Lela Ledhung
      Sore ini, saya ditemani sebuah lagu bahasa Jawa yang cukup akrab di telinga hampir semua anak-anak dari kota kelahiran saya. Lagu ini - Lela Ledhung - biasa dinyanyikan oleh kaum ibu untuk menidurkan anak mereka. Tentu saja, lagu ini membawa pikiran saya berkeliaran jauh ke berbagai tempat dalam memori.
  
Dan entah kenapa, saya jadi ingin menangis. Menangis menumpahkan semua beban hati, semua lelah letih yang menumpuk jauh di dalam dada. Lagu ini semakin mempertajam kesedihan itu, serasa saya ingin kembali ke dalam pelukan ibu dan menangis lama, hanya menangis dan menceritakan semuanya kepada beliau. Saya hanya ingin masuk dalam pelukan hangat dan mendapatkan ketenangan dalam belaian beliau. Rasanya, semua beban dan masalah akan dapat lenyap hanya dengan usapan lembut beliau di rambut dan kepala saya. Rasanya, semua hantu dan setan yang menghantui dan bergelayut memberati pundak akan sontak hilang berlari tunggang langgang hanya dengan sebuah ucap, "Semuanya akan baik-baik saja, nak!"
Terkesan sederhana bukan? Bukankah saya bisa menelepon ibu saya dan menangis bercerita tentang semuanya itu?
Tidak!
Tidak!
Alih-alih mendapatkan kenyamanan dan rasa aman, beliau pasti justru akan menambah banyak beban dan hantu. Bukannya rasa lega, saya hanya akan merasa tambah terbeban dengan semua kemarahannya. Ada beberapa bagian dari hidup saya yang tidak pernah diterima oleh beliau, ada fragmen-fragmen kehidupan saya yang senantiasa ditolak dan dilihat dengan penuh pandangan jijik, dan ada luka yang masih belum sembuh - luka yang pernah ditorehkan oleh beliau.
Setiap kali saya bercerita, selalu saja ada bagian yang tidak pernah dapat terucap. Ada bagian yang tidak dapat diungkap dan disampaikan. Bagian-bagian itulah yang lalu berkembang menjadi duri dalam daging, tumbuh besar menjadi tombak dan pedang yang menyobek rasa dari dalam. Dipupuk kesedihan, dipendam kesendirian, mereka berkembang besar seolah berusaha untuk mengoyakku dari dalam.
Saya benar-benar rindu momen-momen itu, ketika saya bisa berlindung dalam peluk seorang ayah atau ibu. Tapi, bisakah seseorang merindukan apa yang tidak pernah dialaminya? Bisakah rindu akan sesuatu yang mungkin tidak pernah ada itu terbentuk? Saya tidak tahu.
Mungkin saat ini saya hanya ingin menangis lepas. Peluk dan ketenangan itu hanya dapat terbentuk dalam bayangan dan suara musik "Lela Ledhung". Mungkin saat ini, atau mungkin juga tidak akan pernah dapat kuraih di kehidupan ini.
Saat ini, biarkan saya menangis tanpa suara, tanpa air mata. Tinggalkan saya di pojok ruangan, tempat saya tertunduk terduduk sembari mencakar udara mencari sosok ibunda.
    
    
    
Dan entah kenapa, saya jadi ingin menangis. Menangis menumpahkan semua beban hati, semua lelah letih yang menumpuk jauh di dalam dada. Lagu ini semakin mempertajam kesedihan itu, serasa saya ingin kembali ke dalam pelukan ibu dan menangis lama, hanya menangis dan menceritakan semuanya kepada beliau. Saya hanya ingin masuk dalam pelukan hangat dan mendapatkan ketenangan dalam belaian beliau. Rasanya, semua beban dan masalah akan dapat lenyap hanya dengan usapan lembut beliau di rambut dan kepala saya. Rasanya, semua hantu dan setan yang menghantui dan bergelayut memberati pundak akan sontak hilang berlari tunggang langgang hanya dengan sebuah ucap, "Semuanya akan baik-baik saja, nak!"Terkesan sederhana bukan? Bukankah saya bisa menelepon ibu saya dan menangis bercerita tentang semuanya itu?
Tidak!
Tidak!
Alih-alih mendapatkan kenyamanan dan rasa aman, beliau pasti justru akan menambah banyak beban dan hantu. Bukannya rasa lega, saya hanya akan merasa tambah terbeban dengan semua kemarahannya. Ada beberapa bagian dari hidup saya yang tidak pernah diterima oleh beliau, ada fragmen-fragmen kehidupan saya yang senantiasa ditolak dan dilihat dengan penuh pandangan jijik, dan ada luka yang masih belum sembuh - luka yang pernah ditorehkan oleh beliau.
Setiap kali saya bercerita, selalu saja ada bagian yang tidak pernah dapat terucap. Ada bagian yang tidak dapat diungkap dan disampaikan. Bagian-bagian itulah yang lalu berkembang menjadi duri dalam daging, tumbuh besar menjadi tombak dan pedang yang menyobek rasa dari dalam. Dipupuk kesedihan, dipendam kesendirian, mereka berkembang besar seolah berusaha untuk mengoyakku dari dalam.
Saya benar-benar rindu momen-momen itu, ketika saya bisa berlindung dalam peluk seorang ayah atau ibu. Tapi, bisakah seseorang merindukan apa yang tidak pernah dialaminya? Bisakah rindu akan sesuatu yang mungkin tidak pernah ada itu terbentuk? Saya tidak tahu.
Mungkin saat ini saya hanya ingin menangis lepas. Peluk dan ketenangan itu hanya dapat terbentuk dalam bayangan dan suara musik "Lela Ledhung". Mungkin saat ini, atau mungkin juga tidak akan pernah dapat kuraih di kehidupan ini.
Saat ini, biarkan saya menangis tanpa suara, tanpa air mata. Tinggalkan saya di pojok ruangan, tempat saya tertunduk terduduk sembari mencakar udara mencari sosok ibunda.
        Published on January 28, 2015 00:51
    
No comments have been added yet.
	
		  
  

