Mochtar Naim's Blog
August 29, 2009
KUMPULAN KARANGAN MOCHTAR NAIM (1960-2010)
Kawan-kawan, salam,
Melalui Blog WordPress ini saya turunkan rangkaian tulisan/karangan saya dari 1960 sampai 2010. Silahkan manfaatkan bagi Saudara-saudara yang berminat. Hubungi saya: mochtarnaim@yahoo.com jika ada yang mau ditanyakan. Mochtar Naim
Please enjoy reading collection of my writings from 1960 to present (2010). You may give comments or communicate with me: mochtarnaim@yahoo.com.
MENGUNDANG INVESTOR MEMBANGUN EKONOMI SUMATERA BARAT
Sempena Penyampaian Orasi
Pembukaan Peluang Investasi
Di Tiga Kabupaten di Sumbar,
Diadakan di Jakarta, 11 Juni 2009
I
SEGAUNG dengan ajakan yang dilakukan di tingkat nasi-onal, Sumatera Barat pun dalam era otonomi daerah yang bergulir sekarang ini juga tidak mau ketinggalan. Walau Sumbar telah membukakan peluang bagi para investor melekatkan modalnya di berbagai usaha ekonomi dan industri, yang menonjol dan berkembang sejauh ini baru di tingkat usa-ha perkebunan besar, khususnya di daerah-daerah lingkaran luar yang tadinya masih ditutupi oleh hutan ulayat dan hutan negara. Dan sekarang seperti disunglap, petanya telah berubah menjadi daerah perkebunan sawit dalam ukuran berskala besar sampai jutaan hektar oleh berbagai perusahaan yang rata-rata datang dari luar. Di daerah yang sama, tadinya bersilihan antara perkebunan karet estat dan karet rakyat. Permintaan akan karet alam di pasar dunia jauh menurun karena substitusi pengganti yang lebih murah dari bahan galian dan olahan mi-neral lainnya.
Di bidang perikanan laut kelihatannya baru melangkah, dengan dibangunnya satu-dua pelabuhan perikanan dengan satu-dua fabrik pengolahan. Yang laut pantai Barat, sebagai-mana dengan keseluruhan laut di manapun di kepulauan Nusantara ini praktis telah berada di bawah jaringan kekuasaan armada-armada perikanan luar yang dikendalikan dari negara-negara tetangga, khususnya Cina, Singapura, Malaysia, Thai-land dan Filipina. Pembangunan pelabuhan perikanan dan fabrik pengolahan di Sumbar, sejauh ini adalah bahagian dari ekstensi dan sekaligus ekspansi dari kekuatan luar yang telah menguasai perairan laut, tidak terkecualinya pantai Barat pulau Sumatera itu.
Sementara di bidang galian mineral, survei-survei telah dilakukan oleh pihak-pihak berminat, tetapi sejauh ini keli- hatannya tidak berlanjut karena keterbatasan deposit yang tersedia. Khusus di bidang galian batubara, kendala yang di hadapi adalah bahwa deposit yang masih tersedia sudah ber-ada pada tingkat kedalaman sedemikian sehingga diperlukan tingkat teknologi yang lebih canggih untuk mengangkatkannya dari dalam perut bumi. Sejauh ini belum ada investor yang berani melekatkan modalnya untuk usaha pengerukan dengan teknologi lebih canggih itu, walau kunjungan dan survei-survei telah dilakukan oleh sejumlah investor dari Cina. Usaha galian-dalam karenanya sudah berhenti, sementara usaha galian-permukaan sudah berpindah dari daerah kawasan Sumbar ke daerah-daerah tetangga di Jambi dan Riau. Sawah Lunto di bawah Walikotanya yang berfikiran inovatif sekarang ini telah menyunglap Sawah Lunto menjadi kawasan pariwisata pertam-bangan sebagai upaya memanfaatkan nostalgia kepada kejaya-an pertambangan masa lalu. Yang masih berlanjut sekarang ini adalah fabrik semen Indarung yang tadinya dikelola oleh BUMN secara mandiri tetapi sekarang berinduk ke Gresik.
Perkeretaapian pun, dari yang tadinya mengangkut batu-bara sekarang dialihkan untuk keperluan pariwisata. Kita masih akan melihat sampai kapan break-even point dalam pengelolaan-nya akan tercapai di bidang perkeretapian yang mulai dihidup-kan kembali ini. Prospeknya akan sangat tergantung, sampai sejauh mana kegiatan pariwisata di Sumbar akan digalakkan untuk menjadi Bali atau Yogya kedua.
Di bidang pariwisata sejauh ini masih dalam keadaan merambah jalan kendati Sumbar siap dengan daya tarik alam yang mempesona dan budaya sosial yang khas dengan sistem matrilineal terbesar di dunia, tapi tertinggal dalam sarana dan prasarana, termasuk SDM dan budaya usaha kepariwisataan-nya.
Di bidang perkayuan, hutan kita telah compang-camping sebagai akibat dari salah urus dan illegal logging yang semena-mena tanpa kontrol yang efektif karena adanya kolusi saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa. Mentawai karena rimbanya yang ramah lingkungan adalah yang terparah dari semua yang lainnya.
Sementara di bidang perniagaan ritel, kota-kota di Sum-bar kelihatannya seperti berlomba untuk menarik para investor membangun mal-mal yang side-effectnya adalah menurunnya secara signifikan perdagangan ritel oleh pedagang kecil pri-bumi di pasar-pasar tradisional di mana mal-mal juga ditem-patkan. Pemerintah kota kelihatannya lebih tertarik melaku-kan penggusuran K5 demi keindahan dan keamanan kota yang di belakangnya adalah menjaga kepentingan pedagang mene-ngah ke atas yang didominasi pengusaha non-pri yang meru-pakan pemasok utama dari retribusi dan pajak bagi kas pemerintah. Jalur distribusi barang antar-daerah, antar-pulau, dan impor-ekspor, di samping suplai barang-barang kebutuhan kantor di kantor-kantor pemerintah dan swasta lainnya, dan di bidang pembangunan riel estat dan gedung-gedung, sudah sejak semula didominasi oleh kelompok ekonomi kuat yang rata-rata adalah non-pri Cina yang berkolusi dengan pejabat.
II
Sekarang, apa sesungguhnya yang menjadi issue at stake dalam kita mengajak para investor untuk menanamkan modal-nya di bumi Sumatera Barat?
Isu menonjol adalah tuntutan dari para investor sendiri yang maunya, biarkan mereka memenej dan mengelolakan sendiri tanpa campur-tangan siapapun, tidak dari pemerintah dan tidakpun dari keikut-sertaan rakyat sekalipun, kendati mereka membangun di atas tanah ulayat rakyat. Yang mereka, sesuai dengan kontrak HGU-nya, akan menyetor sejumlah retribusi, pajak, dsb, yang telah ditentukan sebelumnya. Merekapun sudah harus siap dengan uang pelicin, siluman, ang paw dan apapun istilahnya, yang secara kasarnya bisa mencapai sedikitnya sepertiga dari total biaya (Sumitro alm memperkira-kan sampai 40 %) dengan melihatnya secara nasional.
Ide ke arah joint-venture atau syirkah kelihatannya adalah yang mereka elakkan. Joint venture bagi mereka adalah juga pengawasan dari dalam bagi pengerukan bahan alam di samping sisi pengelolaan dan pembukuan keuangan – sesuatu yang mereka memang hindari agar permainan eksploitatif mereka tidak terusik. Pembukuan ganda, akibatnya, adalah konsekuensi logis tak terhindarkan. Bagaimanapun, andalan permodalan mereka tetap adalah kredit bank, swasta maupun pemerintah, yang makin besar investasinya makin besar pula ketergantungan akan pinjaman bank, dalam dan luar negeri.
Isu lainnya adalah kesukaran mereka mendapatkan lahan untuk berpijak karena sistem pemilikan lahan yang sifatnya bukan individual tapi komunal berupa tanah ulayat adat. Selama ini pemerintah dalam memberi peluang kepada para investor untuk masuk adalah dengan 'meng-akali-nya' dengan mengiming-imingi rakyat pemilik tanah ulayat dengan lapang-an kerja yang dibukakan kepada mereka, dan dengan konsep plasma di bidang perkebunan di mana rakyat beroleh peluang untuk ikut menanam seluas 2 ha/kk di bawah arahan mereka dan menjual hasilnya kepada perusahaan nuklir mereka, dengan harga beli yang ditentukan secara sepihak oleh mereka. Perkebunan plasma dari segi output hasil ternyata rata-rata lebih baik karena dikelola secara lebih intensif oleh para petani plasma ketimbang secara massal di perkebunan inti yang mengandalkan kepada tenaga buruh.
Para investor tidak hanya menguasai sektor produksi tetapi juga pengolahan dan pemasaran di samping tentunya manajemen usaha tanpa rakyat petani dan buruh perkebunan ikut serta dan ambil bagian secara struktural di sektor mana-pun dalam perusahaan itu. Di bidang ketenaga-kerjaan, para investor memanfaatkan tenaga SDM lokal sebagai buruh kasar, yang karena hanya dibayar kalau bekerja, mereka juga jatuh statusnya ke tingkat 'kuli.' Berhujan-berpanas dalam bekerja di perkebunan adalah barang biasa. Mereka diangkut dengan truk terbuka pagi dan petang ke dan dari perkebunan, berdiri ber-pegangan bahu antara buruh laki-laki dan perempuan adalah juga barang biasa, dan pemandangan umum, sambil mereka juga dibuai dan dihoyak oleh jalan tanah yang tidak rata. Tenaga kerja terlatih dan tingkat menengah lainnya rata-rata didatangkan dari luar daerah, khususnya dari Jawa.
Melalui transaksi secara adat berupa 'siliah jariah' yang diterimakan oleh para pemangku adat, tanah-tanah ulayat rakyat berubah status menjadi tanah negara yang HGUnya diberikan kepada para investor. Namun, sifat transaksinya adalah irreversible. Sekali menjadi tanah negara tidak bisa dikembalikan menjadi tanah ulayat kendati HGUnya sudah habis ataupun operasinya sudah berhenti. Di sinilah letak 'pintar'-nya pemerintah — cq para penguasa negara di daerah — dalam 'mengkecerdiki' rakyatnya, demi dan atas nama pemba-ngunan, di masa lalu di zaman Orde Baru dan berkelanjutan sampai saat ini.
Isu lainnya lagi adalah letak geografis Sumbar yang bukan di jalur lalu lintas perdagangan dunia yang konsekuensinya overhead cost dll akan menjadi lebih tinggi, dan karenanya kalah bersaing dengan daerah-daerah lainnya yang menghadap ke Selat Melaka dan Laut Jawa. Dengan dimungkinkannya peng-angkutan barang masuk dan keluar dan impor-ekspor melalui jalan lintas darat Sumatera ke Jawa dan kota-kota lainnya di Sumatera, peranan pelabuhan outlet Teluk Bayur tidak efektif, sebagaimana juga dengan pelabuhan Bengkulu, Sibolga, dll, yang menghadap ke pantai barat yang di luar jalur lalu lintas perdagangan dunia. Kapal-kapal baru akan singgah kalau cukup barang yang akan dimuat dan dipunggah.
Isu yang paling mendasar berskala nasional – yang adalah juga berskala regional Asia Tenggara — adalah pelestarian bu-daya ekonomi dualistik-kapitalistik yang telah berurat berakar sejak jaman kolonial sampai ke hari ini dengan diundangnya para investor tanpa perubahan paradigmatik yang akan meng-hapus dan menghabisi sistem ekonomi dualistik itu dan meng-arah ke ekonomi syirkah-joint-venture berorientasi kerakyatan — seperti yang dijajakan selama demam kampanye pilpres seka-rang ini. Dan sejauh ini tidak seorangpun dari calon pres dan wapres dari ketiga kelompok kontestan itu yang berani meng-ungkapkan permasalahan mendasar yang sesungguhnya kecuali bermain dengan kata-kata gincu: "ekonomi kerakyatan" itu.
Sementara isu nasional mendasar yang tidak pernah dan tidak berani atau tidak mau kita mengungkapkannya secara terbuka, terutama sejak masa Orde Baru, adalah isu ekonomi dualistik berkelanjutan yang membelah struktur ekonomi nasi-onal kita menjadi dua, dan berjalan menurut jalur segregasi etnik itu. Dualisme dan sekaligus dikotomi sosial-ekonomi dalam masyarakat di Indonesia – dan di kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara – berjalan menurut garis pemisah etnik ataupun ras, yang dahulu antara penjajah dan rakyat jajahan, sekarang antara non-pri – khususnya Cina — dan pribumi, yang perbandingan demografiknya di Indoneasia adalah 5 dan 95. Pemilikan dan penguasaan jalur ekonomi, perdagangan dan jasa berbanding terbalik dengan komposisi penduduk itu. Yang 5 yang non-pri menguasai bagian terbesar, dari hulu sampai ke muara, dan terutama di sektor moderen, dan perkotaan. Yang 95 yang pri menguasai bagian porsi terkecil, khususnya bergerak di sektor pertanian pedesaan dan tradisional, dengan corak perekonomian yang nyaris masih bersifat subsisten, dari tangan ke mulut, berskala mikro.
Sampai saat ini, tidak seorang pun, baik dari ketiga kelompok kontestan pilpres, mereka-mereka yang duduk di eksekutif, legislatif dan yudikatif, di tingkat nasional maupun daerah, partai-partai politik, masyarakat akademis, masyarakat pers dan rakyat umum sekalipun, yang berani mengungkapkan kenyataan sosiologis apa adanya ini, yang faktanya adalah bagaikan siang bak hari, terang bak bulan, bergelanggang mata 'rang banyak.
Hantu misterius yang menyelubungi dan diciptakan sejak masa Orba ini namanya tidak lain adalah 'Sara.' Artinya ini semua bahwa kesenjangan sosial-ekonomi menurut jalur etnik ini sudah dianggap sebagai 'given' (takdir) sehingga harmoni sosial ditegakkan di atas landasan kenyataan segregatif-dualis-tik itu.
Dengan menerima kenyataan kesenjangan ini sebagai sesuatu yang given (takdir), maka di atas itu diciptakanlah hubungan saling-ketergantungan dan saling menguntungkan antara penguasa dan pengusaha. Sadar bahwa gaji kecil, insen-tif kecil, jika hanya mengandalkan kepada gaji semata, seperti yang sering dikeluhkan oleh para pejabat di daerah, maka pemasukan tambahan yang bisa berkali lipat lebih besar, datang dari hasil kerjasama yang mesra itu yang didapatkan oleh kelompok penguasa, yang makin ke atas jumlah pema-sukannya akan makin besar. Dengan gaji formal relatif kecil mereka tinggal di rumah gedongan di daerah elit, dengan kendaraan sedan sampai dua-tiga, berobat ke luar negeri, dan menciptakan hubungan sosial hirarkis atas-bawah, bukan horizontal samping-menyamping secara demokratis-egaliter. Sebagaimana kesukaan para birokrat feodal lainnya, mereka lebih suka dilayani daripada melayani. Yang muncul, dan dimunculkan kembali, adalah budaya feodalisme-aristokratik-birokratik, etatik, yang dahulu dinikmati oleh kanjeng-kanjeng para priyayi di zaman beraja-raja di Jawa sejak jaman Majapahit-Mataram dahulu.
Konsekuensinya tentu saja, bahwa kesenjangan sosial-ekonomi ini akan berkelanjutan, yang sebentar lagi akan menjurus kepada gambaran kesenjangan sosial-ekonomi, lalu melembaga dan membudaya, seperti di Filipina, di mana kelompok non-pri Cina menerabas masuk dan menguasai bukan hanya sektor ekonomi, perdagangan dan jasa tetapi juga jalur-jalur politik, pendidikan, sosial-budaya dan militer sekali-pun, sementara pribumi Filipina yang secara antropologis ma-sih tergolong ke dalam puak Melayu, tersingkir ke udik-udik, ke pedalaman, ke tepi pantai dan ke daerah Selatan – atau menumpuk di perkotaan di daerah-daerah slum yang padat, semrawut dan kumuh.
Kasus Filipina tinggal selangkah di belakang Singapura, yang sekarang praktis telah menjadi negara koloni Cina di Nan Yang Asia Tenggara. Indonesia dalam hal ini berada di urutan ketiga. Negara-negara di Asia Tenggara lainnya berada di belakang Indonesia. Kalau Belanda yang kecil saja berhasil menjajah Indonesia selama 3 ½ abad, bayangkan Cina yang jaraknya hanya sejengkal berlebih dan punya rekam jejak yang kuat sekali di bumi Nusantara ini, sejarahlah nanti yang akan menceritakan bagaimana koloni Nusantara ini akan berkelan-jutan di masa-masa panjang yang akan datang di bawah hegemoni dan suzeranti Cina. Apalagi, emporium Cina sebentar lagi sudah akan menjadi negara adikuasa di dunia, mengalahkan Amerika, Eropa dan Jepang selama ini.
III
Sebelum sampai ke sana, dan sebelum terlanjur jauh, ada baiknya kalau Indonesia belajar banyak dari Malaysia, rumpun kita juga, bagaimana Mahathir mendudukkan ketimpangan sosial-ekonomi antar etnik ini, khususnya antara Cina yang 37 % dari penduduk, yang 90 %nya berada di perkotaan dan menguasai ekonomi negeri dari hulu sampai ke muara. Rumpun Melayu yang 52 % dari jumlah penduduk, 90 % nya ada di pedesaan luar-bandar yang juga tersingkir seperti pri-bumi Indonesia sekarang ini, atau malah lebih parah, sebelumnya. Namun Mahathir cepat mengambil tindakan. Sara adalah sebuah fakta bukan untuk disembunyikan dan ditakuti, tetapi harus dibukakan dan dibeberkan secara rasional apa adanya, karena itu adalah pangkal penyebab malapetaka dari kesenjangan sosial-ekonomi dan penyebab huru-hara dan kegaduhan sosial yang setiap tahun sebelumnya terjadi.
Berangkat dari fakta kesenjangan sosial-ekonomi itulah, di mana puak Melayu hanya menguasai 2 % dari porsi nasional di awal dia berangkat memerintah di awal 1970-an, sementara puak Cina dan lainnya selebihnya, Mahathir lalu membukakan peluang seluas-luasnya kepada puak bumiputera Melayu untuk masuk ke dalam hingar-bingar ekonomi moderen dan mengi-rimkan ribuan putera-putera Melayu tiap tahunnya bersekolah ke manapun di negara-negara maju di dunia ini. Dalam jangka waktu 20 tahun pertama, target pencapaian yang tadinya diharapkan dari 2 menjadi 20 %, ternyata terlampaui menjadi 22 %. Sekarang ini, dengan mendekati 20 tahun kedua berikutnya, porsi orang Melayu di semua bidang kegiatan telah melebihi 40 %. Orang Melayu sekarang ini telah bisa mene-gakkan kepala. Malah tumbuh pula angkuhnya dengan melihat rendah kepada saudaranya sesama rumpun Melayu di Indo-nesia ini. Kata "Indon" yang mereka pakai untuk dialamatkan kepada saudaranya yang bekerja di lapisan bawah di negerinya sangat derogatif dan menyakitkan hati.
Masalah kita, dengan berguru kepada pengalaman sanak kita di Malaysia itu, adalah masalah peluang, dan membukakan peluang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat, yang makin ke bawah peluang itu justeru harus makin lebih besar. Peluang-peluang selama ini terutama hanya diberikan kepada pengusaha non-pri karena merekalah yang dianggap lebih mampu dan dipercaya, yang di belakangnya adalah juga istilah kolusi dan konglomerasi. Bandingkan dengan sikap bank-bank pemerintah sendiri sampai saat ini yang memper-mudah urusan kepada para cukong tapi mempersukar urusan pemberian kredit kepada rakyat kecil, sehingga rakyat kecil nyaris tidak dijamah atau terjamah oleh sistem perbankan itu. Tidak terkecualinya praktek BPD (Bank Pembangunan Dae-rah) dan Bukopin dll di banyak daerah, di mana mereka lebih suka meminjamkan uang kepada kelompok pengusaha non-pri daripada kepada rakyat kecil di daerah sendiri. Semua itu karena diiming-imingi oleh prinsip ekonomi kapitalistik yang lebih mengutamakan profit dari pada benefit.
Yang lebih menentukan bukan hanya sekadar peluang dan memberikan peluang kepada kelompok pribumi yang rata-rata bergerak di tingkat mikro dan menengah ke bawah, tetapi fasilitas, dorongan dan rangsangan, dan perlindungan, dengan target-target pencapaian yang jelas dan terukur dari tahun ke tahun, seperti di Malaysia itu. Secara nasional juga harus ada target, kapan kesetaraan antara non-pri dan pri di bidang ekonomi, perdagangan dan jasa, dan di bidang sosial-budaya lainnya, di Nusantara ini, bisa dicapai. Hanya dengan cara itu kesenjangan dan segregasi sosial-ekonomi antar-etnik dan antar-ras yang telah berjalan dan membudaya selama ini bisa dihilangkan dan dihapus. Dan dengan itu pula keserasian dan harmoni sosial antar-etnik bisa diciptakan.
IV
Saya tidak bisa menduga apa yang ada dalam pikiran para penguasa pemerintahan provinsi/kabupaten/kota di Sumatera Barat yang akan menggelar konsep dan pemikirannya tentang masalah dibukanya peluang kepada para investor dalam dan luar negeri untuk melekatkan modal dan usahanya di bidang ekonomi makro berskala besar dan menengah di berbagai bidang di Sumbar. Artinya, apakah mereka masih akan berfikir secara konvensional dengan paradigma masa lalu seperti selama ini, ataukah punya nyali dan keinginan untuk mengede-pankan kepentingan rakyat yang selama ini terpinggirkan atau bahkan tersingkirkan.
Dari apa yang telah diperbuat oleh para penguasa di daerah di bidang apapun, selama ini, mereka hanya mengkopi apa yang dilakukan di tingkat nasional dan di manapun di Indonesia ini. Dan saya secara jujur harus mengatakan, bahwa dari apa yang telah dilakukan dalam penanaman modal investasi di Sumbar dari luar, dalam berbagai bidang usaha, selama ini, belum ada paradigma yang memasukkan faktor pengikut-sertaan dari rakyat setempat maupun daerah untuk juga masuk ke dalam sistem dan berbagi kerja serta berbagi pendapat dan pendapatan dengan para investor dalam perusahaan yang sama. Rakyat selama ini hanya jadi obyek, bukan subyek. Tanahnya diambil, tenaganya dikuras, tetapi mereka tidak bagian dari sistem.
Kita tentu saja berharap, siapapun dari para bupati/wali-kota ataupun gubernur sendiri yang akan menggelar galasnya dalam mendorong para investor masuk ke daerahnya, mereka sudah siap dengan konsep baru yang memasukkan kepenting-an rakyat ke dalamnya dan menempatkan rakyat sebagai mitra usaha, bukan penonton. Rakyat yang datang dengan tanah ulayat dan tenaga kasarnya beroleh pengalaman pula dalam bergerak di bidang industri, perdagangan dan jasa secara moderen.
Joint venture atau syirkah kelihatannya adalah jalan keluar dan sekaligus oplossing terbaik dari ketimpangan sosial-ekono-mi yang diakibatkan oleh sistem ekonomi dualistik yang ber-jalan di jalur segregasi etnik selama ini, khususnya antara pri dan non-pri. Mengundang investor, dari manapun asalnya, adalah sah-sah saja dalam rangka mempercepat laju pemba-ngunan di daerah. Tetapi membiarkan rakyat berada di luar sistem seperti selama ini tetap akan menjadi sumber petaka. Keengganan investor untuk melakukan joint-venture atau syirkah itu bisa ditutupi dengan bank-bank pemerintah mau-pun swasta langsung turun tangan bersyarikat dengan rakyat dalam menciptakan lapangan-lapangan kerja baru berskala apapun, besar, menengah dan kecil.
Yang jelas, sekadar sorak-sorai "ekonomi kerakyatan" yang sebenarnya telah dikibarkan sejak awal kemerdekaan dahulu, tidaklah memadai manakala sumber petaka dari kesen-jangan sosial-ekonomi yang berasal dari sistem ekonomi dualistik yang berjalan menurut jalur segregasi etnik itu tidak dihilangkan.
Pertanyaan kita, dapatkah Sumatera Barat jadi pelopor ke arah ini? ***
KITA TINGKATKAN PROFESIONALISME GURU UNTUK MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS
Disampaikan pada
Seminar Sehari Diknas Kabupaten Agam
Kamis, 26 Maret 2009
di Lubuk Basung
JSR 98, 26/03/09
KUALITAS profesionalisme guru bisa ada bisa tidak ada kaitannya dengan tingkat gaji dan kesejahteraan-nya. Ada guru yang tingkat profesionalismenya ren-dah kendati gaji dan tingkat kesejahteraannya tinggi. Sebalik-nya, ada guru yang tingkat profesionalis-menya tinggi, kendati gaji dan tingkat kesejahteraannya rendah. Di samping juga, tentunya, ada guru yang profesionalismenya tinggi karena gajinya tinggi, dan sebaliknya.
Ini menunjukkan bahwa bukan hanya gaji dan tingkat kesejahteraannya itu saja yang menentukan tinggi-rendahnya tingkat kualitas profesionalisme guru. Ada sejumlah faktor lainnya yang sifatnya menunjang ataupun menghambat di samping bahkan ada yang sifatnya menentukan (determinan). Faktor penunjang ataupun penghambat ini adalah eksternal sifatnya. Sementara yang sifatnya penentu adalah internal, yang datangnya dari dalam, dan dari dalam diri itu.
Faktor-faktor yang sifatnya menunjang ataupun meng-hambat, berkaitan dengan kebutuhan hidup yang sifatnya material, yang skalanya bisa dari sangat sederhana ke sangat berlebihan. Secara gradasinya faktor-faktor eksternal-material ini bisa diukur dengan tingkat kesejahteraan hidup: di bawah atau di atas standar minimal. Di bawah, menghambat, di atas, menunjang.
Faktor-faktor yang sifatnya menentu, atau menentukan, adalah yang datangnya dari dalam itu, yang kadang, tidak segera ada kaitannya dengan faktor-faktor penunjang yang dari luar tadi. Faktor determinan ini dia bersarang dalam diri kita, yang keluar memperlihatkan diri dalam semangat, tekad, jihad, kerja keras, disiplin, tabah, tekun, tahan uji, tahan banting, optimis, suka kerjasama, dsb. Atau sisi yang negatifnya, lemah semangat, lesu, tak bergairah, suka menyerah, nunut saja, tak berdisiplin, tak punya visi dan misi ke depan, sukar kerjasama, dsb.
Guru yang baik, sebagaimana manusia yang baik, adalah yang memiliki ciri-ciri internal yang pertama, sementara guru yang tidak baik, sebagaimana juga manusia yang tidak baik, adalah yang memiliki ciri-ciri internal yang kedua. Guru yang baik, selain dari punya properti internal yang baik itu, juga dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman profesional dalam bidang pengajaran dan kependidikan itu secara optimal. Guru yang baik adalah yang menempatkan profesi keguruan itu sebagai 'calling (Inggeris),' 'beruf (Jerman),' atau panggilan hidup. Dan dia dedikasikan seluruh kehidupannya untuk menjadi guru itu. Dan ke depan dia selalu mengusahakan bagaimana yang sekarang lebih baik dari yang kemarin, dan yang besok lebih baik dari yang sekarang. Karena itu dia selalu belajar terus. Dan selalu menyempurnakan terus apa yang dikakapnya hari ini. Kepada dirinyapun dia menerapkan life-long education itu. Tidak hanya disampaikan kepada anak-didiknya, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Sehingga dia menjadi suri-tauladan kepada anak-didiknya, dan kepada sesama koleganya. Bahkan kepada masyarakat sekalipun. Guru, dalam arti harfiah dari kata 'guru' itu sendiri adalah panutan, pembimbing dan penerangi jalan.
Jika sudah demikian, maka tuntutan yang sifatnya ekster-nal, material, menjadi faktor pelengkap, penunjang. Tentu saja, sebagai manusia biasa, seperti manusia biasa lainnya, si guru ingin pula hidup yang berkecukupan, yang tidak kurang suatu apa. Tapi sekali lagi, sifatnya penunjang, bukan penentu.
*
Tetapi, inilah tetapinya. Banyak, atau bahkan kebanyakan guru sekarang ini, mengutamakan faktor penunjang dan pelengkap daripada faktor determinan yang sifatnya mendasar dan tidak mungkin tidak itu. Hari-hari yang dibicarakan dan digerutui hanyalah masalah kebutuhan pokok belaka. Kurang ini, kurang itu. Masalah gaji lah. Masalah tunjangan macam-macam lah. Masalah fasilitas, kenaikan pangkat, perumahan, kendaraan, sekolah anak, cuti libur, dsb. Dan sekarang, bagaimana pelaksanaan peningkatan APBN yang 20 % itulah.
Sedikit sekali yang menghiraukan tentang tuntutan kedua, yang justeru mendasar, yaitu bagaimana meningkatkan mutu pengajaran, bagaimana menegakkan dan meningkatkan disiplin sekolah, disiplin belajar-mengajar, disiplin anak didik, disiplin karyawan dan disiplin para guru sendiri. Lalu bagaimana meng-atur sistem pengajaran itu sendiri, dari yang tadinya hanya semata kognitif, lalu menjadi tiga sisi yang saling menunjang dan saling melengkapi, yaitu: Kognitif (K), Psikomotorik (P) dan Afektif (A). Atau dalam jargon filosofis yang juga populer sekarang, segi tiga kuosien: Intelektual (I), Emosional (E) dan Spiritual (S). Ketiga kuosien ini saling tunjang-menunjang, saling melengkapi, dan yang satu tidak mungkin tanpa yang lainnya.
Pendekatan pendidikan ke depan, karenanya, tidak lagi terkotak-kotak dan jalan sendiri-sendiri, tapi terpadu, dan saling terkait satu sama lain. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan yang integral ini, yakni yang memadukan ketiga kuosien I, E dan S itu, seperti juga K, P dan A itu, ketiganya sekali diberikan dan diberikan bukan hanya sekadar ilmu yang kognitif, pengisi otak di kepala, tetapi diamalkan dan diterapkan secara integral, kaffah dan terpadu dalam sebuah sistem.
Pergeseran tugas dan tanggung-jawab guru adalah juga di sini. Kalau selama ini tugas guru hanyalah sekadar mengajar, dan mengajarkan, sekarang juga mendidik, membentuk prilaku dan melatih anak-didik dalam mengamalkannya. Dan semua itu ada dalam satu sistem yang terpadu itu, di mana kuosien I, E dan S saling terkait, dan yang dijalin lagi dalam segitiga I, I dan A: Iman, Ilmu dan Amal, dalam satu sistem yang kaffah dan terpadu. Dengan itu kita memiliki tiga segi-tiga kuosien yang saling terjalin dan berkaitan serta saling isi-mengisi satu sama lain. I, E, S; I, I, A; dan K, P, A.
I I K
. .
E S I A P A
Tiga Segitiga Kehidupan
*
Karenanya, sia-sialah, kalau yang dimaksud dengan "peningkatan profesionalisme guru" itu hanyalah semata peningkatan kemampuan mengajar dan mengajarkan subyek ilmu tanpa juga memberikan perhatian bahwa ilmu yang diajarkan haruslah juga diamalkan dan dilandasi oleh keiman-an. Pepatah Arab mengatakan: "Al 'ilmu bilā 'amal kasy syajarah bilā tamar. Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon tak berbuah." Dan juga, Hadith, Ad dīn huwal 'aql, lā dīna liman lā 'aqla lah. Agama itu adalah akal (ilmu), tidak ada agama tanpa akal/ilmu." Dan antara ilmu dan iman tidak boleh ada pertentangan atau jalan sendiri-sendiri, seperti yang kita ikuti selama ini dengan sistem pendidikan sekuler Barat. Ilmu, ilmu, agama, agama, bagaikan dua rel kereta api yang sejalan tapi tak pernah bertemu.
Waktunya, ke depan, kita meninggalkan cara berpikir yang sekuler, yang memisahkan atau bahkan mempertentang-kan antara I yang Iman dan I yang Ilmu. Dan semua kita padu dengan kedua-duanya kita amalkan (A) secara terpadu.
Sekarang ini buku-buku pelajaran sejak dari SD, SMP, SMA sampai PT orientasinya masih sekuler. Ungkapan: Jangan bawa-bawakan agama dalam berilmu, masih saja santer. Seolah-olah agama itu tidak berilmu. Dan ilmu itu tidak ber-agama. Waktunya kita menyetop mempertentang-kan antara ilmu dan agama itu, karena dalam agama (Islam) tidak ada agama yang bertentangan dengan ilmu, sebagaimana tidak ada ilmu yang bertentangan dengan agama. Cobalah lihat, betapa banyak temuan-temuan ilmu dari dahulu sampai sekarang, dan sampai kapanpun, yang temuan ilmu itu tidak ada satupun yang bertentangan dengan agama. Bahkan banyak temuan itu yang justeru telah disebutkan dan diprediksi dalam wahyu Allah sendiri, yaitu Al Qur'an. Dan tak satupun dari temuan-temuan itu yang bertentangan dengan Al Qur'an. Malah mem-benarkan, dan membuktikan kebenaran penjelasan dan predik-si Al Qur'an yang telah disabdakan 15 abad yl itu.
[Saya kebetulan telah mengklasifikasikan ayat-ayat Al Qur'an ke dalam 5 klasifikasi ilmu, yang sudah diterbitkan, dari 10 yang saya rencanakan. Kelima klasifikasi itu adalah: (1) Fisika dan Geografi; (2) Biologi dan Kedokteran; (3) Botani dan Zoologi; (4) Ekonomi; (5) Hukum. Lima berikutnya, yang tiga sudah saya selesaikan, dua belum. Yang sudah selesai itu: (6) Kisah-kisah Sejarah; (7) Eskatologi: Hidup setelah mati, akhirat, surga dan neraka; (8) Himpunan Ayat-ayat Doa. Dua yang belum: (9) Etika/Akhlaq; dan (10) Aqidah (Theologi)].
*
Sebagaimana selama ini diharapkan, konsep paradigmatik yang baik akan tetap tinggal di konsep manakala tidak diterapkan dan dituangkan dalam bentuk perencanaan. Dan perencanaan ke dalam program, dan ke dalam program aksi. Lalu perlu pula disiapkan mekanisme monitoring, kontrol dan sanksi, sampai sejauh mana program telah dijalankan dalam menuju sasaran yang ingin dicapai yang telah dituangkan dalam program itu. Kita lalu mengenal, ada sasaran jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Jika tujuan kita adalah untuk meningkatkan profesionalis-me guru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan da-lam pengertian yang kaffah, integral, dan holistik, seperti dijabarkan tadi, maka tiada jalan lain kecuali semua itu dituangkan dalam bentuk perencanaan itu yang diikuti dengan langkah-langkah eksekusi dan pelaksanaannya dan dengan mekanisme monitoring dsb itu. Dan sebelum semua-semua itu perlulah didahului dengan niat dan tekad yang kuat dan padu bahwa para guru menginginkan perubahan, dari keadaan sekarang yang cenderung bergeleceran ke keadaan seperti yang diinginkan dalam perubahan paradigmatik itu.
*
Khusus untuk kita di Agam ini, tentukanlah pilihan Anda terlebih dahulu; mau seperti ini saja terus-menerus, atau mau perubahan ke arah yang diinginkan itu. Jika yang pertama, biar-kanlah diri Anda hanyut terkatung-katung dibawa arus, terus-menerus, seperti selama ini. Biarkan diri selalu jadi 'obyek' yang diatur-atur sebagaimana maunya yang mengatur, yang dianya yang jadi subyek penentu. Apalagi dalam sistem hirarkis, vertikal, burokratik seperti selama ini. Atau mau yang kedua, di mana Anda menyatakan kepada diri Anda sendiri: Enough! Kifāyah! Cukup! Cukup sampai di sini. Dan saya akan bangkit untuk menjadi 'subyek' dalam mengatur diri saya sendiri. Saya akan meretas jalan baru menuju paradigma baru, di mana saya akan benar-benar menempatkan diri sebagai 'guru' dalam arti yang sesungguhnya, dalam rangka meningkat-kan mutu profesionalisme guru, yang muaranya adalah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di tanah air tercintaku ini. Di sini aku berkiprah. Dan di sini aku mati.
Kalau sudah demikian tekadnya, maka aturlah bagaimana maunya untuk lima, sepuluh, dua puluh, dan lima puluh tahun ke depan. Semua tertuang dalam bentuk perencanaan dan program-program, yang kemudian tertuang dalam program aksi.
Kalau sudah demikian tekadnya, maka tidak ada gunung yang terlalu tinggi, tidak ada lurah yang terlalu dalam. Insya Allah, Agam, seperti selama ini juga, akan tetap jadi pelopor dan jadi suri tauladan untuk daerah-daerah lainnya, di Sumatera Barat, dan di Indonesia ini. Makanya banyak-banyaklah kita melihat ke luar jendela. Bagaimana orang kok bisa. Orang Melayu di Malaysia, bisa. Orang Cina di Singapura, di Cina sendiri, dan di mana-mana, kok bisa. Kita kok tidak.
Semua tinggal terpulang kepada Anda, dan kepada kita semua, untuk membalikkan semua itu. ***
MENYIAPKAN DIRI UNTUK MASUK KE PASAR GLOBAL
Ceramah di muka Para Mahasiswa AKPER
(Akademi Perawat)
Pariaman,
Selasa, 24 Maret 2009
SALAH satu dari komoditi SDM yang sangat laris dan dicari-cari di pasar dunia sekarang ini adalah tenaga profesional perawat, sehingga ada negara-negara di Asia ini, khususnya Filipina, Thailand, Bangladesh, Srilangka dan India, yang memang mempersiapkannya secara terprogram dan terarah. Hasil bersih berupa pendapatan nasional dari sektor ini termasuk sangat signifikan sehingga negara-negara bersangkutan memasukkan dalam agenda pembangunannya sektor pengadaan SDM yang satu ini untuk dipersiapkan secara optimal. Milyaran dolar setiap tahunnya mengalir beru-pa devisa ke keluarga-keluarga mereka dan ke pundi-pundi negara bersangkutan dari hasil panen komoditi SDM di bidang para-medis keperawatan itu.
Komoditi SDM di pasar internasional ini tentu saja ada di setiap tingkat profesi keahlian, dari yang semata mengandalkan tenaga kasar seperti yang kita lakukan selama ini berupa TKI dan TKW, sampai ke yang sangat profesional sekalipun, baik di bidang akademik, sains dan teknologi, maupun di bidang industri dan jasa lainnya. Di antaranya itu adalah tenaga para-medis keperawatan itu.
Kenapa tenaga para-medis keperawatan itu dicari-cari di pasar dunia?
Satu, tentu saja, tidak setiap orang bisa melakukannya tanpa pendidikan dan latihan kejuruan tertentu, yang keahli-annya itu bisa pula bertingkat dari setara diploma akademi sampai ke tingkat S1, S2 dan S3 sekalipun. Di negara-negara maju, bidang para-medis dan keperawatan itu disetarakan dengan bidang medis sekalipun, karena yang satu tidak bisa menggantikan yang lainnya, sementara keduanya saling me-lengkapi dalam sebuah sistem pelayanan medis yang terpadu. Jadi biasa kalau di bidang para-medis dan keperawatan ini ada tingkat-tingkat pendidikannya setara S1, S2 dan S3 sekalipun. Tenaga-tenaga yang mengajarkannya adalah juga para profesor dan doktor dalam berbagai bidang keahlian para-medis dan keperawatan yang cukup rinci dan spesialis. Termasuk ke dalamnya adalah bidang manajemen rumah sakit dengan segala perangkat dan peragat digital-elektroniknya.
Rumah sakit, klinik dan poliklinik, serta laboratorium dan perusahaan farmasi sampai ke apotik dan toko-toko obat sekalipun, sekarang ini, adalah sebuah industri raksasa yang menyediakan jasanya secara sangat profesional, yang di samping berorientasi benefit, juga, dan terutama sekarang ini bahkan, profit. Kayaknya, orang juga menciptakan industri dan lapangan kerja yang mencari profit di atas kesakitan orang, yang menjadikan pasien sebagai obyek komoditi pula. Apalagi, sakit dan senang tidak pernah beranjak dari kehidupan manu-sia ini.
Dan dunia moderen sekarang ini mau tak mau ber-gantung kepada jasa industri medis dan para-medis ini. Dunia moderen tidak bisa dan tidak mungkin lagi lari kembali ke belakang dengan mengandalkan para dukun, kecuali barangkali di bidang yang tidak hanya semata fisiologis, tapi terutama spiritual, yang belum dimasuki oleh kedokteran moderen. Peranan para dukun, bagaimanapun, di dunia yang sedang berkembang, masih saja diperlukan, dengan mengingat, lapisan bawah dari masyarakat yang masih terlilit oleh kemiskinan dan keterbelakangan, masih bergantung kepada layanan para dukun. Karena keterbelakangan dan kemiskinan itu mereka berada di luar jangkauan layanan kedokteran moderen – kecuali di negara-negara sosialistis dan islamis yang memberi layanan medis kepada rakyatnya tanpa menghiraukan latar belakang ekonomi dan status sosialnya. Indonesia jelas tidak termasuk ke dalam kategori ini. Dunia medis di Indonesia ini telah dicekoki oleh sistem liberal-kapitalistik pasar bebas yang menjadikan layanan medis sebagai komoditi. Si pasien bahkan di RSUP CM yang notabene milik pemerintah sekalipun di Jakarta tidak dibolehkan pulang sebelum melunasi segala per-ongkosan yang dia harus bayar, tanpa melihat latar-belakang kemampuan ekonomi dan status sosialnya itu. Di Padang sendiri, kendati dokter spesialis sedang berdinas di RSUP MD, yang gajinya tentu jalan terus, manakala pasien memerlukan layanannya, si pasien harus membayar seperti dia berobat ke dokter spesialis di luar rumah sakit. Sedemikian jauh sekarang komersialisasi pelayanan medis di NKRI tercinta yang panca-silais dan yang katanya berkeadilan sosial itu.
Dua, untuk masuk ke pasar dunia, kecuali keterampilan dan keahlian di bidang para-medis itu, juga diperlukan kemam-puan berkomunikasi di bidang bahasa lisan dan tulisan di samping bahasa badan. Artinya, kalau tidak akan lebih, sekurangnya memiliki kemampuan yang efektif dalam berko-munikasi itu. Tidak mungkin seorang para-medis luaran dite-rima di sebuah negara yang membutuhkan manakala yang bersangkutan tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa yang dipakai oleh masyarakat bersangkutan di negara itu. Karena kebanyakan negara-negara yang memerlukan tenaga para-medis impor adalah negara-negara kaya yang berbahasa Ing-geris, baik di Eropah, Amerika, Kanada dan Australia, maka mau tak mau penguasaan bahasa Inggeris adalah pre-rekuisit, syarat mutlak, untuk bisa masuk dan diterima dalam pasar kerja para-medis di negara tersebut.
Sebaliknya, beruntunglah masyarakat dari negara-negara bekas jajahan Inggeris maupun Amerika itu yang memiliki warisan penguasaan bahasa Inggeris yang kemampuannya sama dengan masyarakat dari negara-negara berbahasa Ingge-ris itu.
Tiba di kita, yang penguasaan bahasa Inggerisnya me-mang terbatas, dan untuk itu tidak pula berupaya keras, baik oleh individu para-medis bersangkutan yang ingin cari kerja ke luar negeri, maupun oleh sekolah/akademinya sendiri, maka masalah penguasaan bahasa ini bisa jadi momok. Pada hal, jika mau, dan mau kerja keras, apa yang tidak bisa. Kita lihat, betapa banyaknya para-medis dari negara-negara bukan berba-hasa Inggeris, seperti Thailand, dan sekarang juga Vietnam, Laos, Kambodia, yang banyak diterima di negara-negara ber-bahasa Inggeris itu.
Khusus untuk negara-negara berbahasa Arab di Timur Tengah, sendirinya Bahasa Arab yang lebih diutamakan, walau penguasaan Bahasa Inggeris tetap dijadikan persyaratan. Di rumah-rumah sakit yang bertaraf internasional di negara-nega-ra Timur Tengah itu, penguasaan Bahasa Inggeris lebih diuta-makan.
Tiga, tentu saja profesionalisme di bidang kepara-medisan dan keperawatan itu yang juga diiringi dengan sikap percaya diri dan kematangan dalam bersikap dan bertindak. Apalagi menghadapi komunitas asing di negara mereka sendiri.
*
Mempersiapkan diri untuk turun dan turut bersaing di pasar bebas tentu tidak gampang. Tetapi tanyakan kepada diri –bukan kepada hilalang sehelai atau rumput yang bergoyang –, kenapa orang bisa, kita tidak? Pada hal profesi ini sangat menjanjikan dan sangat dibutuhkan di mana-mana.
Larinya tentulah kepada diri sendiri dan tidak kurangnya kepada institusi pendidikan yang mempersiapkan calon-calon para-medis perawat itu.
Yang jelas, jangan harap kalau tenaga para-medis/pera-wat yang akan berangkat ke luar negeri itu orang-orang 'peng-gacur' dan tidak pula menyiapkan diri untuk menghadapi segala macam tantangan itu. Diperlukan orang-orang pembe-rani, dan berani menghadapi segala macam rintangan dan risiko. Voltase daya juangnya harus tinggi. Dia 'bagak' dan senang dengan tantangan-tantangan itu. Dia merasa belajar dengan bermacam tantangan itu. Semangat perantau masa lalu juga harus mereka miliki, menghadapi segala macam ketidak-pastian. Dan dia bahkan resah tanpa tantangan itu.
*
Peranan institusi pendidikan keperawatan itu sendiri tidak kurang menentukannya. Institusi pendidikan keperawatan akan mencetak tenaga lulusan sesuai dengan program serta sarana dan prasarana yang disediakan. Jika yang dicetak adalah tenaga lulusan yang cocok hanya untuk konsumsi lokal dalam negeri, tentu yang dihasilkan adalah itu. Tetapi jika program yang disiapkan dan dibekali pula dengan sarana dan prasarana yang khusus ditujukan untuk konsumsi ekspor luar negeri, maka itulah yang dihasilkan. Tinggal mengukur sampai sejauh mana kesiapan institusi dimaksud untuk memenuhi tuntutan pasar, yang makin siap makin menjamin banyaknya lulusan yang disalurkan.
Semua ini akan tunduk kepada hukum penawaran dan permintaan (law of demand and supply). Untuk itu institusi akan bisa berkaca kepada praktek pengalaman dari lembaga-lembaga serupa di dalam maupun luar negeri – tapi terutama luar negeri yang tingkat keberhasilannya relatif tinggi, seperti Filipina.
Jalan ke arah itu mungkin panjang. Untuk itu mungkin diperlukan kerjasama-kerjasama, dengan pemerintah dan departemen serta dinas terkait, dengan swasta dalam negeri yang berkepentingan dengan 'bisnis' itu, dan dengan institusi sejenis di luar negeri dalam bentuk exchange program.
Mahasiswa sendiri, pada gilirannya, sudah harus mengorientasikan dirinya sejak dini dalam mempersiapkan diri untuk memasuki pasar dunia di bidang keperawatan. Informasi dan kontak-kontak melalui internet dan melalui media lain-lainnya sudah harus disiapkan dan siap untuk memulai langkah ke arah memasuki pasar global itu. ***
VISI DAN MISI JIKA SAYA TERPILIH KEMBALI JADI ANGGOTA DPD-RI (2009-2014)
Mochtar Naim
Caleg DPD-RI No. 25
Sumatera Barat
Disampaikan melalui RRI Padang, Senin, 16 Maret 2009
*
PENGALAMAN selama menjadi anggota DPD-RI periode lima tahun pertama ini, memberi keyakinan kepada saya, bahwa siapapun yang diberi amanah oleh rakyat untuk duduk di lembaga legislatif tingkat nasional yang memperjuangkan kepentingan daerah itu, mestilah orang-orang yang memiliki kualitas diri dengan kemampuan tinggi dan dedikasi yang tinggi serta pengalaman yang memadai, di samping juga akhlak yang baik dan tahan uji.
Ini sejalan dengan suruhan dan sekaligus amanah dari Rasulullah saw sendiri, "Serahkanlah urusan itu kepada ahli-nya. Dan tunggulah kehancuran jika menyerahkan urusan itu kepada yang bukan ahlinya."
Saya lihat sendiri betapa banyaknya orang-orang para anggota di DPD-RI dan di DPR-RI sendiri yang kehadirannya adalah seperti yang dikatakan dalam pepatah Arab: "Wujūdihi ka'adamihi." Kehadirannya adalah sama seperti ketidak-hadir-annya. Atau orang Jawa bilang: "Dek e ono ning ora ono." Dia ada tapi seperti tidak ada.
Alangkah sia-sianya kita memilih dan mengirimkan utusan daerah ke lembaga negara DPD-RI itu manakala yang dipilih atau terpilih adalah orang-orang yang kualitasnya seperti itu, yang adanya sama dengan tidak adanya.
Dan akan lebih sia-sia lagi jika kerjanya di sana hanyalah memenuhi yang 4 d itu: datang, duduk, dengar dan duit. Belum pula kalau yang kerjanya, bagaimana duit yang ratusan jutaan ataupun miliaran yang telah dia keluarkan untuk kampanye, dan menjadikan dia menjadi anggota terpilih itu, harus dia usahakan untuk kembali lagi. Dan kalau perlu kembalinya berkali lipat pula dari itu. Makanya, tidak sedikit dari anggota-anggota yang terhormat itu yang melakukan penyalah-gunaan wewenang dan kekuasaannya untuk melakukan korupsi dan menumpuk kekayaan untuk dirinya. Mereka ke DPD atau DPR itu bagaikan orang dagang, bagaimana supaya galeh balabo, sekurangnya pokok kembali. Sekarang ini, bayangkan, seku-rangnya 40 % dari anggota-anggota yang terhormat di kedua lembaga legislatif itu, datang dari kelompok pengusaha yang motif dan cara berfikirnya adalah bisnis.
Ini tentu saja tidak ada kait-mengait dengan masalah gender, atau jenis kelamin. Perempuankah dia atau laki-lakikah dia. Banyak perempuan yang cakap dan berkemampuan seba-gaimana juga banyak laki-laki yang cakap dan berkemampuan. Seperti juga sebaliknya. Banyak perempuan yang tidak berke-mampuan sebagaimana juga banyak laki-laki yang tidak ber-kemampuan.
Dan juga tidak harus ada kaitan langsung dengan umur. Mudakah dia atau tuakah dia. Tidak sedikit yang muda yang berkemampuan sebagaimana tidak sedikit yang tua yang tidak punya kemampuan.
Ukurannya adalah ukuran kemampuan itu, di samping dedikasi, disiplin diri dan prilaku yang dihiasi dengan akhlaqul karimah itu.
Bagaimana rakyat pemilih menentukan mana yang berkemampuan mana yang tidak? Tentu saja tidak dengan cara memilih kucing dalam karung. Asal contreng saja. Atau karena pujuk rayu, karena diiming-imingi dengan janji-janji, atau karena diberi hadiah-hadiah, uang segepuk, dsb. Lalu kita memilih dia.
Yang dilihat bukan hanya wajahnya, tetapi amal perbu-atannya dan tingkah-laku serta perangai-akhlaq-budipekertinya. Sudah itu, karena ini adalah lembaga legislatif yang mengha-ruskan orang harus pandai berbicara dan pandai mengeluarkan pendapat dan buah-pikiran yang bernas dan tepat, perlu diperhatikan apakah dia sudah teruji atau belum dalam penam-pilannya di tengah-tengah masyarakat selama ini.
Sekali lagi, sia-sialah rakyat dan masyarakat di Sumatera Barat ini jika kita mengirimkan orang asal-asal, apalagi yang dilatar-belakangi dengan pujuk-rayu dan janji-janji gombal itu. Sebaliknya kita cukup bangga dengan orang Minang di masa lalu yang menempati 20-25 % dari jumlah anggota seluruhnya di parlemen, walau jumlah orang Minang di Sumbar sendiri hanya 3 % dari jumlah penduduk Indonesia. Mereka perlihat-kan kebolehannya, kepandaian berpidato dan berbicara, ke-pandaian mengemukakan pendapat dan argumen-argumen yang meyakinkan, di samping dedikasi dan disiplin diri yang tinggi.
*
Sdr-sdr,
Saya dari segi umur memang tidak muda lagi. Sudah berkepala tujuh. Tetapi saya juga pendatang kesiangan di bidang politik tanah air. Saya pertama kali mencemplungkan diri ke dunia politik baru setelah saya berumur 67 tahun, ketika kebanyakan orang Indonesia seumur itu sudah pensiun, sudah uzur, dan bahkan sudah banyak yang sudah dikirim ke 'Balik Papan,' ke akhirat sana itu. Saya pertama kali menginjakkan kaki ke Senayan itu sebagai anggota MPR-RI ketika saya sudah berumur dua per tiga abad. Sekarang saya sudah bertambah umur dari 67 menjadi 76 tahun. Jelas sudah banyak bonus umur yang saya dapatkan.
Namun, semua Anda juga tahu, Allah pengasih-penya-yang, fisik saya, jasmani saya, badan saya, insya Allah, masih sehat dan segar-bugar. Begitu juga pikiran saya, otak saya, ingatan saya, insya Allah masih kuat. Otak dan ingatan ini, seperti orang tua-tua bilang, jika dipakai dia baru. Kain dipakai usang. Karena saya kebetulan bekerja selama ini memang dengan otak, di bidang akademik manca-negara, dan insya Allah pandai pula menulis dan berbicara, maka alhamdu lillah, dan insya Allah, belum ada yang dikuatirkan dengan itu. Saya sudah menulis lebih dari 600-an judul tulisan berupa makalah, essai, dsb, yang berarti lebih dari 6 ribu halaman, di samping sejumlah buku. Kekayaan saya tidaklah pada uang dan harta lainnya, tetapi pada ilmu. Makanya jika yang diminta kepada saya uang, maka tidak ada yang akan saya berikan. Tetapi jika ilmu, seperti yang saya perlihatkan selama ini, sampai ke manca negara sekalipun, saya berikan. Dan saya masih saja menimba ilmu sampai saat ini. Tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat sekalipun. Kata Nabi. Itu, insya Allah, yang saya lakukan. Batasnya hanya liang lahat.
*
Sdr-sdr, Sebelum saya memutuskan untuk kembali maju mencalonkan diri kembali ini, saya telah melakukan konsultasi dan mengajukan angket kepada seluruh anggota DPD-RI dengan pertanyaan: "Perlukah saya kembali mencalonkan diri untuk Pemilu 2009-2014 yad?" Perlu/tidak perlu. Ternyata nyaris semua anggota DPD-RI mengusulkan, dan bahkan mendesak, agar saya, yang sekali lagi terakhir ini, perlu maju lagi. Mumpung kesehatan dan kebugaran dalam berbuat dan berfikir masih prima, dan memungkinkan.
Pertanyaan yang sama juga saya tanyakan kepada kawan-kawan dekat saya di Sumbar dan di rantau. Jawabnya sama. Oke lah, kata saya, tapi ini adalah untuk yang terakhir kali. Kalau berhasil, syukur alhamdu lillah. Tidak berhasil, tidak masalah. Pokok, kita berusaha.
Bagaimanapun, saya telah melakukan tugas saya dengan sebaik yang bisa saya lakukan. Sebagaimana ketika menjadi anggota MPR sebelumnya, saya telah mempertanggung-jawabkan tugas saya kepada rakyat Sumatera Barat yang saya susun berupa kumpulan pidato dan buah pikiran yang saya sampaikan di forum MPR itu, dalam sebuah buku yang saya beri nama: "Suara Wakil Rakyat" (326 halaman), maka sekarang inipun saya sedang mengumpulkan semua pidato dan buah pikiran yang saya sampaikan di forum DPD-RI serta semua tulisan saya selama jadi anggota DPD-RI dalam sebuah buku: "Suara Wakil Daerah." Yang saya muat dalam buku itulah yang berupa pertanggung-jawaban saya kepada rakyat Sumatera Barat, baik yang memilih maupun yang tidak memilih saya.
Sebagaimana dengan di MPR-RI sebelumnya, sekarang inipun kayaknya yang memberikan pertanggung-jawaban seca-ra tertulis seperti yang saya lakukan, hanyalah saya seorang. Pada hal ada 700an anggota MPR sebelumnya, dan ada 128 orang anggota DPD-RI sekarang ini yang sebenarnya patut melakukan hal yang sama yang saya lakukan. Tapi nyatanya tidak. Sementara tradisi ini dilakukan oleh banyak anggota Volksraad di zaman kolonial dahulu.
*
Sdr-sdr,
Alasan saya kembali mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPD-RI ini adalah:
Satu, perjuangan DPD untuk menjadikan DPD ini menjadi lembaga Senat yang setara dengan DPR, yang karenanya mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan sendiri untuk bidang-bidang yang ditugaskan kepada DPD itu, harus gol. Sejauh ini DPD-RI belum lagi berhasil menggolkan cita-cita itu, karena untuk itu amademen terhadap pasal-pasal yang terkait dengan itu di UUD1945 harus dilakukan. Dan DPD yang sekarang belum lagi berhasil melakukannya. Tantangan untuk perubahan UUD1945 ternyata berat, karena sebagian besar dari partai-partai yang ada sekarang menen-tangnya. Sementara mereka mendominasi 2/3 lebih dari keanggotaan di MPR-RI. DPD-RI, sebaliknya, kurang dari 1/3nya.
Namun, sementara ini, syukur alhamdu lillah, berkat pendekatan yang dilakukan oleh DPD-RI, hampir semua dari para gubernur, para bupati dan walikota, dan para akademisi di berbagai universitas di Indonesia ini, menyetujui dan mendu-kung terhadap penguatan status dan wewenang dari DPD itu. Mereka setuju jika parlemen Indonesia ke depan benar-benar bikameral sifatnya, yakni bikameral yang efektif, sehingga DPD yang akan jadi Senat itu benar-benar memiliki kekuatan dan wewenang untuk mengambil keputusan sendiri tanpa harus menyalurkannya melalui DPR RI seperti sekarang ini. DPD-RI yang ada sekarang ini, sesuai statusnya yang tercantum di pasal 22 D UUD1945 itu, kata kawan-kawan di Unand, Universitas Andalas, hanyalah "kacung-kacung" bela-ka, yakni kacung-kacungnya DPR itu tanpa memiliki hak untuk ikut memutus walau bersama dengan DPR itu.
Untuk menuntaskan perubahan amandemen UUD1945 itu, mau tak mau, kita memerlukan anggota-anggota yang ahli pula dan mengerti betul dengan tugas-tugas konstitusional itu. Kawan-kawan saya di DPD-RI menganggap, saya termasuk kepada anggota yang menguasai permasalahan dan tahu betul akan seluk-beluk permasalahannya. Saya selama ini bahkan yang paling getol untuk mengusulkan perubahan UUD1945 yang sifatnya komprehensif dan menempatkan DPD-RI bersebelahan dengan DPR-RI dalam sistem bikameral yang efektif, di mana MPR-RI adalah joint-session atau sidang bersama antara kedua lembaga bikameral DPD-RI dan DPR-RI itu, yang dipimpin oleh pimpinan DPD-RI dan DPR-RI.
MPR-RI, oleh karena itu, tidak lagi lembaga permanen, tetapi dianya ada ketika ada sidang bersama itu. Sekaligus, dengan itu, penghematan keuangan negara bisa pula dilakukan. Sekarang ini, anggaran tahunan untuk MPR-RI nyaris lebih besar dari anggaran untuk DPD-RI (di atas 200 miliar per tahun), sementara kerja MPR-RI hanya menunggu kalau ada presiden/wakil presiden yang mangkat atau diganti, lalu mela-kukan amandemen terhadap UUD1945. Pekerjaan yang sekali setahun saja belum tentu ada. Seperti sekarang ini, sudah empat tahun, tidak ada tugas apa-apa dari MPR-RI itu, sementara gaji pimpinan dan karyawan jalan terus, dan lain-lain pengeluaran jalan terus.
Dua, tugas DPD, pertama-tama, dan terutama, adalah untuk mempercepat proses pembangunan dan meningkatkan kualitas kehidupan di daerah. Bukankah yang namanya NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia, itu adalah jumlah kese-luruhan dari daerah-daerah. Maju daerah, majulah Indonesia keseluruhannya. Terbelakang daerah, terbelakanglah Indonesia keseluruhannya.
Karenanya, tiga, otonomi yang seluas-luasnya harus diberikan kepada daerah. Jangan pula seperti selama ini, yang justeru terjadi sejak masa Reformasi ini. Katanya otonomi diberikan kepada daerah, tetapi semua segi dan sektor pem-bangunan masih dikendalikan dan diatur oleh pusat, melalui departemen-departemen yang bersangkutan. Ini namanya, kata orang Minang: "Unjuk yang tidak berberikan. Telunjuk lurus kelingking berkait." Kayaknya mau diberikan, tetapi nyatanya tidak.
Ini jelas sekali terlihat dari perubahan UU No 22 th 1999 ke UU No. 32 th 2004, tentang pemerintahan daerah, yang majunya ke belakang, bukan ke depan. Artinya, dari segi otonomi kepada daerah, UU No. 22 th 1999 jauh lebih maju dari UU No. 32 th 2004. UU No. 22/1999 memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah, termasuk provinsi dan desa. UU No. 32/2004 menempatkan provinsi hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah; sementara otonomi untuk pemerintahan desa ditiadakan.
Ini jelas-jelas mengekang dan membalikkan jarum jam kembali ke belakang, sehingga yang terjadi adalah kecende-rungan resentralisasi, bukan desentralisasi ataupun otonomi seluas-luasnya seperti yang diinginkan semula.
Tugas kita di DPD-RI sendirinya adalah memperjuang-kan agar otonomi itu diberikan tidak hanya kepada Kabupa-ten/Kota, tetapi juga Provinsi dan Desa. Makin banyak tugas-tugas dan wewenang yang diberikan kepada tingkat-tingkat pemerintahan di daerah, tugas pemerintah yang di atasnya tentu akan makin diringankan, sehingga tidak ada urusan yang harus menumpuk di atas itu. Dan tidak pula ada dana dan kekayaan negara yang juga menumpuk di atas, di pusat itu.
Melalui otonomi ini bukan saja daerah-daerah akan lebih bergairah membangun daerahnya masing-masing, tetapi juga akan ada kerjasama antar daerah dari wilayah pembangunan yang sama, sehingga daerah yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Dengan itu diharapkan kue pembangunan itu akan terbagi secara lebih merata.
Untuk itu, seperti yang sudah mulai digarap oleh DPD sekarang ini, perlu ada perubahan UU tentang pemerintahan daerah, yang orientasinya adalah pemberian otonomi yang lebih luas, tidak hanya kepada kabupaten/kota, tetapi juga kepada provinsi dan desa.
Empat, khusus untuk Sumatera Barat, saya telah menga-jukan pemikiran-pemikiran alternatif tentang orientasi pemba-ngunan masa depan yang titik-beratnya akan lebih banyak ke laut, ke penciptaan sekolah-sekolah kejuruan seperti Akademi Perawat dan Pariwisata yang berorientasi ekspor, seperti yang dilakukan oleh Filipina, India dan Thailand. Saya juga, selaku kelompok pemikir di daerah ini, telah mengajukan konsep-konsep peletakan dasar bagi struktur dan sistem kemasyara-katan ke masa depan, dengan mengajukan konsep alternatif tentang ABS-SBK, tentang sistem pemerintahan nagari, ten-tang sistem pendidikan yang terpadu, yang tidak lagi mengenal dikotomi antara sistem pendidikan umum dan agama. Dsb. Semua itu bisa dilihat dalam buku Suara Wakil Daerah yang sedang saya persiapkan itu.
Ke depan, jika terpilih lagi, saya tentu akan mengu-sahakan perealisasian dan pengimplementasiannya setelah ditanggapi dan diwadahi oleh pihak-pihak terkait, di peme-rintahan (baik eksekutif maupun legislatif) dan dalam masya-rakat sendiri. Ke depan, bagaimanapun, pemnbangunan SDM, sumber daya manusia, benar-benar harus dinomor-satukan di bumi bertuah Sumatera Barat ini. Dan saya, insya Allah, akan senantiasa ikut serta dalam turut memikirkan dan mengon-sepkannya.
Visi dan misi saya ke depan berkisar di sekitar pokok-pokok yang saya sampaikan itu. Semoga Allah memberkati. Amin. ***
MOCHTAR NAIM Caleg DPD-RI No. 25 Utusan Sumatera Barat KENAPA SAYA BERSEDIA DICALONKAN KEMBALI:
1
DPD-RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia)
memerlukan anggota berkemampuan tinggi,
berdisiplin, jujur dan amanah
dalam melaksanakan tugas berat DPD-RI
dalam rangka upaya mempercepat pembangunan di daerah
di seluruh Indonesia
dan memperjuangkan agar DPD-RI
menjadi Lembaga Negara di bidang Legislatif
dalam sistem bikameral setara dengan DPR-RI di NKRI ini
yang berwenang menentukan serta memiliki hak memutus
dalam penyiapan undang-undang serta kebijaksanaan lainnya
yang berkaitan dengan kepentingan pembangunan daerah.
2
DPD-RI memerlukan tenaga senior berpengalaman
yang menguasai persoalan
dan mengikuti perkembangan
di samping tokoh-tokoh muda yang harus maju
yang juga punya dedikasi dan kemampuan tinggi
serta jujur dan amanah.
3
Saya meniatkan dalam diri saya
untuk berpolitik dengan niat Ibadah kepada Allah swt
dalam membangun bangsa dan tanah air Indonesia.
Padang, 10 Feb 2009
KATA SAMBUTAN Untuk Buku RANAH DAN ADAT MINANGKABAU Oleh Ir Zubir Rasyad
BUKU Ranah dan Adat Minangkabau karangan Bapak Ir Zubir Rasyad yang ada di tangan Anda sekarang ini adalah sebuah buku yang rentangan waktu dan pokok permasalahannya mengalir sepanjang sungai sejarah ranah dan adat Minangkabau itu sendiri. Namun caranya tidaklah narra-tif-bercerita tetapi menganalisanya dengan cara yang beliau namakan dengan pendekatan "dialektik-historis." Dengan cara itu, betapapun panjang dan berlikunya sejarah ranah dan adat Minang itu ke belakang terhadap sejumlah permasalahan yang beliau angkatkan untuk dianalisis, yang diperlihatkan adalah polanya, dinamikanya dan dialektikanya. Dengan cara itu kita dapat melihat kerangka permasalahannya secara global dan menyeluruh melewati rentang waktu yang sudah panjang ke belakang itu.
Dengan latarbelakang akademik yang beliau miliki dan kuasai, juga terlihat bahwa betapapun kompleksnya percaturan dialektika sejarah ranah dan adat Minangkabau itu, berhadapan dengan tantangan dan ancaman dari dunia luar lainnya, baik dalam ruang lingkup Nusantara maupun dunia seanteronya, melalui pendekatan dialektik-historis itu kita bisa melihat panorama permasalahannya secara relatif simpel-sederhana dan bahkan bisa dituangkan dalam sketsa matriks dalam ben-tuk gambar, tabel dan peragaan lainnya.
Cara yang dipakai oleh Pak Zubir ini mengingatkan kita pada tokoh-tokoh pemikir Minang legendaris masa lalu yang cara berfikirnya adalah dialektik-historis, seperti Tan Malaka, H Agus Salim, Buya AR St Mansur, dan banyak lainnya. Kita-kita yang sudah tak biasa dengan berpikir seperti itu, kita punya kesan, dalam membaca buku Pak Zubir ini, seperti melompat-lompat tidak lagi dalam deret hitung tapi dalam deret ukur. Karenanya permasalahan yang diangkatkan seperti melihat kijang di rimba, yang untuk Pak Zubir, bisa saja, melintas kijang di rimba, tahu dia jantan-betinanya.
Bagi anak-anak muda sekarang, yang saya juga anjurkan untuk membaca buku ini, selain melihat substansinya, juga se-kaligus menangkap metodologi dialektik-historis yang dipakai itu. Ketajaman analisa dan kejelian melihat permasalahan seca-ra kritis dan analitis sendirinya sangat diperlukan.
Buku ini jelas menambah khazanah pengetahuan kita tentang ranah dan adat Minangkabau ini yang makin ke mari makin langka ditemukan.
Mochtar Naim
Jakarta, 1 Maret 2009
PENANAMAN BUDAYA MUTU DI SEKOLAH PADA ERA GLOBALISASI
Mochtar Naim
Anggota DPD-RI utusan Sumbar
Disampaikan dalam Diskusi Diknas Kabupaten Agam,
Lubuk Basung,
Di hadapan Para Kepsek SMP, SMA dan SMK,
Kamis, 19 Februari 2009
I
SUDAH lebih dua per tiga abad kita merdeka. Tetapi kemajuan yang kita capai di bidang pendidikan, terutama kalau kita bicara dalam paradigma "mutu," rasanya lam-bat betul waktu berjalan, dan sedikit nian yang sudah kita dapatkan dalam hal mutu pendidikan itu. Malah, jika diban-dingkan dengan mutu pendidikan di zaman dahulu, di zaman kolonial sebelumnya, terasa bahwa yang dahulu itu relatif lebih baik dari yang sekarang. Apalagi kalau yang kita maksudkan dengan pendidikan itu bukan hanya semata pengajaran tetapi jumlah keseluruhan dari sistem pendidikan itu, di mana terma-suk ketiga komponen utama dari pendidikan itu: Kognitif, Afektif dan Psikomotorik. Atau dalam jargon yang juga dipakai sekarang ini: tiga komponen utama: Intelektual, Emo-sional, Spiritual.
Mutu pendidikan tidaklah ditentukan oleh waktu ataupun tempat (zamān wa makān), tetapi oleh alkemi persenyawaan antara faktor-faktor yang turut menentukan dan membentuk-nya itu, yang terus menerus berproses dalam waktu. Tidak ada jaminan bahwa yang dahulu lebih baik atau lebih buruk dari yang sekarang, dan bahwa pendidikan di satu tempat, di manapun, lebih baik atau lebih buruk dari di tempat lainnya. Karenanya sejarah bergelombang. Termasuk sejarah pendi-dikan itu sendiri.
Kalau sekarang kita menginginkan mutu pendidikan yang baik, maka yang dikaji dan diupayakan adalah faktor-faktor penunjang yang menyebabkan baiknya mutu pendidikan itu. Dan faktor-faktor itu tidak berdiri sendiri-sendiri, tapi saling kait-berkait, dan saling bersenyawa dan bersinergi. Mutu pendidikan yang baik adalah hasil persenyawaan dari sekian faktor penentu yang semua baik-baik. Sebaliknya juga begitu. Mutu pendidikan yang jelek adalah hasil persenyawaan dari sekian faktor penentu yang semua atau sebagian juga jelek.
Dan paradigma ini adalah universal. Terpakai di mana-mana, dan kapanpun. Karenanya juga kita bisa saling belajar, baik secara internal, ke dalam, ke masa lalu kita, maupun secara eksternal ke luar ke berbagai pengalaman dari bangsa-bangsa di dunia ini, dari dahulu sampai sekarang. Era globa-lisasi sekarang ini memudahkan kita untuk saling belajar dan saling mengambil yang baik dari manapun, lalu mencampur-kannya dalam alkemi pendidikan itu.
Pendidikan tidak mengenal Timur maupun Barat – lā syarqiyatan wa lā gharbiyatan — dan tidak mengenal dulu maupun sekarang. Karenanya, jika kita memang mau maju, dan mau cepat maju, manfaatkanlah semua daya yang ada pada kita dan manfaatkan pula apa yang kita bisa dapatkan dari luar, dari mana saja. Tidak sia-sia kalau ada ungkapan seperti hadith yang mengatakan: "Uthlubul 'ilma walau bish Shīn." Tuntutlah ilmu itu walau ke negeri Cina sekalipun.
Pendidikan, sekali lagi, sifatnya adalah universal. Kalau ada ungkapan: Al Islām raĥmatan lil 'ālamīn, maka pendidikan sebagai manifestasi dari perwujudan Islam itu, adalah juga raĥmatan li kulli ummatin fil 'ālam. Pendidikan adalah rahmat bagi sekalian ummat di alam ini. Melalui pendidikan, manakala semua makhluk lainnya tinggal melata di bumi, manusia bisa terbang ke bulan dan ke angkasa luar lainnya, dan menjadi khalifah penguasa di muka bumi ini. Apalagi Tuhan sendiri mengatakan: "Semua dan seisi alam ini Kami ciptakan untuk kamu."
Namun, sebagaimana dengan agama juga, di mana dikatakan: Al Islām maĥjūbun bil muslimīn," Islam itu tertutup oleh orang Islam sendiri, pendidikan pun juga begitu. Pendidikan terhalang dan tertutup oleh para pihak yang terkait dengan pendidikan itu sendiri, di mana tidak terkecualinya termasuk guru sendiri.
II
Dari titik persetumpuan filosofis ini kita berangkat, sehingga kita tidak akan bersikap a priori terhadap unsur alkemi pendidikan manapun yang kita aduk dan senyawakan. Sederhananya kita berpegang saja pada prinsip, seperti juga yang terpakai dalam adat dan budaya kita sendiri: "Yang baik, dari manapun datangnya, dipakai, yang buruk dibuang." Era globalisasi ini adalah peluang dan sekaligus adalah tantangan yang paling baik yang patut kita sambut dan kita pergunakan seoptimal mungkin.
Cara atau metoda yang paling baik untuk menjawab per-tanyaan dari topik diskusi kita ini, yaitu: "Penanaman Budaya Mutu di Sekolah pada Era Globalisasi," adalah dengan mela-kukan opname diagnosis terlebih dahulu untuk menemukan "apanya yang sakit." Setelah diketahui ada bahagian-bahagian dari organ dan dari sistemnya yang rusak, maka melakukan upaya terapi penyembuhan menjadi mudah. Yang sakit yang diobat, dan diobat dengan cara dan macam obat yang tepat.
Ada sejumlah simptom yang telah cukup lama kita detek-si yang menyebabkan sakitnya sistem pendidikan kita di Indo-nesia ini.
Pertama, adalah caranya kita menempatkan pendidikan ini dalam konstelasi kehidupan kita sendiri. Kita tidak menem-patkan pendidikan ini sebagai part and parcel atau bagian yang esensiel dan sentral dalam kehidupan kita. Pendidikan hanya diperlakukan sebagai alat atau instrumen untuk mendapatkan keterampilan kerja. Pendidikan adalah alat untuk penupang hidup, bukan hidup itu sendiri. Karenanya, ketika secarik kertas (baca: ijazah) yang diupayakan dan yang diinginkan sela-ma ini melalui proses persekolahan, didapatkan, maka mesin pembelajaran dalam diri terhenti atau berhenti sendirinya. Buku ditutup. Semangat belajar, membaca, menulis, mencari tahu, dan semangat berfikir, berkontemplasi, berhenti. Keselu-ruhan sisa hidupnya hanyalah untuk pengisi perut dan mencari kesenangan hidup yang sifatnya fisik dan materialistik. Hidup bukan untuk pendidikan. Filosofi hidup: education for life, life is for education, dan life-long education praktis tidak dikenal. Tersang-kutnya kita pada faktor budaya, karena budaya yang kita anut, tidak mengenal itu. Kendati Islam mengenal, dan adalah sumber rujukan dari filosofi long-life education, and education for life itu, tapi ajaran itu hanya tinggal di teks, tekstual, dan tidak kontekstual dan empirikal, bilā 'amal. Sehingga menjadilah pendidikan itu bagai pohon tak berbuah — kasysyajarah bilā tamar.
Kedua, karena pendidikan itu hanyalah diperlakukan seba-gai alat untuk hidup, maka ilmu pengetahuan yang dituntut juga dibikin bertingkat-tingkat, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Demikianlah, kita telah menempatkan ilmu-ilmu eksakta, ilmu pasti, sebagai yang tertinggi. Anak-anak dengan IQ tinggi masuk ke bidang ini. Di tengahnya ilmu-ilmu sosial, dengan anak-anak yang diterima yang ber IQ sedang. Anak-anak yang ber IQ rendah, tidak lagi bisa masuk ke mana-mana, maka masuklah ke Sekolah Guru dan Sekolah Agama.
Bias kebiasaan membagi-bagi jurusan ilmu ini bertingkat-tingkat seperti ini adalah fatal, bagai dosa tak berampun, bagi pendidikan itu sendiri. Karena sikap terhadap ilmu seperti itu telah menempatkan guru sebagai kelompok "residual," yang karena tidak bisa ke mana-mana, lalu masuk ke sekolah guru atau sekolah agama.
Jika ini dipraktekkan, seperti yang kita praktekkan dalam masyarakat dan sistem pendidikan kita sendiri, maka inilah salah satu penyebab terbelakangnya sistem pendidikan di Indonesia ini. Lain halnya di negara-negara maju – termasuk tak kurangnya di Singapura dan Malaysia sendiri. Di negara-negara maju itu, yang akan menjadi guru itu diambilkan dari kelompok 10 % intake teratas. Mereka lalu diberi beasiswa dan diasramakan. Kebutuhan pokoknya dijamin selama berse-kolah. Dan di Malaysia, sebagai contoh, hari pertama mereka diangkat jadi guru, dua kunci sekali diberikan. Satu kunci rumah dan satu lagi kunci mobil.
Ketiga, artinya, kesejahteraan hidup guru yang terjamin.
Keempat, karenanya, dari akumulasi faktor-faktor positif yang saling menunjang itu, penghargaan yang tinggi terhadap guru yang diberikan oleh masyarakat. Mereka terhormat dan dihormati. Kalau di Jepang, penghormatan terhadap guru diperlihatkan dalam bentuk rundukan berkali-kali berlebih daripada kepada orang lain. Dan yang namanya sensei (guru) itu punya aura khusus yang hanya dimiliki oleh guru. Sama seperti kita di zaman penjajahan dulu itu memberikan penghormatan kepada para guru yang hidupnya terjamin dan muruahnya terjaga.
Faktor kelima, keenam, ketujuh, dst, tinggal menambah-kan faktor-faktor penunjang lainnya, baik fisik prasarana, peralatan, buku-buku, sistem manajemen persekolahan, sistem jaringan kerjasama antara sekolah, orang tua, rumah tangga, masyarakat dan negara, dsb.
III
Penanaman budaya mutu di sekolah, adalah derivatif sifatnya, yang ada karena adanya faktor-faktor pendorong dan penghalang tadi. Dan ada karena dikondisikan dengan meka-nisme sistem pengelolaan yang bersasaran, terprogram dengan baik dalam rangka mencapai sasaran-sasaran itu, dan dengan disiplin serta sistem kontrol dan sanksi yang ketat dan efektif. Sendirinya faktor kepemimpinan dan suri keteladanan tidak kurangnya juga memainkan peranan penting.
Mutu dicapai dan budaya mutu hidup di sekolah, ibarat jentera, karena masing-masing bahagian berjalan sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, dan semua itu saling meleng-kapi serta saling terkait satu sama lain, dalam satu kesatuan sistemik dan struktural-fungsional yang utuh dan terpadu.
Reviu, revisi dan evaluasi dari waktu ke waktu secara berkala dilakukan, untuk meminimalisasi risiko dan kerugian dan mengoptimalisasi hasil serta keuntungan sebagai buah dari jentera pendidikan yang berkelanjutan dan berkesinambungan itu. ***
PORNOGRAFI DALAM BUDAYA INDONESIA
Tanggapan terhadap Artikel
Wahyu Wicaksono
3 Februari 2009 di Kompas
WAHYU WICAKSONO, seorang Psikolog Sosial, menanggapi artikel Frans H Winarta (Kompas, 23 Jan 2009), yang dimuat di Kompas 3 Feb 2009. Pada gilirannya saya menanggapi artikel Wahyu Wicaksono yang katanya bersumber dari studi Utomo (2002) yang menyoroti sikap atas seksualitas masyarakat Indonesia dari sudut sejarah dan budaya. Kata Wahyu, pendekatan sejarah dan budaya, seperti yang dilakukan oleh Utomo, perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran 'sikap atas seksualitas pada budaya masyarakat Indonesia secara proporsional melalui pendekatan sejarah dan budaya.'
'Pornogrfi-pornoaksi dan seksualitas,' kata Wahyu, 'ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi, norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat spesifik secara sejarah dan budaya. Sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi biologis-prokreasi).' Lalu, dia bilang lagi, 'Sikap masya-rakat Indonesia terbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosiokultural yang berubah dari waktu ke waktu…'
Katakanlah begitu. Namun, ini yang aneh dan sekaligus menarik: Wahyu yang Wicaksono menutup artikelnya itu dengan mengatakan … 'Ada atau tidak ada UU Pornografi, sexual misconduct dalam bentuk apapun akan tetap dan akan terus terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi, tergantung dari individu yang memberi nilai, norma, dan pengertian yang dimiliki.' Dan dia kunci dengan mengatakan, "Serahkan mana-jemen tubuh berikut persepsinya pada kesadaran diri individu masing-masing, bukan tekanan, keharusan, dan hukuman dari luar."
Wahyu yang tadinya menempatkan diri sebagai seorang pengamat sosial-budaya, yang melihat gejala-gejala sosial-budaya itu secara apa adanya dan sebagaimana adanya (das Sein), sekarang berbalik menjadi seorang Machiavellian yang secara implisit maupun eksplisit menolak secara das Sollen akan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat dan menuntun prilaku kehidupan seksual dari warga masyarakat itu.
Secara akademik, epistemologi seperti ini tentu saja tidak konsisten. Kalau kita, seperti Utomo, mengandalkannya kepada fenomena sejarah dan budaya, secara apa adanya, biarkanlah sejarah dan budaya itu yang menentukan ke mana kelok loyangnya. Jangan pula diintervensi atau bahkan disabot dengan mengatakan, seperti yang Wahyu katakan itu, 'serahkan manajemen tubuh berikut persepsinya pada kesadaran diri individu masing-masing, bukan tekanan, keharusan, dan hukuman dari luar.'
Fenomena sosial-budaya, yang kemudian direkam oleh sejarah, justeru karena adanya dua sisi dari koin yang sama itu: individu dan masyarakat. Individu yang menurutkan naluri dan kehendak hatinya, secara biologis, masyarakat yang menuntun individu-individu itu dengan norma-norma sosial yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat itu. Melalui tuntunan norma-norma sosial itulah individu menempatkan dirinya dalam masyarakat.
Secara biologik dia tentu saja bisa melanggar norma dan ketentuan yang diacukan oleh masyarakat dengan 'social behavioral pattern' yang relatif baku itu. Tetapi pada waktu yang sama diapun sudah harus siap menerima sanksi, apapun bentuknya, yang diberikan oleh masyarakat. Masyarakat tradi-sional yang relatif tertutup, yang karenanya nilai-nilai primor-dial efektif berlaku, tinggal menyesuaikan diri, ke dalam bentuk pola prilaku normatif mana masyarakat itu mengaturnya. Masyarakat moderen, atau semi moderen, seperti di kota-kota, dan terutama kota-kota besar, memberikan kelonggaran untuk menyimpang dari pola prilaku baku itu. Masalahnya, di kota-kota nilai-nilai dan norma-norma sosial tidak lagi monolitik yang bersumber dari satu sumber budaya primordial saja, tetapi pluralistik, yang datang dari mana-mana. Namun sanksi sosial dari pola budaya yang dominan dan mengakar dalam masyarakat tetap berlaku, walau hanya dalam bentuk kerlingan sebelah mata ataupun gosip dan ocehan, apalagi kritik-kritik terbuka, apa pula sanksi hukum segala, seperti halnya UU Pornografi yang baru saja disahkan dan diberlakukan itu.
Masyarakat Indonesia kontemporer, dalam menyikapi pornografi dan pornoaksi, memang terbelah dua, sesuai dengan pola budaya yang mereka anut. Satu yang berhaluan sintetik, dan yang satu lagi yang berhaluan sinkretik. Yang berhaluan sintetik adalah masyarakat-masyarakat yang telah terislamkan secara integral, kaffah, menyeluruh, khususnya masyarakat Melayu yang dunianya lebih luas dari Indonesia ini, di mana juga termasuk Malaysia, Pattani, Brunai, Moro, dsb. Di dunia Melayu ini yang berlaku adalah asas filosofi: ABS-SBK: Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.
Kendati di masa pra-Islam, ada daerah-daerah Melayu yang sikap dan norma sosial-budayanya terhadap prilaku seksual yang tidak sejalan dengan kaidah syarak, tetapi melalui proses integrasi yang sifatnya sintetikal ke dalam Islam itu, kebiasaan pra-islamik itu ditinggalkan. Misalnya, tidak ada lagi wanita yang bertelanjang dada, dan tidak ada laki-laki kawin lebih dari empat, pada waktu yang sama, dibanding 450, dan hanya 34 yang dijadikan isteri, di kerajaan Jawa yang diceritakan Wahyu itu. Juga, laki-laki Minang yang kata Wahyu dipelihara oleh perempuannya untuk semata tujuan prokreatif. Malah oleh Wahyu secara vulgar dikatakan: "Suami tinggal di luar rumah dan sekali-sekali digunakan untuk kepentingan seks.' Wahyu juga bilang, 'Posisi ini lalu dianggap para suami sebagai posisi individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke …"Indochina" [sic.] mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.' Kelemahan pendekatan sejarah yang tidak berupaya memenggal-menggal periodisasi sejarah, cenderung untuk 'menyapu-rantau'kan apa-pun yang terjadi walau peristiwanya sudah anakronistik.
Dunia Melayu, sejak berlakunya hukum Islam yang me-nuntun kehidupan sosial mereka, secara sosietal, tunduk kepa-da hukum syarak Islam. Ini adalah karena mereka menempat-kan syarak sebagai tolok ukur dari adat mereka. Adat yang sejalan dengan syarak dipakai, yang tak sejalan, dibuang. Sekali lagi, sifatnya sosietal, kendati penyimpangan secara individual tentu ada, walau tetap dibenci dan tak disukai oleh masyara-katnya.
Lain dengan dunia bukan-Melayu, secara kultural, walau secara etno-biologik Melayu juga, misalnya Jawa, seperti yang dikatakan Wahyu itu. Di Jawa, terutama yang berorientasi Kejawen, atau Abangan, secara kultural, mereka mentoleransi pengeksposan dada atau bagian dari dada, dan mentoleransi tari-tarian eksotik, atau bahkan erotik. Dan juga mentoleransi isteri simpanan atau selir yang jumlahnya bisa tak terbatas, di samping toleransi dari para isteri untuk membiarkan atau membolehkan suaminya 'jajan,' karena pertimbangan apapun.
Berbeda dengan dunia Melayu, dunia Jawa menganut budaya sinkretik, tidak sintetik. Di Jawa, ada prinsip, 'sedaya agami sami kemawon.' Walau pengakuan resminya adalah 'Ketu-hanan Yang Maha Esa' sebagai sila pertamanya, tetapi yang tri-esa, poli-esa, dan tanpa-esa sekalipun, diakui dan diterima juga. Yang pokok damai, toleran dan saling menghargai. Maka terjadilah pola budaya sinkretisme yang mentoleransi dan membolehkan apa-apa.
Bicara tentang dikotomi dan polarisasi budaya Nusantara ini tentu akan panjang pula ceritanya. Dan ini tentu akan memancing polemik budaya tersendiri.
Yang pokok saya melihat keanehan dari cara berfikir akademik dari psikolog sosial kita, Wahyu Wicaksono, yang mencampur-aduk antara pola dan cara berfikir ilmiah sosio-kultural apa adanya, dengan kehendak pribadi yang cenderung Machiavellian itu. ***
Mochtar Naim,
Sosiolog
Ciputat, 4 Feb 2009.
APA YANG TERJADI? INSIDEN PENGAMBIL-ALIHAN MIKROFON OLEH ABDILLAH TOHA DI SIDANG PLENO HARI PERTAMA APPF (ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM) DI VIENTIANE, LAOS, 12 JANUARI 2009
Oleh
Mochtar Naim
Anggota Delegasi Indonesia
Dari Unsur DPD-RI
*
INSIDEN pengambil-alihan mikrofon oleh Abdillah Toha dari tangan saya di sidang pleno pertama Pertemuan Ta-hunan APPF (Asia Pacific Parliamentary Forum) ke 17 di Vientiane, Laos, tgl 12 Januari 2009 yl itu, sungguh memang sangatlah memalukan. Apalagi terjadinya di muka forum internasional yang sangat terhormat seperti APPF itu. Di sana Ketua delegasi Indonesia, Abdillah Toha, mempertontonkan arogansinya dengan mengambil alih mikrofon dari tangan saya, yang karenanya saya tidak jadi bicara. Pada hal waktu itu adalah giliran saya untuk berbicara setelah Ketua Sidang memanggil nama saya dan mempersilahkan saya untuk meng-ambil 'floor' atas nama delegasi Indonesia. Dan nama saya juga tercantum dengan jelas dalam Agenda Sidang, sebagai pembi-cara ketiga setelah utusan Rusia dan Vietnam berbicara, pada sidang pleno pertama siang itu dengan tema 'Economic and Trade Matter.'
Sesudah itu baru masuk ke sessi kedua mengenai 'Global Financial Crisis' yang nama Abdillah Toha memang tercantum di dalam Agenda berikut tetapi bukan dalam urutan pertama tetapi beberapa nama sesudah nama delegasi lainnya.
Setelah mikrofon saya dekatkan ke diri saya dan siap hendak menyampaikan pidato saya, Abdillah tiba-tiba menyela dengan mengatakan bahwa kesempatan itu adalah giliran dia yang agendanya adalah mengenai Global Financial Crisis itu. Saya bilang tidak. Kita masih pada sidang pertama mengenai Economic and Trade Matter yang nama saya jelas dicantum-kan dalam Agenda dan saya baru saja dipanggil oleh Ketua Sidang untuk menyampaikan pidato.
Di sini jelas terlihat unsur kesengajaan Abdillah Toha yang tidak hanya bersifat mengambil-alih tetapi juga menyero-bot atau bahkan menyabot karena namanya baru ada sesudah beberapa nama sebelumnya pada sessi berikutnya itu.
Tapi karena Abdillah dengan gigihnya mengatakan bahwa dia yang harus berbicara, saya, karena kuatir akan menciptakan suasana gaduh di forum internasional yang begitu bergengsi dan terhormat itu, akhirnya bilang, silahkan. Mikrofon dia ambil dan dia lalu menyampaikan pidatonya. Sebaliknya, hab-lurlah kesempatan saya berbicara, sementara saya sudah mem-persiapkannya begitu baik, dan sudah pula membahas dan mendiskusikannya dengan kawan-kawan anggota delegasi dari DPD-RI beberapa hari sebelum berangkat, dalam sebuah pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua Laode Ida. Laode Ida adalah Wakil Ketua delegasi sementara Abdillah Toha Ketua delegasi.
Kendati tak jadi membacakannya, untungnya teks pidato saya sudah diperbanyak dan diedarkan oleh Sekretariat Forum kepada semua delegasi, sebelumnya, dan sudah merupakan dokumen resmi Forum APPF.
*
Insiden pengambil-alihan mikrofon ini rupanya kemudian diketahui oleh Wakil Ketua Laode Ida yang justeru, karena Laode Ida tidak ikut duduk dan hadir pada waktu terjadi insiden itu, diberitahu sendiri oleh Abdillah bahwa dia telah mengambil-alih mikrofon dari tangan saya, dan menjelaskan-nya dari segi versi dia.
Abdillah kepada Laode Ida menyatakan bahwa dia mengambil mikrofon dari tangan saya itu karena, katanya, dia hanya melihat beberapa coretan tangan di atas sehelai kertas di hadapan saya. Dan dia kuatir kalau penyampaian saya akan mengecewakan. Abdillah tidak tahu bahwa langsung di bawah kertas coretan itu siap untuk dibacakan teks pidato yang sudah saya persiapkan itu. [Pikir saya, begitu rupanya orang kalau sudah dimulai dengan sūuzh-zhan -- dalam bahasa lisannya Abdillah sendiri--, dan dengan kecenderungan atau kesukaan melihat rendah kepada orang lain].
Dari cerita yang disampaikan oleh Laode Ida tentang pertemuan dia dengan Abdillah di luar ruang sidang, dan sesu-dah Abdillah menyampaikan pidato 'bersejarah'nya itu, ternya-ta dialog mereka berkembang menjadi polemik dan bahkan pertengkaran bermerah-merahan muka dan dengan bahasa yang sudah keluar garis atau bahkan free-kick, yang ternyata juga disaksikan oleh satu-dua staf delegasi yang kebetulan berada di sekitar kejadian itu.
Abdillah, dari penuturan Laode Ida, sampai juga merem-bet-rembet mengatakan bahwa DPD itu bukan legislative body, karena tidak mempunyai hak memutus. Yang parlemen dan legislative body itu hanyalah DPR, sementara DPD hanya boleh mengusul dan tidak memutus, yang wewenang serta fungsinya dibatasi oleh pasal 22 D UUD1945 itu. Karenanya tidak ada itu yang namanya bikameral, apalagi untuk menga-takan bahwa DPD itu identik dengan Senat. Karenanya juga DPD tidak ada hak untuk ikut-ikut dalam forum parlemen internasional seperti di Vientiane, Laos, itu, dan forum-forum lainnya sebelumnya yang juga dihadiri oleh DPD.
Abdillah agaknya lupa bahwa DPD adalah lembaga nega-ra seperti juga DPR yang juga bergerak di bidang legislatif dan yang merupakan perwakilan daerah-daerah di tingkat nasional sebagaimana laiknya Senat, yang anggota-anggotanya dipilih langsung oleh rakyat di provinsi bersangkutan – sementara DPR oleh partai — dan yang anggota-anggota DPD sekaligus adalah juga anggota MPR-RI seperti juga halnya dengan anggota-anggota DPR di MPR.
*
Jelaslah, bahwa insiden tak diinginkan yang terjadi di Forum APPF di Vientiane itu sesungguhnya hanyalah sebuah casus-belli, yang rentetan presedennya telah bertali jauh ke belakang setiap kali DPD-RI ikut mengambil bagian di forum-forum parlemen internasional di manapun selama usianya yang masih sangat muda itu. Dan yang pusat jala persoalannya ada-lah pada kerancuan institusional dan konstitusional yang dia-lami oleh DPD-RI sendiri, sehingga menjadi bibit perpecahan dan silang sengketa antara dua lembaga negara yang bergerak di bidang legislatif, walau rumahnya bersebelahan di kompleks yang sama di Senayan.
Sikap kurang ramah dan kurang bersahabat seperti yang diperlihatkan oleh Abdillah dkknya itu sesungguhnya hanyalah sebuah refleksi dan manifestasi dari kerancuan institusional yang berpangkal dari kerancuan konstitusional yang mendera batang-tubuh DPD-RI yang baru lahir, dan dilahirkan lumpuh itu. DPD, sebagai orang sono bilang, adalah bagaikan "lame duck" (itik lumpuh) yang tidak diharapkan kehadirannya oleh partai-partai politik yang menguasai DPR yang tidak menginginkan adanya sistem bikameral di NKRI, kendati luas dan jumlah penduduknya keempat terbesar di dunia ini. Praktis semua negara-negara besar di dunia ini, sebagai kita tahu, menganut sistem bikameral dan bahkan federal. Namun demikian, kebanyakan partai yang duduk di DPR tidak mendukung ide bikameral kendati daerah-daerah sangat membutuhkannya demi penguatan dan percepatan pemba-ngunan daerah-daerah dengan adanya DPD-RI di tingkat nasional itu.
*
Kebetulan saya sendiri juga ikut menghadiri Persidangan Tahunan APPF yang ke 16 bulan Januari 2008 yl di Auckland, New Zealand. Sayapun terkena semburan api kata-kata arogan dari Abdillah yang secara ketus mengatakan bahwa anggota-anggota DPD yang ikut bukanlah anggota delegasi. Kedu-dukan mereka tidak lebih dari peninjau, Observer, atau penasehat, Advisor. Dan ternyata, memang, kecuali Laode Ida, yang diakuinya sebagai anggota delegasi, semua kami dari DPD yang ikut hanyalah Advisor. Dan di badge yang tergan-tung di dada kami ditulis 'Advisor', bukan peserta, Delegate, atas desakan atau instruksi Abdillah.
Namun oleh Panitia Forum kami dari DPD diikutkan dalam berbagai kesempatan. Saya sendiri bahkan menyam-paikan pidato mengenai "Poverty Alleviation" dalam sidang pleno yang teks aslinya semula disiapkan oleh tim dari Deplu, tetapi kemudian saya rubah sedemikian sehingga menjadi pidato saya sendiri. Sayapun juga duduk dalam Drafting Committee, yang saya banyak memberikan sumbangan penda-pat dan pemikiran, bahkan berargumentasi berhadap-hadapan dengan anggota delegasi dari Rusia dll yang berpikiran lain.
Saya juga mendengar dari Ketua PKLP DPD-RI, Edwin Kawilarang, yang sering mengikuti persidangan-persidangan antar-parlemen di berbagai negara, di mana, Abdillah Toha, yang selalu jadi Ketua Delegasi, secara terbuka memperlihat-kan ketidak-senangannya terhadap keikut-sertaan anggota delegasi dari unsur DPD-RI.
*
Pada sidang sorenya, setelah terjadinya polemik yang kemudian menjurus menjadi pertengkaran face-to-face antara Abdillah dan Laode Ida itu, saya kembali duduk bersebelahan dengan Abdillah Toha di baris depan, bertiga dengan seorang ibu dari DPR, sementara anggota lain-lain duduk di jajaran belakang. Sambil duduk bersebelahan itu, Abdillah pun kem-bali mengang-katkan persoalan tetapi dengan nada yang keli-hatannya lebih bersahabat dan lebih 'menganggap' kepada saya.
Dia rupanya baru membaca teks pidato saya setelah terjadi pertengkaran itu. Jadi dia buktikan sendiri bahwa pidato saya bukan hanya sekadar coret-coret di atas sehelai kertas itu, tetapi sebuah teks pidato yang benar-benar dipersiapkan. Dia secara terbuka menghargai isi pidato saya. Apalagi setelah mengetahui bahwa saya ini adalah juga seorang sosiolog, dengan gelar PhD, yang telah malang-melintang di dunia akademik manca negara. Saya menuliskan isi pidato saya dengan gaya bahasa yang bukan hanya sebagai seorang anggota DPD-RI dari Sumatera Barat, tetapi sekaligus sebagai sosiolog yang banyak memberikan perhatian pada hal-hal yang saya tuliskan itu. Kebetulan yang saya tulis dan angkatkan itu adalah hal yang selama ini dianggap sebagai tabu, tidak boleh disebut-sebut, dan malah dianggap "sara" kalau diangkatkan. Hal yang telah merupakan duri dalam daging itu adalah, sebagaimana bunyi judulnya: "Marginalization of the Indigenous Peoples amidst the Growing Pangs of Development in Southeast Asian Countries" (Marjinalisasi Penduduk Pribumi di Tengah-tengah Gemerincing Pembangunan di Negara-negara di Asia Tenggara).
Bagaimanapun, Abdillah tetap saja menyeletuk; isinya ba-gus, katanya, tapi tempatnya tidak di sana. Dengan mengata-kan itu langsung kepada saya sendiri, dan mungkin juga kepada Laode Ida dll, tambah terbukti motif penyerobotan sesungguhnya yang dia lakukan itu, karena dia merasa saya dan kawan-kawan lainnya dari DPD tidak berhak untuk berbicara di forum parlemen internasional seperti itu. Bayangkan, dia melakukan penyerobotan atau bahkan pensabotan itu di hadapan mata semua orang pada momen ketika nama saya sudah dipanggil untuk berbicara, di muka sidang terbuka bertaraf internasional.
Pada hal, dari segi isinya, yang saya kemukakan itu adalah masalah yang langsung berkaitan dengan 'economic matter', cuma mungkin bukan dalam bahasa tinjauan ekonomi pasar, tetapi tinjauan ekonomi sosiologis yang merasuk ke dalam relung kehidupan rakyat pribumi yang merupakan mayoritas terbesar di negaranya sendiri tetapi yang dari segi sosiologi-ekonomi, istilah Amien Rais, mereka telah dikembalikan menjadi bangsa "kuli" seperti di jaman penjajahan dahulu.
Apa yang saya lihat sebagai warisan penjajahan di tanah air kita ini ternyata juga terjadi dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara lainnya, praktis tanpa kecuali. Bentuk dan penam-pilannya bisa berbeda, karena terbawa oleh arus dan warna sejarah masing-masing, tetapi isi dan esensinya itu juga. Intinya adalah dualisme ekonomi dengan gambaran struktural yang terbalik. Penduduk pribumi yang merupakan mayoritas terbesar, dan menjadi pewaris yang sah serta memiliki hak sejarah atas negara itu, tetapi mereka menjadi penonton atau pemain pinggiran dari gemerincing pembangunan ekonomi di bumi tanah-airnya sendiri. Dan mereka telah dimarjinalisasikan menjadi warga kelas dua sebagai bangsa 'kuli.'
Ingat, bagaimana perlakuan yang diberikan kepada kelompok Eskimo, Indian dan Negro di Kanada dan Amerika Serikat, Aborigins di Australia, pribumi di Afrika dan Asia, oleh para penjajah, yang kemudian menguasai negara-negara itu, ternyata sekarang setelah era kemerdekaan sekalipun masih tetap berlanjut dalam bentuk penjajahan ekonomi, dalam bungkusan yang mungkin tak langsung terlihat tapi segera dirasakan ketika disadari bahwa yang memiliki dan menjalan-kan serta menguasai jentera ekonomi bukanlah penduduk asli pribumi tetapi para non-pribumi dengan berkolaborasi dengan kelompok MNCs dari Barat maupun Timur. Sementara mereka, atas nama pembangunan, dibek-ap oleh para penguasa negara yang tidak lupa mengambil manfaat daripadanya dengan mendapatkan upeti, alias korupsi. Sumitro pernah mengkonstatasikan, sedikitnya 30-40% dari anggaran pemba-ngunan masuk ke pundi-pundi para penguasa. Dan nyatanya, Indonesia di mata dunia, termasuk kelompok negara terkorup di dunia, di tengah-tengah tingkat kemiskinan dan keterbela-kangan yang masih mendera mayoritas rakyat.
*
Dalam teks pidato yang selengkapnya saya lampirkan dalam risalah ini apa yang dialami di Indonesia juga dialami oleh negara-negara lainnya di Asia Tenggara ini.
Singapura, yang tadinya adalah sebuah kerajaan Melayu Temasek, sekarang telah menjadi negara kepulauan yang sangat kuat dan dikuasai seluruhnya oleh warga keturunan Cina, dan menjadikan warga Melayu sebagai warga kelas dua yang termarjinalkan. Singapura telah menjadi pusat Emporium Nan Yang yang menguasai dan mengendalikan seluruh jaringan ekonomi kawasan Nusantara dan Asia Tenggara.
Filipina, warga asli Filipina yang semuanya masih tergo-long ke dalam stok Melayu, juga termarjinalkan, dengan menempati kedudukan sosial-ekonomi kelas dua dan tiga dan tinggal di pedesaan dan pedalaman lainnya dalam struktur ekonomi yang masih tradisional, rural, agrikultural dan pra-industrial, dengan tingkat kemiskinan dan keterbelakangan tinggi. Kelompok pribumi yang tinggal di perkotaan, seperti di Indonesia, rata-rata jatuh ke dalam kelompok buruh kelas menengah ke bawah dengan kelompok elite birokrat yang makin terdesak oleh ekspansi kelompok non-pri Cina ke dalam bidang-bidang di luar ekonomi, industri dan perdagang-an, termasuk politik dan pemerintahan, militer, pendidikan, olah raga, kebudayaan, dsb. Filipina dengan makin terdesaknya kelompok pribumi makin mengarah seperti Singapura kedua, dan berada di bawah naungan Emporium Nan Yang.
Indonesia, seperti yang kita lihat, makin terperangkap ke dalam jaringan Emporium Nan Yang, dengan dualisme struk-tur ekonomi seperti di Filipina yang makin menonjol dan menganga. Sektor formal yang makin dikuasai oleh para pemilik modal kuat (konglomerasi MNC-non-pri), dan sektor informal oleh mayoritas penduduk pribumi yang makin ter-marjinalkan. Kelompok non-pri makin jauh masuk ke bidang-bidang politik, pemerintahan, pendidikan, olah raga, kebudaya-an, telekomunikasi, TI, dan sektor moderen lainnya. Yang mereka dambakan adalah perlakuan indiskriminatif seperti kepada pri-bumi dll, sehingga mereka bisa dengan lebih leluasa menyeruak masuk ke bidang-bidang manapun. Walau di bi-dang militer berdasarkan perhitungan strategi belum mereka sentuh, tetapi mereka masuk melalui sisi logistik-pengadaan dan keperansertaan militer selama ini di bidang industri, per-dagangan dan jasa, dengan permainan Ali-Baba. Ali di depan, Baba di belakang layar.
Thailand, Vietnam, Laos dan Kambodia, sekarang sedang berusaha melepaskan diri dari gurita ekonomi Emporium Cina Nan Yang, dan dengan garis ke depan yang makin menguta-makan kepentingan pribumi di segala bidang kehidupan. Gambaran Vietnam, Laos dan Kambodia makin memberi peluang kepada kelompok pribumi untuk bangun dan menge-jar segala ketinggalan mereka di berbagai bidang. Gambaran kasat mata dari keseharian negara-negara bekas penguasaan rejim komunis sekarang ini memperlihatkan perubahan drastis yang mengutamakan kepen-tingan pribumi tanpa mematikan usaha non-pribumi.
Malaysia, yang mengambil sikap tegas sejak awal peme-rintahan Mahathir di awal 70-an, dalam mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi antar-etnik, yakni dengan memacu pertumbuh-an ekonomi kelompok pribumi dari hanya 2 menjadi 20 persen dalam jangka waktu 20 tahun. Sekarang setelah putaran 20 tahun kedua, share dari kelompok pribumi sudah di atas 40 % di semua sektor formal. Ribuan anak-anak pribumi dikirim sekolah ke luar negeri tiap tahun, sehingga mesin pemerin-tahan sekarang sudah ditangani oleh kelompok terdidik pri-bumi dan non-pribumi. Malaysia menyeimbangkan antara investasi sosial dan investasi ekonomi.
Indonesia sendiri: Quo Vadis? Belum ada, atau tidak ada, penggarisan ke depan yang jelas, apalagi yang akan merubah struktur, dan sistem, dari ekonomi dualistik ke ekonomi kerakyatan dengan pendekatan social investment di samping economic investment. Makanya, para mafia Berkeley dari awal-awal sudah menasehatkan Suharto agar memanfaatkan keahlian dan kelihaian kelompok non-pri Cina untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang kehancuran ekonomi yang ditinggalkan oleh Sukarno. Namun mereka lupa memberikan resep bagai-mana menggenjot semangat berusaha dari kelompok pribumi untuk mengejar segala ketinggalannya seperti yang berlaku di Malaysia itu. Ucapan Wijoyo cs, seratus tahun pun diberi kesempatan kepada pribumi, tak akan mampu mem-perbaiki ekonomi Indonesia yang sudah morat-marit ini. Namun juga, bagai memakan buah simala-kama, dengan menyerahkan tali kendali ekonomi kepada kelompok non-pri, yang dibek-ap oleh kelompok penguasa yang ingin cepat kaya, seperti yang kita alami sejak Orde Baru itu, Indonesia makin tergantung dan makin terlilit dengan gurita jaringan ekonomi Emporium Nan Yang dan ekonomi global kapitalistik-pasar bebas itu.
*
Saya sengaja mencuatkan permasalahan yang sangat perih dan menyakitkan ini di forum internasional seperti di APPF itu untuk mendapatkan simpati internasional, karena sukar mengangkatkannya di dalam negeri sendiri. Kesadaran ke arah itu masih kecil, dihantui oleh bermacam ketakutan, dan karenanya selalu dengan sikap kita yang selalu mendua, tidak tegas seperti yang dilakukan oleh Mahathir di Malaysia dalam rangka membela dan memperjuangkan nasib pribumi yang termarjinalisasikan oleh ulah kolusi dan konglomerasi pengu-asa pribumi dan pengusaha non-pribumi.
*
Saya tuliskan semua ini apa adanya karena jeritan dan kepedihan hati sebagai seorang warga negara yang tidak tega melihat penderitaan bagian terbesar rakyat yang adalah pribumi yang nasibnya sesudah 2/3 abad merdeka ini nyaris tidak berubah yang struktur dan sistem ekonominya masih tetap dualistik, berat sebelah. Lima persen penduduk yang non-pri menguasai ekonomi negeri yang diwarisi oleh pribumi yang 95 persen. Di mana letaknya keadilan, kesamaan dan kebersamaan di NKRI ini? Sementara ekonomi kerakyatan yang didengung-dengungkan itu dengungannya hanya sayup-sayup sampai. Yang berjalan tetap saja ekonomi kapitalistik, liberal pasar bebas, yang menguntungkan kelompok kapitalis MNC dan non-pri tetapi menyengsarakan kelompok pribumi. Mereka benar-benar termarjinalisasikan. Indonesia sedang menuju ke arah pengalaman Filipina kedua di mana rakyat pribumi termarjinalkan. Tanah-tanah ulayat rakyat telah diam-bil-alih dan berubah menjadi perkebunan-perkebunan besar yang praktis seluruhnya dikuasai oleh non-pri yang berkolabo-rasi dengan MNC dan dengan perlindungan penguasa pribumi. Praktek Latifundia pun berjalan seperti di Amerika Latin dan di Filipina. Ujung-ujungnya adalah penyengsaraan rakyat terbanyak, di mana mereka masuk ke dalam barisan "landless peasants," alias petani tanpa tanah, alias buruh tani, alias kuli.
Ke depan, karenanya, kita memerlukan perubahan struk-tural dan sistemik dari ekonomi Indonesia ini yang pro rakyat, dan pro keadilan, kesamaan dan kebersamaan itu. Bagaimana-pun, banyak yang kita bisa belajar dari saudara-saudara kita di negeri tetangga, Malaysia, yang menyelamatkan pribumi Melayu dari keterpinggirannya, yakni dengan cara memberi peluang, menyediakan fasilitas, mendorong dan menentukan target-target pencapaian untuk kurun waktu yang ditentukan, sehingga satu waktu, penduduk dari kelompok etnik manapun akan hidup sejajar dan seimbang. Hanya dengan cara seperti itu, kesenjangan dan kecemburuan sosial-ekonomi dapat dihilangkan; kesejahteraan untuk bersama dapat ditingkatkan, kesamaan dan kebersamaan dapat dijelmakan.
*
Untuk memacu pembangunan yang merata untuk seluruh daerah di Indonesia yang begitu luas dan begitu besar ini, dan dengan jumlah penduduk nomor 4 terbanyak di dunia ini, sistem bikameral akan lebih menjamin terperhatikannya pem-bangunan di daerah-daerah yang sebagian terbesar masih sangat ketinggalan dan memprihatinkan.
DPD-RI sebagai wahana untuk memperjuangkan kepen-tingan pembangunan di daerah-daerah memerlukan pengu-atan. Dan daerah-daerah memerlukan otonomi seluas-luasnya untuk mempercepat dan memacu pembangunan di segala bidang. ***
Terlampir: (dimuat terpisah)
1. Teks Pidato yang urung dibacakan di Pertemuan Tahunan APPF ke 17, di Vientiane, Laos, 12 Januari 2009, dengan judul: "Marginalization of the Indigenous Peoples amidst the Growing Pangs of Development in Southeast Asian Countries."
2. Teks Pidato yang dibacakan di Pertemuan Tahunan APPF ke 16, di Auckland, New Zealand, 23 Januari 2008, dengan judul: "Poverty Alleviation."
Mochtar Naim's Blog
- Mochtar Naim's profile
- 5 followers

