Suara Tunggal dari Bali

Belakangan, Bali riuh dibicarakan sebab tingkah-polah oknum turis asing yang semakin ajaib, untuk tidak menyebutnya kurang menyenangkan. Bali adalah undangan agung bagi mereka, hingga apa pun akan dilakukan untuk tetap tinggal di pulau penuh pesona itu. Citra Bali sangat “turis” dan keragaman destinasi wisata memang ibarat tanda lahir yang tidak akan bisa dipisahkan. Bali dalam kacamata wisata hanya memiliki cerita tunggal; potongan surga penuh pesona. Eksotisme baik berupa alam, budaya, adat istiadat, dan kehidupan masyarakat menjadi daya tarik turis. Pokok-pokok yang menjadi identitas Bali ini juga yang dalam pengantar penulis buku Malam Pertama Calon Pendeta ini menyimpan persoalan kompleks.
Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku ini menulis, “…sejak lama pula orang-orang tahu kehidupan adat dan kasta di Bali adalah sumber konflik di tengah masyarakat.” Dalam pengantar ini secara tersurat disampaikan bahwa sudah sejak lama sastrawan Bali menulis perkara tata kehidupan adat eksotis sekaligus menyimpan persoalan yang berlapis. Pilihan lokus penceritaan menjadi sesuatu yang krusial. Perlukah menjadi pembeda atau sekadar mengikuti apa yang sudah jamak dilakukan oleh kebanyakan penulis Bali, dan mengimani cerita tunggal di kacamata umum.
Tujuh belas cerita pendek dalam buku ini masih mengupas konflik-konflik adat yang terjadi di Bali. Gde Aryantha Soethama masih memandang perkara adat, kelas, strata yang mengakar di kehidupan masyarakat Bali sebagai persoalan penting. Kelas lebih tinggi tidak boleh menikah dengan kelas yang lebih bawah, lebih mulia dan kurang mulia sebuah kasta, hingga perkara-perkara adat yang terselip dalam keseharian masyarakat Bali.
Cerpen yang juga dijadikan tajuk buku, “Malam Pertama Calon Pendeta”, menegaskan apa yang khalayak umum pahami perihal kasta di Bali. Aji Punarbawa yang lahir dari garis brahmana “dipaksa” untuk menikahi gadis dari keluarga brahmana untuk yang kedua kali. Meninggalkan istri, Krining, dan cinta sejatinya yang bukan dari brahmana. Sebab keluhuran griya mereka harus dikembalikan, dengan menjadikan Aji seorang pendeta yang kelak akan membaca tumpukan lontar berdebu di griya mereka. Skenario ini ditentang Aji, namun justru disokong oleh Krining. Seorang brahmana pantang merendahkan derajat perempuan (hal.40).
Namun, sudut pandang penuh ironi ditampilkan Gde Aryantha Soetama. Meski dari kasta lebih rendah, Krining menjadi kunci pengembalian kemuliaan griya. Dia juga menjadi penentu jadi-atau-tidaknya Aji Punarbawa sebagai pendeta. Ironi yang berhasil dengan cantik dipertajam oleh penulis.
“Sekarang saya punya kesempatan untuk dihargai. Sungguh luar biasa, ketika para brahmana meminta pendapat saya, membujuk dan memelas agar saya sedia berkorban. Mereka akhirnya harus mengakui, yang mengembalikan wibawa kependetaan dan kesucian Griya Rangkan adalah seorang perempuan biasa.” (Hal.44)
Perlawanan kasta juga kentara dalam cerpen “Ordil Jadi Gancan”. Ordil membakar peralatan upacara ngaben ayah kandungnya, yang kebetulan tidak menikahi Ibu Ordil sebab beda kasta. Namun, siapa saja yang berusaha melakukan perlawanan atas demarkasi kelas akan bernasib seperti Ordil. Harus berlari-lari, dikejar, dan diburu, bahkan harus mengubah identitasnya. Ordil harus menjadi orang baru, menjadi pohon pisang gancan.
Demarkasi-demarkasi kelas yang demikian juga disampaikan dengan cantik dan satiris dalam beberapa cerpen yang lain. Cerpen “Surga untuk Petani” lebih tajam menyayat mereka yang selama ini meneguhkan kemuliaan ditentukan oleh status dan kasta. Di akhirat, seorang pendeta ternyata tidak berhasil masuk surga. Sebaliknya petani justru lenggang kangkung masuk surga. Kontradiksi antara kasta tinggi yang ketulusannya kamuflase dihadapkan dengan kelas bawah yang sepanjang hidup jujur, penuh pengabdian.
“Petani menyerahkan seluruh hidupnya untuk bercocok tanam, menghamba dan mengasihi ibu pertiwi. Dia bekerja tidak hanya untuk keluarganya, tapi bagi semua orang, termasuk dirimu.” (hal.6)
Krining, Ordil, dan sosok petani memberi pesan yang gamblang. Gde Aryantha Soethama ingin memaknai ketidakberdayaan kasta dan kelas. Bahwa struktur sosial hanyalah bikinan manusia yang tidak serta merta menentukan kemuliaan seseorang. Ia yang tampak tidak berhaga justru menjadi kunci dan sumber kemuliaan.
Ironi dalam bentuk lain juga diejawantahkan sosok suci yang tidak selalu suci. Pendeta atau setidaknya orang dekat dengan agama digambarkan berseberangan. Dalam cerpen “Belukar Pantai Sanur” yang kebetulan berlatar masa pandemi Covid-19, beberapa orang memanfaatkan kewajiban menutup wajah dengan masker untuk menipu penjaga pantai. Dan salah satu tokoh yang memakai daster putih dan meminta izin untuk menabuh genta sebagai ritual doa, justru terlibat dalam transaksi sabu-sabu.
Demikianlah salah satu fungsi sastra. Cerpen tidak hanya menangkap fenomena yang tersurat oleh pancaindera, tetapi juga mengebor hingga noumena, kedalaman karakter dan hal-hal yang mungkin disembunyikan oleh kebanyakan. Gde Aryantha Soetama telah berhasil memotret fenomena dan noumena dari kehidupan masyarakat Bali.
Gde Aryantha Soethama menangkap fenomena-fenomena adat yang terhampar. Juga menyingkap lapis-lapis yang disembunyikan, kerak-kerak persoalan yang selama ini ditutup oleh glamor turis Bali.
Wajah Bali yang Tunggal
Bali dan daya tarik wisatawan adalah lem paling kuat. Bahkan jauh sebelum era gawai, Miguel Covarrubias dalam buku klasiknya Island of Bali (1937) telah menanamkan imagi eksotisnya akan Bali. Bagaimana orang-orang yang begerak gemulai mengikuti ritme alam, ibarat gerakan balerina cumi-cumi di bawah laut. Belum lagi adat istiadat dan ratusan upacara yang membuat dogma-dogma Covvarrubias mendarah daging. Bali termasuk alam, manusia, dan adat istiadatnya adalah halaman surga.
Belum lagi ketenaran film Eat, Pray, Love (2010), semakin mempertebal anggapan Bali memberi ketenangan dan menjanjikan terpenuhinya dahaga akan rasa damai. Bukan sekadar tempat rekreasi, Bali juga menawarkan pengalaman penuh spiritual.
Dalam cerpen “Pangus Ukulele”, Pak Bondo seorang kaya raya asli Bondowoso pindah ke Ubud untuk mengobati insomnia, berharap Bali memberinya ketenangan. Meminta rumahnya dihiasi penjor agar nuansa Galungan ajeg, membawa damai. Pak Bondo adalah perwujudan orang-orang yang meniatkan healing ke Ubud. Dan lagi-lagi terperangkap oleh wajah tunggal Bali yang turistik.
Sudut pandang berbeda tampak dalam cerpen “Joged Timuhun”. Justru kehadiran proyek turisme ditentang oleh para penari timuhun, dengan alasan itu akan merusak kesakralan pura. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini melakukan protes, agar kesakralan pura tetap dinomorsatukan.
Eksotisasi Bali jelas memiliki nilai ekonomis tinggi. Dogma Covarrubias yang telah menjadi legenda dan keimanan, kemudian beragam romantisasi yang mengafirmasi. Saya meyakini ini adalah buntut yang sulit sekali kepalanya kita pegang dengan erat-serat. Praduga saya, besar atau kecil, sastra dan tulisan yang mengetengahkan eksotisme Bali memiliki andil.
Single story (cerita tunggal) belakangan menjadi perhatian banyak sastrawan. Chimamanda Ngozi Adichie sering menyampaikan betapa bahayanya cerita tunggal. Sebab diam-diam ia menjadi plester yang menutup beragam kemungkinan cerita lain. Dan apakah Bali sudah menjadi cerita tunggal, sebab yang dikisahkan oleh dalam karya-karya sastra berlatar Bali tidak jauh-jauh dari perkara adat, perbedaan kasta, dan sedikit menyerempet ketimpangan akibat turisme? Bila melihat karya-karya sastra yang tampil di publik, saya rasa masih demikian untuk tidak menyebut semuanya.
Pengantar Gde Aryantha Soethama mengafirmasi demikian; konflik paling nyata bagi penulis Bali ya perkara yang berhubungan dengan adat istiadat dan kasta. Maka jangan salahkan bila Bali akan tetap menjadi destinasi wisata dan tidak jarang membawa beberapa turis problematik. Mengutip kalimat Covvarrubias, “Tidak heran jika kelak Bali akan dicemari oleh turis-turis.”
Bahaya lain dari cerita tunggal adalah menjadi terkucilkannya penulis-penulis Bali yang kebetulan menggeser fokus kisah. Semua cerita dan semua persoalan manusia adalah valid. Bayang-bayang bahwa penulis Bali menulis kisah tentang adat dan budaya Bali telah menjadi umbra, dan tawaran-tawaran cerita lain tampak setipis pnumbra. Dan ini sudah dimulai sejak lama sekali. Gde Aryantha Soethama menyirit “anggapan” itu dimulai ketika cerpen “Ketika Kentongan Dipukul di Balai Banjar” yang dinobatkan sebagai cerpen terbaik Majalah Horison 1969.
Sebagai pembaca, saya justru berharap akan ada suara-suara lain yang menawarkan Bali dari kacamata lain. Sehingga Bali tidak melulu hadir sebagai “Last Paradise” yang menyimpan seonggok persoalan di pojok-pojok pekat ritual. Cerita tunggal yang selama ini terlalu kuat, harus mulai diberi tawaran lain. Bila peluang ini dibuka, mungkin banyak penulis Bali yang berani menuliskan apa saja, tanpa ketakutan bayang-bayang “harus” menulis perihal adat-istiadat Bali.
Sudah banyak cerita yang bertema-berkonflik adat dan kasta Bali yang diutarakan oleh penulis Bali. Tentu lebih banyak cerita lagi yang mungkin tercecer di pojok-pojok Bali, yang belum dimulakan.


