Indonesia 2045 - Chapter 1.1
Ryo
“Satryo Mahardika. Gerbong 9 kursi 14A, Java Express.”
Gue melangkah keluar dari area pemindaian, lalu menunggu adik sepupu gue yang mengantre di belakang. Dia merapikan rambut gondrongnya yang berantakan, lalu nyengir ke arah kamera di atap ruangan. Sekelebat sinar biru melintasi tubuhnya. Suara cewek yang sama terdengar samar-samar, berhubung gue masih berdiri di dekat pintu.
“River Harjuno Bagaskara. Gerbong 9 kursi 14B, Java Express.”
Mirip dengan suara cewek yang selalu bawain berita di tivi internet. Enak didengar, jernih, manusiawi, tetapi tentu saja cuma imitasi. Gak ada wanita betulan yang punya suara seperti itu. Tetapi kalo memang ada, gue harap dia benar-benar cantik.
Lepas dari gaya noraknya, River bergegas mendekati gue. Dia tampak gelisah dan berkali-kali menepuk tas di pinggangnya.
“Ada yang ketinggalan?” tanya gue setengah nuduh.
Dia menggeleng, belum mau bilang. Gue mengangguk, pura-pura gak peduli, dan bergegas menuju kereta yang baru saja berhenti di samping peron.
Java Express, si Peluru Perak itu tampil megah dan cantik seperti biasa. Dengan lebar empat meter dan tinggi enam meter, setiap gerbongnya terdiri dari dua lantai dan mampu menampung dua ratus orang dalam kondisi semua duduk nyaman. Kali ini jumlah gerbong ada sekitar dua puluh, jadi total penumpangnya berarti … banyak deh.
Pokoknya, ini kereta yang gede, dan juga rapi. Betul, kadang jumlah penumpang bisa lebih dan sebagian terpaksa berdiri. Jadi kelihatan gak mutu untuk ukuran jaman sekarang. Tapi itu gak masalah. Toh waktu tempuh dari Surabaya di timur sana sampai ke Halimun cuma satu jam, sementara dari kota gue, Tidar, ke Halimun cuma setengah jam. Sekali-sekali berdiri selama satu jam gak ada apa-apanya dibanding kebiasaan para pendahulu kita puluhan tahun yang lampau, yang rela berdiri dua jam atau lebih di dalam bis demi ngantor ke Jakarta. Atau yang lebih sadis, dua belas jam berdesak-desakan di dalam kereta hanya demi bisa pulang Lebaran. Orang-orang tua kita emang luar biasa, ya?
Kami masuk melalui pintu geser otomatis di belakang gerbong, melewati portal putar yang hanya memberi akses masuk untuk penumpang yang sudah terdaftar. Sewaktu gue kecil teknologi pemindaian di stasiun belum secanggih ini. Almarhum Ayah sering ngajak gue jalan-jalan naik kereta, ke berbagai kota di Jawa, dan ia selalu membawa kartu berisi chip yang menyimpan berbagai data si pemilik kartu, termasuk saldo kereta. Sekarang, cukup memindai DNA, cek wajah dan retina mata, kita gak perlu membawa apa-apa lagi. Tinggal menyebutkan tujuan, maka komputer akan mendata lalu menempatkan kita di kursi masing-masing tanpa perlu berebut. Perbedaan lainnya, dulu kereta juga sudah menggunakan listrik, namun jalurnya masih terbatas dan harus berbagi popularitas dengan bis atau mobil pribadi. Sekarang? Dengan kereta semuanya serba mudah, murah, dan sangat cepat.
River menemukan kursi-kursi kami, dan gue duduk di sebelahnya. Tadi sempat gue perhatiin yang naik dari Stasiun Tidar mungkin hanya belasan orang. Lebih banyak yang dari Solo, Malang atau Surabaya. Komputer di dalam kereta langsung menyapa kami melalui layar yang terpasang di punggung kursi penumpang di depan kami.
"Selamat pagi, Satryo. Selamat pagi, River. Silakan menikmati perjalanan bersama Java Express. Perjalanan ke Halimun akan menempuh waktu tiga puluh menit. Kereta akan tiba di Stasiun Utama pada pukul 06.50 Waktu Indonesia Bagian Barat." Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Suara cewek yang sama kayak tadi. Sopan dan informatif. Yang selalu gue dengar tiap pagi. Bosan? Gak sih, cuma rutinitas biasa.
Tak lama kereta berjalan. Awalnya perlahan, tetapi begitu keluar meninggalkan kubah kota kereta melaju kencang bagai peluru. Ya, gak secepat itu sih, tetapi lumayan untuk membuat gue gak bisa lagi menikmati pemandangan di luar jendela. Yang ada malah jadi pusing kepala. Gak heran sebagian besar penumpang sudah memilih menutup layar jendela sejak tadi. Gue memejam sejenak, kemudian menoleh, begitu mendengar River mendesah. Sesuatu di layar hologram smartwatch-nya membuat dia kembali gelisah.
---
lihat kelanjutannya di
Indonesia 2045 - Chapter 1.1
“Satryo Mahardika. Gerbong 9 kursi 14A, Java Express.”
Gue melangkah keluar dari area pemindaian, lalu menunggu adik sepupu gue yang mengantre di belakang. Dia merapikan rambut gondrongnya yang berantakan, lalu nyengir ke arah kamera di atap ruangan. Sekelebat sinar biru melintasi tubuhnya. Suara cewek yang sama terdengar samar-samar, berhubung gue masih berdiri di dekat pintu.
“River Harjuno Bagaskara. Gerbong 9 kursi 14B, Java Express.”
Mirip dengan suara cewek yang selalu bawain berita di tivi internet. Enak didengar, jernih, manusiawi, tetapi tentu saja cuma imitasi. Gak ada wanita betulan yang punya suara seperti itu. Tetapi kalo memang ada, gue harap dia benar-benar cantik.
Lepas dari gaya noraknya, River bergegas mendekati gue. Dia tampak gelisah dan berkali-kali menepuk tas di pinggangnya.
“Ada yang ketinggalan?” tanya gue setengah nuduh.
Dia menggeleng, belum mau bilang. Gue mengangguk, pura-pura gak peduli, dan bergegas menuju kereta yang baru saja berhenti di samping peron.
Java Express, si Peluru Perak itu tampil megah dan cantik seperti biasa. Dengan lebar empat meter dan tinggi enam meter, setiap gerbongnya terdiri dari dua lantai dan mampu menampung dua ratus orang dalam kondisi semua duduk nyaman. Kali ini jumlah gerbong ada sekitar dua puluh, jadi total penumpangnya berarti … banyak deh.
Pokoknya, ini kereta yang gede, dan juga rapi. Betul, kadang jumlah penumpang bisa lebih dan sebagian terpaksa berdiri. Jadi kelihatan gak mutu untuk ukuran jaman sekarang. Tapi itu gak masalah. Toh waktu tempuh dari Surabaya di timur sana sampai ke Halimun cuma satu jam, sementara dari kota gue, Tidar, ke Halimun cuma setengah jam. Sekali-sekali berdiri selama satu jam gak ada apa-apanya dibanding kebiasaan para pendahulu kita puluhan tahun yang lampau, yang rela berdiri dua jam atau lebih di dalam bis demi ngantor ke Jakarta. Atau yang lebih sadis, dua belas jam berdesak-desakan di dalam kereta hanya demi bisa pulang Lebaran. Orang-orang tua kita emang luar biasa, ya?
Kami masuk melalui pintu geser otomatis di belakang gerbong, melewati portal putar yang hanya memberi akses masuk untuk penumpang yang sudah terdaftar. Sewaktu gue kecil teknologi pemindaian di stasiun belum secanggih ini. Almarhum Ayah sering ngajak gue jalan-jalan naik kereta, ke berbagai kota di Jawa, dan ia selalu membawa kartu berisi chip yang menyimpan berbagai data si pemilik kartu, termasuk saldo kereta. Sekarang, cukup memindai DNA, cek wajah dan retina mata, kita gak perlu membawa apa-apa lagi. Tinggal menyebutkan tujuan, maka komputer akan mendata lalu menempatkan kita di kursi masing-masing tanpa perlu berebut. Perbedaan lainnya, dulu kereta juga sudah menggunakan listrik, namun jalurnya masih terbatas dan harus berbagi popularitas dengan bis atau mobil pribadi. Sekarang? Dengan kereta semuanya serba mudah, murah, dan sangat cepat.
River menemukan kursi-kursi kami, dan gue duduk di sebelahnya. Tadi sempat gue perhatiin yang naik dari Stasiun Tidar mungkin hanya belasan orang. Lebih banyak yang dari Solo, Malang atau Surabaya. Komputer di dalam kereta langsung menyapa kami melalui layar yang terpasang di punggung kursi penumpang di depan kami.
"Selamat pagi, Satryo. Selamat pagi, River. Silakan menikmati perjalanan bersama Java Express. Perjalanan ke Halimun akan menempuh waktu tiga puluh menit. Kereta akan tiba di Stasiun Utama pada pukul 06.50 Waktu Indonesia Bagian Barat." Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Suara cewek yang sama kayak tadi. Sopan dan informatif. Yang selalu gue dengar tiap pagi. Bosan? Gak sih, cuma rutinitas biasa.
Tak lama kereta berjalan. Awalnya perlahan, tetapi begitu keluar meninggalkan kubah kota kereta melaju kencang bagai peluru. Ya, gak secepat itu sih, tetapi lumayan untuk membuat gue gak bisa lagi menikmati pemandangan di luar jendela. Yang ada malah jadi pusing kepala. Gak heran sebagian besar penumpang sudah memilih menutup layar jendela sejak tadi. Gue memejam sejenak, kemudian menoleh, begitu mendengar River mendesah. Sesuatu di layar hologram smartwatch-nya membuat dia kembali gelisah.
---
lihat kelanjutannya di
Indonesia 2045 - Chapter 1.1
Published on May 28, 2017 20:55
No comments have been added yet.


