Sci-Fi Indonesia discussion

34 views
Pamer & Diskusi Karya > [Cerpen] Beta Domain

Comments Showing 1-6 of 6 (6 new)    post a comment »
dateUp arrow    newest »

message 1: by Dan (new)

Dan T.D. (dantd) | 8 comments A/N : Ini salah satu cerita dari universe cyberpunk/post-cyberpunk gue, mungkin buat yang ada di grup Kastil Fantasi sebelah udah tahu/lihat/baca cerita ini karena diikutin juga di Cerbul Agustus. Enjoy!

intro song : MACINTOSH PLUS - ブート
-----------------------------------------

Beta Domain

“Kau baik-baik saja?”

Ucapan itu terlontar dari mulut seorang wanita (setidaknya avatar-nya begitu) berwajah mulus dan berambut coklat. Tubuhnya tidak begitu tinggi, dan pakaiannya persis pekerja kantoran –rapi, kotak, simetris. Sepatunya hak tinggi. Orang itu berdiri di atas gundukan data busuk yang membentang luas, dan kata-kata tadi dimaksudkan untuk seseorang yang terbaring di depannya.

Dia seorang pria paruh baya (sekali lagi, avatar-nya begitu). Tampan meski sedikit berkeriput, berjenggot, rambut pendek beruban. Mengenakan jaket warna krem, kemeja putih, dan celana biru donker. Sepatunya mengkilap, seperti sepatu kulit.

Pria itu terbangun. “Ah, i-iya. Aku baik-baik saja. Mungkin.”

“Mungkin?”

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Dia melihat sekelilingnya.

“Mungkin... karena aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa ada di sini. Bisa saja aku dibius, kemudian akun virtopia.com-ku diretas dan password rekeningku diambil misalnya. Bisa juga ada orang iseng yang tidak tahu kalau klub seks ada di mana-mana dan memperkosaku, tapi karena pantatku tidak sakit sepertinya kemungkinannya nihil. Atau aku cuma jadi korban bug, entah berjalan saat tidur atau terteleportasi tiba-tiba.”

Si wanita mundur selangkah. “Kau tenang sekali. Tidak, terlalu tenang. Siapa kau sebenarnya?”

“Mujimuji_@3m. Aku bodyguard, kebetulan sedang tidak ada order. Hal-hal seperti itu sudah jadi resiko sehari-hari. Dan kau? Pasti kau orang Junk Domains.”

“Benar. Tapi ayo kita bicara di tempat lain,” kata wanita itu sambil menengok ke kanan dan kirinya, “Di sini, kau tahu lah, perbatasan, masih banyak mata.”

Mujimuji melihat ke belakangnya, ke arah Worker’s Haven dengan rumah-rumah yang persis sama, jalan-jalan yang lurus dan kaku, serta tanaman digital di sana-sini : mahoni, tepatnya merek EnvInc’s Authentic Mahogany Tree, atau mungkin maksudnya seperti itu, karena bentuknya lebih mirip pohon jati. Tak ada orang yang peduli ataupun tahu. Bagaimana tidak? Memangnya mereka pernah melihat pohon asli seumur hidup mereka?

“Muji?”

Yang dipanggil sedikit kaget. “Oh, oh, iya, iya. Kalau begitu ayo kita jalan. Aku sudah lama tidak ke Junk Domains. Sekali-kali tak ada salahnya.” Tapi dia tidak bergerak. Matanya menatap ke arah langit. Langit palsu, penuh oleh iklan-iklan, video dan teks, yang berebut perhatian manusia. Mujimuji tertarik pada salah satu iklan, di sudut sana, agak jauh dari pandangannya. Bunyinya “Upgrade Kemampuan Telepatismu Dengan TeleAid® v5.95! Jangkau Memori Baru! Hubungi Avatar Dalam Radius 10 Kilometer! Hanya 1500 Bitcoin! Dapatkan Sebelum Kehabisan! Brought to you by VirtuCorp®. You’re One of Us™.”

Memori?

“Muji? Ada apa?”

Dia berhenti memandang iklan itu dan mulai berjalan, masih dengan mata kosong. “Tidak, tidak apa-apa,” gumamnya pelan. Maka mereka berjalan. Di perjalanan, si wanita beberapa kali mengajak Muji bicara. Beragam topik dicobanya. Kualitas iklan terbaru, harga makanan di Virtual Plaza (memang di virtopia.com orang tidak perlu makan, tapi tetap saja dijual makanan digital sekedar untuk memuaskan lidah), penggerebekan sebuah klub pedofilia di salah satu sudut Junk Domains, apapun. Muji tidak menjawab. Sedang tidak bernafsu bicara, karena semua hasratnya terserap oleh satu pertanyaan :

Apa yang baru saja kulupakan?

Mereka berhenti di sebuah bar kecil nan sempit. Pintunya dibangun dari data game konsol dekade 1990-an, menampilkan seorang bocah yang sedang menanam lobak. Warna pintunya kuning cerah, dan saat pintu itu dibuka keluar sejenis suara. Sejenis musik aneh nan kasar. Semua orang tahu itu pintu The Data Corner, satu dari sekian banyak bar kecil yang menyebar di Junk Domains bak virus komputer.

“Kau suka connect, Droog Muji?” tanya si wanita.

“Apa?”

“Jangan kebanyakan melamun. Mau connect?”

“O-oh, connect. Tidak. Sedang tak punya banyak bytes.”

“Aku traktir, droog, santai saja.”

“Ya sudah, kau menang. Ayo kita masuk. Eh, siapa namamu?”

“Lengkapnya R3n3m3r1ng1sht. Panggil saja Rene.”

Muji mengangguk, dan keduanya masuk.

******

Sekarang Muji dan Rene berbaring di samping sebuah alat. Warnanya biru laut dan dilengkapi dua selang pendek. Sebuah connector.

“Kau siap?”

“Pasti, Rene.”

Hampir bersamaan selang itu mereka tusukkan ke pelipis avatar masing-masing. Tubuh mereka langsung menggelinjang. Menggelepar. Merasakan ekstasi dari influks hormon ke otak tanpa harus menenggak pil kotak. Kedua mulut menyeringai. Lambat laun Muji tak bisa melihat apa saja benda-benda di sekelilingnya, apa saja data yang dijadikan kolase untuk bahan dinding dan lantai, bahkan bagaimana warna kulitnya –maksudnya kulit avatar-nya. Semua memerah, membiru, menghijau, menjadi untaian garis berputar-putar; membentuk sebuah karikatur psikedelik.

Jantung Muji terasa panas. Bergejolak. Tahu-tahu nafsunya meningkat tajam. Hampir tanpa sadar, dia berdiri. Otomatis selang di pelipisnya tercabut. Ditatapnya muka Rene sambil memasang seringai sinis. Tiba-tiba Muji menindih tubuh si wanita. Bibir pria itu memburu leher dan bibir targetnya dengan penuh hasrat. Baju Rene ditarik-tarik, maksudnya supaya terkoyak. Tapi sebelum hal yang lebih buruk terjadi, si calon korban sadar.

“Aaah! Apa yang kau lakukan? Lepaskan! Lepaskan!” teriaknya panik.

Muji kaget. Kesadarannya perlahan kembali. Tenaganya melemah. Dia kembali berdiri, menatap Rene, kemudian menatap connector yang masih ada di tempatnya. Air mukanya jadi keruh. Dia buka mulutnya, maksudnya ingin bicara untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi, namun tiada satu huruf pun berhasil dia ucapkan. Hanya wangi mint artifisial yang keluar.

“Kau gila!” bentak Rene.

“M-maaf, aku bisa jelaskan-“

“Tidak! Pemerkosa keparat! Kulaporkan kau! Kutuntut kau di dunia nyata!”

Dunia nyata?

Tersentak oleh frasa itu, Muji hanya bisa diam, tidak mencegah R3n3m3r1ng1sht log out dari virtopia.com. Dia tidak memikirkan bagaimana nasibnya nanti jika dia benar dilaporkan. Tak terlintas di benaknya apakah dia harus kabur, harus tetap diam, harus bersembunyi, atau harus menyerahkan diri. Dia lupa. Lupa siapa dirinya di dunia nyata.

Terpikir baginya untuk log out. Tidak bisa. Ada password yang menghalangi. Dia coba ketik sebuah kata acak dengan penuh harap. Gagal. Coba lagi. Gagal lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Hati Muji mulai terasuk rasa frustasi. Hampir tanpa sadar, dia mulai berjalan keluar, tak mempedulikan baik pandangan manusia-manusia di bar, teriakan bartender yang menyuruhnya membayar jasa connection, maupun pikirannya sendiri yang mulai campur aduk.

Saat berhasil keluar, ia mempercepat langkahnya tanpa alasan jelas sembari memandang langit. Iklan-iklan di cakrawala sudah berbeda, salah satunya iklan berbentuk film pendek yang mempromosikan TeleAid® v6.00.

“Hanya 1569 Bitcoin! Terima kasih VirtuCorp!” ujar pemeran utama iklan itu.

Muji malah takut. Di matanya, aktor-aktor dan aktris-aktris tadi tidak terlihat sebagai manusia. Tidak, lebih tepat kalau dibilang kadang terlihat sebagai manusia; bentuk mereka berganti-ganti, dari manusia menjadi makhluk bermulut spiral dan berkulit biru hingga menjadi manusia lagi. Kepala bodyguard ini makin pusing. Perlahan-lahan pandangannya makin kabur. Tapi dia masih sadar. Maka dia terus berjalan dengan mengandalkan telinga dan intuisi.

Samar-samar terdengar suara langkah kaki di belakang.

“Siapa itu?” tanya Muji keras-keras, panik akibat pengaruh connection. Seingatnya, tak ada orang lain di sekitar. Hanya gubuk-gubuk dari sampah data, berdinding poster promosi konsol Atari dan bertiang manekin digital yang terkompresi. Semua relikui budaya pop akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21.

Bukan langkah kaki yang tidak menjawab pertanyaan.

“Siapa itu, hah? Jawab aku!” ulang Muji. Langkah itu tidak menjawab, melainkan terus berjalan mendekat. Muji makin panik. Dia coba berlari menjauh, namun geraknya tidak beraturan. Lurus, kemudian berbelok ke kanan, ke kiri, ke belakang, dan lurus lagi. Tahu-tahu di depan si pria sudah ada sesosok avatar lelaki cebol, mengenakan jas, dasi, dan celana putih, serta membawa sebuah suntikan, yang langsung ia tusukkan ke tangan Muji, membuatnya pingsan.

******

Kali ini dia bangun berdiri di depan sebuah gerbang putih tanpa nama, di tengah-tengah tanah kosong luas. Bukan, sebenarnya cuma dinding data yang didesain sehingga terlihat mirip pemandangan tanpa batas menuju cakrawala; pengalaman Muji membuatnya bisa membedakan mana yang asli dan mana yang sekedar ilusi optik.
Dan si lelaki cebol berdiri di depan Muji lagi dengan mulut menyeringai.

“Di mana aku?” tanya si pria tersesat.

Seringai si cebol hilang, menyisakan wajah datar penuh keseriusan. “Tidak boleh saya katakan di sini. Mari ikuti saya, Bapak Mujimuji_@3m,” jawabnya pelan-pelan sembari langsung berbalik dan berjalan.

Mau tak mau si pria mengikuti si manusia mungil, dihiasi gerutuan tiap beberapa detik sekali. Mereka melintasi gerbang, menuju koridor lurus berwarna putih polos.

“Anda tahu, Bapak Mujimuji, koridor ini masih dalam tahap penyelesaian,” kata si cebol. Mungkin maksudnya ingin mengajak bicara, namun suaranya begitu rendah dan monoton sehingga yang diajak bicara malah bingung harus menjawab apa.

“Maksudmu?”

“Di versi-versi setelah ini, dinding-dinding ini akan diisi karya seni. Tentu yang sesuai dengan visi kami. Atau selera para atasan kami. ‘Agar kesan elegan dan futuristik terpancar,’ begitu kata mereka,” jawab si cebol, masih dalam suara monoton.

“Jadi, siapa kamu dan apa sebenarnya tempat ini?”

Si cebol berhenti sejenak. Tubuhnya menggigil sedikit.

“Kutanya sekali lagi, siapa kamu? Di mana ini?”

Yang ditanya kembali melangkah maju. “Maaf Bapak, tapi itu informasi rahasia. Bukan saya yang berhak berbicara mengenai hal itu. Tapi Bapak berhak tahu nama dan pekerjaan saya. Shoalcoel_#198, bisa dipanggil Sho atau Coel. Saya cuma satpam di sini, Bapak Mujimuji. Sekali lagi cuma satpam. Bahkan saya tidak sedang ada di posisi untuk memberitahukan hal-hal kurang penting seperti percakapan tadi, yang lebih baik kita berdua anggap seolah tidak pernah terjadi.”

Muji makin kebingungan. Maka sisa koridor pun dilalui dalam diam, hingga mereka berdua mencapai sebuah pintu. Sho menyeringai, membuat pintu terbuka.

“Jangan salahkan saya Pak, ini gara-gara selera humor aneh atasan saya,” bisiknya di telinga Muji sebelum menghilang entah ke mana.

Meninggalkan Muji yang terperangah, melihat pemandangan di depannya dengan mulut menganga. Sebuah bank, lengkap bersama kursi-kursi tunggunya, tiang-tiang berwarna acak yang jelas-jelas terinspirasi batu marmer di dunia nyata, beberapa meja bersekat tempat nasabah bertransaksi dengan teller muda (meskipun kata ‘muda’ di sini bisa jadi tidak relevan lagi di virtopia.com), dan sebuah triptik televisi di tengah-tengah, bersandar pada salah satu tiang. Tiga televisi berbeda, menayangkan gambar-gambar berbeda, tapi inti semuanya sama : iklan MemoryBank v1.0, dengan jingle repetitif yang sulit keluar dari telinga. Happy memory, nostalgia and prosperity, change your mind with MemoryBank!

“Panggilan kepada nasabah kami, Tuan Mujimuji_@3m, diharap segera menuju meja nomor 1. Sekali lagi, panggilan kepada nasabah kami...”


message 2: by Dan (new)

Dan T.D. (dantd) | 8 comments Muji menoleh ke arah meja yang dimaksud. Satu-satunya meja bersekat yang diisi teller. Dia pun berjalan ke sana, tak sempat memikirkan apapun selain apakah dia masih terkena halusinasi dari efek connection atau dia sedang benar-benar ada di sebuah bank memori. Sebelum dia mencapai sebuah kesimpulan, dia mendapati dirinya sudah duduk di depan sang teller.

Seorang wanita botak berbulu mata lentik dan berkulit coklat. Seringai lebar terpasang di mulutnya.

“Selamat datang, Bapak Mujimuji_@3m, saya Chris_t444, teller di sini, siap melayani anda. Boleh saya panggil Muji?” tanya wanita itu dengan suara lembut. Bahkan saat membuka mulut ia berusaha untuk mempertahankan seringainya, meski gagal.

“O... ke.”

“Baik. Bapak Muji, untuk transaksi penarikan memori, betul?”

“Maksud anda?”

“Anda berencana mengambil kembali memori anda yang hilang. Bukan begitu, Pak Muji?”

“Dari mana anda tahu?”

“Maka saya sarankan anda untuk memilih transaksi penarikan memori.”

Muji diam sebentar, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang baru saja si teller bicarakan, dan kenapa dia bisa ada di sini.

“Jika anda tidak ingin mengembalikan memori anda yang hilang tentang siapa sebenarnya anda di dunia nyata, tidak apa-apa. Saya ingatkan Pak, ini bisa jadi satu-satunya kesempatan anda,” lanjut si teller dingin.

“Tapi aku tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini, MemoryBank ini tempat apa dan letaknya di mana, bahkan kenapa kau tahu ingatanku yang satu itu hilang!”

“Ya atau tidak, Pak Muji? Kalau ya, kami akan membantu dengan senang hati. Kalau tidak, satpam kami akan menendang anda keluar, dan bersiaplah ucapkan sampai jumpa pada dunia nyata. Bagaimana?”

Muji menelan ludah. “Baiklah.”

“Kalau begitu mohon berdiri.”

Si pria bingung, tapi patuh, dan segera berdiri.

“Sebentar lagi avatar anda akan segera diteleportasi menuju brankas penyimpanan memori. Tenang saja. Setelah selesai anda akan kembali diteleportasi ke sini, kemudian keluar kembali ke Junk Domains. Atau anda memilih kembali langsung ke rumah anda, di Jalan Village People No.88AB, Middle Neighbourhood?”

“Kembali ke rumah saja.”

“Baik. Bersiap untuk teleportasi... 3, 2, 1.”

******

Ketika membuka mata, Muji sudah berada di tengah-tengah sebuah ruangan kecil penuh brankas, duduk di hadapan sebuah meja kelabu dan seseorang yang entah pria atau wanita, karena bulu matanya lentik dan kukunya indah tapi tangannya besar dan rambutnya cepak. Dia mengenakan seragam biru, dilengkapi banyak saku. Satu-satunya persamaan antara dirinya, si teller, dan si satpam adalah seringai lebar di mulut yang selalu terpasang.

“Selamat datang, Pak Muji. Saya Bren99, teknisi merangkap operator. Selamat datang di MemoryBank v0.907, dalam bentuk harfiah tentunya, karena di sekeliling anda semuanya brankas. Memori, baik memori anda, saya, maupun orang lain. Ah, sebenarnya semua brankas ini cuma bentuk fisik palsu, cuma representasi, seperti avatar kita berdua ini. Semua kumpulan data, nomor-nomor biner, 1, 0, 1, 0, 1, 0, dan seterusnya sampai membentuk kenangan.” Suaranya pun bisa jadi suara pria atau wanita. “Jadi, anda ke sini untuk transaksi penarikan memori, bukan begitu?”

“Iya,” jawab Muji ragu.

“Oke, tapi saya harus peringatkan anda dulu. Anda punya dua pilihan. Yang pertama, saya langsung suntikkan memori itu di kepala anda dan semua selesai. Dan sebelum anda bertanya bagaimana kalau ada kejadian salah suntik, tenang saja, di sini juga ada alat penyedot yang bisa mengambil kembali secara spesifik memori salah orang tadi selama suntikannya masih dalam rentang waktu 1 jam.”

“Yang kedua?”

“Anda bisa melihat lebih dulu memori anda melalui fitur terbaru kami, MemoryView™ seperti melihat film. Saya pribadi sarankan yang ini, Pak Muji. Jelas lebih aman.”

Muji menggeretakkan giginya. “Yang pertama saja.”

“Anda yakin?”

“Jelas yakin. Pokoknya cepat. Cepat!”

“Kalau begitu mohon tanda tangan di kontrak ini,” ujar Bren sambil menekan sebuah tombol di salah satu kaki meja itu. Kumpulan huruf muncul dari permukaan meja, membentuk paragraf-paragraf panjang penuh kata-kata formal. “Tenang saja, meja itu terhubung dengan sistem digital kami.”

Si nasabah pun menandatangani kontrak itu memakai jari telunjuknya, sementara tangan si teknisi meraih sebuah brankas di barisan atas. Bren mengambil sebuah suntikan merah berisi cairan biru dari dalam brankas itu.

“Tolong tutup mata anda,” pinta Bren. Maka yang diminta menutup matanya. Diiringi rasa tegang dan hati-hati si teknisi pun mengarahkan suntikan ke pelipis Muji, kemudian menusukkannya perlahan-lahan hingga cairan biru di dalamnya habis.

Akibatnya mata si nasabah terbuka lebar. Melotot. Otaknya panas dan kacau. Saat semua sensasi itu lenyap, yang tersisa hanya gemetar. Baik di tangan, di hati, maupun di seluruh tubuh. Lalu muka Muji mulai berubah merah.

“Ada apa pak?” tanya Bren keheranan.

“I-ini... ini... bukan ingatanku. Bisa aku dapat yang lain?”

“Bukan ingatan anda? Tapi tadi sudah jelas itu data yang terdaftar atas nama Mujimuji_@3m!”

“Tidak, ini pasti salah. Ini pasti salah! Kembalikan ingatanku yang sebenarnya!”

“Kalau begitu saya sarankan lagi opsi kedua. Mungkin masuknya memori tadi terlalu banyak dan anakronistik, sehingga anda pusing dan tidak percaya. Bagaimana?”

“Baiklah.”

“Sekarang tutup mata anda lagi. Saya akan aktifkan alatnya.”

Muji kembali menutup mata. Saat membukanya, yang dia lihat bukan lagi ruangan sempit penuh brankas, melainkan sebuah gang sempit dan bau antara gedung-gedung tinggi. Ini dunia nyata? Di gang itu duduk seorang lelaki –tidak, seorang kakek. Sepertinya pemulung. Atau pengemis. Atau tunawisma. Atau ketiganya.

Orang itu beranjak dari tanah dan mulai melangkah keluar dari gang. Muji tidak ikut berjalan, tapi tahu-tahu tubuhnya bergerak sendiri mengikuti si kakek. Ada apa ini? Apa dia itu... tidak, mustahil. Mustahil. Si kakek berjalan terus hingga mencapai jalan raya. Meskipun ‘raya’ tidak lagi tepat untuk menggambarkannya; jalan itu penuh lubang, berdebu, dihiasi sampah di mana-mana, begitu pula trotoarnya yang sudah tidak rata dan tidak berbentuk.

Si kakek melirik kiri kanan jalan itu. Bukan, bukan untuk melihat apa ada kendaraan melintas. Transportasi konvensional seperti itu sudah mulai ditinggalkan manusia. Dipandangnya gedung-gedung yang mengapit jalan, satu gedung cerah dan lima gedung kusam. Dilihatnya manusia-manusia yang berlalu lalang, tepat 11 orang. Baju mereka. Celana mereka. Wajah mereka. Tidak ada yang terlihat berada. Semua mirip kakek itu.

Dan semua memandang ke arah satu gedung yang cerah itu. Yang amat tinggi, berwarna putih, berjendela kaca biru, dan berpuncak kerucut. Si kakek berjalan ke arah gedung itu. Di pintunya tertulis, “Log-In Facility, District 782 Branch”. Dan tanpa keraguan dia masuk ke ruang tamu gedung, diikuti Muji.

Interior ruangannya bersih, kontras dengan lingkungan di sekitarnya, dan dipenuhi warna putih : keramik putih, meja putih, kursi putih, dinding putih. Ada beberapa lift menuju lantai-lantai atas. Orang-orang di dalam sibuk, terus bergerak, berjalan dari lift satu ke lift lain, dari lift ke pintu keluar, dari pintu masuk ke meja resepsionis... namun si kakek diam. Hanya memperhatikan seorang pria jangkung berdasi yang berjalan pelan-pelan keluar. Setelah beberapa detik, si kakek memutuskan untuk bergerak. Membuntuti pria itu. Tepat saat pria itu ada di depan pintu keluar, tangan si kakek bergerak, mengambil dompet di saku si jangkung.

Tak ada yang melihat. Si kakek pun membuka dompet hasil curian itu penuh senyum kebanggaan, sambil berharap di dalamnya masih ada uang fisik yang sudah langka. Dan harapan itu terkabul; di antara kartu bank dan kartu identitas, terselip tiga lembar uang kertas dan dua keping uang receh. Segera dia beranjak menuju salah satu lift, yang membawanya naik ke lantai 77.

Dengan hati riang gembira kakek itu segera berlari sekeluarnya dari lift, menuju sebuah kamar. Kamar 77-0011. Lampu di samping pintunya hijau. Senyum si kakek makin lebar. Dia masuki kamar itu, yang berisi sebuah tabung seukuran tubuh manusia, sebuah layar monitor sentuh, dan lubang untuk memasukkan uang atau menggesek kartu bank. Jari si kakek langsung memainkan monitor itu, mengetikkan username di kolom yang tersedia. Muji mendekat, ingin memastikan apakah si kakek ini dia atau bukan. Matanya pun melirik ke arah kolom itu, yang bertuliskan “Mujimuji_@3m”.

Tidak. Ini mustahil! Absurd!

“Tidak mungkin!”

“Pak Muji? Anda baik-baik saja?”

Muji melihat sekelilingnya. Dia sudah kembali di ruang brankas penyimpanan memori bersama Bren si teknisi.

“Ini bukan memoriku. Bisa kau ambilkan yang lain?”

“Baik.”

Maka Bren menyedot kembali memori hasil suntikan itu, mengambil suntikan baru, dan menyuntikkannya ke pelipis Muji.

“Kenapa kau ambil memori yang sama? Ambil yang lain, bodoh!”

“Tapi Pak Muji-“

“Cepat!”

Dan Bren pun mengulangi proses yang tadi dilakukannya. Hasilnya sama lagi. Dan lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Kepala Muji jadi merah jambu karena panas. Penglihatannya tak stabil.

“Goblok kau. Mestinya kau ambil memori yang beda! Kenapa selalu sama?”

Bren mendehem. Seringai yang selalu menghiasi mulutnya hilang. “Biar kuberitahu kenyataannya, Pak Muji. Seperti yang sudah saya katakan berkali-kali, suntikan dan brankas ini hanya representasi. Kemungkinan salah memori yang saya suntikan ke pelipis anda adalah nol persen. Anda mengerti? Nol persen. Yang saya suntikkan berkali-kali memang memori anda.”

“Absurd! Kalau begitu kau tadi menipuku!”

“Maaf, tapi itu memang sudah protokol kami. Saya berkata mengenai prosedur yang harus dilakukan ketika ‘salah suntik’ murni karena anda bukanlah yang pertama. Oh ya, sebelum anda pun sudah ada banyak nasabah, atau mungkin tepatnya beta tester, yang mengeluhkan hal sama. Mungkin salah kami, mungkin salah anda, tapi justru karena kasus ini berulang-ulang kami menyimpulkan bahwa kami tidak salah.”

“Omong kosong! Bacot! Aku ini bodyguard ternama, bukan pengemis! Aku sudah sering menapaki Eden Street! Semua pengusaha yang ada di sini, mereka menyewaku! Mempercayaiku! Tidak mungkin kalau orang segagah aku di dunia nyata cuma tunawisma tukang copet! Ganti lagi memori yang lain!”

“Baik, Pak Muji, tapi kali ini anda bisa terkena bahaya. Anda sudah berkali-kali disuntik memori. Lihat warna kepala anda!”

“Aku tak peduli! Cepat! Bukankah kau dibayar untuk memenuhi keinginan nasabah?”

Bren tidak bisa menolak. Toh bukan tanggung jawabku juga. Disedotnya memori yang terakhir dia suntikkan, dia ambil suntikan baru, dia suntikkan jarumnya ke pelipis si nasabah. Mata Muji melotot. Mukanya makin merah. Otaknya makin panas. Tahu-tahu sepasang bola mata itu keluar, lepas dari kepala. Busa keluar dari mulutnya. Kepalanya pun meledak, diikuti tubuhnya. Pecahan-pecahan yang tersisa menghilang menjadi data liar.

“Satu lagi korban sakit kenangan... semoga semua data itu tak terbuang sia-sia.”

-----------------------------------------
ending song : Chuck Person - Eccojam A3


message 3: by Oni, The Dispossessed (new)

Oni (onisur) | 464 comments Mod
sip, thanks for posting. komentar menyusul.


message 4: by Jokoloyo, Waldo (new)

Jokoloyo | 880 comments Mod
Sekedar info, di Group discussion sebelah, cerpen ini menjadi juara bulan Agustus 2013.


message 5: by Jokoloyo, Waldo (new)

Jokoloyo | 880 comments Mod
Selamat kepada Dan.


message 6: by Dan (new)

Dan T.D. (dantd) | 8 comments ^makasih :3


back to top