Alwi Alatas's Blog
March 19, 2010
Para Penunggang Unta di Benua Kangguru
Para Penunggang Unta di Benua Kangguru
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-...
Para penunggang unta, telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perekonomian Australia. Tapi peranan mereka terabaikan sejarah
Oleh: Alwi Alatas*
Hidayatullah.com—Pada salah satu halamannya, sekitar dua minggu yang lalu, harian The Star menampilkan sebuah foto dengan keterangan singkat. Pada foto itu tampak seorang lelaki kulit putih dengan pakaian Asia Selatan sedang menggiring dua ekor unta di tengah kota Melbourne. Orang itu, Mark Austin, sedang menuju ke Museum Imigrasi dalam rangka memperingati ’Australia’s Muslim Camelers’ yang menjadi pionir pembukaan jalur transportasi di benua Kangguru itu antara tahun 1860 dan 1930-an.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa para penunggang unta dari Afghan dan sekitarnya pernah memberi kontribusi yang penting bagi perkembangan ekonomi Australia, serta bagi eksistensi Islam di benua kangguru itu. Mereka memang bukan kaum muslimin pertama yang datang ke benua tersebut. Sebelumnya sudah ada pelaut-pelaut Bugis yang tiba di benua itu – mereka datang untuk mencari tripang – jauh sebelum orang-orang kulit putih tiba di sana. Selain itu juga ada segelintir tawanan muslim dari negeri-negeri jajahan Inggris yang dibuang ke negeri itu. Namun, kehadiran para penunggang unta dari Afghan pada pertengahan abad ke-19 bisa dianggap sebagai kaum imigran muslim pertama yang bersifat permanen di Australia.
Pada masa lalu, keadaan benua Australia yang berpadang pasir tidak memungkinkan dibukanya jalur-jalur darat di antara kota-kota yang jauh. Koloni Inggris yang belum satu abad menjadi negara independen itu mengalami kesulitan dalam mengembangkan jalur-jalur transportasi. Ekspedisi demi ekspedisi dilakukan ke pedalaman Australia, tetapi selalu gagal. Kondisi gurun di benua itu tak bisa ditaklukkan oleh kuda. Hanya ada satu jenis hewan tunggangan yang mampu mengatasi keadaan geografis semacam itu, dan hewan itu adalah unta. Masalahnya, tidak ada unta di Australia. Maka pada tahun 1840 kaum kulit putih di Australia Selatan mendatangkan beberapa ekor unta untuk pertama kalinya ke benua tersebut. Unta-unta ini didatangkan dari Afghanistan dan India untuk keperluan ekspedisi.
Ketika menyadari pentingnya hewan ini bagi mereka, pada tahun 1860-an lebih banyak lagi unta didatangkan ke Australia, kali ini berikut para penunggangnya. Pengadaan unta segera menjadi bisnis yang penting di Australia. Para penunggang unta yang didatangkan dari wilayah Afghanistan dan sekitarnya biasanya dikontrak untuk bekerja selama 3 tahun. Banyak dari mereka yang kembali ke tanah leluhurnya setelah beberapa tahun bekerja di Australia, sementara sebagian lainnya menetap dan menikah dengan wanita-wanita Aborijin atau wanita-wanita Eropa. Sejak kedatangan orang-orang Afghan, nilai-nilai Islam mulai tertanam benihnya di benua ini.
Philip Jones, ko-kurator pameran tentang para penunggang unta Afghan, yang diadakan di National Library of Australia beberapa tahun yang lalu, mengakui bahwa kenangan tentang orang-orang Afghan ini tinggal sebagai catatan kaki belaka bagi ‘sejarah Australia yang sesungguhnya,’ yang dipandang sebagai eksplorasi kaum kulit putih. Padahal, masih menurut Jones, ’peranan mereka di pedalaman Australia sangat besar, jauh melampaui jumlah fisik mereka. Mereka membuka tanah pedalaman, mengangkut wol, menghubungkan pemukiman-pemukiman yang jauh dengan pasar-pasar Eropa dan membuka jalur-jalur pedalaman ...’ di benua tersebut.
Antara tahun 1860-an dan 1920-an diperkirakan ada 20.000 unta dan 2000 penunggang unta didatangkan dari Afghanistan, Baluchistan, dan wilayah yang kini bernama Pakistan. Kebanyakan mereka ini berasal dari suku Pashtun. Namun secara keseluruhan mereka disebut sebagai orang-orang Afghan oleh penduduk Australia. Orang-orang Afghan ini hidup secara terpisah dari komunitas kulit putih. Mereka tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan mereka ke Australia dan berpegang pada agama Islam hingga ajal menjemput mereka. Mereka membangun masjid-masjid di Coolgardie, Cloncurry, Marree, dan Broken Hill.
Masjid yang mereka bangun pada tahun 1882 di Marree, Australia Selatan, merupakan masjid pertama di benua itu. Masjid besar di Adelaide yang dibangun pada tahun 1890 juga merupakan sumbangan komunitas Afghan ini.
Jejak-jejak para penunggang unta dari Afghan dapat dijumpai di beberapa tempat di Australia. Jejak-jejak ini tidak hanya didapati pada masjid saja, tapi juga pada tempat-tempat lainnya, yang kelihatannya diberikan sebagai kenangan terhadap sumbangan dan peranan mereka di masa lalu.
Sebagai contoh, jalan raya dari Darwin ke Adelaide dinamai The Ghan, yang merupakan penyederhanaan dari kata Afghan. Nama beberapa pionir Afghan juga ada yang digunakan sebagai nama tempat, seperti 'Bejah Hill' dan 'Saleh's Fish Pond.' Keahlian orang-orang Afghan ini serta bantuan mereka dalam beberapa ekspedisi – bahkan beberapa tokoh ekspedisi kulit putih ada yang selamat dari kematian berkat bantuan orang-orang Afghan ini – menimbulkan rasa hormat terhadap mereka. Segelintir orang Afghan mampu mencapai tingkat keberhasilan tertentu, seperti Mohamet Allum yang beralih dari penunggang unta menjadi ahli herbal bagi masyarakat kelas atas. Kendati demikian, sikap kaum kulit putih Australia yang cenderung rasialis tetap saja memarjinalkan orang-orang Afghan ini. Karenanya, mereka seterusnya hidup terpisah dari masyarakat kulit putih.
Para penunggang unta ini telah berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian Australia selama lebih dari setengah abad. Namun ketika kendaraan bermotor mulai berperan menggantikan peranan hewan tunggangan pada tahun 1920-an, para penunggang unta ini mulai kehilangan pekerjaan. Ketika seorang pemuda Bosnia, Shefik Talanavic, dan kawan-kawannya bermigrasi ke Australia pada musim panas 1952, mereka mengunjungi masjid Adelaide. Ketika memasuki halaman masjid tersebut, mereka merasa terkejut karena menyaksikan pemandangan yang tidak biasa.
Di halaman masjid tersebut mereka mendapati 6-7 orang tua bersorban yang sedang duduk-duduk dan berbaring. Kebanyakan dari mereka berumur 90-an tahun. Yang paling muda 87 tahun dan yang paling tua 117 tahun. Mereka ini adalah para penunggang unta terakhir di Australia; para penunggang unta yang telah kehilangan pekerjaannya. Masjid yang mereka bangun di Adelaide itu menjadi tempat pengungsian bagi mereka. Shefik dan teman-temannya kemudian membangun kembali masjid tersebut. Mereka menyaksikan orang-orang Afghan itu meninggal dan dikuburkan satu demi satu. Para penunggang unta itu sama sekali tidak mengakumulasi kekayaan selama hidupnya. Mereka juga tidak meninggalkan warisan selain masjid yang mereka bangun.
Kendati orang-orang Afghan ini telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perekonomian Australia, peranan mereka cenderung terabaikan dalam sejarah Australia. Perhatian yang serius terhadap sejarah para penunggang unta ini, seperti yang kami singgung di awal artikel ini, baru dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak tahun 2004.
Ironisnya, upaya ini dilakukan justru setelah terjadinya invasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat, yang disertai juga oleh Australia, ke Afghanistan pada awal dekade ini. Walaupun kaum kulit putih modern berkilah tentang “teroris” yang mesti ditumpas di Afghanistan serta keinginan untuk ’membebaskan’ masyarakat Afghan, tak seorang pun yang memiliki akal sehat meragukan adanya kepentingan ekonomi di balik invasi tersebut.
Adakah sejarah para penunggang unta kembali diangkat untuk mencari simpati dan sebagai pembenaran atas keterlibatan Australia di Afghanistan pada hari ini?
Dulu mereka mendatangkan unta dan para penunggangnya dari Afghanistan untuk mengembangkan jalur perekonomian mereka. Kini setelah unta telah lama tidak dibutuhkan, apakah mereka ingin ikut mengeksploitasi sumber daya di negeri para mullah tersebut? Sejarah akan menjadi saksi atas semua ini. [Kuala Lumpur, 2 Rabiul Akhir 1431/ 18 Maret 2010/www.hidayatullah.com:]
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-...
Para penunggang unta, telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perekonomian Australia. Tapi peranan mereka terabaikan sejarah
Oleh: Alwi Alatas*
Hidayatullah.com—Pada salah satu halamannya, sekitar dua minggu yang lalu, harian The Star menampilkan sebuah foto dengan keterangan singkat. Pada foto itu tampak seorang lelaki kulit putih dengan pakaian Asia Selatan sedang menggiring dua ekor unta di tengah kota Melbourne. Orang itu, Mark Austin, sedang menuju ke Museum Imigrasi dalam rangka memperingati ’Australia’s Muslim Camelers’ yang menjadi pionir pembukaan jalur transportasi di benua Kangguru itu antara tahun 1860 dan 1930-an.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa para penunggang unta dari Afghan dan sekitarnya pernah memberi kontribusi yang penting bagi perkembangan ekonomi Australia, serta bagi eksistensi Islam di benua kangguru itu. Mereka memang bukan kaum muslimin pertama yang datang ke benua tersebut. Sebelumnya sudah ada pelaut-pelaut Bugis yang tiba di benua itu – mereka datang untuk mencari tripang – jauh sebelum orang-orang kulit putih tiba di sana. Selain itu juga ada segelintir tawanan muslim dari negeri-negeri jajahan Inggris yang dibuang ke negeri itu. Namun, kehadiran para penunggang unta dari Afghan pada pertengahan abad ke-19 bisa dianggap sebagai kaum imigran muslim pertama yang bersifat permanen di Australia.
Pada masa lalu, keadaan benua Australia yang berpadang pasir tidak memungkinkan dibukanya jalur-jalur darat di antara kota-kota yang jauh. Koloni Inggris yang belum satu abad menjadi negara independen itu mengalami kesulitan dalam mengembangkan jalur-jalur transportasi. Ekspedisi demi ekspedisi dilakukan ke pedalaman Australia, tetapi selalu gagal. Kondisi gurun di benua itu tak bisa ditaklukkan oleh kuda. Hanya ada satu jenis hewan tunggangan yang mampu mengatasi keadaan geografis semacam itu, dan hewan itu adalah unta. Masalahnya, tidak ada unta di Australia. Maka pada tahun 1840 kaum kulit putih di Australia Selatan mendatangkan beberapa ekor unta untuk pertama kalinya ke benua tersebut. Unta-unta ini didatangkan dari Afghanistan dan India untuk keperluan ekspedisi.
Ketika menyadari pentingnya hewan ini bagi mereka, pada tahun 1860-an lebih banyak lagi unta didatangkan ke Australia, kali ini berikut para penunggangnya. Pengadaan unta segera menjadi bisnis yang penting di Australia. Para penunggang unta yang didatangkan dari wilayah Afghanistan dan sekitarnya biasanya dikontrak untuk bekerja selama 3 tahun. Banyak dari mereka yang kembali ke tanah leluhurnya setelah beberapa tahun bekerja di Australia, sementara sebagian lainnya menetap dan menikah dengan wanita-wanita Aborijin atau wanita-wanita Eropa. Sejak kedatangan orang-orang Afghan, nilai-nilai Islam mulai tertanam benihnya di benua ini.
Philip Jones, ko-kurator pameran tentang para penunggang unta Afghan, yang diadakan di National Library of Australia beberapa tahun yang lalu, mengakui bahwa kenangan tentang orang-orang Afghan ini tinggal sebagai catatan kaki belaka bagi ‘sejarah Australia yang sesungguhnya,’ yang dipandang sebagai eksplorasi kaum kulit putih. Padahal, masih menurut Jones, ’peranan mereka di pedalaman Australia sangat besar, jauh melampaui jumlah fisik mereka. Mereka membuka tanah pedalaman, mengangkut wol, menghubungkan pemukiman-pemukiman yang jauh dengan pasar-pasar Eropa dan membuka jalur-jalur pedalaman ...’ di benua tersebut.
Antara tahun 1860-an dan 1920-an diperkirakan ada 20.000 unta dan 2000 penunggang unta didatangkan dari Afghanistan, Baluchistan, dan wilayah yang kini bernama Pakistan. Kebanyakan mereka ini berasal dari suku Pashtun. Namun secara keseluruhan mereka disebut sebagai orang-orang Afghan oleh penduduk Australia. Orang-orang Afghan ini hidup secara terpisah dari komunitas kulit putih. Mereka tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan mereka ke Australia dan berpegang pada agama Islam hingga ajal menjemput mereka. Mereka membangun masjid-masjid di Coolgardie, Cloncurry, Marree, dan Broken Hill.
Masjid yang mereka bangun pada tahun 1882 di Marree, Australia Selatan, merupakan masjid pertama di benua itu. Masjid besar di Adelaide yang dibangun pada tahun 1890 juga merupakan sumbangan komunitas Afghan ini.
Jejak-jejak para penunggang unta dari Afghan dapat dijumpai di beberapa tempat di Australia. Jejak-jejak ini tidak hanya didapati pada masjid saja, tapi juga pada tempat-tempat lainnya, yang kelihatannya diberikan sebagai kenangan terhadap sumbangan dan peranan mereka di masa lalu.
Sebagai contoh, jalan raya dari Darwin ke Adelaide dinamai The Ghan, yang merupakan penyederhanaan dari kata Afghan. Nama beberapa pionir Afghan juga ada yang digunakan sebagai nama tempat, seperti 'Bejah Hill' dan 'Saleh's Fish Pond.' Keahlian orang-orang Afghan ini serta bantuan mereka dalam beberapa ekspedisi – bahkan beberapa tokoh ekspedisi kulit putih ada yang selamat dari kematian berkat bantuan orang-orang Afghan ini – menimbulkan rasa hormat terhadap mereka. Segelintir orang Afghan mampu mencapai tingkat keberhasilan tertentu, seperti Mohamet Allum yang beralih dari penunggang unta menjadi ahli herbal bagi masyarakat kelas atas. Kendati demikian, sikap kaum kulit putih Australia yang cenderung rasialis tetap saja memarjinalkan orang-orang Afghan ini. Karenanya, mereka seterusnya hidup terpisah dari masyarakat kulit putih.
Para penunggang unta ini telah berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian Australia selama lebih dari setengah abad. Namun ketika kendaraan bermotor mulai berperan menggantikan peranan hewan tunggangan pada tahun 1920-an, para penunggang unta ini mulai kehilangan pekerjaan. Ketika seorang pemuda Bosnia, Shefik Talanavic, dan kawan-kawannya bermigrasi ke Australia pada musim panas 1952, mereka mengunjungi masjid Adelaide. Ketika memasuki halaman masjid tersebut, mereka merasa terkejut karena menyaksikan pemandangan yang tidak biasa.
Di halaman masjid tersebut mereka mendapati 6-7 orang tua bersorban yang sedang duduk-duduk dan berbaring. Kebanyakan dari mereka berumur 90-an tahun. Yang paling muda 87 tahun dan yang paling tua 117 tahun. Mereka ini adalah para penunggang unta terakhir di Australia; para penunggang unta yang telah kehilangan pekerjaannya. Masjid yang mereka bangun di Adelaide itu menjadi tempat pengungsian bagi mereka. Shefik dan teman-temannya kemudian membangun kembali masjid tersebut. Mereka menyaksikan orang-orang Afghan itu meninggal dan dikuburkan satu demi satu. Para penunggang unta itu sama sekali tidak mengakumulasi kekayaan selama hidupnya. Mereka juga tidak meninggalkan warisan selain masjid yang mereka bangun.
Kendati orang-orang Afghan ini telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perekonomian Australia, peranan mereka cenderung terabaikan dalam sejarah Australia. Perhatian yang serius terhadap sejarah para penunggang unta ini, seperti yang kami singgung di awal artikel ini, baru dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak tahun 2004.
Ironisnya, upaya ini dilakukan justru setelah terjadinya invasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat, yang disertai juga oleh Australia, ke Afghanistan pada awal dekade ini. Walaupun kaum kulit putih modern berkilah tentang “teroris” yang mesti ditumpas di Afghanistan serta keinginan untuk ’membebaskan’ masyarakat Afghan, tak seorang pun yang memiliki akal sehat meragukan adanya kepentingan ekonomi di balik invasi tersebut.
Adakah sejarah para penunggang unta kembali diangkat untuk mencari simpati dan sebagai pembenaran atas keterlibatan Australia di Afghanistan pada hari ini?
Dulu mereka mendatangkan unta dan para penunggangnya dari Afghanistan untuk mengembangkan jalur perekonomian mereka. Kini setelah unta telah lama tidak dibutuhkan, apakah mereka ingin ikut mengeksploitasi sumber daya di negeri para mullah tersebut? Sejarah akan menjadi saksi atas semua ini. [Kuala Lumpur, 2 Rabiul Akhir 1431/ 18 Maret 2010/www.hidayatullah.com:]
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Published on March 19, 2010 08:01
•
Tags:
sejarah
January 31, 2010
Kisah Penjual Gado-Gado
Kisah Penjual Gado-Gado
Alwi
Sudah hampir setahun lamanya saya tidak pulang ke Jakarta. Selama belajar di Malaysia, biasanya saya kembali ke Jakarta setiap empat bulan sekali. Tapi sejak bulan November 2006 lalu, saya tidak pernah pulang sampai sepuluh hari menjelang Iedul Fitri bulan Oktober 2007 lalu. Maklum, dalam setahun terakhir ini saya mengajak istri ikut ke Kuala Lumpur.
Hidup di negeri orang tentunya harus banyak menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, termasuk dalam hal makanan. Untungnya lidah kami berdua cocok dengan lidah orang-orang di sini yang sehari-hari biasa makan roti canai dan nasi lemak serta minum teh tarik atau Milo suam. Walaupun begitu, rasa rindu terhadap makanan dan jajanan Indonesia tentunya juga muncul, apalagi setelah sekian lama tinggal di Kuala Lumpur.
Alhasil, ketika pulang ke Jakarta pada awal Oktober lalu, kami sama-sama “ngidam” jajanan Ibukota. Istri saya berkali-kali minta dibelikan siomay dan beberapa kali mencegat – dengan bantuan keponakannya tentunya – tukang bakmi yang biasa lewat di depan rumah. Saya sendiri tidak punya target khusus, tapi selama beberapa hari di Jakarta, alhamdulillah berbagai macam jajanan berhasil saya jajal. Dengan begitu, kerinduan yang sekian lama tertahan bisa terpuaskan. Tetapi, di antara jajanan-jajanan yang ada, masih ada satu yang sejauh itu belum juga berhasil saya dapatkan … gado-gado. Entah kenapa, berbagai kesempatan untuk membeli dan mencicipi gado-gado sepenuhnya terlewatkan. Dan karenanya, selama beberapa minggu, obsesi makan gado-gado belum juga terpenuhi.
Kira-kira dua minggu setelah lebaran, saya dan keluarga (istri saya ketika itu tidak ikut) pergi bersilaturahim ke rumah seorang famili di Bogor. Agak lama juga kami berada di sana. Ketika akan pulang ke Jakarta, waktu shalat Ashar sudah masuk. Berhubung saya tidak menjamak shalat, saya turun di sebuah masjid kecil untuk shalat sementara kakak saya pergi mengambil barang yang tertinggal di rumah yang kami kunjungi sebelumnya. Selesai shalat, mobil sudah parkir lagi di depan masjid. Saya masuk ke dalam mobil, sementara kakak saya gantian masuk ke dalam masjid untuk shalat Ashar.
Belum lama duduk di dalam mobil, seorang bapak tua berjalan tertatih-tatih menuju mobil tempat saya menunggu. Dengan suara lemah ia menawarkan makanan yang ia jual sambil menunjuk ke arah gerobak kusamnya yang diparkir tak jauh dari mobil kami. Karena memang tidak berniat jajan, serta merta saya menolak tawaran itu dengan halus. Saya bahkan sudah berniat menolaknya sebelum bapak tua itu menawarkan barang dagangannya.
Bapak itu masih belum menyerah. Ia sekali lagi menawarkan dagangannya kepada saya, tidak dengan sifat agresif atau sikap memelas yang dibuat-buat, tapi dengan permohonan yang nyaris tak mengeluarkan suara, diiringi dengan rasa putus asa. Lagi-lagi, tanpa menunggu bapak itu selesai bicara, saya kembali menolaknya secara halus. Saya hanya meliriknya sedikit, khawatir tatapan saya ke arah penampilannya yang memelas akan membuat saya terenyuh dan akhirnya mendorong saya untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak saya perlukan.
Merasa tidak berhasil menawarkan dagangannya kepada kami, bapak tua itu berjalan tertatih meninggalkan mobil. Saya pikir ia akan langsung kembali duduk di samping gerobaknya untuk menunggu calon pembeli yang mestinya – saya pikir – bakal datang cepat atau lambat. Tapi ternyata tidak! Bapak tua itu berjalan dengan langkah-langkah yang rapuh memasuki pekarangan masjid. Ia mendekati seorang tukang bangunan yang sedang merapikan kayu-kayu untuk bahan renovasi masjid dan menawarkan makanan jajaannya kepada si tukang tadi. Tukang itu pun menggeleng halus. Dan ia kembali menggeleng ketika bapak tua itu masih berusaha membujuknya, membuat si bapak berdiri gamang di tempatnya untuk beberapa saat.
Mungkin karena posisi yang agak jauh dan tidak merasa terganggu oleh bujukan si bapak tadi, saya merasa lebih bebas untuk memperhatikan gerak langkah dan keresahannya. Di bawah naungan senja yang mulai meremang, orang tua itu masih berada di jalan dengan langkah lunglai dan ekspresi tak berdaya. Pada momen-momen yang singkat itu, beberapa pertanyaan mulai terlintas di benak saya. Apa yang dijual bapak ini? Berapa umurnya? Apakah dagangannya ada yang membeli? Mengapa ia terlihat begitu sedih dan putus asa? Bapak ini adalah kepala keluarga dari istri dan anak-anak yang mungkin sedang menanti sang ayah datang dengan membawa rizki tak seberapa yang berhasil diraihnya pada hari itu. Apakah yang seberapa pada hari itu benar-benar mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga si bapak?
Gerimis rasa haru mulai turun rintik-rintik di pelataran hati saya. Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu saya yang ikut mengamati dari jendela pintu depan. Kasihan Bapak ini, begitu Ibu saya bergumam. Saya pun mulai merasa kasihan, tetapi rasa kasihan itu masih dalam bentuk gerimis yang belum cukup kuat untuk membuat seorang segera bertindak, tetapi ia lumayan memadai untuk membuatnya sadar akan adanya sesuatu yang membutuhkan respon. Hati saya tergerak untuk membeli dagangan si Bapak, walaupun mungkin nantinya tidak akan saya makan. Saya tidak begitu yakin dengan enak tidaknya makanan yang ia jual, mengingat penampilan gerobaknya yang begitu sederhana.
Mata saya mengawasi bapak itu ketika ia berjalan melewati mobil. Bapak itu masih menaruh harapan saya mau membeli makanannya, dan kali ini harapannya tercapai. Saya membuka pintu mobil sedikit dan tersenyum ke arahnya. Ia berjalan mendekat, masih tertatih-tatih.
“Beli Pak ….” pintanya samar sambil menunjuk lemah ke arah gerobak tuanya.
“Bapak jualan apa?” saya bertanya pada bapak itu sembari bertekad untuk membeli apa pun yang ia jual.
“Saya jual gado-gado dan rujak …,” jawabnya dengan suara yang dalam dan lemah, seolah ada sisa-sisa kelelahan yang panjang di dalam dirinya.
Hmmm, gado-gado? Saya merasa kurang yakin. Gado-gado seperti apa yang ia jual. Terus terang saya ragu kalau saya bakal menyukai gado-gado yang dibuat bapak ini. Tapi itu tidak penting, karena tujuan utama saya adalah membantu si Bapak.
“Berapa harga gado-gadonya, Pak?” saya mengajukan pertanyaan yang biasa diajukan oleh setiap calon pembeli. Tiga ribu rupiah, empat ribu rupiah? Saya menduga-duga berapa harga seporsi gado-gado si bapak. Gerobaknya yang kusam malah membuat saya berpikir jangan-jangan harga seporsi gado-gadonya cuma dua ribu atau dua ribu limaratus.
“Berapa saja Pak, terserah …, saya senang ada yang beli,” jawabnya dengan suara bergetar. Jawaban itu betul-betul membuat saya tersentuh. Bapak ini benar-benar sudah menyerah dan mengabaikan posisi tawarnya. Ia sedang menginformasikan dengan halus bahwa ia tidak sedang dalam posisi jual-beli. Ia sedang membutuhkan pertolongan.
Secara spontan tangan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan memberikannya kepada si bapak.
“Saya beli lima ribu, Pak,” ucap saya dengan lintasan pemikiran bahwa uang segitu sudah lebih dari harga standar seporsi gado-gadonya. Si bapak menerima uang itu dengan rasa syukur. Ia berjalan kembali ke gerobaknya dengan tubuh gemetar. Saya memperhatikan orang tua itu berjalan dan seketika saya merasa telah melakukan sebuah dosa karena hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepadanya.
Baru saja akan mulai membuat gado-gado, si Bapak teringat sesuatu dan berjalan kembali dengan tertatih-tatih ke arah mobil. Saya merasa tidak tega dan segera turun dari mobil untuk mencegah supaya si Bapak jangan berjalan mondar-mandir ke mobil hanya karena ingin menanyakan sesuatu.
“Pakai ketupat?” tanya si bapak.
“Boleh Pak. Gado-gadonya dibungkus saja, kerupuknya kalau bisa dipisah,” pesan saya sambil mendekat.
Orang tua itu mengangguk dan berbalik kembali ke gerobaknya. Ada sepercik etos melayani pada gerak-gerik si bapak. Etos untuk memberikan yang terbaik bagi seorang konsumen. Namun etos itu terlihat rapuh tergerusi beban hidup yang begitu panjang serta ketidakpastian yang menghadang di hadapan.
Saya berjalan menuju gerobak tua itu dan ikut berdiri menemani di samping si bapak. Saya memperhatikan bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat gado-gado. Bahan-bahan itu tidak banyak jumlahnya dan komposisinya terlihat begitu aneh untuk standar pembuatan gado-gado yang pernah saya cicipi selama ini. Kacang-kacang goreng yang ia gunakan bahkan masih bulat utuh, lengkap dengan kulit-kulitnya yang berwarna coklat gelap, membuat tampilan gado-gado itu menjadi semakin tidak memikat. Saya membayangkan betapa para juru masak di kota-kota besar memiliki perlengkapan yang begitu mewah serta bahan-bahan masakan yang sangat lezat dan menarik, sehingga konsumen-konsumen mereka sanggup mengantri sekian lama untuk bisa mencicipi makanan-makanan yang harganya cukup mahal itu. Tanpa mengabaikan rasa iba, sisi professional saya mengatakan bahwa makanan si bapak ini benar-benar tidak layak jual. Siapa yang mau beli gado-gado semacam ini? Saya berkata dalam hati dengan perasaan tidak tega.
“Bagaimana jualannya, Pak?” saya bertanya perlahan dan hati-hati.
“Dari pagi baru ada dua orang yang beli, Pak,” jawabnya dengan suara parau. Tangannya yang gemetar masih terus mengulek kacang.
Dagangannya memang tidak laku, gumam saya dalam hati, dugaan saya ternyata memang benar. Tapi pada saat yang sama saya juga menyadari bahwa ada kebenaran lain yang sangat menyakitkan. Orang tua ini – yang seharusnya bisa beristirahat di rumah dengan tenang dengan mendapat tanggungan dari anggota keluarganya atau jaminan sosial dari pemerintah – ternyata masih berkeliling untuk mencari nafkah. Baginya itu tentu bukan sebuah pilihan. Itu merupakan tuntutan hidup yang tak mampu ditolaknya. Ia yang sudah renta dan layu masih harus berkeliling mendorong-dorong gerobak tuanya menjajakan gado-gado dan rujak ke berbagai tempat. Dan pada hari ini, ketika matahari sudah menjelang terbenam, ia masih belum mendapatkan pembeli kecuali dua orang.
Ia mulai menaburi bumbu kacangnya dengan potongan tahu, mentimun dan beberapa bahan lainnya. “Modalnya saja masih belum dapat,” ia melanjutkan dengan suara pelan. Suaranya bagai angin yang bergesekan lemah dengan dedaunan kering di di musim kemarau. “Saya sendiri sebenarnya sedang sakit ….”
Saya sulit membayangkan itu semua. Lantas bagaimana dengan makan dan kebutuhan keluarganya pada hari itu? Bagaimana dengan dagangannya untuk esok hari? Kini saya yang merasa tak berdaya. Saya yang tinggal di kota, dari keluarga yang berkecukupan, apa yang bisa saya lakukan untuk orang tua ini? Hanya menyampaikan rasa simpati? Menepuk-nepuk bahunya dan menganjurkannya untuk bersabar (padahal ia lebih mengetahui arti kesabaran daripada saya)? Atau saya merasa cukup hanya dengan mendoakannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya hanya bisa mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah yang ada di kantong saya dan menghadiahkannya kepada si bapak ketika orang tua itu hampir selesai dengan pekerjaannya. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Di kantong saya hampir tidak ada uang lagi. Saya memang tidak membawa uang yang cukup pada hari itu. Si bapak mengucapkan terima kasih dengan sisa-sisa suaranya.
Bapak itu membungkus gado-gado dengan kertas coklat. Perlengkapan dagang si bapak begitu terbatasnya. Ia bahkan tidak mempunyai kantong plastik untuk menjinjing bungkus gado-gado saya. Ia terlihat kerepotan mencari jalan untuk membungkus kerupuk. Sebelumnya sempat saya katakan supaya kerupuknya dicampur saja dengan gado-gado, tidak perlu dipisah, tapi ia tetap bertekad untuk membungkus kerupuknya secara terpisah. Lantas diambilnya kertas coklat untuk digunakan sebagai pembungkus kerupuk. Saya memohon lagi kepadanya supaya ia tidak perlu bersusah payah seperti itu, biarkan saja saya membawa gado-gadonya tanpa disertai kerupuk. Tapi ia seperti tidak perduli. Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membungkus kerupuk-kerupuk itu dengan kertas pembungkus.
Setelah semuanya siap, saya hendak mengambil kedua bungkusan itu untuk saya bawa ke mobil. Tapi ia menolak dan memaksa untuk ikut membawakannya sampai ke mobil. Saya betul-betul tak berdaya dan merasa iba sekaligus kagum melihatnya berjalan tertatih seperti itu. Ia sedang sakit. Guratan kepayahan yang bercampur dengan rasa syukur terlihat jelas di wajahnya. Ketika sudah sampai di mobil, kakak saya yang sudah duduk di kursi pengemudi mengulurkan tangannya untuk memberikan uang kepada si bapak. Saya tidak tahu berapa besar uang yang diberikan. Saya pun masuk dan mobil segera bergerak meninggalkan tempat itu diiringi tatapan sendu dan lambaian tangan si bapak.
Saya meletakkan bungkusan gado-gado itu di dalam sebuah plastik yang ada di dalam mobil. Saya tidak bisa memakannya, karena tidak ada sendok di dalam mobil dan rasanya tidak nyaman kalau harus makan dengan tangan sementara kendaraan terus bergerak. Saya tahu gado-gado itu akan benyek pada saat nanti tiba Jakarta dan kalau sudah begitu rasanya tentu jadi semakin tidak enak. Saya tahu gado-gado itu akan berubah rasa saat tiba di Jakarta nanti, tapi saya bertekad untuk memakannya, walaupun hanya sedikit. Kami terus berjalan sampai akhirnya tiba di Jakarta Selatan menjelang Maghrib.
Ketika tiba di rumah, saya langsung menghampiri istri saya dan menunjukkan bungkusan gado-gado yang ada di tangan saya. “Lihat!” saya tersenyum kepadanya, “Akhirnya saya mendapatkannya setelah hampir satu tahun tidak makan gado-gado.” Ya. Ini memang gado-gado pertama yang saya temui dalam satu tahun terakhir!
Istri saya tersenyum. “Jadi akhirnya berhasil juga dapat gado-gado? Beli di mana?”
Maka saya pun menceritakan seluruh kejadiannya sambil mempersiapkan gado-gado itu di atas piring. Gado-gado itu sangat banyak sampai-sampai porsi saya masih lebih dari cukup walaupun saya sudah membagi sebagian gado-gado itu untuk istri dan ibu mertua saya.
“Apa …?” istri saya langsung protes ketika saya sudah selesai bercerita, “Kanda cuma memberikan dua puluh ribu untuk bapak tua yang sedang kesusahan itu? Kenapa tidak memberikan lima puluh ribu atau lebih lagi?”
“Saya tadi sedang tidak bawa uang Sayang,” saya mengelak, “Lagi pula, yang saya berikan itu sudah hampir mewakili seluruh isi kantong saya.”
“Tapi Kanda kan bisa pinjam uang dulu dari Umi (maksudnya Ibu saya),” ia masih memprotes.
“Iya sih, tapi entahlah tadi saya sama sekali tidak terpikir ke arah sana,” lagi-lagi saya membela diri.
Istri saya masih menyesali apa yang telah terjadi untuk beberapa waktu lamanya. Dan saya tahu ia benar. Mungkin itu adalah salah satu hal yang paling saya sesali dalam hidup saya.
Saya terus terbayang-bayang wajah sendu si Bapak tua ketika saya memakan gado-gado di piring saya. Saya memakan gado-gado itu, dan terus memakannya dengan lahap. Saya terus memakan gado-gado itu sampai dasar-dasar piring saya mulai terlihat. Wajah bapak tua itu terus membayang. Senyumannya yang nyaris tak tampak sudah cukup memadai untuk menyibak perlahan kerut-kerut di wajahnya sebagai pembuka jalan bagi sinar matahari sore memantul lepas menjajakan keceriaan serta kebahagiaan bagi alam di sekitarnya. Bayang-bayang tangannya yang gemetar tapi ikhlas telah menyadarkan saya bahwa energi ketulusannya telah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa bagi makanan yang dibuatnya.
Saya terus makan sampai gado-gado di piring saya ludes tak tersisa. Saya tertegun untuk beberapa saat sambil menatap piring saya yang sudah kosong. Kini saya sadar sepenuhnya. Saya betul-betul tidak mampu untuk menolak sebuah kebenaran yang lain … itu adalah gado-gado paling lezat yang pernah saya makan seumur hidup saya!
Kuala Lumpur, 14 November 2007
Ditulis sebagai kenangan untuk Bapak penjual gado-gado di Bogor
Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan hingga akhir hayatnya
Alwi
Sudah hampir setahun lamanya saya tidak pulang ke Jakarta. Selama belajar di Malaysia, biasanya saya kembali ke Jakarta setiap empat bulan sekali. Tapi sejak bulan November 2006 lalu, saya tidak pernah pulang sampai sepuluh hari menjelang Iedul Fitri bulan Oktober 2007 lalu. Maklum, dalam setahun terakhir ini saya mengajak istri ikut ke Kuala Lumpur.
Hidup di negeri orang tentunya harus banyak menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, termasuk dalam hal makanan. Untungnya lidah kami berdua cocok dengan lidah orang-orang di sini yang sehari-hari biasa makan roti canai dan nasi lemak serta minum teh tarik atau Milo suam. Walaupun begitu, rasa rindu terhadap makanan dan jajanan Indonesia tentunya juga muncul, apalagi setelah sekian lama tinggal di Kuala Lumpur.
Alhasil, ketika pulang ke Jakarta pada awal Oktober lalu, kami sama-sama “ngidam” jajanan Ibukota. Istri saya berkali-kali minta dibelikan siomay dan beberapa kali mencegat – dengan bantuan keponakannya tentunya – tukang bakmi yang biasa lewat di depan rumah. Saya sendiri tidak punya target khusus, tapi selama beberapa hari di Jakarta, alhamdulillah berbagai macam jajanan berhasil saya jajal. Dengan begitu, kerinduan yang sekian lama tertahan bisa terpuaskan. Tetapi, di antara jajanan-jajanan yang ada, masih ada satu yang sejauh itu belum juga berhasil saya dapatkan … gado-gado. Entah kenapa, berbagai kesempatan untuk membeli dan mencicipi gado-gado sepenuhnya terlewatkan. Dan karenanya, selama beberapa minggu, obsesi makan gado-gado belum juga terpenuhi.
Kira-kira dua minggu setelah lebaran, saya dan keluarga (istri saya ketika itu tidak ikut) pergi bersilaturahim ke rumah seorang famili di Bogor. Agak lama juga kami berada di sana. Ketika akan pulang ke Jakarta, waktu shalat Ashar sudah masuk. Berhubung saya tidak menjamak shalat, saya turun di sebuah masjid kecil untuk shalat sementara kakak saya pergi mengambil barang yang tertinggal di rumah yang kami kunjungi sebelumnya. Selesai shalat, mobil sudah parkir lagi di depan masjid. Saya masuk ke dalam mobil, sementara kakak saya gantian masuk ke dalam masjid untuk shalat Ashar.
Belum lama duduk di dalam mobil, seorang bapak tua berjalan tertatih-tatih menuju mobil tempat saya menunggu. Dengan suara lemah ia menawarkan makanan yang ia jual sambil menunjuk ke arah gerobak kusamnya yang diparkir tak jauh dari mobil kami. Karena memang tidak berniat jajan, serta merta saya menolak tawaran itu dengan halus. Saya bahkan sudah berniat menolaknya sebelum bapak tua itu menawarkan barang dagangannya.
Bapak itu masih belum menyerah. Ia sekali lagi menawarkan dagangannya kepada saya, tidak dengan sifat agresif atau sikap memelas yang dibuat-buat, tapi dengan permohonan yang nyaris tak mengeluarkan suara, diiringi dengan rasa putus asa. Lagi-lagi, tanpa menunggu bapak itu selesai bicara, saya kembali menolaknya secara halus. Saya hanya meliriknya sedikit, khawatir tatapan saya ke arah penampilannya yang memelas akan membuat saya terenyuh dan akhirnya mendorong saya untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak saya perlukan.
Merasa tidak berhasil menawarkan dagangannya kepada kami, bapak tua itu berjalan tertatih meninggalkan mobil. Saya pikir ia akan langsung kembali duduk di samping gerobaknya untuk menunggu calon pembeli yang mestinya – saya pikir – bakal datang cepat atau lambat. Tapi ternyata tidak! Bapak tua itu berjalan dengan langkah-langkah yang rapuh memasuki pekarangan masjid. Ia mendekati seorang tukang bangunan yang sedang merapikan kayu-kayu untuk bahan renovasi masjid dan menawarkan makanan jajaannya kepada si tukang tadi. Tukang itu pun menggeleng halus. Dan ia kembali menggeleng ketika bapak tua itu masih berusaha membujuknya, membuat si bapak berdiri gamang di tempatnya untuk beberapa saat.
Mungkin karena posisi yang agak jauh dan tidak merasa terganggu oleh bujukan si bapak tadi, saya merasa lebih bebas untuk memperhatikan gerak langkah dan keresahannya. Di bawah naungan senja yang mulai meremang, orang tua itu masih berada di jalan dengan langkah lunglai dan ekspresi tak berdaya. Pada momen-momen yang singkat itu, beberapa pertanyaan mulai terlintas di benak saya. Apa yang dijual bapak ini? Berapa umurnya? Apakah dagangannya ada yang membeli? Mengapa ia terlihat begitu sedih dan putus asa? Bapak ini adalah kepala keluarga dari istri dan anak-anak yang mungkin sedang menanti sang ayah datang dengan membawa rizki tak seberapa yang berhasil diraihnya pada hari itu. Apakah yang seberapa pada hari itu benar-benar mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga si bapak?
Gerimis rasa haru mulai turun rintik-rintik di pelataran hati saya. Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu saya yang ikut mengamati dari jendela pintu depan. Kasihan Bapak ini, begitu Ibu saya bergumam. Saya pun mulai merasa kasihan, tetapi rasa kasihan itu masih dalam bentuk gerimis yang belum cukup kuat untuk membuat seorang segera bertindak, tetapi ia lumayan memadai untuk membuatnya sadar akan adanya sesuatu yang membutuhkan respon. Hati saya tergerak untuk membeli dagangan si Bapak, walaupun mungkin nantinya tidak akan saya makan. Saya tidak begitu yakin dengan enak tidaknya makanan yang ia jual, mengingat penampilan gerobaknya yang begitu sederhana.
Mata saya mengawasi bapak itu ketika ia berjalan melewati mobil. Bapak itu masih menaruh harapan saya mau membeli makanannya, dan kali ini harapannya tercapai. Saya membuka pintu mobil sedikit dan tersenyum ke arahnya. Ia berjalan mendekat, masih tertatih-tatih.
“Beli Pak ….” pintanya samar sambil menunjuk lemah ke arah gerobak tuanya.
“Bapak jualan apa?” saya bertanya pada bapak itu sembari bertekad untuk membeli apa pun yang ia jual.
“Saya jual gado-gado dan rujak …,” jawabnya dengan suara yang dalam dan lemah, seolah ada sisa-sisa kelelahan yang panjang di dalam dirinya.
Hmmm, gado-gado? Saya merasa kurang yakin. Gado-gado seperti apa yang ia jual. Terus terang saya ragu kalau saya bakal menyukai gado-gado yang dibuat bapak ini. Tapi itu tidak penting, karena tujuan utama saya adalah membantu si Bapak.
“Berapa harga gado-gadonya, Pak?” saya mengajukan pertanyaan yang biasa diajukan oleh setiap calon pembeli. Tiga ribu rupiah, empat ribu rupiah? Saya menduga-duga berapa harga seporsi gado-gado si bapak. Gerobaknya yang kusam malah membuat saya berpikir jangan-jangan harga seporsi gado-gadonya cuma dua ribu atau dua ribu limaratus.
“Berapa saja Pak, terserah …, saya senang ada yang beli,” jawabnya dengan suara bergetar. Jawaban itu betul-betul membuat saya tersentuh. Bapak ini benar-benar sudah menyerah dan mengabaikan posisi tawarnya. Ia sedang menginformasikan dengan halus bahwa ia tidak sedang dalam posisi jual-beli. Ia sedang membutuhkan pertolongan.
Secara spontan tangan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan memberikannya kepada si bapak.
“Saya beli lima ribu, Pak,” ucap saya dengan lintasan pemikiran bahwa uang segitu sudah lebih dari harga standar seporsi gado-gadonya. Si bapak menerima uang itu dengan rasa syukur. Ia berjalan kembali ke gerobaknya dengan tubuh gemetar. Saya memperhatikan orang tua itu berjalan dan seketika saya merasa telah melakukan sebuah dosa karena hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepadanya.
Baru saja akan mulai membuat gado-gado, si Bapak teringat sesuatu dan berjalan kembali dengan tertatih-tatih ke arah mobil. Saya merasa tidak tega dan segera turun dari mobil untuk mencegah supaya si Bapak jangan berjalan mondar-mandir ke mobil hanya karena ingin menanyakan sesuatu.
“Pakai ketupat?” tanya si bapak.
“Boleh Pak. Gado-gadonya dibungkus saja, kerupuknya kalau bisa dipisah,” pesan saya sambil mendekat.
Orang tua itu mengangguk dan berbalik kembali ke gerobaknya. Ada sepercik etos melayani pada gerak-gerik si bapak. Etos untuk memberikan yang terbaik bagi seorang konsumen. Namun etos itu terlihat rapuh tergerusi beban hidup yang begitu panjang serta ketidakpastian yang menghadang di hadapan.
Saya berjalan menuju gerobak tua itu dan ikut berdiri menemani di samping si bapak. Saya memperhatikan bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat gado-gado. Bahan-bahan itu tidak banyak jumlahnya dan komposisinya terlihat begitu aneh untuk standar pembuatan gado-gado yang pernah saya cicipi selama ini. Kacang-kacang goreng yang ia gunakan bahkan masih bulat utuh, lengkap dengan kulit-kulitnya yang berwarna coklat gelap, membuat tampilan gado-gado itu menjadi semakin tidak memikat. Saya membayangkan betapa para juru masak di kota-kota besar memiliki perlengkapan yang begitu mewah serta bahan-bahan masakan yang sangat lezat dan menarik, sehingga konsumen-konsumen mereka sanggup mengantri sekian lama untuk bisa mencicipi makanan-makanan yang harganya cukup mahal itu. Tanpa mengabaikan rasa iba, sisi professional saya mengatakan bahwa makanan si bapak ini benar-benar tidak layak jual. Siapa yang mau beli gado-gado semacam ini? Saya berkata dalam hati dengan perasaan tidak tega.
“Bagaimana jualannya, Pak?” saya bertanya perlahan dan hati-hati.
“Dari pagi baru ada dua orang yang beli, Pak,” jawabnya dengan suara parau. Tangannya yang gemetar masih terus mengulek kacang.
Dagangannya memang tidak laku, gumam saya dalam hati, dugaan saya ternyata memang benar. Tapi pada saat yang sama saya juga menyadari bahwa ada kebenaran lain yang sangat menyakitkan. Orang tua ini – yang seharusnya bisa beristirahat di rumah dengan tenang dengan mendapat tanggungan dari anggota keluarganya atau jaminan sosial dari pemerintah – ternyata masih berkeliling untuk mencari nafkah. Baginya itu tentu bukan sebuah pilihan. Itu merupakan tuntutan hidup yang tak mampu ditolaknya. Ia yang sudah renta dan layu masih harus berkeliling mendorong-dorong gerobak tuanya menjajakan gado-gado dan rujak ke berbagai tempat. Dan pada hari ini, ketika matahari sudah menjelang terbenam, ia masih belum mendapatkan pembeli kecuali dua orang.
Ia mulai menaburi bumbu kacangnya dengan potongan tahu, mentimun dan beberapa bahan lainnya. “Modalnya saja masih belum dapat,” ia melanjutkan dengan suara pelan. Suaranya bagai angin yang bergesekan lemah dengan dedaunan kering di di musim kemarau. “Saya sendiri sebenarnya sedang sakit ….”
Saya sulit membayangkan itu semua. Lantas bagaimana dengan makan dan kebutuhan keluarganya pada hari itu? Bagaimana dengan dagangannya untuk esok hari? Kini saya yang merasa tak berdaya. Saya yang tinggal di kota, dari keluarga yang berkecukupan, apa yang bisa saya lakukan untuk orang tua ini? Hanya menyampaikan rasa simpati? Menepuk-nepuk bahunya dan menganjurkannya untuk bersabar (padahal ia lebih mengetahui arti kesabaran daripada saya)? Atau saya merasa cukup hanya dengan mendoakannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya hanya bisa mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah yang ada di kantong saya dan menghadiahkannya kepada si bapak ketika orang tua itu hampir selesai dengan pekerjaannya. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Di kantong saya hampir tidak ada uang lagi. Saya memang tidak membawa uang yang cukup pada hari itu. Si bapak mengucapkan terima kasih dengan sisa-sisa suaranya.
Bapak itu membungkus gado-gado dengan kertas coklat. Perlengkapan dagang si bapak begitu terbatasnya. Ia bahkan tidak mempunyai kantong plastik untuk menjinjing bungkus gado-gado saya. Ia terlihat kerepotan mencari jalan untuk membungkus kerupuk. Sebelumnya sempat saya katakan supaya kerupuknya dicampur saja dengan gado-gado, tidak perlu dipisah, tapi ia tetap bertekad untuk membungkus kerupuknya secara terpisah. Lantas diambilnya kertas coklat untuk digunakan sebagai pembungkus kerupuk. Saya memohon lagi kepadanya supaya ia tidak perlu bersusah payah seperti itu, biarkan saja saya membawa gado-gadonya tanpa disertai kerupuk. Tapi ia seperti tidak perduli. Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membungkus kerupuk-kerupuk itu dengan kertas pembungkus.
Setelah semuanya siap, saya hendak mengambil kedua bungkusan itu untuk saya bawa ke mobil. Tapi ia menolak dan memaksa untuk ikut membawakannya sampai ke mobil. Saya betul-betul tak berdaya dan merasa iba sekaligus kagum melihatnya berjalan tertatih seperti itu. Ia sedang sakit. Guratan kepayahan yang bercampur dengan rasa syukur terlihat jelas di wajahnya. Ketika sudah sampai di mobil, kakak saya yang sudah duduk di kursi pengemudi mengulurkan tangannya untuk memberikan uang kepada si bapak. Saya tidak tahu berapa besar uang yang diberikan. Saya pun masuk dan mobil segera bergerak meninggalkan tempat itu diiringi tatapan sendu dan lambaian tangan si bapak.
Saya meletakkan bungkusan gado-gado itu di dalam sebuah plastik yang ada di dalam mobil. Saya tidak bisa memakannya, karena tidak ada sendok di dalam mobil dan rasanya tidak nyaman kalau harus makan dengan tangan sementara kendaraan terus bergerak. Saya tahu gado-gado itu akan benyek pada saat nanti tiba Jakarta dan kalau sudah begitu rasanya tentu jadi semakin tidak enak. Saya tahu gado-gado itu akan berubah rasa saat tiba di Jakarta nanti, tapi saya bertekad untuk memakannya, walaupun hanya sedikit. Kami terus berjalan sampai akhirnya tiba di Jakarta Selatan menjelang Maghrib.
Ketika tiba di rumah, saya langsung menghampiri istri saya dan menunjukkan bungkusan gado-gado yang ada di tangan saya. “Lihat!” saya tersenyum kepadanya, “Akhirnya saya mendapatkannya setelah hampir satu tahun tidak makan gado-gado.” Ya. Ini memang gado-gado pertama yang saya temui dalam satu tahun terakhir!
Istri saya tersenyum. “Jadi akhirnya berhasil juga dapat gado-gado? Beli di mana?”
Maka saya pun menceritakan seluruh kejadiannya sambil mempersiapkan gado-gado itu di atas piring. Gado-gado itu sangat banyak sampai-sampai porsi saya masih lebih dari cukup walaupun saya sudah membagi sebagian gado-gado itu untuk istri dan ibu mertua saya.
“Apa …?” istri saya langsung protes ketika saya sudah selesai bercerita, “Kanda cuma memberikan dua puluh ribu untuk bapak tua yang sedang kesusahan itu? Kenapa tidak memberikan lima puluh ribu atau lebih lagi?”
“Saya tadi sedang tidak bawa uang Sayang,” saya mengelak, “Lagi pula, yang saya berikan itu sudah hampir mewakili seluruh isi kantong saya.”
“Tapi Kanda kan bisa pinjam uang dulu dari Umi (maksudnya Ibu saya),” ia masih memprotes.
“Iya sih, tapi entahlah tadi saya sama sekali tidak terpikir ke arah sana,” lagi-lagi saya membela diri.
Istri saya masih menyesali apa yang telah terjadi untuk beberapa waktu lamanya. Dan saya tahu ia benar. Mungkin itu adalah salah satu hal yang paling saya sesali dalam hidup saya.
Saya terus terbayang-bayang wajah sendu si Bapak tua ketika saya memakan gado-gado di piring saya. Saya memakan gado-gado itu, dan terus memakannya dengan lahap. Saya terus memakan gado-gado itu sampai dasar-dasar piring saya mulai terlihat. Wajah bapak tua itu terus membayang. Senyumannya yang nyaris tak tampak sudah cukup memadai untuk menyibak perlahan kerut-kerut di wajahnya sebagai pembuka jalan bagi sinar matahari sore memantul lepas menjajakan keceriaan serta kebahagiaan bagi alam di sekitarnya. Bayang-bayang tangannya yang gemetar tapi ikhlas telah menyadarkan saya bahwa energi ketulusannya telah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa bagi makanan yang dibuatnya.
Saya terus makan sampai gado-gado di piring saya ludes tak tersisa. Saya tertegun untuk beberapa saat sambil menatap piring saya yang sudah kosong. Kini saya sadar sepenuhnya. Saya betul-betul tidak mampu untuk menolak sebuah kebenaran yang lain … itu adalah gado-gado paling lezat yang pernah saya makan seumur hidup saya!
Kuala Lumpur, 14 November 2007
Ditulis sebagai kenangan untuk Bapak penjual gado-gado di Bogor
Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan hingga akhir hayatnya
Published on January 31, 2010 21:28
•
Tags:
kisah
January 28, 2010
Mongol, Penakluk yang Tertaklukkan
Mongol, Penakluk yang Tertaklukkan
Kedigdayaan militer sebuah bangsa tak otomatis menjadikannya mampu memberikan pengaruh jangka panjang terhadap bangsa-bangsa lainnya yang ditaklukkan
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-...
Oleh: Alwi Alatas*
Hidayatullah.com--Pada tulisan tentang “Mozarabic Christian” telah digambarkan betapa bangsa yang kalah, cenderung mengikuti bangsa yang menaklukkannya dalam hal cara berpakaian, berbahasa, dan dalam berbagai aspek kebudayaan lainnya. Namun, ada kalanya bangsa penakluk yang justru pada akhirnya terpengaruh oleh bangsa yang ditaklukkannya.
Fenomena semacam ini sebetulnya bisa dilihat pada kasus raja-raja Norman yang menguasai Sisilia. Mereka merebut dan menguasai pulau di Italia Selatan itu dari tangan kaum Muslimin, tapi kemudian mereka sendiri terpengaruh oleh kebudayaan kaum Muslimin di wilayah tersebut yang memang lebih maju dari kebudayaan Barat pada masa itu. Hanya saja, hal ini tidak berlangsung terus menerus, dan kaum Norman sendiri tidak pernah memeluk Islam sebagai agama mereka. Pada akhirnya, populasi Muslim di wilayah tersebut semakin menyusut dan ketika kendali gereja Katolik makin kuat, maka pengaruh Islam di wilayah tersebut bisa dikatakan lenyap sama sekali.
Tulisan kali ini akan membahas kisah penaklukkan besar-besaran oleh sebuah bangsa yang belakangan justru takluk dan tunduk pada kepercayaan dan kebudayaan bangsa yang ditaklukkannya. Ya, para penakluk tersebut adalah bangsa Mongol, dan yang ditaklukkannya adalah kaum Muslimin, di samping bangsa-bangsa lainnya. Ini terjadi pada abad ke-13. Fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa kedigdayaan militer sebuah bangsa tidak otomatis menjadikan bangsa tersebut mampu memberikan pengaruh jangka panjang terhadap bangsa-bangsa lainnya yang berhasil ditaklukkannya. Kekuatan militer hanya memberikan kemampuan kontrol secara fisik saja. Pengaruh terbesar tidak datang dari kekuatan fisik semacam ini, melainkan dari sistem keyakinan dan penguasaan ilmu pengetahuan yang lebih unggul. Kedua hal yang terakhir ini tidak dimiliki secara baik oleh bangsa Mongol.
Dunia di abad ke-13 tidak pernah membayangkan akan lahir seorang seperti Temujin dan akan ada penaklukkan besar-besaran oleh bangsa Mongol. Hal semacam itu sudah lama berlalu sejak era Attila the Hun dan Alexander the Great. Temujin berhasil menyatukan suku-suku Mongolia di bawah kepemimpinnya dan mendapat gelar Genghis Khan pada tahun 1206. Penyatuan suku-suku Mongol ternyata tidak menjadi tujuan akhir Temujin, melainkan hanya permulaannya saja. Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan, “ketika kamu makan, nafsu makanmu bertambah.” Ini juga yang berlaku pada bangsa Mongol di bawah kepemimpinan Genghis Khan dan anak cucunya. Ketika sebuah wilayah berhasil ditaklukkan, nafsu untuk menaklukkan wilayah lainnya tidak berhenti, malah semakin kuat.
Bersatunya bangsa yang masih terbilang barbarik itu, menjadi suatu ledakan yang apinya menjalar cepat dan meruntuhkan peradaban-peradaban yang jauh lebih maju di sekitarnya. Satu per satu kerajaan-kerajaan di China dan Rusia, kesultanan-kesultanan Islam di Afghanistan, Asia Tengah, Persia, bahkan pusat kekhalifahan di Baghdad, hingga wilayah-wilayah Eropa Timur, rontok dan tak mampu membendung laju kuda-kuda Mongol yang agak pendek dan gesit itu. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol ini mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya Ya’juj Ma’juj pada akhir zaman.
Kengerian yang ditimbulkannya seolah belum hilang di tempat-tempat yang pernah diserbu oleh pasukan Genghis Khan. Saat berkunjung ke Herat, Afghanistan, Mike Edwards mendengar komentar masyarakat tentang peristiwa yang berlaku tujuh setengah abad yang lalu itu, seolah baru saja terjadi sehari sebelumnya. “Hanya sembilan saja! Seluruh yang masih bertahan hidup di sini – sembilan orang!” seru seorang warga tua saat menggambarkan serangan Mongol ke kota itu (National Geographic, Desember 1996). Dan Herat bukan satu-satunya kota yang menerima nasib buruk dari pasukan Mongol.
Wilayah China Utara diinvasi oleh Mongol pada tahun 1211. Cucu Genghis Khan, Kubilai Khan, menyempurnakan penaklukkan China pada tahun 1279, sekitar setengah abad setelah kakeknya meninggal. Dinasti Mongol di China dikenal sebagai Dinasti Yuan.
Pada tahun 1219, pasukan Mongol menyerang kesultanan Khawarizmi dan merebut kota-kota penting, seperti Bukhara dan Samarkand. Dari sana, pasukannya menyerbu ke Utara dan mengalahkan pasukan Rusia. Kemudian berbalik arah lagi dan menaklukkan wilayah-wilayah Afghanistan dan Iran. Setelah kematian Genghis Khan, proses penaklukkan sama sekali tidak berhenti, malah semakin kuat. Pada tahun 1258, Hulagu Khan bahkan menyerang ibukota Kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad dan menyebabkan simbol utama kepemimpinan dunia Islam itu runtuh. Dari sana, pasukan Mongol terus menginvasi Syria dan Palestina, serta berusaha masuk ke Mesir, tapi tertahan oleh tentara-tentara Mamluk Mesir melalui pertempuran Ayn Jalut. Penaklukkan Mongol atas dunia Islam terhenti di situ. Sementara di Utara, tentara-tentaranya terus menginvasi Eropa Timur hingga ke Laut Adriatik, dan nyaris meneruskannya hingga ke Eropa Barat.
Terlepas dari kemampuan militernya yang hebat, Mongol tidak menonjol secara kebudayaan. Walaupun para pemimpin Mongol mengundang para ahli ke pusat pemerintahannya untuk membangun negeri itu, tetapi bangsa Mongol sendiri tidak tampil sebagai ilmuwan, sastrawan, atau arsitek. Mereka tetap memainkan peran yang sama sebagaimana sebelumnya, yaitu sebagai tentara dan penunggang kuda yang tangguh. Kekosongan di lapangan peradaban otomatis diisi oleh bangsa-bangsa lainnya, dan kaum Muslimin memiliki peranan yang besar dalam hal ini.
Sejak awal perkembangannya, Genghis Khan sendiri sudah mengambil aspek kebudayaan Muslim untuk diterapkan bagi kemajuan bangsanya. Ia mengadopasi aksara Uyghur ke dalam bahasa Mongol dan memercayakan pendidikan anak-anak lelakinya pada kalangan Uyghur juga. Kendati bersikap sangat kejam terhadap lawan-lawan yang ditaklukkannya, sikap para pemimpin Mongol di luar pertempuran terhadap para ulama dan agamawan serta tempat-tempat ibadah relatif toleran. Hampir sebagian besar aspek peradaban di wilayah-wilayah Muslim yang ditaklukkan tetap diisi dan dikembangkan oleh para ahli Muslim. Bahkan satu-persatu pemimpin Mongol sendiri akhirnya masuk Islam.
Berke Khan (kami akan menulis secara khusus tentang beliau dan wilayah Golden Horde yang dipimpinnya pada kesempatan lain), salah satu pemimpin Mongol di wilayah Golden Horde yang mencakup Rusia dan sebagian Asia Tengah, termasuk yang awal masuk Islam. Ia ikut berperan menghalangi Hulagu Khan yang masih terhitung familinya sendiri dari upayanya menguasai seluruh Syria serta dari keinginannya merebut Mesir. Berke marah dan memerangi Hulagu karena yang terakhir ini telah meruntuhkan kekhalifahan Islam di Baghdad. Dinasti Il-Khan yang didirikan Hulagu sendiri pada akhirnya berubah menjadi dinasti Muslim. Sejarah Mongol ditulis terutama oleh para sejarawan Persia Muslim seperti Ala al-Din Juwaini dan Rashid al-Din Hamadani yang bekerja pada pemerintahan Mongol.
Keadaan di China tidak kalah menarik. Di bawah Dinasti Yuan, banyak posisi penting pemerintahan dan ilmu pengetahuan diisi oleh orang-orang Islam. Ketika dinasti ini runtuh pada pertengahan abad ke-14, posisinya digantikan oleh Dinasti Ming yang dalam beberapa sumber dikatakan sebagai sebuah dinasti Muslim. Sejak masa Dinasti Yuan, kaum Muslimin di China sudah dikenal sebagai orang-orang yang terpelajar. Pada masa Dinasti Ming, peran mereka jadi lebih menonjol lagi. Cheng Ho, yang dikenal sebagai salah satu admiral terbesar sepanjang sejarah dan disebut-sebut telah tiba di benua Amerika tiga perempat abad lebih dulu dari Colombus, merupakan pelaut Muslim yang mengabdi pada masa awal keberadaan Dinasti Ming. Kaum Muslimin memang telah ditaklukkan oleh bangsa Mongol yang bersatu padu dan kuat secara militer. Namun pada akhirnya justru mereka yang menaklukkan bangsa Mongol melalui sistem keyakinan dan pengetahuan mereka yang lebih menonjol.
Pada hari ini, kaum Muslimin juga telah takluk oleh peradaban Barat yang lebih ungul dalam hal militer dan pengetahuan. Namun, di sela-sela kekalahan tersebut, kita masih dibuat heran dengan begitu banyaknya masyarakat Eropa dan Amerika yang masuk Islam. Umat Islam berada di posisi yang lemah dan tak berdaya. Tidak sedikit dari mereka yang terpengaruh kebudayaan Barat. Tetapi itu ternyata tidak menghalangi masyarakat Barat sekarang ini berbondong-bondong masuk Islam. Begitu juga tidak sedikit gereja-gereja di Eropa dan Amerika Serikat yang dijual dan kemudian berubah menjadi masjid. Akankah fenomena yang pernah terjadi pada bangsa Mongol akan terjadi juga pada bangsa Barat, walaupun yang terakhir ini memiliki keunggulan lebih banyak dibandingkan bangsa Mongol? Akankah pada akhirnya Barat akan menundukkan diri dan menerima Islam, agama dari peradaban yang telah mereka taklukkan? Wallahu a’lam bis showab. [Jakarta, 6 Safar 1431/ 22 Januari 2010/www.hidayatullah.com:]
Penulis sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Kedigdayaan militer sebuah bangsa tak otomatis menjadikannya mampu memberikan pengaruh jangka panjang terhadap bangsa-bangsa lainnya yang ditaklukkan
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-...
Oleh: Alwi Alatas*
Hidayatullah.com--Pada tulisan tentang “Mozarabic Christian” telah digambarkan betapa bangsa yang kalah, cenderung mengikuti bangsa yang menaklukkannya dalam hal cara berpakaian, berbahasa, dan dalam berbagai aspek kebudayaan lainnya. Namun, ada kalanya bangsa penakluk yang justru pada akhirnya terpengaruh oleh bangsa yang ditaklukkannya.
Fenomena semacam ini sebetulnya bisa dilihat pada kasus raja-raja Norman yang menguasai Sisilia. Mereka merebut dan menguasai pulau di Italia Selatan itu dari tangan kaum Muslimin, tapi kemudian mereka sendiri terpengaruh oleh kebudayaan kaum Muslimin di wilayah tersebut yang memang lebih maju dari kebudayaan Barat pada masa itu. Hanya saja, hal ini tidak berlangsung terus menerus, dan kaum Norman sendiri tidak pernah memeluk Islam sebagai agama mereka. Pada akhirnya, populasi Muslim di wilayah tersebut semakin menyusut dan ketika kendali gereja Katolik makin kuat, maka pengaruh Islam di wilayah tersebut bisa dikatakan lenyap sama sekali.
Tulisan kali ini akan membahas kisah penaklukkan besar-besaran oleh sebuah bangsa yang belakangan justru takluk dan tunduk pada kepercayaan dan kebudayaan bangsa yang ditaklukkannya. Ya, para penakluk tersebut adalah bangsa Mongol, dan yang ditaklukkannya adalah kaum Muslimin, di samping bangsa-bangsa lainnya. Ini terjadi pada abad ke-13. Fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa kedigdayaan militer sebuah bangsa tidak otomatis menjadikan bangsa tersebut mampu memberikan pengaruh jangka panjang terhadap bangsa-bangsa lainnya yang berhasil ditaklukkannya. Kekuatan militer hanya memberikan kemampuan kontrol secara fisik saja. Pengaruh terbesar tidak datang dari kekuatan fisik semacam ini, melainkan dari sistem keyakinan dan penguasaan ilmu pengetahuan yang lebih unggul. Kedua hal yang terakhir ini tidak dimiliki secara baik oleh bangsa Mongol.
Dunia di abad ke-13 tidak pernah membayangkan akan lahir seorang seperti Temujin dan akan ada penaklukkan besar-besaran oleh bangsa Mongol. Hal semacam itu sudah lama berlalu sejak era Attila the Hun dan Alexander the Great. Temujin berhasil menyatukan suku-suku Mongolia di bawah kepemimpinnya dan mendapat gelar Genghis Khan pada tahun 1206. Penyatuan suku-suku Mongol ternyata tidak menjadi tujuan akhir Temujin, melainkan hanya permulaannya saja. Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan, “ketika kamu makan, nafsu makanmu bertambah.” Ini juga yang berlaku pada bangsa Mongol di bawah kepemimpinan Genghis Khan dan anak cucunya. Ketika sebuah wilayah berhasil ditaklukkan, nafsu untuk menaklukkan wilayah lainnya tidak berhenti, malah semakin kuat.
Bersatunya bangsa yang masih terbilang barbarik itu, menjadi suatu ledakan yang apinya menjalar cepat dan meruntuhkan peradaban-peradaban yang jauh lebih maju di sekitarnya. Satu per satu kerajaan-kerajaan di China dan Rusia, kesultanan-kesultanan Islam di Afghanistan, Asia Tengah, Persia, bahkan pusat kekhalifahan di Baghdad, hingga wilayah-wilayah Eropa Timur, rontok dan tak mampu membendung laju kuda-kuda Mongol yang agak pendek dan gesit itu. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol ini mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya Ya’juj Ma’juj pada akhir zaman.
Kengerian yang ditimbulkannya seolah belum hilang di tempat-tempat yang pernah diserbu oleh pasukan Genghis Khan. Saat berkunjung ke Herat, Afghanistan, Mike Edwards mendengar komentar masyarakat tentang peristiwa yang berlaku tujuh setengah abad yang lalu itu, seolah baru saja terjadi sehari sebelumnya. “Hanya sembilan saja! Seluruh yang masih bertahan hidup di sini – sembilan orang!” seru seorang warga tua saat menggambarkan serangan Mongol ke kota itu (National Geographic, Desember 1996). Dan Herat bukan satu-satunya kota yang menerima nasib buruk dari pasukan Mongol.
Wilayah China Utara diinvasi oleh Mongol pada tahun 1211. Cucu Genghis Khan, Kubilai Khan, menyempurnakan penaklukkan China pada tahun 1279, sekitar setengah abad setelah kakeknya meninggal. Dinasti Mongol di China dikenal sebagai Dinasti Yuan.
Pada tahun 1219, pasukan Mongol menyerang kesultanan Khawarizmi dan merebut kota-kota penting, seperti Bukhara dan Samarkand. Dari sana, pasukannya menyerbu ke Utara dan mengalahkan pasukan Rusia. Kemudian berbalik arah lagi dan menaklukkan wilayah-wilayah Afghanistan dan Iran. Setelah kematian Genghis Khan, proses penaklukkan sama sekali tidak berhenti, malah semakin kuat. Pada tahun 1258, Hulagu Khan bahkan menyerang ibukota Kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad dan menyebabkan simbol utama kepemimpinan dunia Islam itu runtuh. Dari sana, pasukan Mongol terus menginvasi Syria dan Palestina, serta berusaha masuk ke Mesir, tapi tertahan oleh tentara-tentara Mamluk Mesir melalui pertempuran Ayn Jalut. Penaklukkan Mongol atas dunia Islam terhenti di situ. Sementara di Utara, tentara-tentaranya terus menginvasi Eropa Timur hingga ke Laut Adriatik, dan nyaris meneruskannya hingga ke Eropa Barat.
Terlepas dari kemampuan militernya yang hebat, Mongol tidak menonjol secara kebudayaan. Walaupun para pemimpin Mongol mengundang para ahli ke pusat pemerintahannya untuk membangun negeri itu, tetapi bangsa Mongol sendiri tidak tampil sebagai ilmuwan, sastrawan, atau arsitek. Mereka tetap memainkan peran yang sama sebagaimana sebelumnya, yaitu sebagai tentara dan penunggang kuda yang tangguh. Kekosongan di lapangan peradaban otomatis diisi oleh bangsa-bangsa lainnya, dan kaum Muslimin memiliki peranan yang besar dalam hal ini.
Sejak awal perkembangannya, Genghis Khan sendiri sudah mengambil aspek kebudayaan Muslim untuk diterapkan bagi kemajuan bangsanya. Ia mengadopasi aksara Uyghur ke dalam bahasa Mongol dan memercayakan pendidikan anak-anak lelakinya pada kalangan Uyghur juga. Kendati bersikap sangat kejam terhadap lawan-lawan yang ditaklukkannya, sikap para pemimpin Mongol di luar pertempuran terhadap para ulama dan agamawan serta tempat-tempat ibadah relatif toleran. Hampir sebagian besar aspek peradaban di wilayah-wilayah Muslim yang ditaklukkan tetap diisi dan dikembangkan oleh para ahli Muslim. Bahkan satu-persatu pemimpin Mongol sendiri akhirnya masuk Islam.
Berke Khan (kami akan menulis secara khusus tentang beliau dan wilayah Golden Horde yang dipimpinnya pada kesempatan lain), salah satu pemimpin Mongol di wilayah Golden Horde yang mencakup Rusia dan sebagian Asia Tengah, termasuk yang awal masuk Islam. Ia ikut berperan menghalangi Hulagu Khan yang masih terhitung familinya sendiri dari upayanya menguasai seluruh Syria serta dari keinginannya merebut Mesir. Berke marah dan memerangi Hulagu karena yang terakhir ini telah meruntuhkan kekhalifahan Islam di Baghdad. Dinasti Il-Khan yang didirikan Hulagu sendiri pada akhirnya berubah menjadi dinasti Muslim. Sejarah Mongol ditulis terutama oleh para sejarawan Persia Muslim seperti Ala al-Din Juwaini dan Rashid al-Din Hamadani yang bekerja pada pemerintahan Mongol.
Keadaan di China tidak kalah menarik. Di bawah Dinasti Yuan, banyak posisi penting pemerintahan dan ilmu pengetahuan diisi oleh orang-orang Islam. Ketika dinasti ini runtuh pada pertengahan abad ke-14, posisinya digantikan oleh Dinasti Ming yang dalam beberapa sumber dikatakan sebagai sebuah dinasti Muslim. Sejak masa Dinasti Yuan, kaum Muslimin di China sudah dikenal sebagai orang-orang yang terpelajar. Pada masa Dinasti Ming, peran mereka jadi lebih menonjol lagi. Cheng Ho, yang dikenal sebagai salah satu admiral terbesar sepanjang sejarah dan disebut-sebut telah tiba di benua Amerika tiga perempat abad lebih dulu dari Colombus, merupakan pelaut Muslim yang mengabdi pada masa awal keberadaan Dinasti Ming. Kaum Muslimin memang telah ditaklukkan oleh bangsa Mongol yang bersatu padu dan kuat secara militer. Namun pada akhirnya justru mereka yang menaklukkan bangsa Mongol melalui sistem keyakinan dan pengetahuan mereka yang lebih menonjol.
Pada hari ini, kaum Muslimin juga telah takluk oleh peradaban Barat yang lebih ungul dalam hal militer dan pengetahuan. Namun, di sela-sela kekalahan tersebut, kita masih dibuat heran dengan begitu banyaknya masyarakat Eropa dan Amerika yang masuk Islam. Umat Islam berada di posisi yang lemah dan tak berdaya. Tidak sedikit dari mereka yang terpengaruh kebudayaan Barat. Tetapi itu ternyata tidak menghalangi masyarakat Barat sekarang ini berbondong-bondong masuk Islam. Begitu juga tidak sedikit gereja-gereja di Eropa dan Amerika Serikat yang dijual dan kemudian berubah menjadi masjid. Akankah fenomena yang pernah terjadi pada bangsa Mongol akan terjadi juga pada bangsa Barat, walaupun yang terakhir ini memiliki keunggulan lebih banyak dibandingkan bangsa Mongol? Akankah pada akhirnya Barat akan menundukkan diri dan menerima Islam, agama dari peradaban yang telah mereka taklukkan? Wallahu a’lam bis showab. [Jakarta, 6 Safar 1431/ 22 Januari 2010/www.hidayatullah.com:]
Penulis sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Published on January 28, 2010 15:45
•
Tags:
peradaban
December 30, 2009
Hijrah: Dari Kejahilan Menuju Ilmu
Hijrah: Dari Kejahilan Menuju Ilmu
Monday, 28 December 2009 11:54
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-...
Seorang Muslim juga perlu melakukan hijrah yang bersifat maknawi, berpindah dari kekufuran pada keimanan. Dari kejahilan kepada ilmu Oleh: Alwi Alatas*
Hidayatullah.com--Kita telah memasuki tahun baru Hijriah 1431. Setiap memasuki bulan Muharram kaum Muslimin selalu mengenang perjalanan hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam beserta para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Komunitas Muslim di Mekah ketika itu berada dalam keadaan tertindas dan terdzalimi, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain bermigrasi ke tempat yang baru, yaitu Madinah. Rasulullah sendiri berangkat dari Mekah bersama Abu Bakar al-Shiddiq di malam hari pada akhir bulan Safar tahun pertama Hijriah. Keduanya bersembunyi di gua Tsaur di Selatan Mekah selama tiga hari hingga tanggal 1 Rabiul Awwal. Setelah itu keduanya berangkat menuju Madinah hingga tiba di Quba (di Selatan Madinah) pada hari Senin, 8 Rabiul Awwal. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membangun sebuah masjid di Quba’ dan menetap di wilayah tersebut selama empat hari. Barulah setelah itu beliau masuk ke Madinah dengan disambut oleh masyarakat kota tersebut. Ada banyak pelajaran yang terdapat di dalam kisah hijrah. Tulisan ini akan membahas beberapa hal penting terkait dengan fenomena hijrah.
Hijrah secara bahasa berarti perpindahan atau migrasi dari satu tempat ke tempat yang lain. Fenomena migrasi sebetulnya merupakan fenomena yang sangat tua dalam sejarah umat manusia. Sejak awal peradabannya selalu kita dapati sekelompok manusia yang melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Motif perpindahan manusia ini sangat beragam. Banyak orang yang memutuskan untuk bermigrasi karena dorongan ekonomi. Pada zaman dulu mereka berpindah dari satu wilayah yang kurang subur ke wilayah yang lebih subur. Pada masa-masa berikutnya, hingga sekarang ini, manusia berpindah dari satu negeri yang lemah pengelolaan ekonominya ke negara yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Orang-orang China yang berpindah dan menetap di banyak negeri di dunia, juga mewakili motif ini.
Sekelompok manusia lainnya bermigrasi, atau terpaksa pindah, karena alasan-alasan politik. Kekaisaran Romawi kuno terkadang memindahkan suku-suku barbar tertentu ke tempat yang jauh dari pusat kekuasaan agar mereka tidak menjadi gangguan bagi pemerintah. Persoalan politik juga yang mendorong orang-orang Yahudi berdiaspora ke berbagai belahan dunia setelah al-Quds (Yerusalem) ditaklukkan oleh bangsa Romawi pada tahun 70-an Masehi. Pada masa sekarang ini kita mendapati sekelompok orang yang bermigrasi dalam rangka mencari suaka politik, seperti kaum komunis Indonesia yang menetap di BelAnda pasca gagalnya revolusi yang mereka lakukan pada tahun 1965.
Persoalan sosial, terutama konflik horizontal yang terjadi di antara suku-suku bangsa juga bisa menjadi motif migrasi. Inilah sebagian alasan mengapa, misalnya, suku-suku Bani Kahlan di Yaman melakukan migrasi ke Utara. Konflik mereka dengan Bani Himyar menjadi salah satu penyebabnya. Salah satu anggota Bani Kahlan, yaitu Tsa’labah bin Amr, berpindah ke Hijaz dan belakangan menetap di Yastrib (yang pada zaman Nabi berganti nama menjadi Madinah). Keturunan dari cucu-cucu Tsa’labah inilah, yaitu Bani Aus dan Khazraj, yang nantinya menyambut Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para Muhajirin untuk tinggal di kota mereka.
Terkadang migrasi juga didorong oleh terjadinya bencana alam. Pada tahun 920-an Masehi kerajaan Mataram Kuno di bawah Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, kemungkinan besar dipicu oleh erupsi Gunung Merapi. Perpindahan pusat pemerintahan ini tentu saja diikuti oleh perpindahan masyarakat ke pusat pemerintahan yang baru. Pecahnya bendungan Ma’rib di Yaman pada tahun 450-451 Masehi merupakan contoh lain. Bencana tersebut menyebabkan kemunduran Yaman dan mendorong suku-suku yang ada di sana bercerai-berai dan berpindah tempat.
Terlalu banyak contoh untuk disebutkan disini. Yang jelas, banyak manusia telah melakukan migrasi pada berbagai kurun sejarah yang mereka lalui. Manusia telah ‘bergerak’ sejak permulaan eksistensinya sebagaimana bergeraknya tanah yang mereka pijak (lempeng benua).
Di samping motif-motif yang telah diterangkan di atas, ada segolongan manusia yang bermigrasi dengan motif berbeda. Mereka tidak berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain melainkan dengan dilAndasi iman kepada Allah. Mereka menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai alasan utama dibalik perpindahan yang mereka lakukan. Inilah yang terjadi pada para Nabi dan orang-orang shalih sepanjang sejarah. Sebagian Nabi melakukan migrasi bersama para pengikutnya setelah penentangan kaum di tempat tinggal mereka memuncak dan Allah memutuskan untuk menghukum mereka. Kita juga mengetahui bagaimana Nabi Ibrahim ’alaihis salam memindahkan istri dan anaknya ke lembah Mekah yang kemudian mengawali sejarah kota tersebut. Kita juga membaca kisah Nabi Yusuf ’alaihis salam yang mengajak ayah dan saudara-saudaranya untuk bermigrasi ke Mesir. Lalu beberapa abad kemudian, ketika tekanan dari rezim Fir’aun yang baru telah menyebabkan Bani Israil jatuh dalam penindasan, Nabi Musa ’alaihis salam muncul dan memperjuangkan pemindahan umatnya dari Mesir ke Palestina.
Migrasi telah dilakukan baik oleh para Nabi dan orang-orang shalih maupun oleh kelompok masyarakat lainnya. Yang membedakan adalah motif utama mereka. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda tentang orang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah karena perempuan yang disukainya. ”Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya .... Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena kesenangan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dua orang yang sama-sama bermigrasi belum tentu memiliki niat dan tujuan yang sama. Hasil yang akan diperoleh keduanya juga tentu akan berbeda.
Dari fisik menuju ilmu
Terlepas dari motif yang telah dijelaskan di atas, fenomena migrasi memiliki penjelasan lain yang juga menarik. Orang-orang yang bermigrasi, bagaimanapun juga, biasanya terpaksa meninggalkan keadaan yang cukup nyaman kepada keadaan yang kurang atau bahkan tidak nyaman. Orang yang berpindah ke tempat baru biasanya akan berhadapan dengan banyak tantangan yang lebih besar yang pada tingkat tertentu akan memberikan suasana tidak nyaman, setidaknya pada masa awal perpindahannya. Namun jika mereka berhasil merespon tantangan tersebut dengan baik, maka mereka akan muncul sebagai manusia dan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.
Ketika berpindah ke tempat yang baru, mereka biasanya akan menghadapi iklim dan suasana geografis yang berbeda, berhadapan dengan komunitas dengan budaya dan tradisi yang berbeda. Hal ini tentu saja akan menimbulkan rasa tidak nyaman. Tetapi pada saat yang sama tempat yang baru juga menyajikan berbagai tantangan dan peluang yang mungkin tidak mereka dapati di tempat sebelumnya. Rasa tidak nyaman dan berbagai tantangan yang ada di tempat yang baru pada gilirannya akan mendorong seseorang untuk keluar dari sifat ’santai’ (idle) kepada karakter yang lebih gesit dan cekatan dalam memberikan respon. Kadang perpindahan ke tempat yang baru, ketika tidak diikuti dengan integrasi dengan masyarakat setempat, juga menciptakan rasa keterasingan (alienasi) yang jika direspon secara tepat akan mendorong seseorang untuk bersikap kompetitif dan sanggup bersaing dengan kelompok masyarakat di sekitarnya. Sebaliknya, jika terjadi proses integrasi yang baik, seperti pada kasus kaum Muhajirin dan Anshar, maka akan memunculkan semangat untuk saling tolong menolong dan saling menguatkan di antara para pendatang dan penduduk yang menerima mereka.
Hal-hal inilah yang menjadikan kaum migran biasanya lebih agresif, lebih gesit, dan lebih cekatan dalam menangkap peluang yang ada di tempat yang baru. Tantangan dan rasa kurang nyaman menyebabkan mereka harus selalu sigap dan mampu untuk mengubah berbagai kesulitan menjadi keuntungan di masa depan. Tetapi jika kaum migran ini tidak memiliki visi yang kuat dan segera tenggelam pada kenyamanan yang mungkin ditemukan di tempat yang baru, maka mereka tidak akan mampu merespon berbagai tantangan yang ada dan akan mengabaikan berbagai peluang yang lewat di depan mata mereka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat yang berhijrah ke Madinah juga sempat merasakan ketidaknyamanan di tempat yang baru (Madinah). Abu Bakar al-Shiddiq dan Bilal bin Rabah radhiyallahu ’anhuma sempat sakit demam pada hari-hari awal mereka di Madinah karena keadaan di kota tersebut yang lebih panas dan karena kerinduan mereka pada Mekah. Tapi berkat doa Nabi, maka semua ketidaknyamanan itu berhasil mereka lalui dengan baik. Kaum Muslimin yang berasal dari Mekah memang merasakan ujian yang berat menjelang mereka keluar dari kota Mekah. Tapi ketika mereka berhijrah ke Madinah, maka ujian dan tantangan yang mereka terima bukannya makin ringan. Mereka menghadapi suasana geografis yang berbeda dengan tempat tinggalnya dulu, mereka pindah ke Madinah dalam keadaan tidak memiliki harta, masyarakat Madinah pada awalnya juga bersifat majemuk dan rentan terhadap konflik. Selain itu, mereka juga menghadapi ancaman serangan dari luar. Namun, dibawah arahan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mereka berhasil menyikapi semua tantangan tersebut dengan tepat. Sehingga mereka pada akhirnya keluar sebagai pemenang.
Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, sekarang ini sudah tidak ada lagi hijrah. Artinya, jika dulu kaum beriman diperintahkan bermigrasi dari Mekah ke Madinah dan mereka mendapat pahala untuk hijrahnya tersebut, maka setelah penaklukkan kota Mekah perpindahan semacam itu sudah tidak diperintahkan lagi. Hal ini agar orang tidak mengira bahwa migrasi merupakan hal yang wajib dalam agama, sehingga setiap manusia dari satu generasi ke generasi lain akan selalu melakukan hijrah kendati tuntutan untuk itu sama sekali tidak ada. Walaupun demikian, hal ini sama sekali tidak menafikan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada sekelompok kaum Muslimin yang melakukan migrasi. Yang paling penting untuk mereka perhatikan dalam hal ini adalah niat yang baik dalam proses migrasi mereka serta kesiapan dan kegigihan mereka untuk berjuang di tempat yang baru. Dengan begitu, mereka akan mampu tampil ke muka sebagai problem solver bagi persoalan-persoalan yang ada.
Di samping hijrah secara fisik (migrasi), tentu saja masih ada hijrah dalam bentuk yang lain, yaitu hijrah secara maknawi. Hal ini telah banyak dijelaskan oleh para ulama dan pemikir Muslim kontemporer. Seorang Muslim juga perlu melakukan hijrah yang bersifat maknawi dalam kehidupannya ini, yaitu berpindah dari kekufuran pada keimanan, dari kejahilan kepada ilmu, dari akhlak yang buruk kepada akhlakul karimah.
Perpindahan yang bersifat maknawi ini juga akan melibatkan rasa tidak nyaman pada prosesnya. Seseorang mungkin merasa nyaman dengan perilaku maksiyat, akhlak yang buruk, serta kebiasaan jahil yang dimilikinya. Nyaman, karena semua itu sejalan dengan hawa nafsunya dan tidak memerlukan pengorbanan diri, walaupun konsekuensinya adalah hilangnya kenyamanan dalam bentuk yang lain. Orang yang tenggelam dalam hawa nafsunya pada akhirnya akan merasakan kekosongan jiwa dan hukuman yang berat di akhirat. Itu adalah bentuk ketidaknyamanan yang jauh lebih serius.
Sebaliknya, sebagian orang memaksa dirinya untuk berpindah kepada ilmu dengan belajar; kepada keimanan dengan terus mendekatkan diri pada Allah; pada akhlak karimah dengan selalu membiasakan diri dengan perilaku yang baik. Proses ini tentu melibatkan perasaan tidak nyaman, setidaknya pada awal prosesnya, karena semua itu menuntut pengorbanan. Perubahan dari keadaan yang tidak baik pada keadaan yang baik juga akan memberikan berbagai tantangan yang tidak mudah. Namun, pada akhirnya semua itu akan tergantikan dengan kenyamanan yang jauh lebih besar dan langgeng, yaitu kemuliaan diri dan ketenangan jiwa serta keridhaan Allah dan surga-Nya.
Semoga dengan tahun baru 1431 Hijriah ini kita bisa menguatkan komitmen kita, pada tingkat individu maupun masyarakat, untuk berhijrah menuju ke kedudukan yang lebih baik di sisi Allah. [Kuala Lumpur, 3 Muharram 1431/20 Desember 2009/www.hidayatullah.com:]
Penulis sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Monday, 28 December 2009 11:54
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-...
Seorang Muslim juga perlu melakukan hijrah yang bersifat maknawi, berpindah dari kekufuran pada keimanan. Dari kejahilan kepada ilmu Oleh: Alwi Alatas*
Hidayatullah.com--Kita telah memasuki tahun baru Hijriah 1431. Setiap memasuki bulan Muharram kaum Muslimin selalu mengenang perjalanan hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam beserta para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Komunitas Muslim di Mekah ketika itu berada dalam keadaan tertindas dan terdzalimi, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain bermigrasi ke tempat yang baru, yaitu Madinah. Rasulullah sendiri berangkat dari Mekah bersama Abu Bakar al-Shiddiq di malam hari pada akhir bulan Safar tahun pertama Hijriah. Keduanya bersembunyi di gua Tsaur di Selatan Mekah selama tiga hari hingga tanggal 1 Rabiul Awwal. Setelah itu keduanya berangkat menuju Madinah hingga tiba di Quba (di Selatan Madinah) pada hari Senin, 8 Rabiul Awwal. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membangun sebuah masjid di Quba’ dan menetap di wilayah tersebut selama empat hari. Barulah setelah itu beliau masuk ke Madinah dengan disambut oleh masyarakat kota tersebut. Ada banyak pelajaran yang terdapat di dalam kisah hijrah. Tulisan ini akan membahas beberapa hal penting terkait dengan fenomena hijrah.
Hijrah secara bahasa berarti perpindahan atau migrasi dari satu tempat ke tempat yang lain. Fenomena migrasi sebetulnya merupakan fenomena yang sangat tua dalam sejarah umat manusia. Sejak awal peradabannya selalu kita dapati sekelompok manusia yang melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Motif perpindahan manusia ini sangat beragam. Banyak orang yang memutuskan untuk bermigrasi karena dorongan ekonomi. Pada zaman dulu mereka berpindah dari satu wilayah yang kurang subur ke wilayah yang lebih subur. Pada masa-masa berikutnya, hingga sekarang ini, manusia berpindah dari satu negeri yang lemah pengelolaan ekonominya ke negara yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Orang-orang China yang berpindah dan menetap di banyak negeri di dunia, juga mewakili motif ini.
Sekelompok manusia lainnya bermigrasi, atau terpaksa pindah, karena alasan-alasan politik. Kekaisaran Romawi kuno terkadang memindahkan suku-suku barbar tertentu ke tempat yang jauh dari pusat kekuasaan agar mereka tidak menjadi gangguan bagi pemerintah. Persoalan politik juga yang mendorong orang-orang Yahudi berdiaspora ke berbagai belahan dunia setelah al-Quds (Yerusalem) ditaklukkan oleh bangsa Romawi pada tahun 70-an Masehi. Pada masa sekarang ini kita mendapati sekelompok orang yang bermigrasi dalam rangka mencari suaka politik, seperti kaum komunis Indonesia yang menetap di BelAnda pasca gagalnya revolusi yang mereka lakukan pada tahun 1965.
Persoalan sosial, terutama konflik horizontal yang terjadi di antara suku-suku bangsa juga bisa menjadi motif migrasi. Inilah sebagian alasan mengapa, misalnya, suku-suku Bani Kahlan di Yaman melakukan migrasi ke Utara. Konflik mereka dengan Bani Himyar menjadi salah satu penyebabnya. Salah satu anggota Bani Kahlan, yaitu Tsa’labah bin Amr, berpindah ke Hijaz dan belakangan menetap di Yastrib (yang pada zaman Nabi berganti nama menjadi Madinah). Keturunan dari cucu-cucu Tsa’labah inilah, yaitu Bani Aus dan Khazraj, yang nantinya menyambut Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para Muhajirin untuk tinggal di kota mereka.
Terkadang migrasi juga didorong oleh terjadinya bencana alam. Pada tahun 920-an Masehi kerajaan Mataram Kuno di bawah Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, kemungkinan besar dipicu oleh erupsi Gunung Merapi. Perpindahan pusat pemerintahan ini tentu saja diikuti oleh perpindahan masyarakat ke pusat pemerintahan yang baru. Pecahnya bendungan Ma’rib di Yaman pada tahun 450-451 Masehi merupakan contoh lain. Bencana tersebut menyebabkan kemunduran Yaman dan mendorong suku-suku yang ada di sana bercerai-berai dan berpindah tempat.
Terlalu banyak contoh untuk disebutkan disini. Yang jelas, banyak manusia telah melakukan migrasi pada berbagai kurun sejarah yang mereka lalui. Manusia telah ‘bergerak’ sejak permulaan eksistensinya sebagaimana bergeraknya tanah yang mereka pijak (lempeng benua).
Di samping motif-motif yang telah diterangkan di atas, ada segolongan manusia yang bermigrasi dengan motif berbeda. Mereka tidak berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain melainkan dengan dilAndasi iman kepada Allah. Mereka menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai alasan utama dibalik perpindahan yang mereka lakukan. Inilah yang terjadi pada para Nabi dan orang-orang shalih sepanjang sejarah. Sebagian Nabi melakukan migrasi bersama para pengikutnya setelah penentangan kaum di tempat tinggal mereka memuncak dan Allah memutuskan untuk menghukum mereka. Kita juga mengetahui bagaimana Nabi Ibrahim ’alaihis salam memindahkan istri dan anaknya ke lembah Mekah yang kemudian mengawali sejarah kota tersebut. Kita juga membaca kisah Nabi Yusuf ’alaihis salam yang mengajak ayah dan saudara-saudaranya untuk bermigrasi ke Mesir. Lalu beberapa abad kemudian, ketika tekanan dari rezim Fir’aun yang baru telah menyebabkan Bani Israil jatuh dalam penindasan, Nabi Musa ’alaihis salam muncul dan memperjuangkan pemindahan umatnya dari Mesir ke Palestina.
Migrasi telah dilakukan baik oleh para Nabi dan orang-orang shalih maupun oleh kelompok masyarakat lainnya. Yang membedakan adalah motif utama mereka. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda tentang orang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah karena perempuan yang disukainya. ”Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya .... Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena kesenangan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dua orang yang sama-sama bermigrasi belum tentu memiliki niat dan tujuan yang sama. Hasil yang akan diperoleh keduanya juga tentu akan berbeda.
Dari fisik menuju ilmu
Terlepas dari motif yang telah dijelaskan di atas, fenomena migrasi memiliki penjelasan lain yang juga menarik. Orang-orang yang bermigrasi, bagaimanapun juga, biasanya terpaksa meninggalkan keadaan yang cukup nyaman kepada keadaan yang kurang atau bahkan tidak nyaman. Orang yang berpindah ke tempat baru biasanya akan berhadapan dengan banyak tantangan yang lebih besar yang pada tingkat tertentu akan memberikan suasana tidak nyaman, setidaknya pada masa awal perpindahannya. Namun jika mereka berhasil merespon tantangan tersebut dengan baik, maka mereka akan muncul sebagai manusia dan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.
Ketika berpindah ke tempat yang baru, mereka biasanya akan menghadapi iklim dan suasana geografis yang berbeda, berhadapan dengan komunitas dengan budaya dan tradisi yang berbeda. Hal ini tentu saja akan menimbulkan rasa tidak nyaman. Tetapi pada saat yang sama tempat yang baru juga menyajikan berbagai tantangan dan peluang yang mungkin tidak mereka dapati di tempat sebelumnya. Rasa tidak nyaman dan berbagai tantangan yang ada di tempat yang baru pada gilirannya akan mendorong seseorang untuk keluar dari sifat ’santai’ (idle) kepada karakter yang lebih gesit dan cekatan dalam memberikan respon. Kadang perpindahan ke tempat yang baru, ketika tidak diikuti dengan integrasi dengan masyarakat setempat, juga menciptakan rasa keterasingan (alienasi) yang jika direspon secara tepat akan mendorong seseorang untuk bersikap kompetitif dan sanggup bersaing dengan kelompok masyarakat di sekitarnya. Sebaliknya, jika terjadi proses integrasi yang baik, seperti pada kasus kaum Muhajirin dan Anshar, maka akan memunculkan semangat untuk saling tolong menolong dan saling menguatkan di antara para pendatang dan penduduk yang menerima mereka.
Hal-hal inilah yang menjadikan kaum migran biasanya lebih agresif, lebih gesit, dan lebih cekatan dalam menangkap peluang yang ada di tempat yang baru. Tantangan dan rasa kurang nyaman menyebabkan mereka harus selalu sigap dan mampu untuk mengubah berbagai kesulitan menjadi keuntungan di masa depan. Tetapi jika kaum migran ini tidak memiliki visi yang kuat dan segera tenggelam pada kenyamanan yang mungkin ditemukan di tempat yang baru, maka mereka tidak akan mampu merespon berbagai tantangan yang ada dan akan mengabaikan berbagai peluang yang lewat di depan mata mereka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat yang berhijrah ke Madinah juga sempat merasakan ketidaknyamanan di tempat yang baru (Madinah). Abu Bakar al-Shiddiq dan Bilal bin Rabah radhiyallahu ’anhuma sempat sakit demam pada hari-hari awal mereka di Madinah karena keadaan di kota tersebut yang lebih panas dan karena kerinduan mereka pada Mekah. Tapi berkat doa Nabi, maka semua ketidaknyamanan itu berhasil mereka lalui dengan baik. Kaum Muslimin yang berasal dari Mekah memang merasakan ujian yang berat menjelang mereka keluar dari kota Mekah. Tapi ketika mereka berhijrah ke Madinah, maka ujian dan tantangan yang mereka terima bukannya makin ringan. Mereka menghadapi suasana geografis yang berbeda dengan tempat tinggalnya dulu, mereka pindah ke Madinah dalam keadaan tidak memiliki harta, masyarakat Madinah pada awalnya juga bersifat majemuk dan rentan terhadap konflik. Selain itu, mereka juga menghadapi ancaman serangan dari luar. Namun, dibawah arahan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mereka berhasil menyikapi semua tantangan tersebut dengan tepat. Sehingga mereka pada akhirnya keluar sebagai pemenang.
Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, sekarang ini sudah tidak ada lagi hijrah. Artinya, jika dulu kaum beriman diperintahkan bermigrasi dari Mekah ke Madinah dan mereka mendapat pahala untuk hijrahnya tersebut, maka setelah penaklukkan kota Mekah perpindahan semacam itu sudah tidak diperintahkan lagi. Hal ini agar orang tidak mengira bahwa migrasi merupakan hal yang wajib dalam agama, sehingga setiap manusia dari satu generasi ke generasi lain akan selalu melakukan hijrah kendati tuntutan untuk itu sama sekali tidak ada. Walaupun demikian, hal ini sama sekali tidak menafikan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada sekelompok kaum Muslimin yang melakukan migrasi. Yang paling penting untuk mereka perhatikan dalam hal ini adalah niat yang baik dalam proses migrasi mereka serta kesiapan dan kegigihan mereka untuk berjuang di tempat yang baru. Dengan begitu, mereka akan mampu tampil ke muka sebagai problem solver bagi persoalan-persoalan yang ada.
Di samping hijrah secara fisik (migrasi), tentu saja masih ada hijrah dalam bentuk yang lain, yaitu hijrah secara maknawi. Hal ini telah banyak dijelaskan oleh para ulama dan pemikir Muslim kontemporer. Seorang Muslim juga perlu melakukan hijrah yang bersifat maknawi dalam kehidupannya ini, yaitu berpindah dari kekufuran pada keimanan, dari kejahilan kepada ilmu, dari akhlak yang buruk kepada akhlakul karimah.
Perpindahan yang bersifat maknawi ini juga akan melibatkan rasa tidak nyaman pada prosesnya. Seseorang mungkin merasa nyaman dengan perilaku maksiyat, akhlak yang buruk, serta kebiasaan jahil yang dimilikinya. Nyaman, karena semua itu sejalan dengan hawa nafsunya dan tidak memerlukan pengorbanan diri, walaupun konsekuensinya adalah hilangnya kenyamanan dalam bentuk yang lain. Orang yang tenggelam dalam hawa nafsunya pada akhirnya akan merasakan kekosongan jiwa dan hukuman yang berat di akhirat. Itu adalah bentuk ketidaknyamanan yang jauh lebih serius.
Sebaliknya, sebagian orang memaksa dirinya untuk berpindah kepada ilmu dengan belajar; kepada keimanan dengan terus mendekatkan diri pada Allah; pada akhlak karimah dengan selalu membiasakan diri dengan perilaku yang baik. Proses ini tentu melibatkan perasaan tidak nyaman, setidaknya pada awal prosesnya, karena semua itu menuntut pengorbanan. Perubahan dari keadaan yang tidak baik pada keadaan yang baik juga akan memberikan berbagai tantangan yang tidak mudah. Namun, pada akhirnya semua itu akan tergantikan dengan kenyamanan yang jauh lebih besar dan langgeng, yaitu kemuliaan diri dan ketenangan jiwa serta keridhaan Allah dan surga-Nya.
Semoga dengan tahun baru 1431 Hijriah ini kita bisa menguatkan komitmen kita, pada tingkat individu maupun masyarakat, untuk berhijrah menuju ke kedudukan yang lebih baik di sisi Allah. [Kuala Lumpur, 3 Muharram 1431/20 Desember 2009/www.hidayatullah.com:]
Penulis sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Published on December 30, 2009 02:20
•
Tags:
hijrah
December 10, 2009
Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar
Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar
Alwi Alatas
Kadang saya berpikir dalam hati, kalau ada orang yang bertanya apa hal yang paling tidak saya sukai, mungkin jawaban saya adalah menemani perempuan (istri atau ibu) belanja. Saya sering menemani istri belanja (itu pun karena terpaksa), dan saya sering heran betapa kuatnya dia bolak-balik dan melakukan tawar menawar selama berjam-jam hanya untuk membeli beberapa barang. Agaknya tidak salah juga kalau ada ungkapan yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ungkapan itu menyebutkan bahwa ’seorang pria akan membayar 2 dollar untuk barang seharga 1 dollar yang ia perlukan, dan seorang perempuan akan membayar 1 dollar untuk barang seharga 2 dollar yang tidak dia perlukan.’ ”Rasanya nggak afdhal kalau membeli tanpa tawar menawar semaksimal mungkin,” begitu istri saya pernah berkata.
Istri saya ini seorang negosiator yang alami (barangkali istri Anda juga seperti itu). Begitu asyiknya dia berlama-lama mebolak-balik dan menawar barang sampai saya sering merasa tidak tega dengan penjualnya. Seperti baru-baru ini kami berbelanja beberapa pakaian untuk kemudian dijual lagi (kalau untuk keperluan dagang tentu saja kami harus menawarnya sebaik mungkin). Istri saya melihat barang-barang itu satu demi satu, dikeluarkan dari tempatnya, diperhatikan setiap lekukan, lalu diletakkan kembali sambil melihat barang yang lain. Ketika membuka dan melihat barang yang baru, ia menemukan ada bagian yang kurang bagus, dan memutuskan untuk melihat yang lain lagi. Si penjual akan melipat kembali pakaian yang sudah dilihat, tapi kadang yang sudah dilihat ini terpaksa dibuka kembali karena istri saya ingin melihatnya kembali.
Saya jadi kasihan dengan si penjual. Dia pasti penat sekali menghadapi pembeli seperti kami, dan pada akhirnya mungkin akan menyerah juga dengan harga yang diusulkan istri saya. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga usaha.
Saya pernah membaca bahwa salah satu teknik negosiasi yang berhasil adalah dengan berlama-lama mencoba barang yang akan dibeli dan terus menerus melakukan tawar menawar. Si penjual pada akhirnya akan merasa letih dengan pelanggannya ini dan memutuskan untuk mengalah dan mengambil untung sedikit saja asalkan barangnya terjual. Kalau waktunya sudah habis untuk melayani pelanggan semacam ini dan akhirnya tidak dibeli, mungkin dia akan merasa kesal. Istri saya sama sekali tidak mengetahui teori negosiasi semacam ini. Ia hanya menikmati proses berbelanja dan tawar menawar serta berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin.
Ukuran keberhasilan dalam tawar menawar dan membeli barang tentu saja dengan mendapatkan barang sebagus mungkin dengan harga yang paling rendah. Namun, dalam hidup ini ada kalanya menawar barang untuk harga yang lebih rendah bukanlah hal terbaik yang bisa kita raih. Terlebih lagi jika ekonomi kita sangat berkecukupan dan kita membeli barang dari pedagang kecil. Ada sebagian orang yang menawar murah-murah barang yang dijajakan seorang pedagang kecil. Lalu setelah ia membeli barang tersebut ia mulai merasa menyesal mengapa harus menawar terlalu murah. Bukankah pedagang itu kehidupannya sangat susah. Kadang usianya juga sudah cukup tua. Ia harus memikul barang dagangannya di hari yang sangat panas dan hanya mendapat keuntungan tidak seberapa dari penjualannya. Bahkan jika semua barangnya laku tanpa ditawar sekalipun dia tetap tidak akan menjadi orang kaya.
Saya pernah mendengar tentang seorang tuan tanah kaya di Batavia pada jaman kolonial dulu. Namanya Abdullah bin Alwi al-Attas (w. 1929). Kalau membeli dari pedagang kecil dia sama sekali tidak mau menawar dan akan membayar sesuai dengan harga yang diajukan si pedagang (tentu saja para pedagang kecil ini juga tahu diri dan tidak menaikkan harga barang semaunya saja). Ia juga tidak suka melihat binatang yang dikurung. Kalau melihat ada pedagang burung yang lewat, maka ia akan memanggilnya dan membeli semua burung yang ada, lalu melepaskannya begitu saja.
Ketika ada pedagang kecil lainnya datang untuk menjajakan barangnya, maka ia akan membeli sebagian besar barang yang dijual oleh pedagang itu. Ia membeli tanpa menawar lagi. Jika ditanyakan mengapa ia melakukan hal itu, maka ia akan menjawab bahwa Allah sudah menganugerahkan rizki yang banyak baginya, maka bagaimana mungkin dia akan menawar barang dari pedagang yang keadaannya susah. Ia menganggap hal itu ’haram’ baginya.
Kini kembali pada diri kita. Mungkin kita tidak mampu melakukan seperti Sayyid Abdullah di atas. Kita masih perlu melakukan tawar menawar dalam membeli barang, karena keadaan ekonomi yang sulit belakangan ini dan karena harga-harga barang terus naik. Itu tidak masalah. Tapi kita toh sesekali tetap bisa membantu para pedagang kecil dengan membeli barang mereka tanpa harus menawar terlalu banyak. Nilai belanja kita memang jadi sedikit lebih mahal. Namun senyum bahagia si pedagang kecil akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kita. ’Kebahagiaan itu tidak bisa diraih dengan memiliki, tapi dengan memberi,’ begitu kata pepatah. Bukankah ini indah? Kita membayar sedikit lebih mahal, dan kita mendapatkan kebahagiaan sebagai gantinya.
Barangkali kita juga bukan orang kaya. Dan kalaupun kaya mungkin kekayaannya tidak sama dengah tuan tanah yang diceritakan di atas. Namun boleh jadi kita memiliki kekayaan hati, kekayaan yang membolehkan kita membantu orang-orang yang tengah berusaha di sekitar kita. Kekayaan jiwa semacam ini akan membawa kita pada kekayaan yang sesungguhnya.
Kini perhatikanlah orang-orang kecil yang tengah berusaha di sekitar tempat tinggal kita. Sesekali, datanglah dengan tersenyum pada mereka. Lalu belilah barang mereka tanpa menawar lagi. Mudah-mudahan senyum mereka menjadi doa buat kita.
Jakarta, 30 Oktober 2009
Alwi Alatas
Kadang saya berpikir dalam hati, kalau ada orang yang bertanya apa hal yang paling tidak saya sukai, mungkin jawaban saya adalah menemani perempuan (istri atau ibu) belanja. Saya sering menemani istri belanja (itu pun karena terpaksa), dan saya sering heran betapa kuatnya dia bolak-balik dan melakukan tawar menawar selama berjam-jam hanya untuk membeli beberapa barang. Agaknya tidak salah juga kalau ada ungkapan yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ungkapan itu menyebutkan bahwa ’seorang pria akan membayar 2 dollar untuk barang seharga 1 dollar yang ia perlukan, dan seorang perempuan akan membayar 1 dollar untuk barang seharga 2 dollar yang tidak dia perlukan.’ ”Rasanya nggak afdhal kalau membeli tanpa tawar menawar semaksimal mungkin,” begitu istri saya pernah berkata.
Istri saya ini seorang negosiator yang alami (barangkali istri Anda juga seperti itu). Begitu asyiknya dia berlama-lama mebolak-balik dan menawar barang sampai saya sering merasa tidak tega dengan penjualnya. Seperti baru-baru ini kami berbelanja beberapa pakaian untuk kemudian dijual lagi (kalau untuk keperluan dagang tentu saja kami harus menawarnya sebaik mungkin). Istri saya melihat barang-barang itu satu demi satu, dikeluarkan dari tempatnya, diperhatikan setiap lekukan, lalu diletakkan kembali sambil melihat barang yang lain. Ketika membuka dan melihat barang yang baru, ia menemukan ada bagian yang kurang bagus, dan memutuskan untuk melihat yang lain lagi. Si penjual akan melipat kembali pakaian yang sudah dilihat, tapi kadang yang sudah dilihat ini terpaksa dibuka kembali karena istri saya ingin melihatnya kembali.
Saya jadi kasihan dengan si penjual. Dia pasti penat sekali menghadapi pembeli seperti kami, dan pada akhirnya mungkin akan menyerah juga dengan harga yang diusulkan istri saya. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga usaha.
Saya pernah membaca bahwa salah satu teknik negosiasi yang berhasil adalah dengan berlama-lama mencoba barang yang akan dibeli dan terus menerus melakukan tawar menawar. Si penjual pada akhirnya akan merasa letih dengan pelanggannya ini dan memutuskan untuk mengalah dan mengambil untung sedikit saja asalkan barangnya terjual. Kalau waktunya sudah habis untuk melayani pelanggan semacam ini dan akhirnya tidak dibeli, mungkin dia akan merasa kesal. Istri saya sama sekali tidak mengetahui teori negosiasi semacam ini. Ia hanya menikmati proses berbelanja dan tawar menawar serta berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin.
Ukuran keberhasilan dalam tawar menawar dan membeli barang tentu saja dengan mendapatkan barang sebagus mungkin dengan harga yang paling rendah. Namun, dalam hidup ini ada kalanya menawar barang untuk harga yang lebih rendah bukanlah hal terbaik yang bisa kita raih. Terlebih lagi jika ekonomi kita sangat berkecukupan dan kita membeli barang dari pedagang kecil. Ada sebagian orang yang menawar murah-murah barang yang dijajakan seorang pedagang kecil. Lalu setelah ia membeli barang tersebut ia mulai merasa menyesal mengapa harus menawar terlalu murah. Bukankah pedagang itu kehidupannya sangat susah. Kadang usianya juga sudah cukup tua. Ia harus memikul barang dagangannya di hari yang sangat panas dan hanya mendapat keuntungan tidak seberapa dari penjualannya. Bahkan jika semua barangnya laku tanpa ditawar sekalipun dia tetap tidak akan menjadi orang kaya.
Saya pernah mendengar tentang seorang tuan tanah kaya di Batavia pada jaman kolonial dulu. Namanya Abdullah bin Alwi al-Attas (w. 1929). Kalau membeli dari pedagang kecil dia sama sekali tidak mau menawar dan akan membayar sesuai dengan harga yang diajukan si pedagang (tentu saja para pedagang kecil ini juga tahu diri dan tidak menaikkan harga barang semaunya saja). Ia juga tidak suka melihat binatang yang dikurung. Kalau melihat ada pedagang burung yang lewat, maka ia akan memanggilnya dan membeli semua burung yang ada, lalu melepaskannya begitu saja.
Ketika ada pedagang kecil lainnya datang untuk menjajakan barangnya, maka ia akan membeli sebagian besar barang yang dijual oleh pedagang itu. Ia membeli tanpa menawar lagi. Jika ditanyakan mengapa ia melakukan hal itu, maka ia akan menjawab bahwa Allah sudah menganugerahkan rizki yang banyak baginya, maka bagaimana mungkin dia akan menawar barang dari pedagang yang keadaannya susah. Ia menganggap hal itu ’haram’ baginya.
Kini kembali pada diri kita. Mungkin kita tidak mampu melakukan seperti Sayyid Abdullah di atas. Kita masih perlu melakukan tawar menawar dalam membeli barang, karena keadaan ekonomi yang sulit belakangan ini dan karena harga-harga barang terus naik. Itu tidak masalah. Tapi kita toh sesekali tetap bisa membantu para pedagang kecil dengan membeli barang mereka tanpa harus menawar terlalu banyak. Nilai belanja kita memang jadi sedikit lebih mahal. Namun senyum bahagia si pedagang kecil akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kita. ’Kebahagiaan itu tidak bisa diraih dengan memiliki, tapi dengan memberi,’ begitu kata pepatah. Bukankah ini indah? Kita membayar sedikit lebih mahal, dan kita mendapatkan kebahagiaan sebagai gantinya.
Barangkali kita juga bukan orang kaya. Dan kalaupun kaya mungkin kekayaannya tidak sama dengah tuan tanah yang diceritakan di atas. Namun boleh jadi kita memiliki kekayaan hati, kekayaan yang membolehkan kita membantu orang-orang yang tengah berusaha di sekitar kita. Kekayaan jiwa semacam ini akan membawa kita pada kekayaan yang sesungguhnya.
Kini perhatikanlah orang-orang kecil yang tengah berusaha di sekitar tempat tinggal kita. Sesekali, datanglah dengan tersenyum pada mereka. Lalu belilah barang mereka tanpa menawar lagi. Mudah-mudahan senyum mereka menjadi doa buat kita.
Jakarta, 30 Oktober 2009
Published on December 10, 2009 05:32
•
Tags:
wisdom
December 2, 2009
Kiamat dan Tahun 2012
Kiamat dan Tahun 2012
http://www.eramuslim.com/suara-kita/p...
Rabu, 02/12/2009 08:33 WIB
Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia
Belakangan ini kita mendengar ramai pembicaraan soal hari kiamat, tentang tahun 2012, tentang kalender Maya, dan hal-hal yang terkait dengannya. Hangatnya persoalan ini ikut dipicu oleh populernya film 2012: Apocalypse yang tengah diputar di berbagai bioskop di dunia, termasuk di Indonesia. Banyak orang menjadi bertanya-tanya apakah pada tahun 2012 benar-benar akan terjadi kiamat? Kekhawatiran soal masa depan ini pada gilirannya membuat masyarakat yang kurang keyakinan dan pengetahuan agama asyik berkonsultasi kepada para peramal. Tampaknya ini juga yang mendorong Majelis Ulama Indonesia beberapa waktu lalu melarang masyarakat menonton film yang kami sebutkan tadi.
Bagi masyarakat Indonesia isu ini tampaknya menjadi sangat sensitif karena kita telah merasakan bencana besar secara beruntun dalam lima tahun belakangan ini. ’Kiamat’ demi ’kiamat’ terjadi secara beruntun di beberapa wilayah di tanah air, masing-masing menelan korban yang sangat besar. Mulai dari gempa dan tsunami di Aceh pada akhir 2004, lalu gempa bumi di Sumatera Barat baru-baru ini, serta berbagai bencana yang terjadi di antara keduanya (gempa di Yogyakarta, lumpur panas Lapindo di Porong, gempa Tasikmalaya; terlalu banyak untuk disebutkan semuanya di sini).
Apakah bencana-bencana itu telah memberi apocalyptic sense (kepekaan terhadap bencana besar) yang lebih bagi masyarakat Indonesia? Tidakkah semua bencana itu merupakan pertanda? Mungkin demikian banyak orang di tanah air bertanya-tanya. Tidakkah semua ini mengisyaratkan akan datangnya bencana yang lebih besar, bahkan mungkin saja kiamat (doomsday)? Kini dengan adanya film 2012, kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya bencana dahsyat menjadi lebih besar lagi. Isu ini tampaknya sangat mengganggu sensitifitas masyarakat.
Tapi benarkah kiamat akan terjadi pada akhir tahun 2012? Darimana ide ini muncul? Mengapa harus tahun 2012? Sekarang ini kita sudah tahu bahwa semua ini bersumber dari penafsiran terhadap kalender Maya. Kalender ini dibuat oleh peradaban Maya kuno yang mendiami wilayah Meksiko beberapa abad lalu, sebelum peradaban mereka dihancurkan oleh para pendatang Spanyol.
Para pendeta dan ahli astronomi Maya telah menyusun kalender yang berbeda dengan kalender yang kita gunakan sekarang. Mereka menggunakan siklus 13 hari dan 20 hari untuk menandai hari-hari mereka (mungkin ini setara dengan satu minggu atau satu bulan bagi kita). Mereka juga mengenal dua macam siklus tahunan yang masing-masing lamanya 260 dan 365 hari.
Berdasarkan siklus tahunan 356 hari, mereka membuat suatu kalender yang panjangnya 52 tahun (Calendar Round), atau kira-kira setara dengan satu generasi. Tentu saja siklus ini terlalu pendek untuk menandai peristiwa sejarah yang terjadi lintas generasi. Namun, orang-orang Maya memiliki satu kalender lainnya (Long Count) yang mencakup masa 5126 tahun. Masalahnya adalah apa yang akan terjadi sekiranya hitungan kalender ini berakhir? Apakah akan berlaku hal-hal yang buruk, seperti bencana dahsyat yang akan menghancurkan peradaban manusia, atau hal itu hanya akan menghantarkan manusia memasuki siklus waktu yang baru, dengan kata lain memulai kalendernya dari awal lagi?
Para ahli menghitung bahwa permulaan kalender Maya (Long Count) bersamaan dengan tanggal 11 Agustus 3114 sebelum masehi. Siklus kalender Maya tersebut akan berakhir 5126 tahun kemudian, atau tepatnya tanggal 21 Desember 2012. Lalu apa yang terjadi setelah tanggal tersebut? Apakah dunia akan berakhir (kiamat) bersamaan dengan berakhirnya kalender Maya? Ataukah akan terjadi sesuatu yang buruk dan bencana yang luar biasa bersamaan dengan berakhirnya siklus kalender tersebut? Bukankah rentang waktu 5126 tahun merupakan masa yang sangat panjang; tidakkah akan terjadi suatu yang istimewa pada akhir siklus tersebut?
Dari sinilah bermulanya penafsiran tentang hari kiamat atau bencana besar-besaran pada tanggal 21 Desember 2012. Tapi apakah orang-orang Maya sendiri mempercayai penafsiran tersebut? Apakah menurut mereka dunia akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya siklus kalender mereka? Tampaknya sebagian besar orang-orang keturunan Maya yang ada sekarang tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan yang ditimbulkan oleh kalendernya (khususnya melalui penafsiran Hollywood) terhadap masyarakat dunia lainnya. Dan mereka yang mengetahui tentang siklus ini tidak menganggap akan terjadi kiamat di akhir 2012. Mereka mempercayai akan terjadinya perubahan penting di akhir siklus tersebut. Setiap siklus akan berganti dengan siklus yang baru, dan mereka cenderung melihatnya sebagai akan bermulanya sesuatu yang positif, sesuatu yang lebih baik bagi peradaban.
Seorang direktur lembaga penelitian Mesoamerican, Sandra Noble, menolak bahwa kalender Maya menafsirkan akan terjadinya kiamat. Menurutnya orang-orang Maya kuno justru akan membuat perayaan besar untuk menandainya berakhirnya seluruh siklus (dan tentunya untuk menyambut siklus yang baru). Baginya penggambaran terjadinya kiamat pada akhir 2012 merupakan ”pemalsuan total dan kesempatan bagi banyak orang untuk meraup keuntungan.” Dan jelas inilah yang sedang dilakukan oleh Hollywood melalui film mereka: ’meraup keuntungan.’
Roland Emmerich, sutradara film 2012, tidak menganggap dunia benar-benar akan kiamat atau mengalami bencana maha dahsyat pada tahun 2012 seperti yang diprediksi oleh filmnya. Ia hanya ingin membuat sebuah film tentang bencana hebat, seperti film-film yang pernah dibuat sebelumnya, Independence Day dan The Day After Tomorrow. Kali ini ia ingin membuat bencana banjir yang menenggelamkan dunia, dengan mengambil inspirasi dari kisah Nabi Nuh dan kapal yang menyelamatkannya. Kemudian ia menggabungkannya dengan fakta berakhirnya kalender Maya pada tahun 2012. Terkait dengan tahun 2012 ini ia mengakui bahwa “… ada begitu banyak (teori) sehingga, dalam satu cara, kamu bisa membuat sendiri teorimu.”
Emmerich mungkin bermaksud mengingatkan manusia agar bersikap baik terhadap alam; agar dunia tidak hancur karena ulah manusia sendiri. Tapi jelas bukan pesan ini yang ditangkap oleh penonton. Banyak yang justru terpaku pada penafsiran tentang akhir dunia serta ramalan tentang bencana yang menghancurkan peradaban manusia. Apa pun yang dikatakan Emmerich, ia jelas mempunyai keinginan mendapat untung sebesar-besarnya dari film itu, sebagaimana pada kasus film-film Hollywood lainnya. Kalau masyarakat menjadi takut, khawatir berlebihan dan percaya terhadap ramalan yang aneh-aneh, maka itu urusan mereka sendiri. Asalkan film itu ditonton orang ramai dan bisa membawa keuntungan besar, maka target industri film tercapai. Then, it’s bait, don’t bite. Jangan mudah terpancing dengan umpan yang mereka berikan.
Dalam Islam sendiri persoalannya sangat jelas. Tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat ... (QS 31: 34)
Peristiwa kiamat berlangsung sangat cepat dan tidak akan sempat disadari oleh manusia.
... kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya .... (QS 12: 107)
... Tidak adalah kejadian kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat .... (QS 16: 77)
Jadi pada saat terjadinya kiamat manusia tidak akan sempat berkirim sms, menelpon, mendengarkan berita TV tentang guncangan yang sedang terjadi. Dan tidak ada manusia yang bisa melarikan diri darinya.
Kita juga mengetahui bahwa ada banyak peristiwa penting yang akan terjadi sebelum terjadinya hari kiamat: munculnya imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya nabi Isa ’alaihis salam, munculnya Ya’juj Ma’juj, terbitnya matahari di Barat dan tenggelamnya di Timur, dan masih ada lagi peristiwa-peristiwa lainnya. Jadi mungkinkah kiamat akan terjadi dalam tiga tahun lagi? Wallahu a’lam, hanya Allah yang mengetahui kapan akan terjadinya kiamat. Ia mungkin terjadi pada tahun 2012, sebagaimana ia juga mungkin terjadi pada tahun 2010, 2013, 2021, atau 2133. Ia bisa datang kapan saja, kita tidak bisa mengetahuinya secara pasti.
Adapun bencana besar, maka bisa saja ia berlaku pada tahun-tahun yang berdekatan ini, sebagaimana ia juga berlaku tanpa diduga pada masa-masa yang telah lewat. Kita tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap itu semua. Berusaha saja sebaik mungkin untuk merawat bumi ini dan mengantisipasi datangnya bencana. Dan yang terpenting dari itu semua, jagalah iman kita masing-masing. Karena musibah apa pun yang datang pada orang beriman, maka itu tidak akan berdampak kepada mereka kecuali kebaikan belaka. Wallahu a’lam bis showab.
Kuala Lumpur, 1 Desember 2009
http://www.eramuslim.com/suara-kita/p...
Rabu, 02/12/2009 08:33 WIB
Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia
Belakangan ini kita mendengar ramai pembicaraan soal hari kiamat, tentang tahun 2012, tentang kalender Maya, dan hal-hal yang terkait dengannya. Hangatnya persoalan ini ikut dipicu oleh populernya film 2012: Apocalypse yang tengah diputar di berbagai bioskop di dunia, termasuk di Indonesia. Banyak orang menjadi bertanya-tanya apakah pada tahun 2012 benar-benar akan terjadi kiamat? Kekhawatiran soal masa depan ini pada gilirannya membuat masyarakat yang kurang keyakinan dan pengetahuan agama asyik berkonsultasi kepada para peramal. Tampaknya ini juga yang mendorong Majelis Ulama Indonesia beberapa waktu lalu melarang masyarakat menonton film yang kami sebutkan tadi.
Bagi masyarakat Indonesia isu ini tampaknya menjadi sangat sensitif karena kita telah merasakan bencana besar secara beruntun dalam lima tahun belakangan ini. ’Kiamat’ demi ’kiamat’ terjadi secara beruntun di beberapa wilayah di tanah air, masing-masing menelan korban yang sangat besar. Mulai dari gempa dan tsunami di Aceh pada akhir 2004, lalu gempa bumi di Sumatera Barat baru-baru ini, serta berbagai bencana yang terjadi di antara keduanya (gempa di Yogyakarta, lumpur panas Lapindo di Porong, gempa Tasikmalaya; terlalu banyak untuk disebutkan semuanya di sini).
Apakah bencana-bencana itu telah memberi apocalyptic sense (kepekaan terhadap bencana besar) yang lebih bagi masyarakat Indonesia? Tidakkah semua bencana itu merupakan pertanda? Mungkin demikian banyak orang di tanah air bertanya-tanya. Tidakkah semua ini mengisyaratkan akan datangnya bencana yang lebih besar, bahkan mungkin saja kiamat (doomsday)? Kini dengan adanya film 2012, kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya bencana dahsyat menjadi lebih besar lagi. Isu ini tampaknya sangat mengganggu sensitifitas masyarakat.
Tapi benarkah kiamat akan terjadi pada akhir tahun 2012? Darimana ide ini muncul? Mengapa harus tahun 2012? Sekarang ini kita sudah tahu bahwa semua ini bersumber dari penafsiran terhadap kalender Maya. Kalender ini dibuat oleh peradaban Maya kuno yang mendiami wilayah Meksiko beberapa abad lalu, sebelum peradaban mereka dihancurkan oleh para pendatang Spanyol.
Para pendeta dan ahli astronomi Maya telah menyusun kalender yang berbeda dengan kalender yang kita gunakan sekarang. Mereka menggunakan siklus 13 hari dan 20 hari untuk menandai hari-hari mereka (mungkin ini setara dengan satu minggu atau satu bulan bagi kita). Mereka juga mengenal dua macam siklus tahunan yang masing-masing lamanya 260 dan 365 hari.
Berdasarkan siklus tahunan 356 hari, mereka membuat suatu kalender yang panjangnya 52 tahun (Calendar Round), atau kira-kira setara dengan satu generasi. Tentu saja siklus ini terlalu pendek untuk menandai peristiwa sejarah yang terjadi lintas generasi. Namun, orang-orang Maya memiliki satu kalender lainnya (Long Count) yang mencakup masa 5126 tahun. Masalahnya adalah apa yang akan terjadi sekiranya hitungan kalender ini berakhir? Apakah akan berlaku hal-hal yang buruk, seperti bencana dahsyat yang akan menghancurkan peradaban manusia, atau hal itu hanya akan menghantarkan manusia memasuki siklus waktu yang baru, dengan kata lain memulai kalendernya dari awal lagi?
Para ahli menghitung bahwa permulaan kalender Maya (Long Count) bersamaan dengan tanggal 11 Agustus 3114 sebelum masehi. Siklus kalender Maya tersebut akan berakhir 5126 tahun kemudian, atau tepatnya tanggal 21 Desember 2012. Lalu apa yang terjadi setelah tanggal tersebut? Apakah dunia akan berakhir (kiamat) bersamaan dengan berakhirnya kalender Maya? Ataukah akan terjadi sesuatu yang buruk dan bencana yang luar biasa bersamaan dengan berakhirnya siklus kalender tersebut? Bukankah rentang waktu 5126 tahun merupakan masa yang sangat panjang; tidakkah akan terjadi suatu yang istimewa pada akhir siklus tersebut?
Dari sinilah bermulanya penafsiran tentang hari kiamat atau bencana besar-besaran pada tanggal 21 Desember 2012. Tapi apakah orang-orang Maya sendiri mempercayai penafsiran tersebut? Apakah menurut mereka dunia akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya siklus kalender mereka? Tampaknya sebagian besar orang-orang keturunan Maya yang ada sekarang tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan yang ditimbulkan oleh kalendernya (khususnya melalui penafsiran Hollywood) terhadap masyarakat dunia lainnya. Dan mereka yang mengetahui tentang siklus ini tidak menganggap akan terjadi kiamat di akhir 2012. Mereka mempercayai akan terjadinya perubahan penting di akhir siklus tersebut. Setiap siklus akan berganti dengan siklus yang baru, dan mereka cenderung melihatnya sebagai akan bermulanya sesuatu yang positif, sesuatu yang lebih baik bagi peradaban.
Seorang direktur lembaga penelitian Mesoamerican, Sandra Noble, menolak bahwa kalender Maya menafsirkan akan terjadinya kiamat. Menurutnya orang-orang Maya kuno justru akan membuat perayaan besar untuk menandainya berakhirnya seluruh siklus (dan tentunya untuk menyambut siklus yang baru). Baginya penggambaran terjadinya kiamat pada akhir 2012 merupakan ”pemalsuan total dan kesempatan bagi banyak orang untuk meraup keuntungan.” Dan jelas inilah yang sedang dilakukan oleh Hollywood melalui film mereka: ’meraup keuntungan.’
Roland Emmerich, sutradara film 2012, tidak menganggap dunia benar-benar akan kiamat atau mengalami bencana maha dahsyat pada tahun 2012 seperti yang diprediksi oleh filmnya. Ia hanya ingin membuat sebuah film tentang bencana hebat, seperti film-film yang pernah dibuat sebelumnya, Independence Day dan The Day After Tomorrow. Kali ini ia ingin membuat bencana banjir yang menenggelamkan dunia, dengan mengambil inspirasi dari kisah Nabi Nuh dan kapal yang menyelamatkannya. Kemudian ia menggabungkannya dengan fakta berakhirnya kalender Maya pada tahun 2012. Terkait dengan tahun 2012 ini ia mengakui bahwa “… ada begitu banyak (teori) sehingga, dalam satu cara, kamu bisa membuat sendiri teorimu.”
Emmerich mungkin bermaksud mengingatkan manusia agar bersikap baik terhadap alam; agar dunia tidak hancur karena ulah manusia sendiri. Tapi jelas bukan pesan ini yang ditangkap oleh penonton. Banyak yang justru terpaku pada penafsiran tentang akhir dunia serta ramalan tentang bencana yang menghancurkan peradaban manusia. Apa pun yang dikatakan Emmerich, ia jelas mempunyai keinginan mendapat untung sebesar-besarnya dari film itu, sebagaimana pada kasus film-film Hollywood lainnya. Kalau masyarakat menjadi takut, khawatir berlebihan dan percaya terhadap ramalan yang aneh-aneh, maka itu urusan mereka sendiri. Asalkan film itu ditonton orang ramai dan bisa membawa keuntungan besar, maka target industri film tercapai. Then, it’s bait, don’t bite. Jangan mudah terpancing dengan umpan yang mereka berikan.
Dalam Islam sendiri persoalannya sangat jelas. Tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat ... (QS 31: 34)
Peristiwa kiamat berlangsung sangat cepat dan tidak akan sempat disadari oleh manusia.
... kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya .... (QS 12: 107)
... Tidak adalah kejadian kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat .... (QS 16: 77)
Jadi pada saat terjadinya kiamat manusia tidak akan sempat berkirim sms, menelpon, mendengarkan berita TV tentang guncangan yang sedang terjadi. Dan tidak ada manusia yang bisa melarikan diri darinya.
Kita juga mengetahui bahwa ada banyak peristiwa penting yang akan terjadi sebelum terjadinya hari kiamat: munculnya imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya nabi Isa ’alaihis salam, munculnya Ya’juj Ma’juj, terbitnya matahari di Barat dan tenggelamnya di Timur, dan masih ada lagi peristiwa-peristiwa lainnya. Jadi mungkinkah kiamat akan terjadi dalam tiga tahun lagi? Wallahu a’lam, hanya Allah yang mengetahui kapan akan terjadinya kiamat. Ia mungkin terjadi pada tahun 2012, sebagaimana ia juga mungkin terjadi pada tahun 2010, 2013, 2021, atau 2133. Ia bisa datang kapan saja, kita tidak bisa mengetahuinya secara pasti.
Adapun bencana besar, maka bisa saja ia berlaku pada tahun-tahun yang berdekatan ini, sebagaimana ia juga berlaku tanpa diduga pada masa-masa yang telah lewat. Kita tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap itu semua. Berusaha saja sebaik mungkin untuk merawat bumi ini dan mengantisipasi datangnya bencana. Dan yang terpenting dari itu semua, jagalah iman kita masing-masing. Karena musibah apa pun yang datang pada orang beriman, maka itu tidak akan berdampak kepada mereka kecuali kebaikan belaka. Wallahu a’lam bis showab.
Kuala Lumpur, 1 Desember 2009