Lentera

Sedang duduk manis di atas kursi tepat di meja kantor saya, sambil menghabiskan menu catering makan siang, tiba-tiba terdengar rekan kerja memanggil saya. "Sa, Risa? Ada Abah Iwan! Cepet kesini!". Bergegas saya habiskan makanan, lalu berlari ke arah stage outdoor Padepokan, o iya... mungkin banyak yang belum tahu, saya bekerja sebagai staf pns di Padepokan Seni Mayang Sunda, disbudpar kota Bandung.
Abah Iwan Abdulrachman bagi saya adalah seorang inspirator. Sejak kecil, mata, kepala, telinga, dan pikiran saya banyak sekali dipengaruhi berbagai macam karyanya. Ayah saya mengidolakan beliau, berbagai quote menarik yang terucap dari Abah Iwan banyak dikutipnya dan diceritakan kembali kepada anak-anaknya untuk dijadikan pelajaran dan bekal untuk hidup kami. Lagu-lagu hasil karya Abah Iwan pada akhirnya pun banyak mengispirasi hasil karya saya. Melati Putih adalah salah satu karyanya yang berhasil saya dan band saya aransemen ulang, dan memasukkannya ke dalam album story of peter repackage. Dalam berbagai kesempatan, pada akhirnya saya banyak dipertemukan dengan Abah Iwan. Namun kali ini berbeda, bulan September ini tanggal 26, kantor  dan dinas tempat saya bekerja menyelenggarakan konser tunggal untuknya, dan saya berperan serta untuk ikut menjadi panitia dalam pagelarannya. Tak ada yang lebih mencerahkan bulan September saya selain acara berjudul "Lantera di Mayang Sunda" ini.
Siang itu Abah datang dengan mengayuh sepedanya, konon dia baru saja menempuh perjalanan dari Jatinangor dengan menggunakan sepeda. Matanya berkeliling melihat bagaimana kondisi panggung tempat kelak konsernya akan digelar. Awalnya dia pesimis, "Takut ngga banyak yang dateng", ujarnya. Dengan tegas saya berkata, "Abah, harus optimis. Abah itu pengagumnya banyak, anak muda sekarang banyak sekali yang mengidolakan Abah. Saya malah takut membludak sehingga tak bisa tertampung di stage indoor". Begitulah kurang lebih awal perbincangan kami siang itu. Dilanjut dengan bersenda gurau bersama rekan PNS yang lain, dan membahas serius tentang bagaimana persiapan acara nanti. Pembicaraan mengerucut kepada judul yang dipilihnya, 'Lantera', yang merupakan bahasa sunda dari kata 'Lentera'.
"Tahu tidak kenapa Abah pilih judul Lantera untuk konser Abah nanti?", tanyanya kepada saya. Saya terdiam grogi, mau jawab takut salah. Dengan mantap dan bersemangat beliau menjelaskan kepada saya, dan kami semua yang ada disitu.
Coba bayangkan kalau kita berada didalam hutan, gelap sekali tak ada cahaya apapun disana. Lalu tiba-tiba ada sebuah Lentera jauh didepan sana, cahaya kecilnya yang mantap tak terusik oleh angin bahkan badai sebesar apapun, akan berarti untuk kita melangkah menapaki jalanan hutan yang gelap. Lentera lebih tangguh dibandingkan obor sekalipun. Obor memang lebih terang dan menyala, tapi akan padam jika terkena angin yang besar. Lain halnya dengan Lentera, dia tetap berdiri kokoh bahkan jika disimpan diujung perahu dalam lautan badai, cahayanya tetap menyala sehingga mampu menerangi nelayan yang sedang melaut.
"Ingat, Lentera tak bisa sembarangan dinyalakan, seseorang harus meminyakinya terlebih dahulu, membersihkan setiap detil dari ornamennya, dan yang paling utama adalah mengatur pijarnya", kata-katanya membuat kami semua mengangguk-angguk terdiam, entah kagum, entah kurang mengerti. Beliau melanjutkan lagi percakapannya...
Bayangkan jika setiap manusia di muka bumi Indonesia ini memiliki Lentera-Lentera sendiri dalam dirinya, bayangkan jika tak ada manusia yang kehilangan arah karena memiliki Lentera sendiri dalam hatinya, bayangakan jika negara ini diterangi oleh 200 juta lentera, atau bahkan lebih. Coba bayangkan, betapa menyalanya Indonesia, betapa terangnya kita di mata dunia. Jangan pernah mengharapkan sebuah Lentera untuk menerangi seluruh negeri ini, tak ada yang seperti itu. Lentera akan menyala sangat terang jika berkumpul dengan Lentera-Lentera lainnya...
Siang itu, setelah kata-katanya itu terucap. Lagi-lagi sosoknya semakin mengagumkan di mata saya, tak hanya saya, mungkin juga di mata beberapa rekan kerja saya di Padepokan Seni Mayang Sunda.
Kalimat itu terus berputar di dalam kepala saya, bagi saya... Tak usah bagi negeri ini, minimal untuk kehidupan saya... Lentera itu sedang berusaha saya nyalakan agar lebih terang, agar tak lagi tersesat.





1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 11, 2014 01:58
No comments have been added yet.


Risa Saraswati's Blog

Risa Saraswati
Risa Saraswati isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Risa Saraswati's blog with rss.