Missy tersenyum, dia senang dengan pujian Elliot. “Hanya cantik?”
Sudut bibir Elliot terangkat, “Kau terlihat cantik, anggun dan menawan. Kau tahu bagaimana berdandan.”
Missy tergelak, “Bukankah sudah kutuliskan dalam CV-ku mengenai pekerjaanku? Aku seorang perancang pakaian pengantin. Aku harus tahu apa yang akan kukenakan, kan, Tuan Webb...,” bisiknya di telinga Elliot. Udara hangat ditiupkan Missy pada telinga Elliot, laki-laki itu menelan ludahnya.
“Ya, aku lupa.”
“Rileks, aku tidak akan memakanmu. Tidak sekarang,” tawa Missy renyah. Dia sangat senang melihat reaksi Elliot hanya dengan godaan kecilnya. Apa yang dia perlihatkan pada Elliot saat pertemuan pertama mereka bukanlah dia sepenuhnya. Pria itu tidak tahu apa pun mengenai dirinya. Belum....
Elliot tertawa kaku. Lelucon Missy telak mengenai pikirannya, bagaimana dia berharap wanita di sampingnya itu akan “memakannya”.
“Bila kau lapar, Mrs. Rose sudah menyiapkan makan malam yang nikmat untuk kita. Kau bisa menunggu, kan?” senyum Elliot kecut.
Di bawah lampu jalanan yang remang-remang, Missy yang mengenakan gaun hitam dengan sebatas dada, belahan gaun yang memperlihatkan betisnya yang langsing, yang kini sedang saling tindih, disilangkan, diperlihatkan dengan gamblang untuk mata Elliot. Laki-laki itu berkali-kali memperbaiki letak celananya, berharap mata Missy tidak memperhatikan kegelisahannya.
“Siapa nama anak-anakmu, Mr. Webb?” tanya Missy mengalihkan pembicaraan mereka.
“Kau bisa memanggilku Elliot. Anak-anakku, Landon, tujuh tahun, dan Derby, lima tahun. Aku harap kalian akan saling menyukai,” kata Elliot.
“Ya, aku juga berharap seperti itu,” jawabnya. “Apakah selain diriku, kau menemui pelamar-pelamar lainnya, Elliot?”
“Hm... well. Bisa kukatakan begitu.”
“Banyak?”
Elliot tertawa pendek, “Ribuan. Dan kau salah satu di antara mereka.”
Mulut Missy menganga, bibirnya membulat membentuk kata “Wow”
“Sebanyak itu? Wow... kau adalah seorang bujangan paling ditunggu-tunggu rupanya. Apakah aku harus mengeluarkan skill terbaikku untuk merebut hatimu?”
“Entahlah. Menurutmu?” tanya Elliot. Dia tidak yakin akan ada seorang wanita manapun yang sanggup untuk mencuri hatinya lagi, karena hati itu telah dibawah mati oleh almarhum istrinya.
Missy membasahi bibirnya dengan lidahnya, “Aku rasa... aku akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk membuatmu menoleh padaku,” ujarnya sambil tertawa.
“Aku ucapkan selamat mencoba untukmu,” kekeh Elliot. Mobil miliknya kini telah mencapai pintu gerbang kediamannya. Mereka pun turun dengan Elliot membukakan pintu mobil bagi Missy.
“Rumah yang sangat indah. Berkelas... dan menawan. Aku pernah mencoba membeli rumah di sekitar tempat ini, tapi tidak ada satu orang pun yang bersedia menjual rumah mereka. Nampaknya lingkungan di sini sangat nyaman,” kata Missy. Dia menebarkan pandangannya ke seluruh taman dan bangunan di dalam kediaman Elliot.
“Tunggu sampai kau melihat ke dalam rumah, kau akan lebih terkagum-kagum,” ujar Elliot.
“Oh, ya? Tentu saja.”
Missy menggamit lengan Elliot saat mereka masuk ke dalam rumah, dimana Mrs. Rose dan pelayan-pelayan lain telah menunggu dengan hormat. Kedua anak Elliot juga telah menunggu di atas sofa di depan tivi kedatangan ayah mereka. Mereka telah disiapkan sedemikian rupa dengan penampilan terbaik mereka untuk malam ini.
“Daddy....,” panggil Landon dan Derby bersamaan. Mereka berlari menjangkau ayah mereka untuk berpelukan.
“Hei, anak-anakku. Apa kabar kalian? Daddy merindukanmu.” Elliot mengecup kening kedua anaknya, mereka berpelukan cukup lama., meninggalkan Missy untuk melihat-lihat ke dalam ruangan rumah itu dengan matanya. Dia disapa oleh Mrs. Rose namun wanita itu hanya tersenyum penuh misteri.
“Siapa dia, Dad?” tanya Landon pada ayahnya, tangannya menunjuk pada wanita berambut hitam kecoklatan yang digelung rapi di atas kepalanya. Missy mengenakan lensa kontak berwarna biru, menyembunyikan warna retina aslinya.
“Missy, ehm... ini Miss Mariah Rainbow, kalian bisa memanggilnya Missy. Dia adalah... ehm...,” Elliot cukup kesulitan mencari istilah untuk Missy pada anak-anaknya.
“Kandidat calon istrimu?” tanya Landon dengan nada datar. Dia menilai penampilan wanita ayahnya.
Elliot berdehem membersihkan tenggorokannya, para pelayan berbisik-bisik di antara mereka membicarakan mengenai Missy dan tujuannya kemari.
“Miss Rainbow adalah seorang teman dan dia spesial. Kita akan makan malam bersama Miss Rainbow, jadi... Daddy ingin kalian bersikap baik. Bisakah Daddy mendapatkan kata ‘yes’ dari kalian?” tanya Elliot pada anak-anaknya.
Dengan pelan Landon menjawab, “Yes.” Sedang Derby terdiam, dia terlihat kebingungan dan melihati nannynya sedari tadi.
“Kenapa kita tidak makan malam dengan Switty, Dad?” tanya Derby polos, dia menarik lengan jas ayahnya, menunjuk pada Kimberly yang membisu, tidak tahu harus berbuat apa.
“Ehm... Miss Whittaker akan makan bersama yang lainnya. Malam ini kita makan malam dengan Miss Rainbow, okay?” bujuk Elliot pada anaknya.
Wajah Derby cemberut, dia merengut tak senang. Pertama kali ayahnya mengajak mereka makan bersama dengan seorang wanita asing, dan dia tidak menyukainya.
“No! Aku ingin makan dengan Switty!! Aku tidak mau dengan Miss Rainbow!!” pekik Derby marah.
Elliot berkacak pinggang, Kimberly yang melihat situasi tidak terkendali, menghampiri Derby dan membujuk bocah itu untuk menuruti ayahnya.
“Tidak. Aku tidak mau. Aku ingin Switty.”
Derby masih tidak mau mendengar ayahnya. Sementara Elliot menghadapi Derby, dia meminta Mrs. Rose mengantarkan Missy ke meja makan mereka. Di tempat semula, Elliot dan Kimberly masih mencoba membujuk Derby agar bersedia menuruti ayahnya.
“No!!! Aku tidak mau!!!” dia berteriak, marah. Tangisnya meraung-raung. Isakannya memilukan hati. Bocah berusia lima tahun itu mendekap Kimberly dan tidak mau melepaskannya. Bermacam cara dicoba Elliot namun tidak berhasil. Dia pun menyerah.
Tangannya berkacak pinggang, gemas. Jasnya telah dia lepaskan, kedua lengan kemeja putihnya telah tergulung di batas lengan. Elliot jengkel setengah mati pada anaknya, terlebih kejadian memalukan itu terjadi di depan Missy, dan Kimberly.
“Kau tenangkan dia. Aku harus menjamu tamuku.” Elliot meninggalkan Kimberly dengan Derby yang masih menangis. Dia menemui Missy yang berbincang-bincang dengan Mrs. Rose dan Landon, walaupun bocah tujuh tahun itu lebih banyak bermain dengan gamenya.
“Maafkan membuatmu menunggu. Aku juga minta maaf atas kelakuan Derby. Dia biasanya anak baik.” Elliot terlihat frustasi dan sedikit kecewa. Dia berharap kehadiran seorang wanita yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anaknya mampu membuat Derby senang. Dia ingin Derby menerima Missy, sebagai ibu barunya dan istri ayahnya.
Mrs. Rose dan pelayan lain keluar dari ruang makan, mereka bersiap-siap menghidangkan jamuan makan malam.
“Aku lihat Derby dekat dengan babysittermu. Apakah itu tidak terlalu berlebihan menurutmu, Elliot?”
Elliot melirik tajam ke arah Missy, “Apa maksudmu?” tanyanya.
“Bukan maksudku untuk mencampuri urusan keluargamu. Aku tidak memiliki hak untuk itu. Belum... tapi menurutku, tidak baik seorang anak lebih dekat dengan babysitternya daripada orang tuanya. Dalam hal ini, dirimu. Mungkin juga calon istrimu kelak. Aku banyak mendengar berita-berita buruk mengenai babysitter,  berita yang sangat tidak mengenakkan.”
Elliot terdiam, kelakuan Derby yang tidak biasanya menolak permintaannya membuat Elliot berpikir. Sejak kedatangan Kimberly dia memang sudah jarang menghabiskan banyak waktu dengan anak-anaknya. Dia disibukkan dengan pekerjaan dan pertemuan-perteman dengan pelamar-pelamarnya. Sedikit kekhawatiran terlintas dalam kepala Elliot bila apa yang dikatakan Missy benar. Terlebih, dia sama sekali tidak tahu latar belakang Kimberly sepenuhnya.
“Switty adalah orang baik. Kau sebaiknya menjaga ucapanmu, Miss Rainbow,” ujar Landon tanpa berusaha mengalihkan pandangannya dari gadgetnya. Dia berada di sana hanya untuk mengawasi ayahnya dengan calon istri barunya.
Missy berdehem, dia mengangkat dagunya, sedikit mendengus yang tidak diperhatikan Elliot karena Mrs. Rose telah tiba membawakan makanan mereka. Setelah itu, tidak ada yang membicarakan Derby atau babysitter lagi. Elliot dan Missy lebih banyak membahas diri mereka masing-masing, sedang Landon mendengarkan dengan bosan. Dia melirik jam dinding yang telah berdentang sembilan kali, waktu baginya untuk tidur.
“Aku harus tidur, Dad. Besok ada pelajaran matematika, aku tidak boleh terlambat atau Miss Flower akan menghukumku membersihkan papan tulis sepanjang hari,” keluh Landon. Dia terpaksa meninggalkan ayahnya dengan wanita yang kurang disukainya. Entah mengapa Landon tidak menyukai Missy, hati kecilnya lebih memilih Kimberly sebagai orang yang mengasuhnya ataupun sebagai pendamping ayahnya.
Elliot mencium kedua pipi anaknya sebelum membiarkan Landon berlalu dari sana. Kini dia hanya berduaan dengan Missy di dalam ruang makan itu.
“Ehm... bagaimana makan malammu?” tanya Elliot, berbasa-basi. Dia memotong-motong puding karamel di piringnya, bingung memutuskan antara mengantarkan Missy pulang ke rumahnya atau meminta wanita itu menginap.
“Aku suka. Makan malam ini nikmat. Terima kasih, Elliot. Aku rasa ini adalah makan malam paling baik yang pernah aku rasakan, sampai hari ini. Mungkin bila kau memiliki sebotol redwine yang enak, malam ini akan sempurna,” tawar Missy yang langsung ditanggapi Elliot.
“Ya, Tuhan. Tuan rumah apa aku ini. Sebentar. Aku akan mengambil koleksi redwine terbaikku. Kau bisa menunggu di ruang kerjaku, Missy. Mrs. Rose akan mengantarmu. Aku akan ke ruang bawah tanah untuk mengambil koleksiku itu. Tak lama.”
Dengan sedikit tergesa, Elliot menuju ruang bawah tanah rumahnya dimana dia menyimpan berbotol-botol anggur dari segala merek terkenal yang telah disimpan di dalam rumah itu beratus-ratus tahun lamanya, sejak pemilik pertama rumah itu.
Saat kembali menuju ruang kerjanya untuk menemui Missy, Elliot melintasi kamar Derby. Pintu kamar itu tidak tertutup sepenuhnya, dengan penuh rasa ingin tahu, Elliot menyibak daun pintu kamar Derby.
Derby tengah berbaring di atas tempat tidurnya, gadis kecilnya sedang tertawa mendengarkan Kimberly membacakan dongeng untuknya. Bagaimana Cinderella bersembunyi dari pangerannya, bagaimana Sang Pangeran tidak bertemu dengan Cinderella dan pengorbanan-pengorbanan kedua insan itu untuk mempersatukan cinta mereka. Elliot bersandar pada pinggiran pintu, mendengarkan suara Kimberly yang sedang mendongeng untuk Derby. Dia tersenyum, terkadang tertawa tanpa suara saat mendengar lelucon yang dilemparkan oleh babysitter anaknya. Saat Derby menyela Kimberly, pertanyaan yang keluar dari mulut anaknya itu membuat Elliot terpaku.
“Switty, maukah kau menjadi ibuku?”
Kimberly meletakkan buku dongengnya, menggenggam tangan Derby lembut, “Apa yang kau katakan, Sayang. Aku tidak bisa menjadi ibumu. Ibumu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan baik. Tapi aku bisa menyayangimu sepenuh hatiku. Aku akan menganggapmu sebagai anakku, aku mencintaimu seperti anakku sendiri.”
“Tapi aku ingin kau menjadi ibuku. Aku tidak ingin nenek sihir itu menjadi ibuku. Dia pasti akan merebut Daddy. Aku tahu, karena mereka semua seperti itu,” rajuk Derby, masih berusaha meminta Kimberly untuk menjadi ibunya.
Kimberly memeluk Derby, membawa gadis kecil itu dalam pangkuannya. “Jangan berkata seperti itu. Kalian belum saling kenal, kan? Siapa tahu... dia akan menyayangi kalian melebihi aku.” Dirangkumnya wajah mungil Derby, menyentuhkan jarinya pada hidung anak kecil itu, “Berikan dia kesempatan. Bila kau tidak menyukainya, kau bisa mengatakan pada Daddy-mu, kan? Setiap orang pantas mendapatkan kesempatan, Sayang... karena kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya saja,” jelas Kimberly, dia teringat bagaimana Elliot memberikannya kesempatan yang mungkin tidak akan dia dapatkan dari orang lain.
“Menurutmu begitu? Tapi bagaimana bila dia jahat padaku dan Landon? Kalau Daddy tidak ada di dekatku, dia akan berubah menjadi nenek sihir? Seperti ibu tiri Cinderella?”
“Ehm... tidak. Tentu saja tidak. Dia tidak akan berubah menjadi nenek sihir. Lagipula, aku akan selalu di sampingmu. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu mendampingimu sampai kau lulus SD? Sampai Derby yang cantik memiliki banyak teman. Kau suka kan banyak teman, Derby?”
Derby mengangguk kuat-kuat, “Ya, aku suka banyak teman. Aku ingin punya banyak teman. Switty telah berjanji untuk bersamaku, kan. Kau tidak boleh mengingkari janjimu, Switty. Aku akan sedih bila kau pergi seperti nanny-nanny-ku yang sebelumnya?” tanya Derby penuh harap. Bola matanya membulat tanpa kedip.
“Ya, aku berjanji.” Senyum di bibir Kimberly membawa senyuman pada bibir Derby, tepat di saat Elliot menutup pintu di belakangnya dan bersandar pada dinding kamar anaknya. Dia mendesah pelan, menarik nafas panjang, pikirannya berkecamuk.
Derby tidak pernah mengungkapkan keberatannya akan apa pun, namun kali ini dia keberatan ayahnya memilih ibu baru untuk mereka. Sejak awal Elliot berharap calon istrinya akan diterima oleh anaknya, karena itulah tujuan utamanya membuka iklan dulu. bila kini Derby, bahkan Landon tidak menyukai pilihannya, haruskah dia meneruskan permainan ini?
“Elliot? Aku menunggumu,” ujar Missy yang tiba-tiba muncul dari lorong.
“Maaf. Aku lupa waktu saat berada di tempat penyimpanan anggurku. Mengagumi anggur-anggur terbaik,” senyum Elliot meminta maaf.
Missy tidak mempermasalahkannya lagi, dia telah menggamit lengan Elliot dan membawa laki-laki itu kembali ke dalam ruang kerjanya. Satu jam lamanya mereka berbincang-bincang, Missy banyak bercerita tentang dirinya dan bisnisnya, tentang bagaimana dia berkeinginan untuk melebarkan sayap usahanya hingga ke New York dan negara-negara bagian lainnya di Amerika. Malam yang mulai larut pun ikut mempengaruhi keduanya selain alkohol dari botol yang telah habis. Di atas sofa ruang kerjanya, Elliot memangku tubuh Missy saat mereka berciuman dengan mesra. Missy berusaha membuka kemeja Elliot, tapi pria itu menolaknya.
“Aku rasa kita cukupkan untuk malam ini. Aku akan mengantarkanmu pulang,” sela Elliot. Dia masih memangku tubuh Missy di atas pahanya.
Missy terlihat kecewa, tapi senyumnya kembali secepat dia hilang. “It’s ok. Aku mengerti. Tapi aku berharap lain kali makan malam itu akan lebih dari sekedar ciuman,” ujarnya nakal. Dia mencium sekali lagi bibir Elliot yang tidak menolaknya.
Satu jam kemudian, Elliot telah kembali dari luar. Dia masuk ke kamarnya untuk membersihkan badan. Pukul dua belas malam, Elliot mencari anak-anaknya, mengucapkan selamat malam untuk mereka. Saat Elliot memasuki kamar Derby, dia melihat bagaimana gadis kecilnya tengah tertidur dalam dekapan babysitternya. Mereka berdua tidur dengan nyenyak, Elliot tidak tega membangunkannya.
Dia duduk di kursi kecil yang tersedia di samping ranjang Derby. Membelai pelan wajah anaknya, memikirkan kembali apa yang telah dia lakukan sebulan belakangan ini hanya untuk memenuhi egonya mencari seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya, dan mungkin seorang istri yang sanggup membuatnya merasakan kembali bagaimana menjadi seorang suami. Tapi melihat penolakan anak-anaknya terhadap calon pilihannya, Elliot dilanda kebimbangan. Diliriknya wajah Kimberly, wajah yang begitu polos, tanpa make up, namun dia cantik dengan sendirinya. Tanpa polesan bedak yang berlebihan, tanpa pemerah bibir yang menggoda, dia telah membuat seorang Elliot was-was berada di sampingnya. Melihati dengan seksama wajah Kimberly sedekat ini, Elliot tidak dapat menahan tangannya dari menyentuh mulusnya kulit wajah Kimberly.
Tangannya bergetar saat menyusuri kulit mulus itu, merasakan kelembutan bibir merahnya yang sehat, bahkan saat menyentuhkan jari tangannya pada hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lentik, alisnya yang rapi. Aroma melati yang tercium dari tubuhnya tak dapat membohongi hati Elliot, dia tertarik pada wanita ini. Tubuhnya, dirinya. Bukan hanya tubuhnya, Elliot bersikeras.
Tapi dia tidak tahu siapa wanita ini. Tak mungkin baginya mendekati seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya. Bagaimana bila dia adalah seorang kriminal? Narapidana yang melarikan diri? Pembunuh berantai? Penculik anak-anak?
Kemungkinan terakhir membuatnya bergidik.
“Tak mungkin ada seorang kriminal serupawan ini,” bisiknya pelan.
Kimberly terbangun. Mata mereka secara tidak langsung saling bertatapan. Kimberly masih ling-lung, di antara dunia nyata dengan alam mimpi. Dia setengah sadar dengan apa yang dilihatnya.
“Mr. Webb, anda di sini,” ujar Kimberly.
Elliot mendekap mulut Kimberly, tak ingin suara wanita itu membangungkan Derby. Seketika Kimberly terbangun dari tidurnya, sepenuhnya.
“Shh... Jangan sampai Derby bangun.”
Kimberly mengangguk pertanda mengerti, barulah Elliot melepaskan tangannya.
“Maaf, aku terpaksa mendekapmu,” ujarnya meminta maaf.
Kimberly menggeleng, dia berusaha bangkit dari ranjang dengan perlahan. Sesekali mengawasi Derby yang untungnya tidak terusik dengan gerakannya.
“Kau sudah makan?” tanya Elliot pada Kimberly. Dia ingat bagaimana Kimberly menemani Derby yang sedang kesal hingga dini hari. Tak mungkin Kimberly telah mengambil makan malamnya.
“Sudah terlalu larut untuk makan malam. Aku akan kembali ke kamarku saja.”
Elliot tidak bergeming dari duduknya, tubuhnya menghalangi Kimberly untuk bergerak dari ranjang Derby.
“Aku ingin berbicara padamu. Murni berbicara. Tak akan ada yang lain, aku berjanji. Ikuti aku,” ajak Elliot. Dia mengajak Kimberly masuk ke dalam ruang kerjanya.
Mereka duduk di sofa ruang kerja Elliot. Kimberly duduk dengan gelisah, mengira-ngira apa yang diinginkan oleh majikannya.
“Aku tahu, aku telah menanyakan hal ini berkali-kali. tapi hatiku tidak tenang bila aku belum mendapatkan jawabannya, Miss Whittaker. Kau tahu, berita-berita mengenai penculikan bayi oleh babysitter-nya semakin marak belakangan ini. Aku hanya ingin berjaga-jaga, bila aku mengetahui siapa-siapa saja yang aku pekerjakan. Sehingga aku tidak perlu cemas. Apakah aku perlu cemas dengan identitasmu, Miss?” suara Elliot datar, dia mencoba mencari dalam bola mata Kimberly bila terdapat kegelisahan di dalam sana.
“Aku sudah mengatakannya sebelumnya, Mr. Webb. Aku berasal dari Dashville, sebuah desa kecil dan tidak terkenal di selatan. Tapi bila kau mencarinya, pasti akan kau temukan. Aku tidak memiliki siapa pun lagi. Jadi, aku tidak tahu bagaimana harus menyebutkan identitasku padamu.”
“Kapan kau lahir? Siapa nama aslimu? Nama orang tuamu, nama saudara terdekatmu? Golongan darahmu, status pernikahanmu. Aku ingin kau menulis semua informasi mengenai dirimu di atas kertas ini.” Elliot menyodorkan sebuah kertas putih dan sebuah pena untuk Kimberly.
“Haruskah? Aku kira aku sudah...,”
“Ya, harus!” sela Elliot. “Sekarang juga.” Elliot mengawasi Kimberly bagai elang, tajam dan hampir tanpa kedip.
Dengan enggan Kimberly menuliskan seluruh data dirinya di atas kertas itu. Dia ragu bila harus menuliskan semua kebenaran di sana, karena dengan mudah Elliot akan mengetahui tentang asal-usulnya, tentang bagaimana dia pergi dari rumahnya karena sebuah masalah.
Kimberly telah menuliskan semua data dirinya di atas kertas itu, dia menyerahkannya pada Elliot yang membacanya satu per satu.
“Nama, Kimberly Francis Whittaker. Lahir, 20 Juni 1988. Orang tua, James dan Anny Whittaker. Saudara, tidak ada.” Elliot melirik ke arah Kimberly yang masih menunduk. “Alamat... kosong. Kau tidak punya alamat di Dashville?” alisnya berkedut.
“Itu bukan rumahku, jadi itu bukan alamatku. Orang tuaku sudah meninggal, mereka tidak mewarisiku apa pun.”
Elliot membaca kembali tulisan tangan Kimberly, “Sekolah terakhir, high school... pernah bekerja sebagai babysitter untuk paman dan bibimu Ryan dan Kelly Whittaker, sebagai pramusaji di restoran di kota Carlington. Carlington, aku kira pernah mendengarnya, tapi itu bukan di selatan. Bukankah itu di dekat Dessert County di Maryland?” tanya Elliot lagi, dahinya berkerut bingung.
“Ya, anda benar.”
“Kau mengelana sejauh itu?”
Kimberly tidak menjawab pertanyaan Elliot, sebaliknya, dia hanya diam. Semakin menekuk dalam duduknya. “Aku tidak pernah berbuat kejahatan jika itu yang ingin kau tahu, Tuan.”
Elliot menghela nafasnya, “Bukan itu yang ingin aku ketahui, Nona Whittaker. Aku ingin tahu, mengapa begitu sulit untukmu mengungkapkan siapa dirimu pada majikanmu. Majikan yang jelas-jelas mempercayakanmu untuk menjaga anak-anaknya. Kau tahu apa arti mereka bagiku, kan? Mereka adalah nyawaku. Aku mempercayakan nyawaku padamu. Bukankah wajar bila kau juga mempercayakan nyawamu padaku?” kata Elliot.
Kimberly terdiam. “Maafkan aku. Tapi semua yang aku tuliskan itu adalah data-data asliku. Aku hanya kurang beruntung karena hidupku berpindah-pindah dari rumah ke rumah kerabatku. Aku adalah orang yang terbuang, Tuan. Anda bersedia menampungku, aku sungguh berterima kasih. Bila anda tidak ingin mempekerjakanku lagi, aku akan pergi dan tidak membantah,” Suara Kimberly berat, itu adalah pilihan yang tidak ingin dia pilih tapi harus dipilihnya.
Elliot meletakkan kertas itu di atas meja. Dia menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa, mendesah berat.
“Usiamu dua puluh enam tahun. Kau sudah dewasa, Nona Whittaker. Kau tahu apa konsekuensi dari setiap perbuatanmu. Baik itu buruk maupun positif. Aku hanya berharap kau memberikan semua nilai-nilai positifmu untuk keluargaku. Terlebih, Derby sangat menyukaimu. Aku tidak ingin melukai hati anakku karena mengusirmu dari rumah ini. Lebih baik kau perhatikan apa-apa saja yang akan kau lakukan dan katakan pada Derby. Anak kecil cepat belajar, aku rasa kau lebih mengerti dari aku mengenai hal itu.” Elliot menutup ceramahnya.
“Tidurlah. Sudah terlalu lama aku menyita waktu istirahatmu. Selamat malam,” Elliot mengantarkan Kimberly ke depan pintunya, berharap wanita itu menoleh sekali lagi padanya, namun dia harus kecewa karena Kimberly tetap berjalan pelan memunggunginya.

“Aku terlalu keras padanya,” desahnya panjang. Elliot tidak habis pikir mengapa dia bersikap sekeras itu pada Kimberly. Bahkan untuk tahu identitas wanita itu begitu sulit, Kimberly menutup dirinya dari orang lain. Dia ramah, dia sopan. Tapi sangat sulit bagi Elliot untuk menguak isi hati wanita itu.

“Mungkin Mrs. Rose tahu. Perempuan suka bergosip, kan?” dia menggigiti bibirnya, keinginan untuk tahu mengenai diri Kimberly begitu besar. Tapi dia harus mengurungkan niatannya mengganggu tidur Mrs. Rose karena Missy menelphonenya dini hari buta. 
Part 9 
DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 19, 2014 11:44

Catching Angel's Heart - Chapter 14


Malam ini jamuan makan malam pengumpulan dana untuk biaya kampanye senator Jackson diadakan di ballrom hotel The Carlington. Hadir hampir seluruh pengusaha-pengusaha yang memiliki kantor pusat di Louisiana, yang selama ini telah menjadi pendukung setia senator Jackson, salah satu senator yang disegani di Amerika Serikat. Hanya tinggal menunggu waktu sampai Senator Jackson mengumumkan keinginannya untuk ikut bertarung memperebutkan kursi nomer satu di negara ini. Namun tampaknya Senator Jackson masih menikmati perannya sebagai wakil rakyat nomer satu dari Louisiana di gedung pemerintahan pusat.
Acara malam itu berlangsung meriah, dana yang rencananya akan digalang dalam dua puluh kali acara makan malam itu masih memerlukan jalan yang panjang untuk mencapai target. Meski demikian, seorang dermawan yang menyumbangkan hartanya bagi kampanye Senator Jackson rupanya memilih untuk menutupi setengah dari jumlah seluruh biaya kampanye senator Jackson. Saat namanya diumumkan, dermawan itu berdiri dari duduknya dan memperlihatkan dirinya di depan publik pendukung Senator Jackson. Dia mendapatkan tepuk tangan meriah dan dielu-elukan oleh pendukung Senator Jackson, sementara Senator Jackson hanya tersenyum kecut karena terpaksa.
Malam itu Evellyn tidak ikut serta menghadiri pesta itu, David tidak dapat menemuinya. Namun David tahu, dan Evellyn bukanlah yang dia cari malam ini. Urusannya dengan Evellyn bahkan belum dimulai, David masih mengincar senator Jackson karena hanya laki-laki inilah yang bisa membantunya, mau atau tidak mau. Terpaksa atau dipaksa.
Saat para tamu undangan sudah mulai berpulangan, Senator Jackson menggiring David ke sebuah ruangan sunyi, hanya mereka berdua. Di sana Senator Jackson sekali lagi mengintimidasi David dengan bentakan kasarnya, yang sekali lagi tidak membuat David bergeming.
“Apa yang kau mau? Apa maksudmu dengan menyumbangkan uangmu untuk kampanyeku? Aku tidak bisa kau beli, Mr. Steel,” sergah Senator Jackson marah.
David hanya mendengus, dia meneguk martini di tangannya hingga habis. “Aku hanya ingin mendukung idolaku untuk menjabat kembali di Gedung Capitol Hill untuk musim berikutnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu kan, Sir? Undang-undang tidak melarang masyarakat untuk ikut serta di dalam kampanye dan uang yang kusumbangkan itu murni uang hasil jerih payahku. Bersih. Anda tidak akan dituntut macam-macam,” ujar David sembari tertawa.
“Kau...!! Tapi kau tetap tidak akan kuizinkan menikahi anakku. Evellyn harus menikah dengan pria yang dia cintai. Tidak dengan dijodohkan, apalagi dengan paksaan. Negara ini adalah negara bebas, setiap penduduknya berhak memilih apa yang baik untuk dirinya. Kau tahu itu, kan, Mr. Steel?”
“Panggil aku David, Mr. Jackson. Ada satu hal menarik yang menurutku tidak bisa anda ingkari. Terutama... saat musim kampanye sudah dekat,” ujar David memulai konfrontasinya.
“Apa maksudmu?” Senator Jackson waspada, dia tahu David Steel bukanlah pengusaha kacangan. Dia tidak bisa dianggap remeh. Kendatipun Senator Jackson tidak pernah mengetahui mengenai bisnis-bisnis gelap milik David, tapi dia yakin, David lebih dari sekedar pebisnis jujur yang menghasilkan milyaran dollar dari penjualan yatch dan peralatan kesehatan. Dia lebih dari itu.
“Maksudku... bila ada satu saja hal buruk yang terjadi di sekitar anda, katakanlah... keluarga anda... atau... anak anda... maka, anda pasti tahu bagaimana nasib dan kemungkinan nama anda diloloskan untuk menjadi senator. Walau berhasil lolos, anda pasti juga tahu seberapa besar kemungkinan nama anda akan dipilih lagi oleh masyarakat Louisiana. Ini juga akan menjadi sebuah noda yang... well... tergantung dari besar-kecil masalah yang anda miliki... dan mempengaruhi rekam jejak anda sebagai seorang negarawan. Anda ingin menjadi orang nomer satu di negara ini, kan, Sir? Suatu hari nanti...,” jelas David. Sudut bibirnya tertarik ke atas, tahu benar ambisi yang dimiliki oleh seorang Frederick Jackson yang telah menggeluti dunia politik sejak usianya muda.
“Aku tidak mengerti kemana arah bicaramu. Katakan secepatnya maksudmu,” perintah Senator Jackson. Dia tidak suka diputar-putar tanpa penjelasan oleh David.
“Aku sebenarnya tidak ingin menggunakan cara ini, tapi anda membuatku tidak memiliki pilihan lain, Sir,” David mendekati Senator Jackson, jarak mereka hanya beberapa senti, David berbisik di telinga Senator Jackson, mengucapkan beberapa patah kata yang hanya bisa didengar oleh pria tua itu.
“Anakmu hamil... dia mengandung anakku,” bisik David.
Tubuh Senator Jackson menegang, matanya membelalak ngeri, tak percaya. Rahangnya mengeras, dia menggertakkan tinjunya kuat-kuat. Kedua tangannya meraih kerah jas David, mencengkeram dan mendorongnya ke dinding. David hanya berlaku dingin, sama sekali tidak merasa takut.
“Kau!! Bajingan!!! Apa yang telah kau lakukan pada Evellyn? Bila kau menyakitinya, aku bersumpah atas nama ibuku, aku akan membunuhmu.”
“Akan lebih bijak bila anda membiarkanku menikahinya dan melihat cucu anda hidup dengan seorang ayah di sampingnya, bukan di dalam kubur,” balas David.
“Kau!! Aku tidak percaya padamu. Evellyn tidak pernah menyembunyikan apa pun dari kami orang tuanya. Bila dia... dia... kau tahu, kalian... pasti dia akan memberitahu ibunya. Apalagi...,” Senator Jackson melihati penampilan David dari sisiran rambutnya hingga ujung sepatu hitamnya yang mengkilat. “Kau bukan selera Evellyn, aku yakin itu. Evellyn, lebih menyukai pria yang sopan dan tahu tata krama, tidak sepertimu. Arogan, angkuh dan congkak. Kau mengira aku akan membiarkanmu menikahi Evellyn walau dia mengandung anakmu? Tidak akan!! Jangan bermimpi, Mr. Steel. Lebih baik aku tidak menjadi senator lagi daripada hidup anakku menderita karena menikah denganmu,” rutuk Senator Jackson.
“Tanyakan padanya, apa yang terjadi saat kalian berada di atas kapal yatch Lady Luck. Tanyakan padanya bagaimana kami bertemu, dan apa saja yang kami lakukan,” David melepaskan cengkeraman tangan Senator Jackson dari kerah jasnya, “Tanyakan bagaimana dia menerimaku, tanyakan bagaimana dia bereaksi padaku. Dan tanyakan, mengapa dia tidak memberitahukan kalian hingga saat ini juga. Dan bila dia masih belum mengakuinya, jangan khawatir... sebuah video akan kukirimkan ke kantormu. Setidaknya, itu cukup, kan... untuk membuatku bisa menikahi anakmu? Tentunya... kau tidak ingin video itu tersebar ke masyarakat luas dan menghancurkan nama keluargamu.”
“Kau!! Bajingan!!” Senator Jackson berusaha meninju wajah David, namun gagal, David berhasil menghalanginya. Tenaga Senator Jackson tidak sebanding dengan tenaga David.
“Tidak ada gunanya, Sir. Bersedia, atau hancur.”
“Nama keluargamu juga akan hancur, tidakkah kau pikirkan hal itu?” tanya Senator Jackson, suaranya mulai tampak gentar.
“Apakah menurutmu aku peduli? Aku hanya menginginkan anakmu. Itu saja,” sahut David.
“Dalam mimpimu!! Tak akan kubiarkan kau menyentuhkan tanganmu yang kotor itu pada anakku!!” Senator Jackson menepis lengan David, dengan kalimat terakhirnya, dia berlalu meninggalkan ruangan itu. Tak lama, Senator Jackson berbisik-bisik pada istrinya, mereka pun meninggalkan ballroom itu sebelum para tamu undangan pulang seluruhnya.
Di dalam ruangan sepi itu, David termenung seorang diri. Untuk pertama kalinya dia merasa bersalah memeras seseorang untuk mendapatkan keinginannya. Sesungguhnya dia tidak peduli dengan pernikahannya akan dibatalkan atau dilanjutkan. Dia hanya ingin mendapat kesempatan kedua bersama Evellyn, untuk mengenal wanita itu, untuk mendapatkan maafnya, menebus kesalahan-kesalahannya. Kendatipun bukan melalui pernikahan, yang sayangnya tidak mungkin bisa tercapai bila mereka tidak berdekatan. Selain itu, menikah dengan Tracy tidak pernah ada dalam bayang-bayang masa depannya. Hidupnya telah berakhir menjadi seorang David Steel yang berengsek, David berharap bersama Evellyn dia akna menemukan kehidupan baru yang merubah kepicikan hatinya. Andai dia berhasil.
~*~*~*~
Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Senator Jackson. David mulai meragukan keberhasilan rencana keduanya. Haruskah dia menggunakan cara ketiga? Dengan menyebarkan video cctv di atas yatch yang merekam ciuman mereka berdua, bagaimana dengan paksa David mendorong Evellyn masuk ke dalam kamarnya, selanjutnya dia hanya perlu membayar wartawan dan jurnalist untuk memberitakan lanjutan dari video itu seperlunya. Orang-orang yang menonton dan membaca berita mengenai mereka akan memiliki pemikiran-pemikiran mereka sendiri dan itu sudah cukup untuk menghancurkan karir politik seorang Frederick Jackson. Bila Senator Jackson rela karirnya pupus, akankah Evellyn rela? David terpekur memikirkan hal itu, tepat ketika suara pintu terbuka kasar, mendobrak dinding dan terpental menutup, setelah sepasang kaki jenjang masuk ke dalam kantornya di gedung Steel and Iron Company.
“Kau bajingan!! Apa yang telah kau katakan pada ayahku?” teriak Evellyn tepat di wajah David. Seorang sekretaris David mengikuti Evellyn dari belakang, berusaha menghalau Evellyn mengamuk di kantor David.
“Tak apa, Carla, keluarlah. Aku mengenal nona ini,” katanya senang. Hari-harinya yang membosankan beberapa hari ini kembali berseri-seri. Dia senang mendapati Evellyn berada di depannya, di dalam kantornya.
Carla sang sekretaris menutup pintu itu sebelum keluar dari sana, meninggalkan Evellyn penuh dengan emosi yang meletup-letup. Dia bahkan masih menggunakan pakaian kerjanya, sebuah nametag masih terpasang pada jas laboratorium yang dia kenakan.
“Kau bekerja di rumah sakit?” tanya David, alih-alih menjawab pertanyaan yang diajukan Evellyn padanya sebelumnya.
“Kau pria berengsek. Aku tidak percaya ada manusia licik sepertimu. Apa sebenarnya yang kau inginkan, ha? Tidak cukupkah kau menghancurkan hidupku? Haruskah kau menghancurkan hidup keluargaku juga??!!” Evellyn meluapkan emosinya di depan David, tanpa bisa dia kuasai, tangisnya merebak frustasi.
David menghalau Evellyn ke dalam pelukannya. Wanita itu meronta, tak rela berada dalam dekapan David lagi.
“Lepaskan aku! Kau bajingan! Jangan pernah sentuh aku lagi! Pria busuk!! Pergi!!” teriak Evellyn berkali-kali. Cakaran kuku tangannya pada wajah dan leher David tidak membuat pria itu bergeming, David merelakan tubuhnya dicakar habis hingga berdarah-darah, David hanya ingin menenangkan Evellyn yang sedang kalap.
“Mengapa... mengapa kau katakan pada ayahku? Tidak bisakah kau simpan itu untuk dirimu? Kenapa kau permalukan orang tuaku juga...,” Evellyn yang kelelahan melawan dekapan David kini memukul-mukul dada pria itu dengan lemah. Tangisnya masih menguasai, bibir, hidung dan matanya merah bengkak. Dia tidak peduli lagi penampilannya di depan CEO Steel & Iron Co. dia hanya tahu, dia membenci David Steel.
“Aku membencimu...,” lajut Evellyn sendu, masih dengan isakan tangisanya.
“Aku tahu,” sahut David, lebih berupa bisikan.
“Aku ingin kau mati,” sambung Evellyn.
“...Aku juga tahu itu,” mau tak mau bibir David terpaksa tersenyum, sunggingan senyum yang menggelikan hatinya.
“Aku akan membunuhmu,” ujar Evellyn, semakin jengkel dengan jawaban David, walaupun dia sudah tidak memberikan perlawanan lagi pada pria itu.
“Aku menunggu hari itu tiba,” jawab David akhirnya.
Evellyn mendorong tubuh David, menjauh dari dekapan longgar laki-laki itu.
“Jangan pikir kau berhasil mendapatkanku, laki-laki memuakkan. Aku tidak akan pernah menerimamu. Aku juga tidak akan pernah memaafkanmu, untuk banyak hal. Kau... benar-benar tidak berperikemanusiaan. Kau... bahkan mulutku tidak kuasa mengucapkan makian untukmu,” cecar Evellyn. Dia hendak pergi dari kantor David tapi lengannya ditarik, dia pun tidak bisa pergi.
“Lepaskan aku!!” teriaknya kesal.
David tidak mengizinkannya pergi, alih-alih membukakan pintu bagi Evellyn, David membawanya ke dalam sebuah suite yang ada di dalam kantor itu. Dia tidak mendengarkan teriakan Evellyn, sorot matanya dingin, menarik Evellyn dengan paksa ke dalam sana.
Evellyn panik, dia teringat kembali akan pemerkosaan yang dilakukan David padanya dulu. “Tolong, lepaskan aku. Jangan, aku tidak mau lagi. Hentikan!!” teriak Evellyn.
Tapi David tetap tak bergeming, hingga akhirnya mereka berada di dalam suite, David mendudukkan Evellyn di atas sofa di sisi ranjang.
“Duduklah. Aku tidak akan memperkosamu. Kau harus menenangkan dirimu.” David membuka lemari pendingin di samping meja rias, mengeluarkan sebotol air mineral dan menuangkannya untuk Evellyn. “Jangan khawatir, tidak ada obat bius atau racun. Aku tidak mabuk kali ini. Kau kira aku menyukai melakukannya saat mabuk?” dengus David, tidak merasa perlu untuk menyembunyikan kebejatannya dari hadapan Evelyn.
David tidak pernah menyembunyikan jati dirinya pada siapa pun, kecuali kedua orang tuanya, atau lingkungan keluarganya yang memaksa David untuk meninggikan derajat dirinya. Bagi lingkungan keluarganya, bersikap dan berbicara tak senonoh adalah hal yang tabu.
David menyodorkan minuman itu pada Evellyn, dia tidak ingin menerimanya, tetapi David memaksa. Dia membuat Evellyn menggenggam gelas itu di tangannya, “Minum. Aku akan mengambilkan handuk bersih untukmu.” Setelah itu David menghilang selama lima menit. Saat dia kembali, sebuah baskom air dingin dan handuk basah berada di tangannya.
Dengan telaten David memeras handuk itu hingga tetes air terakhir. Dia meminta Evellyn untuk merebahkan tubuhnya ke sandaran sofa. Evellyn terpaksa mengikuti kemauan David atau pria itu akan memaksanya lagi. Satu hal yang mulai disadari Evellyn, David adalah pria yang tidak suka ditolak. Dia akan memaksa bila keinginannya ditolak. Dan Evellyn sangat menghindari pria itu memaksanya.
David mengusap wajah Evellyn yang bengkak dan merah karena tangisannya. Senggukan-senggukan kecil masih terdengar dari mulutnya, tapi mendapat perlakuan sopan dari David, sesaat hati Evellyn meragu. Dia hampir lupa dengan tujuan awalnya mendatangi kantor David.
“Tolong jangan kau lakukan apa pun yang sedang kau rencanakan. Hidup ayahku akan hancur bila karirnya hancur. Bila ayahku hancur, ibuku akan hancur. Cukup aku saja, tolong.... Aku tidak akan meminta pertanggungjawabanmu. Aku tidak hamil. Kau tidak perlu mengatakan apa pun pada siapapun. Cukup antara kita, dan ini adalah kali terakhir aku akan menemuimu. Begitu pula kau... aku harap ini adalah kali terakhir kau berhubungan denganku, dengan keluargaku. Biarkan kami hidup tenang dengan kehidupan kami,” pinta Evellyn dengan suara memelas. Dia rela melakukannya untuk melindungi hati orang tuanya.
David tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia masih sibuk dengan handuk di tangan, merapikannya di atas meja sebelum duduk di hadapan Evellyn dan memandang bola mata wanita itu lekat-lekat.
“Mengapa kau kira aku tidak bersungguh-sungguh ingin menikahimu?” tanya David serius.
Evellyn tidak mengerti dengan keinginan David. Di saat pria itu bisa kabur dari tanggung jawab, dia justru menyodorkan diri ke depan tungku perapian. David bisa memilih wanita-wanita lain untuk dimilikinya, mengapa harus Evellyn, mengapa harus wanita yang tidak dia kenal.
“Karena kau tahu aku tak akan pernah menerimamu sebagai suamiku. Kehidupan kita tidak akan pernah mudah. Aku membencimu, lebih memilih mati daripada hidup bersamamu. Tak ada gunanya kau bersikeras,” jawab Evellyn, walau dia ragu mati adalah pilihan yang lebih baik dari sekedar hidup serumah dengan pria tampan di depannya.
David tidak buruk, bahkan tampan. Rambut coklat kehitamannya berkilau sehat. Wajahnya yang bersih tanpa cambang atau kumis sedikitpun, dia menjaga kebersihannya. Selalu tampil rapi dengan pakaian bersih dan licin, meski hanya sehelai kemeja polos. Tak pernah macam-macam dengan menggunakan perhiasan yang akan membuatnya terlihat berlebihan. Sejujurnya, dalam hatinya, Evellyn mengakui dia sedikit tertarik pada David... bila dia diharuskan memilih penampilan pria itu.
“Katakan padaku, antara aku dan pria Jonathan itu, manakah yang lebih kau pilih? Terlepas dari apa yang aku lakukan hanya agar bisa menikahimu?” tanya David, masih dengan sorot mata serius.
“Itu bukan pilihan. Lagipula, kita tidak berandai-andai di sini. Semua sudah kau lakukan, aku tidak bisa menilaimu akan apa yang tidak kau lakukan.” Evellyn mencoba bangkit, tapi sekali lagi David menekan pahanya, mencegah Evellyn berdiri dari duduknya.
“Aku atau dia?” tanya David, menekankan kata-katanya pada ‘aku’ dan ‘dia’.
“Aku tidak memilih,” ujar Evellyn mulai kesal.
“Aku... atau dia...,” kini tubuh David lebih dekat, menyingkirkan meja yang tadinya menghalangi di antara mereka berdua.
Tubuh Evellyn merangsek mundur, semakin merunduk pada sofa empuk, sementara David merayap di atas tubuhnya, menghembuskan nafas hangat yang memelintir perasaan Evellyn. Darahnya berdesir, tubuhnya teringat akat pujian-pujian bibir dan lidah David pada kulitnya, mau tak mau Evellyn terpaksa memejamkan matanya, antara takut menerima apa yang akan diberikan David sekaligus mengingat-ingat sensasi saat bibir basah itu membelai tubuhnya.
Lama hening, tak ada yang bergerak. Mata Evellyn masih terpejam kuat-kuat, menunggu dengan debar jantung tak menentu. Namun tak ada yang terjadi. Dia pun membuka matanya dan mendapati David sedang menatap matanya, tak jauh di atas tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya David, dia masih menunggu jawaban Evellyn.
“Apa maksudmu? Kau, apa yang kau lakukan?” balas Evellyn dengan bertanya kembali.
“Aku menanyakan siapa yang akan kau pilih, dan kau belum memberiku jawaban. Kau hanya memberikanku ekspresi itu...,” decak David geli.
Wajah Evellyn memerah, takut rahasia hatinya tersibak. “Ekspresi apa??” tanya Evellyn untuk menyembunyikan pipinya yang memerah sumringah.
“Ekspresi yang minta untuk dicium habis-habisan... di atas sofa ini. Apakah kau tahu, posisi kita sungguh sangat menguntungkan,” jawab David sembari menyunggingkan senyuman mautnya. Jantung Evellyn seketika melonjak penuh antisipasi.
“Ti...tidak. Aku mau keluar, aku sudah mengatakan apa yang perlu aku katakan. Lepaskan aku. Menyingkir dari tubuhku.” Evellyn mendorong tubuh David, tak berdaya, tubuh David justru semakin membebani tubuhnya.
“Aku pria berengsek, kan? Apa yang membuatmu mengira Singa tidak akan memangsa anak rusa yang masuk ke dalam sarangnya... dengan suka rela...,” bisik David pelan. Bibirnya mencari-cari bibir Evellyn, merayu, menggoda.... pipinya pun berhasil dia kecup. Lalu David bangkit dari posisinya, Evellyn terbengong-bengong di atas sofa, tak menyangka David akan melepaskannya begitu saja.
Alis kanan David terangkat, dia memandangi Evellyn yang masih seperti semula di posisinya, “Kau tidak jadi pergi?” tanya David.
Dengan salah tingkah, Evellyn bangkit dari duduknya. Dia memperbaiki pakaiannya, mendesah frustasi ketika teringat dengan bengkaknya mata dan bibirnya akibat tangisan.
“Apa yang kau kendarai ke sini?” tanya David.
“Aku tidak perlu menjawab itu. Itu bukan urusanmu.”
“Itu urusanku, terutama bila kau akan menjadi istriku, beberapa hari lagi.”
Evellyn menoleh, menatap mata David dan mencari sebuah bentuk penghinaan di dalam sana, tapi dia tidak menemukannya.
“Sekali lagi aku tegaskan, Mr. Steel, kau tidak perlu bertanggungjawab, akan lebih mudah bagiku melanjutkan hidup tanpa lagi kau jejali dengan dirimu. Biarkan aku dengan hidupku, memilih apa yang kuinginkan. Lupakan saja apa yang terjadi di kapal pesiar itu. Aku sudah melupakannya,” sergah Evellyn kesal. Dia tidak suka dengan ego David yang arogan.
Tapi rupanya kata-kata Evellyn menerbitkan amarah dalam diri David, dia menarik pinggang Evellyn dan mendesakkan tubuh mereka. “Kau tidak melupakannya. Bagimana mungkin kau melupakannya? Kau tidak diperkosa setiap hari, kan? Kau berbohong!”
Evellyn terdiam, dia tidak menjawab. Tangannya melepaskan dekapan David, meski pada awalnya sulit, tapi David mengendurkan pegangannya.
“Jangan ganggu kami lagi,” ujar Evellyn sebelum berlalu dari kantor David dan dengan sukses menorehkan sebuah luka dalam hati pria itu.
Entah mengapa, David tersinggung. Seharusnya dia senang mendapati seorang wanita tidak meminta pertanggungjawabannya, sementara dahulu hampir setiap wanita yang ditidurinya mengaku tengah mengandung anaknya. Walaupun dia yakin mereka hanya berbohong, karena David tidak pernah absen menggunakan pengaman, terkecuali saat malam itu bersama Evellyn.

“Semakin kau menolakku, semakin ingin aku memilikimu, Eve....” 
Part 13 
DRAMA INDEX
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 19, 2014 11:02