Septian Dhaniar Rahman's Blog

April 6, 2015

REVIEW KOMIK AGEN BONG

KIRIMAN REVIEW DARI TEMAN...

Setelah novel Tuan Bong berakhir, tibalah saatnya komiknya beredar sebagai kelanjutan kisah yaitu AGEN BONG.

Berbeda dengan novelnya yang berjumlah 180 halaman, komiknya cukup tipis tidak sampai 60 halaman.

Rating komik ini adalah untuk dewasa (18+) karena memang di sini sang agen rahasia Joni Bong sudah menikah dengan partnernya yaitu Quentina Saverina.

Bersetting tidak terlalu lama dari akhir kisah novel TUAN BONG, Joni dan Rina menikah pada triwulan akhir 2013, lalu mereka mengundurkan diri dari Dinas Agensi Rahasia Negara dan mendirikan biro penyelidik swasta dengan klien-klien para pejabat tinggi negara serta berbagai relasi mereka.

Masalah timbul ketika para musuh Joni dan Rina dari masa lalu tiba-tiba muncul kembali untuk mengusik ketenangan mereka dan komik AGEN BONG ini cukup mengupas sedikit sepak terjang salah satu musuh besar Joni dan Rina, seorang teroris berkode sandi "TOP", seorang trilyuner muda dengan pengaruh luar biasa di dunia. "TOP" menjebak Joni dan Rina yang tengah memeriksakan kesehatan mereka di klinik alternatif yang ternyata milik "TOP". Alih-alih periksa kesehatan, Joni dan Rina malah mendapat serbuan dari "TOP" dan anak buahnya sehingga pertarungan mereka tak terhindari lagi.

Sebagai komikus pemula, sang pengarang ternyata lumayan juga dengan kemampuannya menggambarkan Joni dan Rina yang mirip dengan imajinasi saya di novel TUAN BONG. Kemampuan terbesar Septian selaku pengarang adalah menggambarkan perempuan cantik dan Rina betul-betul cantik dan seksi di sini walau potongan rambutnya agak aneh, Joni juga oke, sementara "TOP" bikin penasaran dengan identitas aslinya.

Koreografi pertarungan juga lumayan, sayangnya penempatan panel dan perspektif setting kendor akibat belum maksimalnya Septian dalam mengeksplorasi kemampuannya berkomik. Beruntung ceritanya cukup oke, dialog-dialognya juga mantap, meskipun alur cerita terlalu gampang tertebak, straightforward begitu.

Rating 18+ saya rasa cukup pas karena ada pembahasan SPERMA juga di sini hihihi dan saya yakin ada beberapa halaman yang terpotong (mungkin Septian menyensor sendiri halamannya yang terlalu vulgar supaya komik ini bisa naik cetak). Endingnya bikin penasaran apakah akan ada lagi petualangan Joni dan Rina selanjutnya?

Ada beberapa halaman tambahan dari Septian selaku komikus mengenai pandangannya tentang komik Indonesia dan beberapa komik yang berpengaruh pada karya-karyanya, serta curahan hati Septian pula selaku komikus pemula mengenai pembuatan komik pendek ini. Septian sendiri menyebut komik ini novel grafis, tetapi menurut saya sebagai reviewer, cukuplah AGEN BONG ini saya sebut sebagai komik dewasa, begitu saja.

Saya sempat membaca preview komik ini beberapa halaman di kaskus dan ternyata Septian membuat komik ini full colour! Sayangnya komik versi cetak ini harus rela berkorban dalam format B/W untuk menekan harga supaya murah (cuma Rp 21000,- kok harganya).

Akhir kata, selamat Sep! Kamu resmi menjadi komikus sekarang! Tingkatkan lagi kemampuanmu dan jangan pernah berhenti belajar ngomik. Kamu punya bakat dan kerja keras akan membuktikan bakat komikmu takkan sia-sia.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 06, 2015 23:54 Tags: agen-bong

January 6, 2015

REVIEW TUAN BONG

Saya belum pernah menemukan nama Septian Dhaniar Rahman dalam peta sastra Indonesia, tapi mulai saat ini saya tidak ragu menyebutkan bahwa sang pengarang punya cukup potensi untuk unjuk gigi dalam kancah sastra tanah air dan mungkin mancanegara berkat novel debutnya ini.

TUAN BONG merupakan novel indie dari penerbit Leutika Prio. Ketebalan novel ini hanya 180 halaman termasuk kover depan dan belakang. Termasuk novel tipis apalagi menurut ukuran reviewer seperti saya yang biasa mereview novel-novel lokal maupun mancanegara yang rata-rata tebalnya minimal 300-an halaman.

Apakah jumlah halaman menjadi aspek acuan saya dalam mereview novel ini? Tentu tidak karena saya biasa menekankan semua aspek review dari berbagai segi yaitu plot dan alur cerita, karakterisasi, tema utama, adegan pembuka, adegan ending yang kesemuanya itu saya rangkum dalam dua garis besar tolok ukur saya yang akan saya tuliskan berikut ini dalam The Good Stuff dan The Bad Stuff.

Saya menyelesaikan membaca novel ini cukup tiga jam saja mulai dari halaman pembuka sampai halaman terakhir di Minggu pagi yang mendung mulai jam sembilan pagi tepat sampai jam dua belas siang. Mari kita tuliskan reviewnya.

THE GOOD STUFF

Mulai dari karakter yang sangat saya sukai yaitu Heng Bong, sang tokoh utama novel ini dalam era pra kemerdekaan 1941, seorang Kolonel Belanda yang membelot gara-gara mencintai Indonesia? Ini Deja Vu, mirip sekali dengan kisah nyata yang terjadi di masa lalu pra kemerdekaan Indonesia secara faktual. Saya tahu betul karena ada seorang tokoh pahlawan penting negeri ini yang mempunyai kisah seperti Heng Bong dan beliau adalah sang pendiri Kopassus awal tahun 50-an dulu, Letnan Kolonel Idjon Djanbi.

Joni Bong dan Quentina Saverina, keduanya sangat saya sukai dalam petualangan mereka di kisah berikut dalam novel ini. Joni Bong adalah cucu Heng Bong, statusnya agen rahasia Republik Indonesia, begitu juga sang partner Quentina Saverina. Interaksi keduanya sangat menarik, saya tidak berani menyebut romantis tapi saya senang dengan keduanya karena lumayan membumi. Mereka berdua tidak tergambar sebagai sosok sempurna melainkan sangat manusiawi dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.

Sean Myring, tokoh antagonis utama dalam novel ini juga tergambar begitu apik. Seorang milyuner muda yang betul-betul menghambakan diri dengan uang, pecandu wanita cantik, perlente dan bukan kebetulan sangat tampan dan flamboyan serta disukai banyak orang. Bule tajir favorit wanita, bahkan pria pun sangat hormat kepadanya. Sean Myring memang jahat, tapi dia mempunyai sisi kebaikan dan sopan santun yang luar biasa pada semua orang, apalagi dia juga sangat cerdas dan lihai, ahli berbagai macam bahasa termasuk bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Karakter pendukung lain di novel ini juga oke menurut saya mulai dari Jeni Bong, adik kembar Joni Bong yang seorang penyanyi kondang, Tejo Sulaksono alias Baginda T, bos besar alias atasan Joni dan Rina (panggilan Quentina), dua tokoh antagonis semasa pra kemerdekaan 1941 duet Eva Von Hamburger dan Jurgen Klobot, sampai sang kekasih Heng Bong yang akhirnya menjadi istri dan juga nenek dari Joni Bong sendiri yakni Nyla Verboden.

Nuansa humor satir begitu kental melekat sepanjang cerita dan hal itu membuat kisah terasa tidak serius tapi justru pas dan mengasyikkan, baik itu dari tingkah laku maupun dialog dari semua karakternya di sini. Tak ada karakter yang sempurna di novel ini baik dari sisi protagonis maupun antagonis dan hal ini membuat saya sungguh kagum.

Adegan aksinya melimpah ruah baik saat petualangan Heng Bong di tahun 1941 maupun saat Joni dan Rina beraksi di akhir tahun 2012 tersebut terutama aksi tembak-tembakan maupun kebut-kebutan alias pengejaran baik itu yang bersetting di Buitenzorg alias Bogor tahun 1941 maupun di Jogja dan Jakarta tahun 2012.
Mobil canggih senjata utama Joni dan Rina dalam bertugas yaitu Esemka Super Coupe Triple Z. Saya kehabisan kata-kata selain INGIN PUNYA!!!

Settingnya menurut saya cukup oke. Buitenzorg dan Batavia, stasiun Cornelis Meester, Waterlooplein hingga HOTEL Des Indes di masa 1941? Sungguh membawa kenangan indah di masa lalu, terutama Hotel Des Indes yang saat itu merupakan Hotel terbaik se Asia Tenggara bahkan seluruh Asia mungkin, sayang kini sudah hancur tak bersisa. Di masa akhir tahun 2012, setting Jogjanya saya acungi jempol lengkap dengan wisata kuliner lagi (jadi pengin mampir ke Soto di Tegalrejo itu lagi!), sementara setting Jakartanya juga lumayan menurut saya. Boleh juga pokoknya.

Pergantian POV alias sudut pandang dari orang ketiga, ke orang pertama antagonis, lalu ke orang pertama protagonis, lalu beralih pada epilog orang pertama antagonis membuat saya terkejut. Serius, saya belum pernah membaca novel dengan pemakaian POV seperti ini sepanjang hidup saya. Kekuatannya terutama terletak pada epilognya. Narasi sang tokoh antagonis pada epilog betul-betul membuat saya merasa tertonjok, apalagi dengan pekikan membahana sang tokoh antagonis di aksi terakhirnya. Saya jadi bersimpati padanya dan berharap semoga dia selamat.

THE BAD STUFF

Sayang sekali, novel seperti ini memiliki penataan layout yang menurut saya sangat tidak memuaskan. Huruf mungkin masih nyaman saya baca, tapi penambahan gambar serta ornamen-ornamen kover di setiap halaman membuat tata letak tulisan jadi terlalu mepet ke kanan dan menjorok ke bawah. Serius saya merasa tidak nyaman, untung saya terbiasa membaca novel yang tebalnya dua kali lipat dari novel ini sehingga saya masih bisa menyelesaikannya sampai tuntas demi sebuah review.

Alur cerita terlalu straightforward, lurus dengan sedikit kelokan, sangat to the point, jadi bahkan dari awal pun saya yakin novel ini memiliki ending optimis, setidaknya begitu. Konfliknya, terutama pada petualangan Joni dan Rina di akhir tahun 2012 terasa kurang bagi saya, mungkin ini juga karena mobil mereka terlalu canggih saya rasa. Saya juga tidak melihat baik Joni maupun Rina terlibat dalam aksi tembak-menembak di sini, padahal ada pistol Walther PPK juga diceritakan di sini. Ternyata sang pengarang tidak mengikuti anjuran Anton Chekov rupanya. Alur cerita juga menurut saya naik turun, sebentar menegangkan, tiba-tiba selanjutnya ketegangan itu merosot tajam. Ini tidak bagus menurut saya.

Kenapa justru Joni Bong sebagai sang cucu yang mendapat porsi penceritaan di sini? Saya kok lebih suka jika sang pengarang mengisahkan ayah Joni Bong yaitu Hugo Bong, tapi itu mungkin tergantung pilihan sang pengarang.

Saya menemukan banyak typo di sini entah itu yang huruf kebalik atau salah kata, salah ejaan miring, juga penataan spasi yang membikin kenyamanan saya membaca banyak berkurang.

Agak aneh juga seorang mantan fotomodel tercantik Indonesia mau-maunya bekerja di Dinas Agensi Rahasia Negara. Saya kira ini pilihan yang kurang wajar menurut saya. Sedikit tidak logis.

Lebih pantas menyebut novel ini sebagai novel pendek karena jumlah karakternya tidak sebanyak novel biasa pada umumnya.
Ini novel ada epilog tapi kok nggak ada prolog? Menurut saya ini aneh tapi nyata.
Ada sejumlah pemakaian istilah yang sama sekali tidak tepat di novel ini. Sejak kapan kata JOMBLO ada di era 1941? Kenapa bukan BUJANG saja kan lebih tepat.

FINAL CONCLUSION (MAKSIMAL 5 BINTANG)
Bagian 00 (POV orang ketiga, fokus pada Heng Bong) saya beri 4 bintang.
Bagian 01 (POV orang pertama, fokus pada Sean Myring) saya beri 3,5 bintang.
Bagian 02 (POV orang pertama, fokus pada Joni Bong) saya beri 3,5 bintang.
Epilog (POV orang pertama, fokus pada Sean Myring) saya beri 4 bintang.
Dengan demikan skor keseluruhannya = 4 + 3,5 + 3,5 + 4 = 15
Kita bagi 15 dengan 4 menjadikan skor akhir = 3,75.
Saya bulatkan **** alias 4 Bintang dari 5 Bintang.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 06, 2015 22:42 Tags: tuan-bong