Dian Nafi's Blog - Posts Tagged "piatu"
BUKAN IBUKU
Aku jatuh terduduk bersandar salah satu kolom di lorong yang penuh wajah-wajah kusut. Kutelungkupkan wajahku di antara dua kakiku yang tertekuk. Berusaha menutup pendengaranku dengan kedua lutut yang kurapatkan ke telinga. Tetapi tetap saja suara napas berat dan tenggorokan yang bergetar hebat seperti suara binatang yang terluka itu menelusup ke dalam kepalaku. Tak pernah hadir dalam pikiranku sama sekali sebelumnya, kalau wanita tegar itu bisa menjadi selemah sekarang. Tak berdaya. Aku sampai tidak tega melihatnya dalam napas satu satu begitu.
Namun matanya tadi sempat menangkap kedatanganku. Karena dengan suara serak, beliau memanggil namaku saat aku hendak menuju pintu keluar kamar VIP tadi.
“Syarif,” lirihnya.
Kepalaku menoleh. Kulihat tangan beliau melambai lemah padaku. Tangan yang penuh kerut dan tampak makin menghitam dari hari ke hari.
“Nggih, budhe,” aku kembali berjalan mendekat ke arah beliau.
Dengan kepala yang langsung tertunduk begitu bersitatap dengan matanya yang redup dan layu.
“Kenapa memanggilku budhe lagi, Rif. Aku kan ibumu,” suaranya nyaris tak terdengar.
Namun aku bisa melihat harapan di dalam matanya. Tatapan permintaan. Pakdhe Bowo memberikan isyarat padaku dengan matanya. Seolah sebuah permintaan juga padaku. Mungkin semacam kode bahwa sebaiknya aku sekali ini mengalah. Seolah ini waktu-waktu sisa usia budhe. Seolah ini kesempatanku yang terakhir.
Kualihkan mataku ke sembarang arah meski langkahku makin merapat ke ranjang berseprai putih itu.
“Naaaang….Syarif…” wanita yang kesegarannya terenggut penyakit entah apa namanya itu meraih lenganku. Lemah, tanpa daya.
Aku menangkap jemarinya dengan cepat sebelum terkulai. Budhe-ku, kakak dari almarhum ibuku, dengan sisa kekuatannya menggenggam erat jemariku. Membawanya dekat dengan dadanya yang naik turun, menjaga agar parunya tetap terus bernafas. Tak tertahankan lagi, air mata yang mati-matian kutahan akhirnya luruh. Menitik. Menetes jatuh di atas tangan kami yang saling menggenggam.
“Aku ibumu, nak,” keluhnya melihat bibirku yang masih terkatup rapat.
Beliau tidak perlu tahu. Gigi-gigiku saling bergemeretak di baliknya. Menahan geram dan teriakan yang mungkin terlepas jika mulutku terbuka.
“Kemarin aku ibumu. Sekarang aku ibumu. Dan selamanya aku ibumu,” suaranya yang makin melemah terdengar seperti keluhan yang ditujukan budhe untuk dirinya sendiri.
Air mataku menderas. Bukan aku tidak mau memanggil atau mengakui budhe sebagai ibuku. Tetapi aku yang merasa tidak pantas menjadi putranya. Betapa tidak berterima kasihnya diriku. Budhe mengasuhku sejak aku masih belum masuk taman kanak-kanak. Terus bersabar pada diri dan kelakuanku yang sering acak-acakan. Sampai aku sebesar ini. Sampai diriku yang bebal ini duduk di bangku kelas tiga SMP.
“Riiiif..” suaranya makin melemah.
Tiba-tiba kemudian genggamannya mengendur, jemarinya melepaskan tanganku dan kepalanya terkulai lemah. Aku teriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Pakdhe Bowo buru-buru memanggil dokter dan perawat lewat nurse-call. Anak sulung budhe yang berdiri dekat pintu, langsung berlari keluar sembari meneriakkan nama dokter yang menangani perempuan di depanku ini.
Aku terkulai lemah di sisi pembaringannya. Kepalaku terasa berat. Kakiku lemas. Seseorang entah siapa membantuku bangkit berdiri dari lantai rumah sakit yang dingin. Hanya sempat kulihat kaki-kaki orang-orang tercintaku keluar satu persatu dari kamar berbau obat-obatan itu.
Di luar kamar, di lorong, anak-anak budhe bergerombol dengan adik-adiknya budhe. Pakdhe, berdiri termenung di salah satu sudut. Aku melepaskan diri dari mereka dan memilih meringkuk di sini.
Saat sesenggukan sepupuku berubah menjadi raungan, kepalaku spontan mendongak. Ya Allah, apa yang terjadi. Jangan Kau ambil beliau dulu ya Rabb. Aku masih belum memenuhi permintaannya, untuk memanggilnya ‘Ibu’ lagi. Seperti ketika pertama kali aku datang dulu. Beberapa tahun yang lalu.
**
Saat itu mataku mengembun. Hatiku gerimis. Meski ruangan dalam rumah besar berdinding papan kayu ini sangat lebar tapi terasa sempit mendesak jiwa dan batinku.
“Jangan dimarahi dan dipukul terus begitu, bu,” sebuah suara datang dari arah ruangan paling depan dari rumah tua ini.
Budhe berlari dan bersigap menahan tangan simbah putri dari menyentuh punggung dan pantatku lagi. Aku yang sedari tadi meringis kesakitan, langsung menarik nafas lega.
“Katamu kemarin-kemarin jangan memanjakan Syarif,” simbah putri menyangkal kalimat budhe.
Meski kalimatnya keras, matanya masih memandangku dengan pedas, tapi simbah putri melepaskan tangannya. Urung menyentuh badanku lagi. Untunglah budhe, bidadari penolongku itu datang tepat pada waktunya. Entah jam berapa beliau berangkat dari Magelang. Sehingga sepagi ini, bahkan sebelum matahari terbit, beliau sudah sampai. Di kota kecil tempat aku diasuh nenekku sejak lahir tanpa air susu ibu. Perempuan pemilik rahim yang mengandungku itu bahkan tak pernah kulihat wajahnya dengan jelas. Aku masih berusia tiga bulan saat kanker paru merenggutnya nyawa dan kehidupannya.
“Dia tidak lahir untuk dimanja atau dimarahi. Nyuwun pangapunten, ibu,” budhe bersimpuh di kaki simbah putri.
Dengan penuh kelembutan dan takzim budhe menciumi telapak dan punggung tangan simbah putrid. Bolak balik. Kebiasaan di lingkungan pesantren dan keluarga santri kadang sama dengan adab dan adat kebiasaan di keraton-keraton. Bahkan mungkin kadang ada yang sedikit berlebihan.
“Ibu sudah makin sepuh. Nyuwun sewu lho bu,” jemari budhe membelai telapak tangan simbah putri yang berkerut-kerut.
Budhe terus-terusan meminta maaf pada simbah putri. Mungkin kesopanan dan penghormatan itu pula yang menyebabkan budhe menjadi salah satu anak kebanggaan simbah putri. Di samping kenyataan bahwa saat ini budhe adalah satu-satunya anaknya yang sudah mendirikan dan memiliki pondok pesantren.
“Memang aku sudah tua, nduk. Sedhelok maneh aku lungo,” sebentar lagi aku pergi. Kalimat simbah putri menyebabkan budhe menangis lebih hebat.
“Panjang yuswo, bu. Mugi ibu panjang yuswo. Tapi saya minta ijin untuk mengasuh Syarif, bu. Supaya ibu tidak terlalu capek. Syarif semakin besar, semakin kuat. Ibu sudah tidak kuat menggendongnya lagi seperti dulu,” sembari mencoba menghapus air matanya, budhe terus membujuk simbah putri.
Aku beringsut meninggalkan ruangan tengah rumah simbah putri. Sesampai di ruang tamu, bergegas aku melarikan diri ke warnet dekat rumah untuk main game-online yang membuatku keranjingan.
**
Hanya selang beberapa hari sejak kejadian itu, simbah putri menjadi makin payah kondisi kesehatannya. Sepupu-sepupu dan budhe-budheku bilang mungkin karena aku dibawa pergi dari rumah simbah putri oleh budheku. Diboyong ke rumah dan pesantrennya di Magelang.
“Aku sekarang ibumu, Rif. Panggil aku ibu,” ujar budhe lembut sembari mendekapku.
Lengannya yang hangat membenamkanku dalam pelukannya. Aku menemukan apa yang kucari selama ini. Simbah putri terlalu tua untuk menjadi ibuku. Dan beliau tidak mengijinkan ayahku membawa Syarif kecil waktu itu karena tidak menginginkan aku dipeluk yang bukan ibuku. Ibu tiri terkenal sebagai seseorang yang kejam, dalam cerita dan mitos-mitos.
“Ibu…” lirihku sembari memeluk budhe erat-erat.
Budhe, ibu baruku, melimpahiku dengan kasih sayang yang penuh. Aku segera nyaman oleh kehangatan keluarganya, suaminya yang sekarang kupanggil ‘Abah’, ketiga sepupuku yang menyayangiku. Belum lagi santri-santri, anak didik budhe-ku, sangat menyayangiku juga.
Namun beberapa waktu kemudian kusadari bahwa tempat itu hanya ramai di dalam kompleks pesantren. Tetapi sesungguhnya kampung dan dusunnya sungguh sepi, di kaki gunung Merbabu. Dalam kompleks yang berpagar dan beraturan ketat. Sehingga aku tidak bisa lagi main game sesukaku.
Sebagai pelampiasan dari keinginan yang tidak terpenuhi, aku memberontak. Tapi kepandaiannya mengelus jiwa membuatku kembali takluk padanya. Aku masih memanggilnya ‘Ibu’ dan mengikuti aturannya meski sesekali melawan.
Budhe masih terus menyayangiku meski aku terus menerus melakukan perlawanan. Aku baru menyadarinya sekarang. Bahkan dia masih menganggap aku anaknya meski aku berhenti memanggilnya ‘Ibu’ suatu ketika.
“Kamu yakin akan ikut dengan ayahmu?” budhe menanyaiku pagi itu ketika kusampaikan maksudku.
Ayah menemuiku di pesantren tempatku mondok di Kudus sejak aku duduk di bangku SD sampai SMP.
“Iya,” jawabku pendek.
Seharusnya budhe tahu ayahku masih berhak atas diriku.
“Dia belum tentu bisa menghidupi dan menyekolahkanmu dengan layak jika kamu ikut dengannya ke Malaysia. Dia kan masih mau merintis kerja,” budhe mencoba meraih bahuku.
Namun aku mengelak. Selama ini aku juga tunduk dan takluk padanya gegara aku membiarkan perempuan ‘penguasa’ ini menyentuh bahuku. Dia dengan mantra dan bujukan ajaibnya memang menaklukkan semua orang. Suaminya, anak-anaknya, santri-santrinya, termasuk aku. Sekarang aku Cuma mau bebas. Aku membayangkan segera bisa berjalan-jalan ke Malaysia.
“Bagaimana kalau tidak sukses di sana? Apa kamu mau menggelandang? Masa depanmu lebih terjamin di sini bersama Ibu,” budhe mencoba sekali lagi meraih bahuku.
“Budhe bukan ibuku!” sahutku cepat. Tajam. Ketus.
Kulihat matanya membelalak. Mulutnya menganga. Aku berkelit cepat dari sisinya. Semakin lama menatapnya yang bisa kulihat budhe makin menyerupai simbah putri. Yang memandang ayahku sendiri sebagai seorang pecundang. Seseorang yang dulu pernah berbohong dengan mengaku sebagai jejaka agar bisa menikahi perempuan yang kemudian menjadi ibu kandungku. Seseorang yang dipaksa pergi dari rumah besar simbah putri selepas peringatan seratus hari kematian ibu kandungku. Keluarga besar tidak menginginkan lagi kehadirannya. Mungkin dianggap akan mengambil harta warisan yang menjadi jatah ibu kandungku.
**
“Syarif…” suara pakdhe dekat di telingaku.
Beliau yang sama penyayangnya dengan budhe, tampak mengkhawatirkan diriku. Matanya yang makin berkantung karena menunggui budhe berhari-hari selama di rumah sakit mengawasiku lembut.
“Ibu..ibu..” suaraku lemah.
Mungkin aku tadi tidak sadarkan diri. Atau mungkin berada di ambang batas antara kesadaran dan ketidaksadaran.
“Iya, nak. Ibumu…” pakdhe mengecupku lembut di kening.
Sama seperti saat beliau mengecup kening sepupu-sepupuku yang adalah anak-anaknya sendiri. Aku meraba-raba apa yang terjadi. Tidak mungkin budhe sudah lewat kalau pakdhe masih bisa menyapaku di sini, jatuh terduduk di kolom yang sama, di lorong yang sama.
“Ibu..?” aku takut bertanya tapi toh bertanya juga.
“Dia mau bertemu semua orang. Dia mau bertemu kamu,” pakdhe membimbingku bangkit.
Dengan langkah-langkah yang sama panjang, kami berjalan cepat menuju kamar budhe.
“Anakku..” budhe melambai ke arahku.
Ketiga anaknya berdiri di sisi pembaringannya. Keempat adiknya budhe, yang adalah budhe-budheku juga, berdiri rapat di dekat mereka. Kurasa almarhumah ibu kandungku yang menjadi adik bungsu mereka, juga ada di sini. Hadir bersama kami.
“Ibu…” lirihku sembari menghambur ke dalam pelukannya.
Ketakutan menyergapku. Apakah ini saatnya? Apakah ibuku yang ini juga akan segera berkumpul dengan ibuku di alam lain. Yang tak terjamah. Yang tak terlihat.
“Iya, nak. Aku ibumu. Selamanya ibumu,” suara ibu seperti tertelan sedu sedan tangis orang-orang yang mengelilinginya. Juga tangisku sendiri, yang pecah tak tertahankan.
“Ibu… jangan pergi, bu. Jangan pergi….” Aku meraung-raung.
Ketiga sepupuku memeluk aku dan ibu mereka. Kami bertangisan cukup lama. Tapi bisa kulihat wajah ibuku yang penyayang tapi disiplin itu berseri. Membuat jeritan kami makin meninggi. Wajahnya tersenyum saat matanya perlahan-lahan mengatup.
“Ibuuuuuu…”
Kulihat dua ibuku bergandengan tangan dan melambaikan tangan mereka ke arahku. Aku tahu, bu. Kalian terlalu cantik dan mulia untuk terus berada di dunia yang makin carut marut ini. Aku tahu.
Aku tahu, bu. Aku masih belum lagi pantas menjadi anak kalian yang tak pernah mengenal sakit hati. Aku tahu.
Aku tahu, bu. Kalian bahkan masih mendoakanku di alam sana meski aku masih harus tertatih belajar. Belajar berterima kasih, belajar bersyukur, belajar bersabar, dan belajar banyak hal lainnya tentang kehidupan.
Aku tahu, bu. Karena kalianlah ibuku.
Namun matanya tadi sempat menangkap kedatanganku. Karena dengan suara serak, beliau memanggil namaku saat aku hendak menuju pintu keluar kamar VIP tadi.
“Syarif,” lirihnya.
Kepalaku menoleh. Kulihat tangan beliau melambai lemah padaku. Tangan yang penuh kerut dan tampak makin menghitam dari hari ke hari.
“Nggih, budhe,” aku kembali berjalan mendekat ke arah beliau.
Dengan kepala yang langsung tertunduk begitu bersitatap dengan matanya yang redup dan layu.
“Kenapa memanggilku budhe lagi, Rif. Aku kan ibumu,” suaranya nyaris tak terdengar.
Namun aku bisa melihat harapan di dalam matanya. Tatapan permintaan. Pakdhe Bowo memberikan isyarat padaku dengan matanya. Seolah sebuah permintaan juga padaku. Mungkin semacam kode bahwa sebaiknya aku sekali ini mengalah. Seolah ini waktu-waktu sisa usia budhe. Seolah ini kesempatanku yang terakhir.
Kualihkan mataku ke sembarang arah meski langkahku makin merapat ke ranjang berseprai putih itu.
“Naaaang….Syarif…” wanita yang kesegarannya terenggut penyakit entah apa namanya itu meraih lenganku. Lemah, tanpa daya.
Aku menangkap jemarinya dengan cepat sebelum terkulai. Budhe-ku, kakak dari almarhum ibuku, dengan sisa kekuatannya menggenggam erat jemariku. Membawanya dekat dengan dadanya yang naik turun, menjaga agar parunya tetap terus bernafas. Tak tertahankan lagi, air mata yang mati-matian kutahan akhirnya luruh. Menitik. Menetes jatuh di atas tangan kami yang saling menggenggam.
“Aku ibumu, nak,” keluhnya melihat bibirku yang masih terkatup rapat.
Beliau tidak perlu tahu. Gigi-gigiku saling bergemeretak di baliknya. Menahan geram dan teriakan yang mungkin terlepas jika mulutku terbuka.
“Kemarin aku ibumu. Sekarang aku ibumu. Dan selamanya aku ibumu,” suaranya yang makin melemah terdengar seperti keluhan yang ditujukan budhe untuk dirinya sendiri.
Air mataku menderas. Bukan aku tidak mau memanggil atau mengakui budhe sebagai ibuku. Tetapi aku yang merasa tidak pantas menjadi putranya. Betapa tidak berterima kasihnya diriku. Budhe mengasuhku sejak aku masih belum masuk taman kanak-kanak. Terus bersabar pada diri dan kelakuanku yang sering acak-acakan. Sampai aku sebesar ini. Sampai diriku yang bebal ini duduk di bangku kelas tiga SMP.
“Riiiif..” suaranya makin melemah.
Tiba-tiba kemudian genggamannya mengendur, jemarinya melepaskan tanganku dan kepalanya terkulai lemah. Aku teriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Pakdhe Bowo buru-buru memanggil dokter dan perawat lewat nurse-call. Anak sulung budhe yang berdiri dekat pintu, langsung berlari keluar sembari meneriakkan nama dokter yang menangani perempuan di depanku ini.
Aku terkulai lemah di sisi pembaringannya. Kepalaku terasa berat. Kakiku lemas. Seseorang entah siapa membantuku bangkit berdiri dari lantai rumah sakit yang dingin. Hanya sempat kulihat kaki-kaki orang-orang tercintaku keluar satu persatu dari kamar berbau obat-obatan itu.
Di luar kamar, di lorong, anak-anak budhe bergerombol dengan adik-adiknya budhe. Pakdhe, berdiri termenung di salah satu sudut. Aku melepaskan diri dari mereka dan memilih meringkuk di sini.
Saat sesenggukan sepupuku berubah menjadi raungan, kepalaku spontan mendongak. Ya Allah, apa yang terjadi. Jangan Kau ambil beliau dulu ya Rabb. Aku masih belum memenuhi permintaannya, untuk memanggilnya ‘Ibu’ lagi. Seperti ketika pertama kali aku datang dulu. Beberapa tahun yang lalu.
**
Saat itu mataku mengembun. Hatiku gerimis. Meski ruangan dalam rumah besar berdinding papan kayu ini sangat lebar tapi terasa sempit mendesak jiwa dan batinku.
“Jangan dimarahi dan dipukul terus begitu, bu,” sebuah suara datang dari arah ruangan paling depan dari rumah tua ini.
Budhe berlari dan bersigap menahan tangan simbah putri dari menyentuh punggung dan pantatku lagi. Aku yang sedari tadi meringis kesakitan, langsung menarik nafas lega.
“Katamu kemarin-kemarin jangan memanjakan Syarif,” simbah putri menyangkal kalimat budhe.
Meski kalimatnya keras, matanya masih memandangku dengan pedas, tapi simbah putri melepaskan tangannya. Urung menyentuh badanku lagi. Untunglah budhe, bidadari penolongku itu datang tepat pada waktunya. Entah jam berapa beliau berangkat dari Magelang. Sehingga sepagi ini, bahkan sebelum matahari terbit, beliau sudah sampai. Di kota kecil tempat aku diasuh nenekku sejak lahir tanpa air susu ibu. Perempuan pemilik rahim yang mengandungku itu bahkan tak pernah kulihat wajahnya dengan jelas. Aku masih berusia tiga bulan saat kanker paru merenggutnya nyawa dan kehidupannya.
“Dia tidak lahir untuk dimanja atau dimarahi. Nyuwun pangapunten, ibu,” budhe bersimpuh di kaki simbah putri.
Dengan penuh kelembutan dan takzim budhe menciumi telapak dan punggung tangan simbah putrid. Bolak balik. Kebiasaan di lingkungan pesantren dan keluarga santri kadang sama dengan adab dan adat kebiasaan di keraton-keraton. Bahkan mungkin kadang ada yang sedikit berlebihan.
“Ibu sudah makin sepuh. Nyuwun sewu lho bu,” jemari budhe membelai telapak tangan simbah putri yang berkerut-kerut.
Budhe terus-terusan meminta maaf pada simbah putri. Mungkin kesopanan dan penghormatan itu pula yang menyebabkan budhe menjadi salah satu anak kebanggaan simbah putri. Di samping kenyataan bahwa saat ini budhe adalah satu-satunya anaknya yang sudah mendirikan dan memiliki pondok pesantren.
“Memang aku sudah tua, nduk. Sedhelok maneh aku lungo,” sebentar lagi aku pergi. Kalimat simbah putri menyebabkan budhe menangis lebih hebat.
“Panjang yuswo, bu. Mugi ibu panjang yuswo. Tapi saya minta ijin untuk mengasuh Syarif, bu. Supaya ibu tidak terlalu capek. Syarif semakin besar, semakin kuat. Ibu sudah tidak kuat menggendongnya lagi seperti dulu,” sembari mencoba menghapus air matanya, budhe terus membujuk simbah putri.
Aku beringsut meninggalkan ruangan tengah rumah simbah putri. Sesampai di ruang tamu, bergegas aku melarikan diri ke warnet dekat rumah untuk main game-online yang membuatku keranjingan.
**
Hanya selang beberapa hari sejak kejadian itu, simbah putri menjadi makin payah kondisi kesehatannya. Sepupu-sepupu dan budhe-budheku bilang mungkin karena aku dibawa pergi dari rumah simbah putri oleh budheku. Diboyong ke rumah dan pesantrennya di Magelang.
“Aku sekarang ibumu, Rif. Panggil aku ibu,” ujar budhe lembut sembari mendekapku.
Lengannya yang hangat membenamkanku dalam pelukannya. Aku menemukan apa yang kucari selama ini. Simbah putri terlalu tua untuk menjadi ibuku. Dan beliau tidak mengijinkan ayahku membawa Syarif kecil waktu itu karena tidak menginginkan aku dipeluk yang bukan ibuku. Ibu tiri terkenal sebagai seseorang yang kejam, dalam cerita dan mitos-mitos.
“Ibu…” lirihku sembari memeluk budhe erat-erat.
Budhe, ibu baruku, melimpahiku dengan kasih sayang yang penuh. Aku segera nyaman oleh kehangatan keluarganya, suaminya yang sekarang kupanggil ‘Abah’, ketiga sepupuku yang menyayangiku. Belum lagi santri-santri, anak didik budhe-ku, sangat menyayangiku juga.
Namun beberapa waktu kemudian kusadari bahwa tempat itu hanya ramai di dalam kompleks pesantren. Tetapi sesungguhnya kampung dan dusunnya sungguh sepi, di kaki gunung Merbabu. Dalam kompleks yang berpagar dan beraturan ketat. Sehingga aku tidak bisa lagi main game sesukaku.
Sebagai pelampiasan dari keinginan yang tidak terpenuhi, aku memberontak. Tapi kepandaiannya mengelus jiwa membuatku kembali takluk padanya. Aku masih memanggilnya ‘Ibu’ dan mengikuti aturannya meski sesekali melawan.
Budhe masih terus menyayangiku meski aku terus menerus melakukan perlawanan. Aku baru menyadarinya sekarang. Bahkan dia masih menganggap aku anaknya meski aku berhenti memanggilnya ‘Ibu’ suatu ketika.
“Kamu yakin akan ikut dengan ayahmu?” budhe menanyaiku pagi itu ketika kusampaikan maksudku.
Ayah menemuiku di pesantren tempatku mondok di Kudus sejak aku duduk di bangku SD sampai SMP.
“Iya,” jawabku pendek.
Seharusnya budhe tahu ayahku masih berhak atas diriku.
“Dia belum tentu bisa menghidupi dan menyekolahkanmu dengan layak jika kamu ikut dengannya ke Malaysia. Dia kan masih mau merintis kerja,” budhe mencoba meraih bahuku.
Namun aku mengelak. Selama ini aku juga tunduk dan takluk padanya gegara aku membiarkan perempuan ‘penguasa’ ini menyentuh bahuku. Dia dengan mantra dan bujukan ajaibnya memang menaklukkan semua orang. Suaminya, anak-anaknya, santri-santrinya, termasuk aku. Sekarang aku Cuma mau bebas. Aku membayangkan segera bisa berjalan-jalan ke Malaysia.
“Bagaimana kalau tidak sukses di sana? Apa kamu mau menggelandang? Masa depanmu lebih terjamin di sini bersama Ibu,” budhe mencoba sekali lagi meraih bahuku.
“Budhe bukan ibuku!” sahutku cepat. Tajam. Ketus.
Kulihat matanya membelalak. Mulutnya menganga. Aku berkelit cepat dari sisinya. Semakin lama menatapnya yang bisa kulihat budhe makin menyerupai simbah putri. Yang memandang ayahku sendiri sebagai seorang pecundang. Seseorang yang dulu pernah berbohong dengan mengaku sebagai jejaka agar bisa menikahi perempuan yang kemudian menjadi ibu kandungku. Seseorang yang dipaksa pergi dari rumah besar simbah putri selepas peringatan seratus hari kematian ibu kandungku. Keluarga besar tidak menginginkan lagi kehadirannya. Mungkin dianggap akan mengambil harta warisan yang menjadi jatah ibu kandungku.
**
“Syarif…” suara pakdhe dekat di telingaku.
Beliau yang sama penyayangnya dengan budhe, tampak mengkhawatirkan diriku. Matanya yang makin berkantung karena menunggui budhe berhari-hari selama di rumah sakit mengawasiku lembut.
“Ibu..ibu..” suaraku lemah.
Mungkin aku tadi tidak sadarkan diri. Atau mungkin berada di ambang batas antara kesadaran dan ketidaksadaran.
“Iya, nak. Ibumu…” pakdhe mengecupku lembut di kening.
Sama seperti saat beliau mengecup kening sepupu-sepupuku yang adalah anak-anaknya sendiri. Aku meraba-raba apa yang terjadi. Tidak mungkin budhe sudah lewat kalau pakdhe masih bisa menyapaku di sini, jatuh terduduk di kolom yang sama, di lorong yang sama.
“Ibu..?” aku takut bertanya tapi toh bertanya juga.
“Dia mau bertemu semua orang. Dia mau bertemu kamu,” pakdhe membimbingku bangkit.
Dengan langkah-langkah yang sama panjang, kami berjalan cepat menuju kamar budhe.
“Anakku..” budhe melambai ke arahku.
Ketiga anaknya berdiri di sisi pembaringannya. Keempat adiknya budhe, yang adalah budhe-budheku juga, berdiri rapat di dekat mereka. Kurasa almarhumah ibu kandungku yang menjadi adik bungsu mereka, juga ada di sini. Hadir bersama kami.
“Ibu…” lirihku sembari menghambur ke dalam pelukannya.
Ketakutan menyergapku. Apakah ini saatnya? Apakah ibuku yang ini juga akan segera berkumpul dengan ibuku di alam lain. Yang tak terjamah. Yang tak terlihat.
“Iya, nak. Aku ibumu. Selamanya ibumu,” suara ibu seperti tertelan sedu sedan tangis orang-orang yang mengelilinginya. Juga tangisku sendiri, yang pecah tak tertahankan.
“Ibu… jangan pergi, bu. Jangan pergi….” Aku meraung-raung.
Ketiga sepupuku memeluk aku dan ibu mereka. Kami bertangisan cukup lama. Tapi bisa kulihat wajah ibuku yang penyayang tapi disiplin itu berseri. Membuat jeritan kami makin meninggi. Wajahnya tersenyum saat matanya perlahan-lahan mengatup.
“Ibuuuuuu…”
Kulihat dua ibuku bergandengan tangan dan melambaikan tangan mereka ke arahku. Aku tahu, bu. Kalian terlalu cantik dan mulia untuk terus berada di dunia yang makin carut marut ini. Aku tahu.
Aku tahu, bu. Aku masih belum lagi pantas menjadi anak kalian yang tak pernah mengenal sakit hati. Aku tahu.
Aku tahu, bu. Kalian bahkan masih mendoakanku di alam sana meski aku masih harus tertatih belajar. Belajar berterima kasih, belajar bersyukur, belajar bersabar, dan belajar banyak hal lainnya tentang kehidupan.
Aku tahu, bu. Karena kalianlah ibuku.


