Ageng Indra > Recent Status Updates

June ini ga bikin simpatik, tapi relatable. Alasan pembenaran dirinya terkesan jahat, xtapi bisa dimengerti kenapa dia gitu. Kuang bisa menuliskan kompleksitas June yang inferior, merasa bersalah karena ga berkabung, dll. Tapi aku curiga juga dia unreliable character, nulis buku ini buat bikin versi cerita sendiri, padahal kejadiannya ga gitu. Potensial buat suspense kalau iya, tapi bakal ke mana-mana wkwk

Baru baca Rampo sama Motojiro.
Rampo asik. Dia masterclass soal bikin tokoh merasa ga nyaman dengan cara sangat simpel.
Motojiro juga menarik. Caranya mendeskripsikan sesuatu personal sekali, tapi relatable

World buildingnya seno canggih. Dunia di cerita punya dua layer: dimensi pewayangan & dimensi (katakanlah) kenyataan. Tapi sedari awal, keduanya tidak dipisah. Seno menceritakannya secara pararel, menghubungkan keduanya dengan peristiwa ataupun tokoh yang sama-sama ada di kedua dimensi. Seakan Maneka hidup di realitas yang sama dengan Hanoman. Malah pemisahannya yang dibangun perlahan, baru tampak di halaman 200an.

Aku suka cerita Hanuman & Trijata. Terutama di bagian dua Hanuman, penulisannya Seno bagus mengupas alur berpikirnya Trijata.

Quality 😙🤏

Dahsyat 😆

Akhirnya tembus 50 halaman. Padahal seru, tapi ga pernah bisa baca lebih dari 10 halaman sekali duduk. Entah kenapa ngantuk mulu huhu

Poin menarik yang di kepalaku masih paradoks:

1) Begitu uang terlibat sebagai insentif, motif-motif lain yang tadinya bisa menggerakkan manusia (tanggungjawab, moral, kepedulian, etika, emosional, budaya, idoelogi, kesetiaan) kerap menyingkir.
2) Tapi dalam suatu kerja (dicontohkannya kerja keperawatan, atau urusan rumah tanggah), reward berupa uang perlu ada sebagai pengakuan.

Mensistesiskan keduanya jadi PR wqwq

Saat merasa argumen soal manusia ekonomi mendek karena macam mengulang saja sejak halaman 80an, di titik ini dapat insght menarik lagi: "insentif ekonomi, mengubah parameter situasi". Saat imbalan uang masuk ke ranah yang tadinya bukan bisnis, motif-motif lain (tanggungjawab moral, emosional, budaya) pergi. Di banyak kasus, ini mematikan inisiatif. Sebab saat dibayar, kita cenderung bertindak sebatas apa yang dibayar

Demonstrasi soal bagaimana "kadang-kadang yang terbaik adalah jika pemerintah melupakan kita"

Gugatan utama Katrine Marçal di separuh awal buku ini ialah soal bagaimana ilmu sosial terjerembab dalam positivisme. Diskriminasi kelompok tertenru dalam perekonomian dan masalah ekonomi global pada dasarnya adalah turunan dari penyederhanaan ilmu ekonomi yang didekati dengan logika fisika-matematika semata.

Seru banget. Alur berpikirnya runtut, jadi saya yang awam banget soal ekonomi bisa ngikutin perjalanan bagaimana ilmu ekonomi dirumuskan dan dampak turunannya, sekaligus skenario alternatif yang diabaikan sama para ekonom. Tentu ga cukup untuk bikin "paham", tapi kalau dibaca sebagai pengantar, sejauh 58 ini, rasanya Katrine ngasih pijakan yang cukup kokoh untuk menentukan posisi dalam melihat masalah ekonomi .

Belum apa-apa, saya sudah disuguhi setting yang bikin sesak hidup tokoh-tokoh di dalamnya. Kota dan desa di mana polisi bisa semena-mena, tanpa alasan dan keuntungan yang jelas, dihidupkan lewat pengalaman tokoh yang terdampak langsung sampai tak punya jalan keluar karena oknum bukan segelintir, tapi merata di tiap titik jaringan. Sudah lama tidak baca cerita yang bisa bikin dunianya terasa senyata ini.

Mulai baca tanpa tahu apa pun soal buku ini dan penulisnya, tapi baca dua esai, langsung tau ini penulis jago