Kevin Anggara's Blog

August 11, 2022

Esensi Hobi

Saat masih kecil dulu, gue punya hobi bermain layaknya bocil pada umumnya. Mulai dari mainan robot-robotan, mobil-mobilan, sampai masak-masakan. Semuanya membuat gue senang pada masanya, walaupun kalau sekarang coba gue pikir-pikir, “Serunya apaan, ya?” Kenapa pas kecil tuh kebanyakan dari kita cenderung suka dengan hal-hal yang… nggak ada esensinya?


Pada umur ke-25 ini, gue nggak tertarik buat ngerakit gunpla padahal itu mainan robot dari Jepang. Gue juga baru bisa nyetir mobil karena baru punya waktu belajar lewat kursus mengemudi yang kebetulan bisa antar jemput. Setiap hari, daripada memasak, gue memilih untuk order GoFood karena praktis dan masih sesuai budget makan harian. Tiga hal yang membuat gue menghabiskan waktu bermain saat masih bocil nggak ada yang benar-benar gue pelajari lebih dalam sampai berubah jadi hobi.


Ngebayangin rakit gunpla yang bisa memakan waktu berjam-jam udah bikin gue capek duluan. Pengetahuan gue soal mobil itu cuma Avanza dan Alphard. Avanza karena sering gue temui dan ternyata memang mobil sejuta umat. Alphard karena bentuknya gede, mencolok, dan terlihat mahal. Gue suka daun bawang, tapi nggak tau daunnya itu dari bawang yang putih, merah, atau bombai. Hadeh.


Dan berikut ini adalah tiga hal yang menjadi hobi gue sekarang. Hobi yang juga membuat gue bingung dan bergumam, “Kok bisa suka, ya?”


Tas


Gue cukup bingung menjelaskan hobi tas ini ke orang lain. Yang gue ingat, gue memulainya dengan punya dua tas berbeda saat sekolah. Satu tas untuk buku-buku pelajaran, satu tas lagi untuk kegiatan ekskul di luar jam sekolah. Bermula dari situ, gue jadi secara otomatis selalu membuat plan untuk mengategorikan tas berdasarkan: 1) kegiatan yang dilakukan dan 2) durasi gue pergi untuk kegiatan itu. Mungkin hal itu yang membuat gue jadi mengulik brand-brand dan jenis tas yang ada di dunia. Oh, ternyata tas ada yang bentuknya begini, ya? Hmm, bahan untuk bikin tas kompleks juga, kirain tinggal jahit-jahit doang.


Singkat cerita, gue sekarang punya berbagai tas untuk keperluan yang berbeda-beda. Mau pergi futsal nanti sore, gue tau mau pake tas yang mana. Mau pergi nginep di rumah teman 2 hari, oh pake tas yang ini deh. Mau jalan-jalan ke Jepang selama 10 hari, gue tau tas yang cocok untuk menemani perjalanan nanti. Secara nggak langsung, gue jadi belajar dan tau proses untuk membuat satu tas itu ribet banget. Gue juga jadi bisa mengapresiasi tas dengan lebih karena tau proses di baliknya.


Bahkan ada sebuah platform/komunitas dengan nama Carryology, yang membuat sebuah istilah untuk barang-barang seperti tas, dompet, koper, dan sebagainya yang dipakai untuk membawa barang-barang kita. Yeah, that’s “carry” -> Carryology. Got it?


Denim


Kalau ini bermula dari melihat kakak sepupu gue yang selalu pergi dengan jeans yang sama dan ketika jeans-nya dicuci, dia malah marah-marah. Memang kenapa, ya? Bukannya kalau udah dipakai dengan waktu yang lama, baju atau celana itu ya wajar untuk dicuci?


Ternyata gue baru tau bahwa jeans-nya itu terbuat dari bahan raw denim, yang sebisa mungkin nggak perlu untuk dicuci terus-terusan. Semakin sering dipakai, bahannya akan “membentuk” kaki si pemakai dan jadi semakin nyaman untuk digunakan. Semakin lama dipakai juga bahan raw denim itu akan menghasilkan fading (padahal harusnya “menghilang”), sebutan untuk indigo yang terlepas dari bahan raw denim yang terkena gesekan akibat pemakaian. Bagi para pecinta denim, di situ lah letak seninya.


Gue mulai “main” denim pas SMA. Memang awalnya agak menyiksa, memakai celana jeans yang masih kaku dan membuat pergerakan jadi sulit. Tapi, lama kelamaan kok enak juga ya? Celana jeans ini semacam jadi saksi dari perjalanan gue selama memakainya. Ada kepuasan tersendiri ketika gue mengenakan sebuah celana yang sama dalam waktu lama dan sekarang gue ngerti kenapa kakak sepupu gue marah ketika jeans-nya dicuci. Mungkin memang belum waktunya.


Custom Keyboard


Ini mungkin hobi yang baru-baru aja gue temui, tepat sebelum pandemi. Keyboard mungkin terdengar simpel, tapi custom keyboard? Wow.


Gue termasuk orang yang udah mengenal komputer dari kecil. Gue merasa orang dewasa itu keren-keren banget ya kerja di depan komputer. Terlihat keren karena yang gue lihat mereka sangat fokus di depan layar, sambil jari-jarinya menari di atas keyboard. Pengalaman pertama gue dengan keyboard itu saat pelajaran TIK (Teknologi Informasi & Komunikasi) di SD yang mengharuskan gue untuk ke lab komputer. Di saat bocil lainnya senang main game bajakan yang ter-install pada komputer jadul dengan layar tabung itu, gue malah fokus ke sebuah software/aplikasi yang membuat gue belajar mengetik.


Gue lupa namanya apa.


Itu adalah salah satu materi pelajaran dan kami semua ditugaskan untuk belajar mengetik dengan 10 jari. Gue merasa sensasi yang menarik dari jari-jari gue ketika bersentuhan dengan tombol-tombol yang ada pada keyboard. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, gue udah makin lancar dan cepat mengetiknya. Mulai mencari tahu soal jenis keyboard yang unik dan aneh-aneh. Ternyata ada ya custom keyboard?


And.. the rest is history.

Orang lain yang nggak punya hobi yang sama dan melihat gue pasti akan berpikiran, “Kenapa ya dia dia suka dengan hal-hal yang… nggak ada esensinya?” Sama ketika gue membayangkan diri sendiri pas masih bocil bermain robot-robotan, mobil-mobilan, sampai masak-masakan.


Kenapa pas kecil tuh kebanyakan dari kita cenderung suka dengan hal-hal yang… nggak ada esensinya?


Esensi dari hobi memang nggak harus dimengerti semua orang karena suka itu nggak butuh banyak alasan. Esensi hobi? Ya memang untuk kesenangan semata. Bonus kalau ternyata bisa menghasilkan. Ketika masih bocil, gue bermain tanpa perlu mikir nanti ke depannya, “Gue bakal tetap suka nggak, ya?”


Karena itu semua nggak penting selama gue menikmati apa yang terjadi saat itu. Entah ke depannya akan masih menjadi hal yang gue suka atau nggak.


Menarik untuk menunggu apa yang akan menjadi hobi gue dalam… 10 tahun ke depan?

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 11, 2022 02:31

December 8, 2021

Day 30 #30DayWritingChallenge

Write about your childhood ambition

Sewaktu kecil, gue punya keinginan untuk menjadi pilot karena itu ada di daftar cita-cita kebanyakan anak SD. Semacam katalog model rambut di salon, tapi isinya profesi. Mulai dari dokter, pemadam kebakaran, polisi, astronot, sampe presiden. Pilot adalah profesi yang gue pilih karena dulu mikirnya simpel, gue pengin bisa jalan-jalan ke mana aja. Kalo gue bisa jadi pilot, tujuan itu akan tercapai.


Mulai deh gue ganti keinginan untuk menjadi atlet (futsal), tapi karena dulu minus mata gue cukup tinggi, niat itu gue urungkan. Langsung ganti keinginan lagi untuk menjadi apa aja deh bebas, selama bisa punya waktu untuk diri sendiri dan nggak kerja kantoran. Apa yang gue tau dari kerja kantoran adalah bangun pagi setiap hari, berangkat ke kantor, meja penuh dengan dokumen, lembur, baru pulang di malam hari.


Pas kelas 5 SD, gue sempat meminta untuk berhenti sekolah karena nggak mau bangun pagi setiap hari dan pake seragam (kemeja). Dua hal yang malas untuk gue lakukan kalo bukan karena kewajiban. Gue menganggap kalo nanti kerja kantoran, gue juga harus bangun pagi dan pake kemeja. Gue merasa kerja itu nggak harus selalu mulai saat pagi hari dan nggak dipengaruhi oleh pakaian yang gue kenakan.


Keinginan itu ternyata bisa terpenuhi seiring gue mengasah kemampuan gue menulis, yang awalnya dari blog, kemudian ke buku, sampe melebar ke media selain tulisan: video. Hal yang awalnya iseng gue lakukan, sekarang bisa membuat keinginan gue pas kecil terpenuhi. Setidaknya sampe post ini gue tulis, terakhir kali gue bangun pagi dan memakai kemeja itu adalah saat wisuda dua tahun lalu.


Begitu bertambah tua, gue semakin menyadari kalo apa yang gue inginkan saat kecil itu nggak realistis untuk dicapai saat itu. Memang keren punya cita-cita setinggi langit, walaupun katanya kalo jatuh masih jatuh di antara bintang-bintang, tapi… tetap aja itu ketinggian.


Saat kecil dulu ya pastinya gue belum kepikiran sampe sini.


Indah ya masa-masa kecil dulu, masih bisa bermimpi setinggi langit, bermain tanpa kenal waktu, nggak usah pusing mikirin tagihan, apa lagi cara lapor SPT tahunan.


Semoga jalan yang gue pilih ini bisa membuat gue punya cukup waktu di masa depan. Waktu yang memang diinginkan oleh diri gue saat kecil, waktu untuk bermain tanpa beban, waktu untuk tidur siang sepuasnya, dan waktu untuk membuat gue merasa cukup.


Lewat post ini, #30DayWritingChallenge juga udah cukup dan terima kasih untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca tulisan gue dari Day 1 – Day 30. Terima kasih dan sampe bertemu di post lain di masa depan. Saya Kevin, majikan Salmon, pamit istirahat. #30DayWritingChallenge, it’s a WRAP!

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 08, 2021 02:45

December 7, 2021

Day 29 #30DayWritingChallenge

Who and what adds meaning to your life?

Dalam kehidupan, orang selalu datang dan pergi. Makanya, gue nggak punya sosok yang spesifik untuk ditulis tentang topik kali ini. Gue tau jelas, orang-orang terdekat saat ini adalah mereka yang memberikan arti di hidup gue. Seiring waktu berjalan, orang-orang terdekat ini pasti akan ada yang bertahan, ada yang pergi, kemudian digantikan dengan yang baru. That’s life.


Mengambil sedikit quotes dari film Into the Wild, “Happiness is only real when shared.”


Gue setuju. Hidup nggak cuman soal gue, tapi gimana orang-orang terdekat gue juga bisa merasakan apa yang membuat mereka bahagia. Ketika mereka bahagia, gue juga otomatis akan ikut bahagia. Itu yang memberikan arti di hidup yang sementara ini. Ketika gue bisa jalan-jalan dengan orang-orang terdekat, berdiskusi soal kehidupan, atau sekadar menghabiskan waktu bersama sambil menonton channel HowToBasic di YouTube, itulah saat di mana gue sedang menjalani dan menikmati hidup ini.


Apa yang memberikan arti di kehidupan? Pertanyaan ini bisa dijawab setelah tau tujuan hidup gue mau ngapain. Setelah melewati masa-masa kuliah yang udah selesai dan tinggal menunggu wisuda dua tahun lalu, gue mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Jawabannya pernah gue tulis sedikit di post ini, sampe sekarang gue masih punya tujuan hidup yang sama, belum berubah. Apakah akan berubah? Mungkin, tapi gue nggak mau tau dulu karena nanti jadi nggak asik. Gue kan nggak suka spoiler.


Kita semua punya keluarga, anggota keluarga jauh yang ketemunya satu tahun sekali, anggota keluarga jauh banget yang ngaku pernah gendong kita pas masih kecil, pasangan, gebetan yang nggak jadi, mantan, teman, teman yang masuk close friend di Instagram, mantan teman yang udah beda visi misi, tukang nasi goreng langganan, tetangga, dan masih banyak lagi kenalan lainnya yang kemudian menjadi orang-orang terdekat karena punya kontribusi dalam hidup.


Pada akhirnya, kita sendiri yang memutuskan siapa aja orang-orang terdekat ini dinilai dari ikatan darah, kontribusi, atau apa pun itu tergantung value yang kita pegang sendiri. Ketika “siapa” dan “apa” ini bisa membuat hidup kita jadi lebih baik, sikat.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 07, 2021 03:55

December 6, 2021

Day 28 #30DayWritingChallenge

Where do you wish to travel next?

Terakhir kali gue ke Jepang itu di awal tahun 2020, sebelum pandemi menyerang dunia. Sekarang, paspor gue udah mati karena nggak gue perpanjang (alasannya belum bisa ke luar negeri dalam waktu dekat dan malas ke luar rumah). Begitu nanti gue bikin paspor lagi, tahun depan mungkin, udah pasti destinasi luar negeri yang pertama kali gue incar adalah: Jepang. Lagi. Betul, nggak salah baca.


Buat wibu dan pencinta Jepang seperti gue, bisa pergi Jepang itu ibarat… you know. Sebuah ibadah dan ritual suci yang jarang-jarang bisa gue nikmati.


Mungkin destinasi yang gue akan datangi bukan Kyoto lagi, tapi yang belum pernah gue datangi saat ke Jepang sebelumnya. Beberapa destinasinya adalah:


Shirakawa-go. Sebuah desa di prefektur Gifu yang pemandangannya di musim dingin nggak kalah cantik dengan di musim gugur. Dari empat musim yang ada, favorit gue adalah musim gugur karena mata gue bisa dimanjakan oleh warna-warni daun yang mulai berjatuhan. Udara di musim gugur juga sejuk, tapi nggak menusuk seperti saat musim dingin dan turun salju. Masih cocok untuk berjalan-jalan santai tanpa khawatir akan kedinginan. Gue udah menonton cukup banyak vlog dan melihat foto-foto orang lain yang pergi ke daerah ini, lalu memutuskan berikutnya gue harus pergi ke tempat ini.


Hiroshima. Kota bersejarah yang dijatuhi bom atom oleh Amerika saat perang dunia ke-2. Gue dan Louis udah punya rencana untuk pergi ke kota ini saat ke Jepang bareng yang berikutnya. Selain mengunjungi monumen dan bangunan bersejarahnya, kami juga akan mencoba makanan khas di daerah ini dan berjalan-jalan, tergantung arah angin.


Ketika gue bilang berjalan-jalan, maksudnya adalah berjalan kaki sampe nyasar dan mendokumentasikannya alih-alih kami nggak bisa pulang dan tersasar sampe Laut Cina Selatan.


Wakkanai. Kota paling utara di Jepang, terletak di pulau Hokkaido. Terakhir kali mengunjungi Hokkaido pada tahun 2019, gue dan Louis sempat iseng nyeletuk, “Udah di Hokkaido, tanggung nih. Wakkanai, lah~”


Perjalanan dari Hokkaido ke Wakkanai bisa memakan waktu lebih dari 5 jam. Itu baru sekali jalan, belum pulangnya. Next, berarti gue harus menyiapkan waktu lebih banyak sebelum memutuskan pergi ke sini. Perkara nanti di Wakkanai ngapain, belakangan. Nyampe aja dulu.


Cat Island, Tashirojima. Sebuah pulau kecil di sebelah tenggara prefektur Miyagi. Tempat di mana populasi kucing lebih banyak ketimbang manusia. Jauh-jauh ke Jepang, maksud gue, spesifiknya sebuah pulau kecil di Jepang, untuk melihat kucing. Semoga dewa kucing mengabulkan keinginan gue.


Semua yang gue tulis di atas adalah tempat yang nggak pernah gue kunjungi ketika pergi ke Jepang. Destinasi selain Jepang? Hmm.. coba gue pikirkan sebentar. Susah juga, ya. Hmm..


Mungkin hanya satu tempat ini. Tempat yang gue tau dari langganana majalah Bobo sejak SD. Tempat yang menurut gue aneh, unik, tapi keren, tapi kok bisa ya ada tempat kayak gini?


Machu Picchu, Peru.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 06, 2021 04:04

December 5, 2021

Day 27 #30DayWritingChallenge

Write about a gift you have always cherished

Awal tahun 2019, gue dapet early birthday gift dari Gladys. Hadiah itu adalah anjing kecil yang kemudian gue beri nama Salmon.

 

Dari lama, gue memang pengin pelihara anjing sendiri. Rasanya senang gitu kalo tau ada yang menemani di rumah ketika gue lagi kerja, nonton, atau bahkan tidur siang. Ditambah gue belajar untuk berkomitmen juga karena harus merawat makhluk hidup. Nggak sekadar pelihara anjing karena dia lucu aja.

 

Di post Day 15, gue udah cerita cukup banyak soal Salmon. Tentang gimana pola tidur gue cukup berubah karena harus bangun pagi setiap hari buat ngasih makan Salmon. Pergi ke luar rumah juga nggak bisa lama-lama, maksimal tiga jam, lalu gue harus balik lagi karena takut Salmon kesepian.

 

Rasa cemas ketika perjalanan pulang itu terbayarkan ketika Salmon langsung berlari ke arah gue ketika membuka pintu rumah. Salmon menjilati muka gue karena dia senang bapaknya udah pulang, sambil ekor kecilnya bergoyang-goyang.

 

Perlahan, gaya hidup dan pola tidurnya Salmon udah mengikuti gue. Like father, like son. Walaupun kadang Salmon suka kencing sembarangan, kadang marah-marah sendiri, kadang suka males-malesan, tapi ya gue cukup banyak belajar juga dari dia. Bukan, bukan kencing sembarangan yang gue pelajari.

 

Gue belajar untuk menjadi lebih sabar dan untuk lebih peka dengan sekitar. Gue juga belajar untuk bertanggung jawab. Merawat anjing atau hewan peliharaan lainnya itu butuh kesabaran dan komitmen. Mungkin itu hadiah yang pengin Gladys berikan ke gue di ulang tahun yang ke-22. A gift that I will always cherish. Hadiah yang membuat gue banyak belajar untuk menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya.

 

Salmon, sayang sekali lu nggak bisa membaca tulisan ini karena lu adalah anjing. Kalo lu adalah manusia, gue pasti udah jitak kepala lu karena suka kencing sembarangan. Untung lu anjing, Mon. Gara-gara lu, tulisan ini jadi ada. Kalo nggak dikasih lu pas ulang tahun, mungkin sekarang gue lagi menulis tentang dompet pemberian Gladys yang udah rusak dan diizinkan untuk ganti sendiri ke yang baru.

 

Eh, tapi itu bukan gift. Berarti, gue akan menulis tentang Samsung T7 SSD 1 TB yang dikasih pas ulang tahun Maret lalu.

Salmon

LucuJam tidur fleksibelNggak bisa save banyak file

SSD

Bisa save banyak fileMudah dibawa ke mana-manaNggak lucu

Salmon, nggak seperti Malin Kundang yang dikutuk jadi batu karena durhaka. Kalo lu kurang ajar dan kencing sembarangan lagi, gue akan kutuk jadi SSD 10 TB. Lebih bermanfaat!!! Peace, Mon.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 05, 2021 03:45

December 4, 2021

Day 26 #30DayWritingChallenge

Write about your favourite song and share your memories associated with it

Selama empat tahun berturut-turut, isi lagu di Spotify Wrapped gue nggak banyak berubah. Didominasi oleh lantunan musik dari Payung Teduh, sampe musik penyemangat di pagi hari dari Yoasobi. Salah satu dari sekian judul lagu yang punya memori untuk gue datang dari band Jepang, SHISHAMO. Judul lagunya adalah 夏の恋人 (Natsu no Koibito).


Lagu ini sering gue putar ketika lagi menulis, mandi, atau di perjalanan pulang ke rumah. Berulang-ulang, ratusan kali. Musiknya tuh terasa nyaman di telinga dan perasaan. Video klipnya juga terlihat simpel, hanya mengikuti perjalanan seorang wanita dari pergi sampe pulang. Begitu menonton video klipnya, gue menyadari kesamaan antara gue dan si vokalis pada cerita. Gue juga suka jalan-jalan tanpa tujuan, apa lagi pas lagi liburan. Memang sedikit random.


Seperti membiarkan arah angin membawa kita ke tujuan yang nggak diketahui. Seru, kan?


Pas udah lumayan sering ke Jepang, gue udah mulai nggak menyiapkan itinerary sama sekali karena beberapa tujuannya selalu sama. Sebut aja Kyoto, kota favorit gue untuk jalan-jalan santai, minum kopi, sambil dengerin lagu Natsu no Koibito dari SHISHAMO.


Saat itu gue mampir untuk kesekian kalinya ke Ninenzaka, sebuah area jalan yang terdiri dari toko dan bangunan tradisional di setiap sisinya. Gue selalu kembali ke tempat ini setiap ke Kyoto karena gue suka dengan suasananya. Udara sejuk di awal bulan Desember ditemani kopi % ARABICA yang baru buka cabang di Indonesia juga. Kombinasi yang mantap.

Sesekali gue juga melihat isi toko pernak-pernik khas Jepang. Melipir ke Starbucks Kyoto yang tematik karena beda dari Starbucks kebanyakan untuk sekadar beli tumblr yang cuma ada di situ. Selesai jalan-jalan sore, gue lanjut jalan santai di pinggir sungai Kamo. Tetap dengan AirPods di telinga yang masih memutar lagu Natsu no Koibito.


Memori jalan-jalan tanpa tujuan sembari menunggu perut lapar ini selalu teringat, membuat gue kangen untuk balik jalan-jalan lagi ke Jepang. Matahari semakin tenggelam, langit mulai gelap, gue menaiki bus nomor 202 dan berhenti beberapa meter di depan Fire Ramen untuk makan malam. Fire!

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 04, 2021 03:50

December 3, 2021

Day 25 #30DayWritingChallenge

What is the first wish you want to make if you are granted three wishes?

 

 

Enaknya punya tujuan hidup atau keinginan nggak muluk-muluk itu adalah gue bisa lebih menikmati setiap menit waktu gue dengan lebih tenang. Termasuk ketika mendapatkan pertanyaan pada topik hari ini. Sayangnya gue bukan Aladdin, makanya gue nggak akan minta jadi pangeran karena pengin hidup biasa-biasa aja. Tapi, namanya juga berandai-andai, ya.

 

Permintaan pertama gue bisa dibilang lebih masuk akal dan nggak muluk-muluk: pengin melihat One Piece tamat. Kentang bukan rasanya mengikuti sebuah cerita yang panjang, tapi nggak tau ending-nya kayak gimana? Biar hidup gue lengkap, kayaknya gue perlu tau nanti ending One Piece kayak gimana.

 

Perjalanan gue mengikuti cerita One Piece itu baru dimulai awal tahun 2020, di mana pandemi membuat banyak orang di rumah aja. Terlalu malas untuk membuat kopi Dalgona, gue memutuskan untuk maraton One Piece (baca manga) dari 0 sampe chapter yang masih on-going, waktu itu baru 900 sekian, hampir 1.000. Pernah ada satu hari di mana gue genap membaca 100 chapter.

 

Keesokan harinya gue nggak tau bangun jam berapa.

 

Awalnya mungkin ada sedikit rasa malas melihat cerita yang chapter-nya udah ratusan, tapi gue tau cerita dengan chapter yang banyak itu, apa lagi dengan nama sebesar One Piece, bisa tetap berlanjut sampe sekarang pasti punya alasannya tersendiri.

 

Gue mengikuti petualangan Luffy dan mulai “masuk” ke cereitanya di arc Arabasta. Berlanjut ke Skypiea. Nggak cukup sampe situ, masuk ke Water 7. Masuk lebih dalam ke Thriller Bark. Check point di Marineford. Time skip, waktunya gue istirahat. Setelah energi terkumpul, berlayar ke Fish-Man Island. Berpetualang ke Dressrosa. Semua perjalanan itu mengantarkan gue ke lokasi misi yang berlangsung saat ini, Wano.

 

Semakin dekat dengan One Piece, tapi belum ada tanda-tanda akan tamat. Jadi, itu dia permintaan pertama gue kalo dikasih tiga permintaan: melihat One Piece tamat.

 

Yah, namanya juga berandai-andai.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 03, 2021 03:20

December 2, 2021

Day 24 #30DayWritingChallenge

What are the three things you are unable to let go of?

Ini mirip-mirip topiknya dengan Day 3. Kalo di post itu gue menjawab tiga hal terpenting dalam hidup, di post ini juga harusnya sama-sama aja karena gue anaknya konsisten. Tapi, coba gue modif sedikit deh topik hari ini jadi: tiga kebiasaan “jelek” dari diri gue yang nggak bisa gue buang begitu aja. Here we go:


Menanggapi orang sotoy. Alias sok tau. Gue punya kebiasaan untuk selalu menanggapi orang-orang yang sok tau karena kadang gregetan aja gitu sama orang kayak begini. Kalo hate comment kayak, “Konten lu nggak lucu!”,  “Konten lu jelek!” atau sesimpel “Tai lu!” gue masih nggak apa-apa. Jarang banget buat menanggapi yang kayak begitu, tapi kalo udah sok tau, itu beda ceritanya.


Mungkin gue juga mau ngasih makan ego sendiri dengan ngasih tau ke mereka kalo mereka itu sotoy, alias sok tau, alias lu kok lebih tau gue ketimbang gue sendiri, sih? Yang nontonin gue streaming pasti tau kalo gue nggak demen banget sama orang sotoy. Pernah ada satu sesi live streaming khusus di mana aktivitasnya adalah gue membalas komentar-komentar sotoy di video gue sendiri. Kayak misalnya ada yang komentar strategi marketing gue buat upload video behind the scene itu disengaja beberapa bulan setelah video aslinya tayang, biar orang-orang nonton lagi.


Lalu, gue balas bahwa itu salah dan aslinya memang gue baru sempet ngedit aja.


Asli, ini kebiasaan jelek, tapi kok nagih.


Suka block-block-in orang nggak jelas. Nggak cuman Eno Bening, gue juga termasuk aktif block-block-in orang di media sosial. Menurut gue, akun media sosial yang lu punya adalah safe zone lu untuk melihat dan mengikuti apa aja yang lu suka. Kalo ada hal-hal yang mengganggu dan membuat lu risih, feel free banget untuk di-block.


Beberapa yang gue block alasannya karena spam kayak akun judi online, orang sotoy yang gue bahas di poin pertama, sok-sok komentar karena twit gue rame padahal numpang jualan akun Netflix atau Spotify (ini banyak banget), cari perhatian tapi pas dibales malah kesenangan sendiri (responnya: “Akhirnya dibales juga!”), dan tukang spoiler.


Makan sambil nontonin hal-hal nggak penting. Makan gue jadi lama karena ini. Gue punya kebiasaan makan sambil nontonin konten-konten aneh dan nggak penting dengan filosofi: kalo ada bagian yang kelewat itu nggak apa-apa karena memang kontennya nggak penting, yang penting makanan gue udah habis. Banyak talent-talent baru dan masuk kriteria aneh yang gue temukan dari aktivitas ini.


Setiap menunjukkan konten-konten yang gue tonton ketika sedang makan, respon teman-teman gue selalu sama, “Orang aneh apa lagi kali ini, Pin?”


Hal positifnya: gue jadi nggak pernah kehabisan topik obrolan.


Itu dia tiga kebiasaan jelek gue yang nggak bisa gue buang begitu aja. Konten-konten aneh yang gue maksud nggak akan gue sebarkan demi kepentingan desa Konoha. Sekarang gue mau makan dulu, ah.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 02, 2021 03:25

December 1, 2021

Day 23 #30DayWritingChallenge

Your inspiration

Inspirasi bisa datang dari mana aja. Dari orang yang nggak sengaja lu temui di coffee shop, dari musik yang menemani perjalanan balik lu naik ojol, dari curhatan teman lu yang habis putus, atau dari orang terkenal yang memotivasi lu untuk bisa jadi seperti dia. Gue sendiri nggak punya sosok spesifik yang menjadi role model atau inspirasi. Alasannya karena gue banyak bertemu dengan orang-orang dalam hidup ini dan mereka semua secara nggak langsung menginspirasi gue untuk mengerjakan sesuatu atau menjadikan kebiasaannya sebagai contoh yang bisa ditiru. Kebanyakan kalo semuanya masuk di sini.


Biar adil, gue akan mengambil sosok inspirasi ini dari manga/anime yang sedang gue ikuti dan suka: Izuku Midoriya (Deku) dari My Hero Academia. Nggak, nggak dari Naruto karena ceritanya udah tamat. Mari berikan waktu untuk Naruto pensiun dengan tenang.


Di dunia yang sebagian besar populasinya punya quirk atau supernatural ability, Deku, sebagai karakter utama terlahir tanpa quirk apa pun, alias quirkless. Singkat cerita, Deku bertemu All Might yang menjadi sosok inspirasinya selama ini dan Deku semakin bersemangat mengejar cita-citanya: menjadi hero juga untuk menyelamatkan banyak orang. Tapi Deku ingat, dirinya quirkless, dia hanya warga biasa.


Nah, hambatan untuk mengejar impiannya ini justru nggak membuat Deku putus asa. Deku punya determinasi yang tinggi dan nggak gampang menyerah. Tipikal protagonis dari Shonen memang. Ditambah, Deku punya nakama (pinjem istilah manga sebelah) yang solid, alias circle positif yang membuat dirinya berkembang juga.


Gue suka banget sama tema dari cerita My Hero Academia dan terinspirasi sama karakter Deku ini. Benar-benar berasa semangat “everyone can be a hero”-nya. Di awal cerita, Deku yang nggak punya power apa pun menyadari kemampuan dirinya dan memutuskan untuk berlatih lebih keras dibandingkan teman-teman sekelasnya. Deku bangun pagi, lari ke pantai, olahraga, membersihkan sampah di laut, selama berbulan-bulan.


Ditambah soundtrack “You Say Run”, gue mengingat-ingat adegan Deku latihan dan itu membuat gue semakin semangat juga untuk bangun dari tempat tidur dan langsung olahraga. Set dan repetisi terakhir udah nggak kuat? Gue menutup mata sebentar, konsentrasi penuh, lalu meneriakkan, “PLUS ULTRA!” Niscaya beban seberat apa pun akan terangkat dalam nama Deku.


Deku adalah representasi dari hero atau pahlawan yang sesungguhnya. Dia nggak selalu menang di setiap pertempuran, bisa nangis, bisa jatuh, tapi dia selalu belajar, dan berusaha untuk bangkit lagi. Semangat kayak begini yang bikin antagonis Shonen pada minder.


Sekarang, bangun dari rebahan kalian dan angkat galonnya!!


君はヒーローになれる

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 01, 2021 03:16

November 30, 2021

Day 22 #30DayWritingChallenge

What can you do to create an ideal world for yourself and others?

Halaman Unduh untuk Mentahan Langit Mugen Tsukuyomi Dan Soundtrack Youtube Naruto Art Anime Soundtrack

Jadi pemimpin itu susah, setidaknya itu yang gue rasakan ketika menjadi ketua OSIS pas SMP. Gue juga bingung kenapa gue jadi ketua OSIS, tapi yang jelas gue nggak suka in-charge akan sesuatu punya tanggung jawab besar. Beda ya sama nggak mau bertanggung jawab atau lari dari situ.


Ya, gue pengin jadi biasa-biasa aja.


Gue merasa udah turut berpartisipasi di dalam kelompok masyarakat dengan menjadi orang yang pasif karena semuanya ada porsi masing-masing. Dalam arti, udah ada orang-orang lainnya yang aktif dan bersedia in-charge, ya gue jadi pelengkap aja di komunitas itu. Kalo semuanya aktif dan pengin jadi pemimpin, yang ada bakalan kacau.


Kecuali jika kepentingan pribadi udah “terserang”, mungkin gue akan take action.


Seperti konten video gue di YouTube yang berjudul Sedotan, itu datang dari keresahan gue kepada orang-orang yang memandang sebelah mata mereka yang masih pake sedotan plastik. Setelah melakukan riset, ternyata penyumbang terbesar sampah plastik di laut ya bukan dari sedotan plastik melainkan jaring-jaring ikan yang udah dibuang. Jadi gue merasa, selama gue menggunakan sedotan plastik dan nggak membuang sampahnya sembarangan, gue nggak turut berpartisipasi dalam menyumbang sampah plastik di laut.


Kalo lu mau pake sedotan selain plastik dan stop penggunaan sedotan plastik demi cinta lu terhadap lingkungan, silakan. Kalo gue sih mau pake sedotan plastik buat minum Tehbotol yang ada di botol kaca misalnya. Yang penting gue nggak buang sampah sembarangan. Kontribusi gue dalam menjaga lingkungan cukup di situ, bukan dinilai dari gue pake sedotan plastik atau nggak.


Ini kenapa malah ngomongin sedotan, ya?


Nah, sekarang apa yang bisa gue lakukan untuk membuat dunia ideal untuk gue dan sekitar? Berpartisipasi dengan apa yang gue bisa dan gue yakini aja, sih. Misalnya, gue nggak mau nungguin orang yang datangnya terlambat, maka dari itu gue sendiri juga nggak boleh terlambat dan membuat orang lain nungguin gue. Perlakukan orang sebagaimana lu ingin diperlakukan.


Terdengar sangat individualistis memang. Gue baru akan bergerak ketika gue merasa sebuah kegiatan itu penting untuk gue lakukan. Tapi kalo konteksnya menolong orang di situasi yang nggak memungkinkan gue untuk berpikir itu penting atau nggak, badan ini akan dengan sendirinya bergerak karena sebagai manusia, gue juga punya rasa kepedulian terhadap sekitar. Nggak melulu soal gue doang.


Jadi, setelah baca tulisan ini, apakah lu bisa tau gue setuju atau nggak dengan Infinite Tsukuyomi yang ingin diwujudkan Madara? Hmm.. jawabannya adalah..

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 30, 2021 03:55