Membawa Pentas Wayang Dalam Novel

Ditulis sebagai makalah seminar dalam rangka Gerakan Buku Wayang Untuk Indonesia, diselenggarakan oleh ASIA WANGI, Paguyuban Karyawan BCA Pecinta Wayang Indonesia, Malang, 7 Juli 2018, di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Dalam seminar tersebut, selain saya, hadir pula narasumber dari yayasan wayang Indonesia "Senawangi", Bp Sumari, dan seniman kondang, mas Sujiwo Tejo. Seminar yang berlangsung selama lebih dari 3 jam, dipandu oleh guru besar Universitas Negeri Malang, Prof. Heri Suwignyo.


 


Tepat pada tanggal 7 November 2003, Wayang, sebagai warisan budaya Bangsa Indonesia, mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai: The World Masterpiece of Intangible Cultural Heritage of Humanity. Sebuah kebanggaan bagi kita bangsa Indonesia. Lalu apa setelah itu? Apakah kemudian dengan penghargaan itu, maka tanpa upaya pun dengan sendirinya wayang sebagai budaya akan selalu megah berdiri sepanjang masa? Siapa yang harus menjaga agar itu semua tetap lestari?


 


Sebelum kita mendiskusikan hal ini lebih lanjut, mungkin kita perlu sepakat dulu terhadap apa yang disebut dengan ‘wayang’. Banyak praktisi, akademisi, pengamat, pencinta wayang mencoba membuat definisi apa itu wayang dari perspektif mereka masing-masing. Suatu hal yang akan selalu semakin memperlebar cakrawala kita melihat apa dan mengapa wayang itu. Dari sekian banyak pendapat mengemuka, saya mencoba mendengar, merenungi apa itu wayang, kemudian mencoba menawarkan sebuah pijakan bagaimana wayang itu kita lihat bersama-sama. Kurang lebih dengan penjabaran:


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 11, 2018 18:21
No comments have been added yet.