jeeayore’s Reviews > Homo Deus: A History of Tomorrow > Status Update

jeeayore
jeeayore is on page 250 of 450
May 25, 2025 09:48AM
Homo Deus: A History of Tomorrow

flag

jeeayore’s Previous Updates

jeeayore
jeeayore is on page 300 of 450
Harari bukan sekadar menarasikan sejarah, tapi menguliti ilusi kolektif kita. Ia menunjukkan bagaimana agama—yang dulu melahirkan universitas dan seni—kini hanya jadi komentator reaktif.

Yang menulis ulang masa depan bukan nabi atau imam, tapi ilmuwan, filsuf, dan teknokrat.
Sep 19, 2025 06:11AM
Homo Deus: A History of Tomorrow


jeeayore
jeeayore is on page 300 of 450
Sep 19, 2025 06:02AM
Homo Deus: A History of Tomorrow


jeeayore
jeeayore is on page 215 of 450
May 23, 2025 11:57PM
Homo Deus: A History of Tomorrow


jeeayore
jeeayore is on page 165 of 450
Apr 11, 2025 09:17PM
Homo Deus: A History of Tomorrow


jeeayore
jeeayore is on page 140 of 450
Apr 02, 2025 01:23AM
Homo Deus: A History of Tomorrow


jeeayore
jeeayore is on page 74 of 450
Mar 28, 2025 12:39PM
Homo Deus: A History of Tomorrow


Comments Showing 1-1 of 1 (1 new)

dateUp arrow    newest »

jeeayore Di buku ini, Harari cerita:
dulu, Eropa adalah tempat yang sangat berbahaya bagi siapa pun yang berpikir berbeda. Orang bisa dibakar hidup-hidup hanya karena punya tafsir agama yang lain. Ilmuwan bisa diadili karena bilang bumi mengelilingi matahari. Bahkan sekadar mempertanyakan ajaran gereja bisa dianggap kejahatan. Kota-kota Eropa waktu itu dikontrol ketat oleh satu tafsir agama yang tak boleh diganggu gugat.

Sementara itu, kota-kota besar dunia Muslim seperti Istanbul justru jauh lebih plural. Sunni, Syiah, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan dalam satu kota. Setiap komunitas menjalankan ibadah dan hukum internalnya sendiri. Tafsir agama tidak diseragamkan secara paksa—karena yang lebih diutamakan saat itu adalah stabilitas kekaisaran, bukan keseragaman keyakinan.

Sekarang, ironisnya justru terbalik. Di banyak negara Muslim, tafsir agama makin dipolitisasi—disatukan, dipaksakan, dan dijadikan alat kontrol. Perbedaan dianggap penyimpangan. Sementara di belahan dunia lain, sains justru diperlakukan seperti kebenaran mutlak. Apa pun yang dianggap “ilmiah” langsung dianggap benar dan suci, meski kadang mengabaikan empati, konteks sosial, atau makna hidup.

Di tempat agama jadi alat kuasa → lahir intoleransi dan kekerasan atas nama kebenaran.
Di tempat sains jadi alat kuasa → lahir pembungkaman etika dan penyeragaman atas nama kemajuan.

Cerita apa pun—baik agama maupun sains—bisa membebaskan, bisa juga membungkam.
Yang membedakan bukan isi ceritanya,
tapi siapa yang memegang mikrofon, dan untuk siapa cerita itu disampaikan.


back to top